Wednesday, December 30, 2009

In Memoriam Gus Dur : refleksi diri

Kalau Gus Dur dulu ga naek jadi presiden, jalan hidup aku dan keluargaku hari ini sudah hampir pasti berubah drastis. Kembali ke akhir tahun 1996 saat aku pulang dari studi di Australia, enam bulan kemudian kita semua berhadapan dengan krisis multi dimensi yang melanda Indonesia. Saat itu memang segala antusiasme dan semangat besar setelah kembali dari 'menuntut ilmu' tiba-tiba surut, karena apa yang di hadapan kita di depan mata tampak begitu suramnya.

Saat itu keluarga, terutama ayahku berkata : kalau Gus Dur tidak naik jadi presiden, sebaiknya kamu kembali ke Australia dan mencoba merintis hidup di sana. Jadi satu dari sekian banyak orang-orang khususnya etnis Tionghoa yang eksodus keluar negeri karena situasi masyarakat yang begitu tidak kondusif. Aku-pun dengan segera mengiyakan. Tapi di sisi lain aku juga menaruh begitu besar harapan buat Gus Dur karena aku menaruh banyak cita-cita dan harapan tentang apa yang bisa aku lakukan di negaraku ini. Aku yakin banyak sekali orang yang punya harapan sama seperti aku. Dan memang menelaah Gus Dur dalam perjalanan hidupnya memang selalu menempatkan diri untuk orang-orang yang terjepit dan terpinggirkan.

Mengamati perjalanan Gus Dur yang nyeleneh, aku sempat mengambil kesimpulan bahwa Gus Dur adalah memang orang yang luar biasa... Beliau itu bukan level-an kita-kita. Walaupun penglihatannya terganggu, aku yakin betul mata batin beliau yang lebih berfungsi dengan kepekaan luar biasa. Gus Dur mampu memandang lebih jauh dari apa-apa yang bisa kita lihat dan pahami.
Saat beliau berkomentar anggota DPR seperti anak-anak TK, aku-pun hanya tersenyum dan berpikir mungkin memang itulah yang beliau 'lihat' dan rasakan saat berhadapan dengan mereka, wakil-wakil kita semua di DPR.

Dua tahun Gus Dur menjabat punya dampak luar biasa bagi Indonesia dan bagi banyak pribadi, termasuk aku sendiri. Saat ia 'diturunkan' dari jabatannya sebagai presiden, beliau tampaknya tidak terganggu. Aku pikir dia sadar betul tugasnya sudah selesai... "Begitu aja kok repot".
Beliau memang seseorang yang jadi pemimpin karena kesadaran bahwa ada yang harus beliau lakukan untuk bangsa dan negaranya. Memang Gus Dur dalam kepemimpinannya dalam waktu yang singkat, membenahi banyak hal-hal prinsip untuk Indonesia, dan membangun ruang kehidupan yang penuh harapan untuk banyak orang, seperti halnya buat aku, istri dan anak-anakku. Dan memungkinkan kami melakukan apa yang bisa kami lakukan hari ini, di tempat ini.

Tulisan ini untuk mengenangmu Gus. Aku tidak mengenalmu secara pribadi, tapi engkau telah menyentuh hidupku secara begitu pribadi. Semoga banyak hal baik dari dirimu mampu kami teladani. Terima kasih banyak Gus atas segala inspirasimu. Selamat jalan. Semoga engkau tetap mendampingi kami semua dari atas sana... Selamat jalan.

Friday, December 18, 2009

berobat alternatif

Beberapa minggu lalu saya mengantar istri ke satu tempat praktek pengobatan alternatif di sekitar jalan Gunung Batu - sekitar 2 kilometer dari pintu tol Pasteur menuju Cimahi. Ahli pengobatannya dikenal sebagai pa' Yeyep. Setelah mencari2 menerobos gang kecil (yang lebih kecil dari gang senggol) dan berliku-liku (seperti labirin) akhirnya tempatnya ketemu juga. Setelah parkir kendaraan kamipun diantarkan oleh seorang anak muda ke tempat pengobatan tersebut. Kami harus berjalan kaki memasuki gang2 kecil sempit dan belak-belok untuk menemukan tempat tersebut. Di sana sudah cukup ramai menunggu para pasien. Sayapun cari tempat menunggu dan duduk di sana.

Tempatnya sangat sederhana. Sebentar kemudian saya mulai ngobrol dengan seorang bapak yang ada di sana. Beliau datang dari Padalarang. Tak lama pembicaraan bergeser ke pengobatan alternatif vs. berobat ke dokter. Obrolan pun tambah seru setelah bergabung lagi seorang bapak dari Majalaya, lalu seorang lagi yang tinggal di daerah Cipedes. Intinya sih mereka sudah tidak cocok lagi pergi ke klinik, atau ke dokter (baca : pengobatan modern) Akhirnya merekapun berobat ke sini (baca : pengobatan alternatif). Ada seorang ibu yang bercerita suaminya sembuh dari kanker. Tentunya cukup menarik saat cara pengobatan seperti Pak Yeyep ini mendatangkan pasien dari banyak daerah yang cukup jauh sampai dari Tasikmalaya maupun daerah2 lainnya.

Tanpa disadari kamipun sudah sangat menghindari pergi ke dokter. Kedokteran modern (yang disimbolisasi oleh orang2 memakai jas warna putih, kadang berdasi) memang dibentuk oleh ilmu pengobatan dari Barat. Mereka-lah yang akhirnya mendefinisikan segala sesuatu yang disebut sebagai ilmu pengobatan. Tapi apakah betul ilmu2 tersebut membawa kemajuan? Buat saya ini tanda tanya besar. Dalam hal teknologi mungkin betul, tapi secara pengobatan (medikasi) saya merasa sangat tidak yakin. Setau saya pengobatan dari Barat mendefinisikan kesehatan dengan ketiadaan penyakit (the absence of illness). Tapi ilmu pengobatan Timur mendefinisikan kesehatan secara lebih luas, lebih holistik, termasuk di dalamnya keseimbangan lahir batin, jasmani rohani bahkan menelaah keharmonisan individu dengan lingkungan sosialnya.

Mendengar dan melihat sendiri Pa Yeyep in action, it's like magic. Seperti ga masuk akal! Tapi ya itulah kelebihan dia. Salah satu manusia yang dianugerahi kelebihan2 natural untuk melihat dan mendeteksi kelainan2 kesehatan pasien2nya, beliau mampu mendeteksi kesehatan tubuh melalui telapak kaki pasiennya. Dengan 'membaca' aliran darah pasiennya, Pak Yeyep mampu menyebutkan tekanan darah, kadar asam urat, kolesterol dan lain sebagainya dengan akurat. Beliau juga menyarankan pasiennya untuk membandingkan hasil pengukurannya ke lab. Dan dari apa yang saya ketahui, hasil pengukuran Pa Yeyep yang tanpa alat sangat sangat akurat dibandingkan hasil pemeriksaan Lab.

Mengamati bagaimana dokter2 sekarang bekerja, obat2 yang diresepkan, cara dan pendekatan pengobatan yang 'canggih', teknologi yang digunakan, cara kerja Pa Yeyep sepertinya sederhana sekali. Tapi sepertinya disitulah letak keunggulannya. 'Non invasive' mungkin istilahnya. Metode yang tidak menginvasi / menyerang tubuh pasien. Pengobatannya yang dilakukan Pa Yeyep dengan terapi juice, juga terdengar sederhana sekali. Tapi ya itulah kelebihan pengobatan Timur, di mana yang dilakukan adalah mengembalikan kembali keseimbangan metabolisme tubuh; atau aliran energi (Chi) dalam konteks pengobatan Cina. Dan inilah yang menjadikan pengobatan Timur luar biasa, saat seseorang sakit, yang diperbaiki adalah kondisi dan kekuatan tubuhnya dan kemampuan alami tubuh manusia untuk mengobati sendiri tubuhnya (self healing). Pengobatan Barat, sebaliknya mengobati penyakit dengan cara menyerang penyakitnya dengan obat2an (bahan kimia). Dan inilah yang menjadikan penyakit2 baru bermunculan, karena para penyakit-pun berlomba memperkuat diri dan akibatnya merentankan diri terhadap obatan2 yang terus menerus dihadapinya. Obat dan penyakit 'pakuat-kuat' in a neverending circle. Sampai kapan mau berhenti.

Dokter2 saya pikir tidak mesti menang dalam hal skillnya dibandingkan para pengobat tradisional. Mereka hanya punya ijazah saja, that's all. Sudah semakin banyak orang-orang yang pindah berobat karena pengobatan modern tidak mendatangkan solusi dan dalam kondisi tertentu bahkan memperburuk situasi. Di sisi lain memang banyak praktisi pengobatan tradisional yang tidak betul-betul bisa mempertanggung jawabkan teknik pengobatannya, karena memang tidak memiliki lisensi atau sertifikat. Hal ini memunculkan kesulitan tertentu bagi masyarakat yang ingin mencoba pengobatan alternatif.

Bagi para praktisi pengobatan Timur, pada umumnya mereka harus memiliki suatu bakat atau kepekaan tertentu. Tidak semua orang bisa mempraktekkan pengobatan Timur. Ini juga berbeda dengan ilmu pengobatan Barat. Saya sendiri mengalami beberapa kali berhadapan dengan dokter yang dari sudut pandang saya profesionalitasnya sangat tidak oke. Mungkin soal ijazah itu tadi yang membedakan. Asal punya ijazah, orang bisa jadi dokter, walaupun belum tentu dia praktisi pengobatan yang hebat. Apalagi dengan biaya pendidikan menjadi dokter yang sangat tinggi, dokter2 (dan rumah sakit) sekarang jadi sangat komersial karena harus mengejar 'balik modal'. Dedikasi akhirnya jadi tanda tanya besar di sana.

Satu buku yang saya baca dan menggambarkan kelebihan keduanya ( ilmu pengobatan barat dan timur dan kemudian saling melengkapi) adalah buku The Myracle of Enzyme yang ditulis oleh Dr. Hiromi Sinya. Beliau adalah seorang dokter kelahiran Jepang, yang memperdalam ilmu kedokterannya di Amerika Serikat. Menariknya beliau tidak menghilangkan pemahaman2nya tentang kesehatan yang diperolehnya di Jepang dan justru melengkapinya dengan ilmu kedokteran modern (teknologi kedokteran) dari Barat. Hasilnya beliau adalah dokter yang luar biasa. Sangat menarik bahwa Dr. Sinya tidak pernah meresepkan suatu obat atau melakukan operasi kepada pasien-pasiennya, bahkan untuk penderita penyakit2 yang parah sekalipun (terminal illnesses)

Lalu kesimpulannya apa? Dengan tidak berpretensi merendahkan pengobatan modern yang sudah sangat maju, saya lihat keduanya punya tempatnya masing-masing. Ada hal-hal yang menjadi kekuatan / kelemahan masing-masing. Tapi dari sudut pandang ilmu pengobatan Timur yang lebih holistik / utuh, saya pribadi cenderung mendahulukan pendekatan ini.  Dari sudut pandang spiritualitas, sepertinya ilmu pengobatan timur punya penghormatan yang lebih tinggi terhadap tubuh manusia sebagai entitas yang utuh, sakral dan tidak bisa dipilah-pilah. Kita masing-masing yang bisa menentukan pilihan.

Peta Lokasi : 


View Yeyep Juice Therapy in a larger map

Powered by ScribeFire.

Thursday, December 3, 2009

Pendidikan dan Kebudayaan : Isu Konten Lokal dan Globalisasi

Menyiapkan anak menghadapi globalisasi, saya lihat ada poin yang hampir selalu terlewatkan yaitu pentingnya LOCAL CONTENT. Dengan semakin seragamnya segala sesuatu dalam konteks global (komunikasi, penyebaran informasi, komersialisasi dll.), konten lokal justru menjadi semakin bernilai. Saat semua semakin seragam di belahan dunia manapun, keunikan akan semakin tinggi nilainya. Saat di semua bagian dunia ada Mc Donald, lalu apa istimewanya Mc Donald? Nasi timbel atau peuyeum akan menjadi unik dan bernilai tinggi karena satu-satunya tempat di mana dia bisa dicari adalah di tatar Sunda sini. Ironisnya, kenapa masyarakat kita begitu ingin beralih kepada segala sesuatu yang asing dan meninggalkan budayanya sendiri. Kita bisa paham kenapa Malaysia begitu berhasrat untuk memiliki konten-konten kebudayaan Indonesia, karena mereka sadar betul akan nilainya yang sangat tinggi. Ini salah satu poin penting yang diangkat oleh John Naisbit dalam bukunya Global Paradox.

Satu2nya konten yang tidak mungkin diduplikasi di bagian dunia lain adalah kebudayaan. Karena kebudayaan adalah sesuatu yang sungguh-sungguh lokal dan erat kaitannya dengan akar tradisi suatu masyarakat. Ini berhubungan dengan penghayatan masyarakat terhadap konteks mereka (lingkungan alam tempat kehidupan mereka, nilai-nilai yang dianut masyarakat tersebut dll.), terkait erat dengan pemaknaan, penghayatan dan spiritualitas mereka di dalam proses hidupnya. Kebudayaan tidak bisa diperjual-belikan atau dipindah-tempatkan begitu saja, karena sebagian besar nilai (makna)nya akan hilang saat sebuah kebudayaan lepas dari konteksnya.

Saat ini, sekolah-sekolah hanya fokus pada pembelajaran bahasa asing. Hanya itu saja, hanya aspek kemampuan komunikasi saja. Oke anak-anak kita akan bisa berkomunikasi, tapi konten apa yang mereka miliki, kemudian akan bisa dibagikan / disharingkan kalau penghayatan mereka terhadap budaya lokal-miliknya sendiri sangat minim. Sama halnya dengan Teknologi Informasi. Dalam pandangan saya TI hanyalah mediumnya. Kalau kita menguasai TI, konten apa yang akan kita hantarkan lewat teknologi tersebut? Dengan pola belajar sekarang di sekolah-sekolah kita, anak-anak kita hanya menguasai akan mediumnya. Konten / messagenya sendiri tidak dimiliki, atau jangan-jangan sudah terlebih dulu dikuasai orang lain. Saya kira kita banyak salah menerjemahkan cara mempersiapkan anak-anak kita menghadapi globalisasi. Pendidikan dengan demikian harus merupakan sesuatu yang sangat lokal, karena harus berakar pada kebudayaan masyarakatnya. Dari sudut pandang ini saya pribadi sangat tidak sejalan dengan penyelenggaraan pendidikan yang mengambil kurikulum dari luar negeri (impor). Pendidikan semacam ini, walaupun sepintas tampak keren dan bergengsi (bahkan disebut menyiapkan anak2 untuk globalisasi), berperan besar dalam menyerabut anak-anak bangsa dari akarnya, dari masyarakat tempatnya lahir dan berkembang.