perjalanan si nday
sekedar meninggalkan jejak... refleksi atau pemikiran atas pengalaman dan pembelajaran saya senang berbagi mengenai pembelajaran dan pendidikan, budaya, lingkungan hidup atau spiritualitas... di antara hal-hal lain. saya tuliskan saat saya punya waktu di antara berbagai kegiatan saya di Rumah Belajar Semi Palar (www.semipalar.sch.id). Semoga bermanfaat.
Saturday, August 27, 2016
pindah bermukim ke rumah virtual baru
Sejak mengelola situs Rumah Belajar Semi Palar dan situs2 mikronya yang berbasis wordpress, saya lebih banyak ngoprek wordpress, dan semakin lama semakin akrab dengan segala sesuatunya. Sejak kita bisa mengelola beberapa situs sekaligus melalui aplikasi tunggal wordpress.com, akhirnya dengan berat hati saya meninggalkan rumah tinggal yang ini dan pindah ke alamat baru.
Walaupun begitu blogger tetap rumah pertama saya dan mudah2an tetap bertahan, karena jejak2 cerita sejak pertama kali saya ngeblog ada di sana. Sampai jumpa.
Saturday, June 6, 2015
Understanding Holism, Spirit and Spirituality
The video below is about a wonderful conversation between Satish Kumar and Richard Dawkins, both of whom I find amazing people. This is in my oppinion a meeting of two worlds. Satish Kumar is more of a spiritualist, a philosopher. Richard Dawkins on the other hand, is a scientist whose thinking are in my oppinion are also brilliant.
Both to me complement each other. It is interesting to watch how Satish and Richard talk in their own world view or paradigm although somehow you can feel how Satish is one who has a strong holistic view while Richard is somehow is still tied to a mechanistic / partial worldview, which is quite common in scientists due to how they learned and are educated.
Towards the end of the video, the distinction between those two worldviews became more obvious. I myself understand Satish quite clearly. I agree with him, and Satish seemed to also understood how Richard thinks. On the other side, Richard seemed to find it difficult to accept Satish's worldview.
For me this is an illustration of the challenge of the so called global mindshift, that I - agreeing with Satish need to be moving from the mechanistic toward a natural - holistic worldview.
Satish closed the discussion with the importance of openmindedness - of humility especially in the scientific world. And that also, I totally agree...
Friday, May 22, 2015
[kisah inspiratif] tentang berbagi
Perkenankan saya berbagi cerita.
Belum lama ini saya berbincang dengan sepasang suami istri dengan seorang anak perempuan berusia menjelang 6 tahun. Anak perempuan tersebut duduk di jenjang TK. Obrolan berlompatan secara spontan seputar banyak hal dan perlahan2 bergeser ke urusan pendidikan. Cerita punya cerita, sang ayah pun berkisah bahwa dirinya hanya sekolah sampai sebatas kelas 2 SMP. Beliau tumbuh tanpa ayah - entah sejak umur berapa - dalam suasana yang serba diliputi keterbatasan kalaupun tidak mau menyebutnya dengan berkekurangan...
Sekolah di mana anaknya sekarang bersekolah ini, adalah sekolah yang menurut mereka jauh dari jangkauan keluarga ini dalam hal pembiayaan. Di sisi lain, kedua orangtua ini meyakini sekolah ini yang mereka anggap baik dan cocok buat anak mereka. Entah prosesnya bagaimana, walaupun pada awalnya mereka ragu, ternyata waktu berjalan dan keluarga ini mendaftarkan putrinya ke sekolah ini.
Mereka berkisah bagaimana mereka begitu merasa was-was pertama berkunjung ke sekolah ini karena putri mereka juga terlihat suka dengan suasana di sekolah ini. Pada saat itu mereka menyadari bahwa sekolah ini diluar kemampuan mereka untuk membiayai - pada saat itu.
Tapi ini bukan inti ceritanya...
Dengan segala keterbatasan dirinya, sang ayah punya pandangan yang unik tentang kehidupan. Ia punya keyakinan luar biasa tentang berbagi. Ujarnya, "Untuk apa hidup kalau hidup kita tidak ada manfaatnya buat orang lain".
Obrolan berlanjut sampai beliau mengisahkan pengalaman dirinya mengenai keyakinannya ini. Di suatu titik waktu, keluarga mereka sedang punya kebutuhan pengeluaran (sesuatu yang harus dibayarkan) sebesar 7 juta rupiah dalam beberapa waktu ke depan. Saat itu, di kantong mereka hanya tersimpan sekitar 1 juta rupiah...
Entah bagaimana dalam situasi ini sang ayah masih punya keinginan besar untuk berbagi - sesuai keyakinannya di atas tadi. Keinginan ini disampaikan kepada istrinya dan sang istri juga menyetujuinya. Lalu sang ayah ini pergi membelanjakan 700 ribu rupiah yang dimilikinya untuk dibagikan. 300 ribu sisanya ia sisihkan untuk kebutuhan diri dan keluarganya. Soal kebutuhannya mereka meyakini akan ada jalannya.
Iapun membelanjakan 700 ribu uangnya dalam bentuk makanan. Kemudian iapun pergi berkeliling dan membagikan bungkusan-bungkusan makanan itu kepada orang-orang yang ia jumpai dan tampak membutuhkan - tanpa syarat apapun. Sebelum berangkat ia berkomitmen untuk membagikan itu tanpa memilih, apakah orang tersebut lagi 'ngelem', usianya tua ataupun muda, mau berterima kasih atau tidak... siapapun". Beberapa menolak pemberiannya dengan pandangan curiga. Dengan caranya yang rendah hati, ia bilang kepada siapa ia ingin berbagi, "Bapak (atau ibu), saya sedang gembira, saya ingin membagikan kegembiraan itu kepada Bapak atau ibu..."
Dan itulah yang beliau lakukan...
Beberapa waktu berlalu, lalu ia melanjutkan kisahnya, keajaibanpun terjadi. Saatnya ia harus membayarkan tagihannya itu, entah darimana datangnya, ia bercerita ia bisa punya 11 juta rupiah di kantongnya, untuk membayarkan keperluan usahanya dan masih bersisa untuk dirinya dan keluarganya... Rejeki ternyata datang tanpa mereka duga.
Memutuskan berbagi dengan uang yang terbatas yang dimilikinya bukan tindakan yang masuk akal... tidak logis. Siapa dari kita yang akan melakukan itu? Tapi keyakinan dirinya berbuah, dan semesta menjawab ketulusan keluarga itu untuk berbagi di tengah segala keterbatasan mereka... Luar biasa...
Rupanya semesta tidak bicara dengan logika atau itung-itungan untung rugi belaka. Semesta adalah tentang perjalanan dan pertukaran energi. Kalau kita tak henti berbagi, kitapun akan menerima... Kisah di atas tadi adalah kisah nyata tentang bagaimana kita punya peluang untuk berbagi kebaikan dengan cara apapun. Dan di dalam kisah tadi tersimpan keyakinan bahwa kehidupan selalu baik bagi kita, tergantung bagaimana kita memandangnya...
Sebagai penutup cerita, putri keluarga tersebut sampai hari ini masih menerima pendidikannya di sekolah yang mereka anggap ideal. Rupanya kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan membuahkan rejeki yang memungkinkan mereka menyekolahkan putrinya di sekolah ini. Hal ini jadi kebahagian tersendiri buat keluarga ini mengingat segala keterbatasan yang ada di dalam mereka. Tapi rupanya, mereka punya hal yang tak berbatas yaitu kebaikan dan ketulusan hati untuk berbagi.
Namaste _/\_
Sunday, April 12, 2015
menantikan 'The Jigsaw of the Universe", sebuah catatan perjumpaan
Wednesday, March 11, 2015
To Forgive
Tidak pernah terbayangkan bahwa aku akan berdiri di depan sejumlah banyak orang dan memimpin mereka menuju suatu tempat yang akupun belum pernah kenal sebelumnya.
Sejak aku dilahirkan sekian tahun pada tanggal ini dulu dari rahim ibuku, dari kasih sayang kedua orangtuaku... hari ini aku berdiri di depan dan menapakkan kakiku selangkah demi selangkah ke arah yang aku rasa benar. Karena di sanalah aku merasa nuraniku menuntunku.
...
Monday, February 9, 2015
Pendidikan itu bukan Ujian
Ini curhatan saya yang sedang dalam proses menyusun kisi2 buat Ujian Sekolah SMP... Begitu banyak ya - bahkan sangat banyak - yang ternyata harus kita ujikan kepada anak-anak kita di akhir suatu jenjang pendidikan. Kalau teman2 buka dan amati poin-poin SKLnya begitu berat target kompetensi bagi anak-anak kita. Dan itu harus kita ujikan apakah betul anak-anak kita sudah mencapai kompetensi itu. Kalau SKL itu kita paparkan kepada mereka, sebelum mereka mendaftar ke SMP misalnya, bisa-bisa mereka urung mendaftar sekolah...
Guru dan para birokrat tidak akan pernah bisa berempati beban seperti apa yang dihadapi anak-anak. Penyusun soal hanya menyusun 50 soal untuk mata ujian tertentu... dan selesai. Anak2 kita akan berhadapan dengan 4 mata ujian UN, - yang juga diulang di Ujian Sekolah ditambah sekian banyak mata Ujian Sekolah tertulis yang tidak diujikan di UN ditambah lagi Mata Ujian Praktek...
Kami sendiri merasa sebagai pendidik merasa sudah meyakini dari amatan proses mereka, sudah cukup banyak yang sudah mereka jalani dan sudah melampaui poin2 kompetensi itu, TANPA harus melampaui sesi khusus berhari-hari menguji ketercapaian kompetensi itu. Ujian Nasional, Ujian Sekolah, yang terdiri dari Ujian Praktek dan Ujian Tertulis. Sekilas berhitung, 4 minggu setidaknya akan dihabiskan untuk Ujian2 ini belum terhitung proses persiapan-persiapannya.
Di sekolah anak saya yang saat ini kelas 12 (swasta), dia harus berhadapan dengan 7 kali Pra UN, sebelum menghadapi Ujian sesungguhnya. Sungguh sangat mengerikan - kalau kita bilang bahwa inilah proses mencerdaskan - mendewasakan anak-anak kita.
Mudah-mudahan ini TAHUN TERAKHIR anak-anak kita sudah berhadapan dengan hal ini. Kuncinya memang ada di guru dan proses pembelajaran, bukan di ujian akhir.
Salam pendidikan, teman-teman. Terima kasih sudah membaca curhatan saya. Selamat beraktivitas.
Saturday, October 18, 2014
Cakrawala Harapan untuk Indonesia
Friday, September 19, 2014
Kurikulum 2013 : Kurikulum Gagal !
Kurikulum 2013 sebagai sebuah panduan penyelenggaran pendidikan di Indonesia sebetulnya telah gagal sebelum disahkan.
Salah satu aspek menjadi kemunduran terbesar (dan sangat besar) dari Kurikulum 2013 adalah berubah kembalinya pengolahan kurikulum secara lokal - di level sekolah (KTSP) menjadi kurikulum yang distandarisasi pemerintah. Salah satu aspek fundamental yang menjanjikan keberhasilan pendidikan - apalagi pendidikan nilai atau karakter adalah bagaimana pemerintah memberikan ruang dan kepercayaan bagi setiap kelompok masyarakat untuk mengelola pendidikan berdasarkan konteks lokalitasnya masing-masing.
Oleh Sang Pencipta, Indonesia diberikan keberagaman sebagai anugerah yang luar biasa yang perlu dijadikan modal besar dalam mengelola pendidikan anak-anak bangsa. Kompleksitas dan segala kerenikan lokal di masyarakat setempat harus punya peran besar dalam menyelenggarakan pendidikan putra-putrinya di manapun ia berada.
Sebagaimanapun hebatnya kurikulum, tak akan ia mampu menyentuh kerenikan itu terkecuali ia mampu mengenali secara memadai kompleksitas bangsa Indonesia sebagai sebuah potensi yang kemudian dijadikan olahan dan bagian integral dari desain kurikulum itu...
Kesalahan yang sangat sederhana, tapi sangat mendasar... Prihatin!
Tuesday, July 22, 2014
Catatan Pendek di 22 Juli 2014
Setelah perhitungan suara disahkan KPU, kini saatnya mulai bekerja. Bapak Jokowi dan JK, hari ini bukan akhir justru awalan. Setelah memilih, dan ternyata bapak bwrdua menang, saya juga akan terus menjaga suara dan kepercayaan yang dititipkan kepada bapak berdua untuk merealisasi segala janji visi dan misi yang Bapak-bapak bawa selama masa kampanye. Saya kira kami semua para pemilih akan tetap kritis, awas dan terbuka seperti saat kami mengawal suara kami sampai ke penghitungan suara final di KPU. Suara kami bukan untuk pemilu kemarin tapi untuk 5 tahun mendatang. Suara kami bukan untuk bapak berdua tapi untuk Indonesia yang lebih maju. Saya yakin bapak berdua mencalonkan diri untuk bekerja bukan untuk berkuasa. Setelah nanti dilantik, bapak berdua akan memegang amanah dari seluruh rakyat Indonesia.
Semoga lima tahun ke depan saya dan puluhan juta rakyat Indonesia tidak menyesali pilihan yang diambil di bilik suara 9 Juli lalu. Semoga kita semua bisa tersenyum dan bersyukur bahwa hari kemarin 22 Juli betul-betul menjadi hari bersejarah saat seorang yang datang dari antara kita, dari rakyat biasa dengan segala kesahajaannya bisa membawa perubahan dan kemajuan besar bagi Indonesia seperti yang bapak bapak janjikan dan kita semua imajinasikan...
Akhirnya semoga saya dan semua pendukung Bapak berdua juga siap dengan komitmen kami untuk bekerja sama bergandengan tangan untuk membangun Indonesia melalui bidang keahlian kami masing masing tentunya di bawah kepemimpinan Bapak-bapak... Semoga...
Tuhan memberkati kita semua, Tuhan melindungi Indonesia.
Monday, June 30, 2014
[seputar pilpres 2014] seandainya Jokowi JK kalah...
Baru kali ini kita menyaksikan bagaimana masyarakat belajar untuk tidak menyandarkan diri kepada partai politik. Kita menyaksikan bagaimana pendukung Jokowi berkumpul di berbagai tempat, mengekspresikan diri lewat berbagai ungkapan kreativitasnya. Mendukung tanpa pamrih, tanpa iming-iming apapun, hanya karena berpegang pada harapan masa depan bangsa yang lebih baik. Individu yang berkumpul dengan tulus dan memberikan segala pengorbanan dan dukungannya untuk sosok sederhana yang dipercaya bisa membawa harapan bagi mereka. Dukungan dana kampanye hingga puluhan milyar, ada petani menyumbang beras, pemulung bantar gebang menyumbang 2 juta rupiah, pedagang menyumbang ribuan gelas dawet buat pendukung jokowi, ada yang membuat video, menggubah lagu, menggambar komik, membuat testimoni, menulis ribuan blogpost, memvisualkan visi misi Jokowi JK... semua tanpa pamrih. Semua wujud bentuk dukungan yang tulus. Kita lihat bagaimana pendukung Jokowi di mana-mana di seluruh Indonesia bahkan di kota-kota seluruh dunia bisa berkumpul tanpa membawa-bawa identitas partai apapun. Berkumpul bergandengan tangan hanya untuk menitipkan kepercayaan kepada sang pembawa harapan. Luar biasa!
Menyaksikan semua ini harus dengan rasa, dengan nurani. Angka-angka tidak ada artinya karena dengan mudah bisa dimanipulasi. Fakta-fakta bisa dijungkirbalikkan dan diputar-putar pemaknaannya. Ayo tinggalkan logika dengan segala pembenaran-pembenarannya.
Saksikan dengan nurani, dan kita akan bisa menangkap ada sebuah jalinan luar biasa yang sedang dibangun oleh bangsa Indonesia satu individu dengan lainnya dengan calon pemimpinnya. Hal ini ada dan sedang terjadi di antara mereka yang meletakkan pilihannya untuk nomor 2, Jokowi dan JK.
Teman-teman semua, kemajuan Indonesia adalah bukan terletak pada bahu Jokowi dan JK saja. Mereka tidak ada artinya. Saat kita mencari-cari kelemahan mereka sebagai manusia, begitu mudah menemukannya.
Tapi merefleksi ini semua, lihatlah bagaimana begitu banyak dari kita masyarakat Indonesia yang siap (bahkan sudah) bekerja bahu membahu untuk membangun bangsa dan negara yang kita harapkan bersama.
Karenanya saya kira, apa yang diusung oleh Jokowi JK sudah tercapai : Jokowi JK adalah kita!
Tuhan Memberkati Indonesia! — feeling hopeful.