sekedar meninggalkan jejak... refleksi atau pemikiran atas pengalaman dan pembelajaran saya senang berbagi mengenai pembelajaran dan pendidikan, budaya, lingkungan hidup atau spiritualitas... di antara hal-hal lain. saya tuliskan saat saya punya waktu di antara berbagai kegiatan saya di Rumah Belajar Semi Palar (www.semipalar.sch.id). Semoga bermanfaat.
Friday, March 23, 2012
Saturday, March 17, 2012
Refleksi Bincang Edukasi #5 di Bandung
Pagi – siang tadi, saya hadir di Bincang Edukasi di Bandung. Bertempat di Boemi
Nini, sebuah tempat yang walaupun kecil suasananya nyaman dan ngendonesia
sekali. Pengunjung kabarnya ada seratusan lebih, di luar
perkiraan panitia yang menduga akan dihadiri sekitar 70-an pengunjung.
Pengunjung duduk lesehan, sebagian di atas tikar di lapangan rumput. Asik. Di hari
ini ada empat orang yang diminta berbagi secara singkat tentang visi dan proses
menjalankan sesuatu dalam konteks pendidikan. Sebuah forum yang saya pribadi
melihat sangat dibutuhkan sebagai wadah saling berbagi dan saling belajar untuk
memperbaiki dunia pendidikan di Indonesia.
Sesaat sebelum giliran saya berbagi, saya baru menyadari
kecermatan teman-teman kurator (Deta Ratna Kristanti dan Ardanti
Andiarti) memilih para pembicara. Disadari atau tidak presentan (terlepas
dari apa yang dibicarakannya) mewakili wilayah pendidikan yang berbeda. Puti
bercerita tentang Rumah Mentari, bagaimana Puti dan teman-temannya menyentuh
anak-anak yang seakan tidak tersentuh pendidikan yang semestinya. Rumah Mentari
dikembangkan di daerah Dago Utara, bersama teman-teman volunteer – berbagi
cahaya dan semangat untuk anak-anak untuk bisa belajar banyak hal. Kandi dan Komunitas Sahabat Kota beranjak
dari keprihatinan atas kota Bandung yang tidak lagi ramah dan semakin berjarak
dari warga kotanya – khususnya anak-anak. KSK menggerakan sesama muda melakukan
hal positif menjadi fasilitator dan mendampingi anak-anak di Bandung untuk
mengenal kotanya lebih dekat. Anyi
dan Ibut datang dari sudut
pandang yang sangat berbeda – bergerak dari bagaimana musik menjadi komoditi
industri – bukan lagi sebagai media ekpresi dan mengapresiasi kehidupan –
terutama dalam proses pendidikan anak-anak. Save Our Music – musik kitapun
harus kita selamatkan. Sedangkan saya berbagi cerita bagaimana Rumah Belajar Semi Palar dibangun agar menjadi
wadah pendidikan anak-anak secara utuh (holistik) – supaya anak-anak bisa
berkembang dengan segala potensinya secara utuh – di dalam sebuah lembaga
pendidikan formal (sekolah).
Dari sudut lain, segala keprihatinan yang mendorong teman
presentan untuk melakukan apa yang dilakukannya sekarang di komunitas /
institusinya seperti menjadi gambaran bagaimana dunia pendidikan di Indonesia
memiliki masalah di berbagai sudutnya. Bahkan untuk anak-anak yang memiliki
kesempatan bersekolah. Dunia pendidikan memang kompleks luar biasa. Sepintas
tampak sederhana dan sangat terprediksi segala sesuatunya. Tapi dengan mudah
kita menemukan sudut-sudut yang bermasalah, tidak terperhatikan, atau perlu
dibenahi. Ibarat puncak gunung es yang bisa kita lihat / amati di atas
permukaan, sementara kita tidak tahu apa yang tersembunyi di kedalaman lautan.
Kita perlu mengatasinya bersama, bekerja sama mengolahnya dari berbagai arah.
Kenapa forum-forum seperti ini jadi kebutuhan besar bagi banyak dari kita,
semestinya karena memang pendidikan di Indonesia dalam banyak hal harus
diperbaiki.
Satu hal yang menjadi kesamaan adalah teman-teman semua
(termasuk Rumah Belajar Semi Palar) mengawali langkah dengan berpijak dari
sebentuk keprihatinan. Saya yakin teman-teman presentan (Puti, Kandi, Anyi
dkk.) ingin membagikan hal yang sama, apapun yang bisa kita lakukan, di manapun
adanya, bagaimanapun caranya, sebesar atau sekecil apapun, mendidik, membangun
orang lain adalah hal sangat bisa kita lakukan. Kalau kita punya secuil
keprihatinan, kita perlu berhenti mengomel atau berkeluh kesah dan melakukan
sesuatu yang nyata, melalui apa yang kita bisa.
Seperti kata Anyi, daripada kita berpikir mencari-cari apa yang
mendorong kita harus melakukannya, kita perlu berpikir sebaliknya, hal apa yang
membuat kita tidak berbuat sesuatu?
Saya pribadi berpikir, kalau pertemuan-pertemuan semacam ini
bisa menyalakan sepercik semangat dan keyakinan dalam diri teman-teman yang
hadir, memberikan seberkas inspirasi dan motivasi untuk mulai melakukan sesuatu
– melalui pendidikan, forum ini sudah memberikan hasilnya. Sebesar apa hal yang
dilakukan saya kira hal itu tidak penting. Kalaupun ada seorang yang
terinspirasi untuk mendampingi satu orang di luar dirinya (misalnya seorang
anak di lingkungan sekitar rumah tinggal kita) saya kira hal itu sudah luar
biasa. Kita bisa menjadi cahaya cahaya buat lingkungan sekitar kita. Memang di
akhir pertemuan saya dan beberapa teman sempat berbincang dan beberapa teman bercerita
tentang apa yang sudah dan ingin mereka lakukan. Senang sekali saya
mendengarnya.
Suatu kehormatan bisa berbagi di Bincang Edukasi. Sebuah forum terbuka untuk pendidikan Indonesia
yang diinisiasi Kreshna Aditya
dan teman-teman. Sungguh menyenangkan melihat bahwa semua yang hadir membawa
sesuatu ke pertemuan tadi. Ada satu energi yang mengikat semua yang hadir tadi.
Saya yakin apa yang mendorong semua yang hadir di forum tadi, mulai dari para
pengunjung, kurator, presentan, adalah semangat untuk pendidikan Indonesia. Bagaimanapun
caranya, sebesar apapun skalanya. Terima kasih buat semuanya.
Thursday, March 8, 2012
menuju Earth Hour 2012 : sebuah refleksi
Hari Minggu yang lalu, tanggal 4 Maret 2012, sekelompok manusia berkaos hitam bergambar huruf besar 60+ berkumpul di area Car Free Day - Dago. Tulisan ini bukan melambangkan usia 60 tahun ke atas, tapi kelompok ini berada di sana untuk mengampanyekan gerakan global Earth Hour... 60 menit dari waktu kita untuk sebuah langkah bersama membangun kesadaran tentang planet kita, planet bumi : Earth Hour.
Sederetan teks pendek di layar hape-ku yang aku terima dari seorang teman mendorong aku untuk menuju ke tempat yang sama. Pagi-pagi sepeda kesayangan aku siapkan dan menggoweslah aku ke Dago untuk bergabung dengan teman-teman di sana.
Sudah sejak tiga tahun ini aku bersama keluargaku di rumah ikut mematikan lampu - satu jam dari jam 20.30 sampai jam 21.30, seperti jutaan manusia penghuni bumi di banyak tempat di seluruh dunia... Sepertinya bukan hal sulit, tapi dilihat-lihat tidak banyak juga yang melakukannya. Banyak wajah-wajah penuh tanda tanya (dan curiga) yang muncul pada saat mereka bertemu dengan para volunteer Earth Hour ini. Tentunya ini menjadi alasan utama kenapa rekan-rekan dari berbagai komunitas - maupun individu berkeliaran di Dago membawa papan2 informasi dan mengajak pengunjung Car Free Day untuk paling tidak mulai mengenal apa yang disebut Earth Hour...
Buat aku pribadi, Earth Hour akhirnya bukan sekedar mematikan lampu. Waktu 60 menit ini setiap tahun ibarat menjadi momen perenungan, kontemplasi, tentang relasi aku sebagai manusia-satu individu penghuni planet bumi dengan planet bumi yang menjadi tempat berpijakku sepanjang hidup. Memang menjadi pas, saat kita mematikan lampu dan segala peralatan elektronik. Suasana menjadi hening, gelap... beralih dari suasana yang biasanya didominasi benderang cahaya lampu, kilau layar bergambar dan segenap suara yang muncul dari kotak kaca di ruang keluarga...
Saat kita mematikan lampu dan segala peralatan elektronik, seakan kita kembali ke situasi primitif saat setiap malam setelah beraktifitas manusia berada dalam situasi hening, kontemplatif, di mana dengan segera manusia merasa kecil berada di tengah kebesaran alam semesta dan Sang segala Pencipta. Teknologi memang mudah membuat manusia menjadi pongah dan arogan, karena manusia menjadi mampu memotong jarak, menghilangkan waktu, membongkar keheningan, merasa kuat dan perkasa. Akibatnya, manusia jadi kehilangan kebijaksanaannya, lupa diri, lupa pada kedebuannya. Lupa bahwa manusia adalah hanya sebagian kecil dari kebesaran alam semesta dan penciptanya...
Konon planet bumi-pun punya jiwa, punya spirit, apa yang dikenal sebagai Gaia. Bumi adalah sesuatu yang 'hidup'. Aku percaya itu. Karenanya apabila kita tidak cukup memberi perhatian untuk planet kita ini, relasi kita akan terputus, dan siklus kehidupan (circle of life) pada akhirnya akan terganggu juga. Global Warming adalah salah satu gejalanya. Aku sering mengistilahkannya sebagai bumi yang sedang sakit (meriang) - sedang demam. Karena kita semua, umat manusia melalui segala bentuk aktifitasnya terus memborbardir planet bumi sendiri dengan racun dalam berbagai bentuk limbah. Sementara organ-organ tubuh yang penting buat planet bumi terus kita hilangkan keberadaannya (fungsinya) - seperti gambar di samping ini. Hutan (paru-paru dunia) terus rusak, sampai suatu waktu bumi termasuk segala mahluk hidup di atasnya tidak bisa bernafas lagi... Melelehnya tumpukan es di kawasan Kutub Utara yang berfungsi sebagai regulator suhu bumi sekaligus meregulasi iklim bumi melalui pergerakan air laut di samudera-samudera di berbagai bagian bumi menjadi penyebab krisis iklim. Bencana alam yang semakin hari semakin kerap dan tidak terprediksi. Bumi kita sedang sakit.
Manusia perlu kembali ke kesadaran mendasar bahwa ia adalah bagian dari jejaring kehidupan di bumi dan alam semesta ini. Manusia bukan penguasa planet bumi, bukan pemiliknya, ia tidak berdiri di puncak piramida kehidupan di planet bumi, tapi bagian dari lingkaran / jejaring mahluk hidup di dalamnya. Manusia dengan anugerah kecerdasannya, semestinya mampu menjaga dan memelihara bahwa lingkaran kehidupan semua mahluk di planet bumi ini tetap lestari, alih-alih menguasai dan mengekploitasi planet bumi dan segala isinya. Kalau direnungkan, manusia-lah satu-satunya spesies mahluk hidup yang meracuni dan merusak tempat hidupnya sendiri. Betapa arogannya kita umat manusia...
Entah seberapa jauh Earth Hour ini bisa membangun kembali kesadaran kolektif kita mengenai keberadaan manusia di planet bumi ini. Kalau kita di seluruh muka bumi berhasil bersepakat, bergerak bersama untuk mematikan lampu dan peralatan listrik walaupun hanya satu jam, ini menjadi sebuah penanda yang menggembirakan. Bisa jadi ini juga mencerminkan kesadaran kita bersama tentang ketidak-bijakan kita mengenai pemakaian energi - yang melukai dan merusak tempat hidup kita sendiri. Kalau memang itu perkaranya, tampaknya kita masih punya harapan, planet bumi ini masih punya harapan. Mudah-mudahan.
Sederetan teks pendek di layar hape-ku yang aku terima dari seorang teman mendorong aku untuk menuju ke tempat yang sama. Pagi-pagi sepeda kesayangan aku siapkan dan menggoweslah aku ke Dago untuk bergabung dengan teman-teman di sana.
Sudah sejak tiga tahun ini aku bersama keluargaku di rumah ikut mematikan lampu - satu jam dari jam 20.30 sampai jam 21.30, seperti jutaan manusia penghuni bumi di banyak tempat di seluruh dunia... Sepertinya bukan hal sulit, tapi dilihat-lihat tidak banyak juga yang melakukannya. Banyak wajah-wajah penuh tanda tanya (dan curiga) yang muncul pada saat mereka bertemu dengan para volunteer Earth Hour ini. Tentunya ini menjadi alasan utama kenapa rekan-rekan dari berbagai komunitas - maupun individu berkeliaran di Dago membawa papan2 informasi dan mengajak pengunjung Car Free Day untuk paling tidak mulai mengenal apa yang disebut Earth Hour...
teman-teman volunteer Earth Hour 2012 |
komitmen-komitmen yang diberikan untuk Earth Hour dan gerakan hemat energi... |
Pak Sariban, tokoh lingkungan hidup kota Bandung yang membawa semangat luar biasa... |
Saat kita mematikan lampu dan segala peralatan elektronik, seakan kita kembali ke situasi primitif saat setiap malam setelah beraktifitas manusia berada dalam situasi hening, kontemplatif, di mana dengan segera manusia merasa kecil berada di tengah kebesaran alam semesta dan Sang segala Pencipta. Teknologi memang mudah membuat manusia menjadi pongah dan arogan, karena manusia menjadi mampu memotong jarak, menghilangkan waktu, membongkar keheningan, merasa kuat dan perkasa. Akibatnya, manusia jadi kehilangan kebijaksanaannya, lupa diri, lupa pada kedebuannya. Lupa bahwa manusia adalah hanya sebagian kecil dari kebesaran alam semesta dan penciptanya...
Konon planet bumi-pun punya jiwa, punya spirit, apa yang dikenal sebagai Gaia. Bumi adalah sesuatu yang 'hidup'. Aku percaya itu. Karenanya apabila kita tidak cukup memberi perhatian untuk planet kita ini, relasi kita akan terputus, dan siklus kehidupan (circle of life) pada akhirnya akan terganggu juga. Global Warming adalah salah satu gejalanya. Aku sering mengistilahkannya sebagai bumi yang sedang sakit (meriang) - sedang demam. Karena kita semua, umat manusia melalui segala bentuk aktifitasnya terus memborbardir planet bumi sendiri dengan racun dalam berbagai bentuk limbah. Sementara organ-organ tubuh yang penting buat planet bumi terus kita hilangkan keberadaannya (fungsinya) - seperti gambar di samping ini. Hutan (paru-paru dunia) terus rusak, sampai suatu waktu bumi termasuk segala mahluk hidup di atasnya tidak bisa bernafas lagi... Melelehnya tumpukan es di kawasan Kutub Utara yang berfungsi sebagai regulator suhu bumi sekaligus meregulasi iklim bumi melalui pergerakan air laut di samudera-samudera di berbagai bagian bumi menjadi penyebab krisis iklim. Bencana alam yang semakin hari semakin kerap dan tidak terprediksi. Bumi kita sedang sakit.
Manusia perlu kembali ke kesadaran mendasar bahwa ia adalah bagian dari jejaring kehidupan di bumi dan alam semesta ini. Manusia bukan penguasa planet bumi, bukan pemiliknya, ia tidak berdiri di puncak piramida kehidupan di planet bumi, tapi bagian dari lingkaran / jejaring mahluk hidup di dalamnya. Manusia dengan anugerah kecerdasannya, semestinya mampu menjaga dan memelihara bahwa lingkaran kehidupan semua mahluk di planet bumi ini tetap lestari, alih-alih menguasai dan mengekploitasi planet bumi dan segala isinya. Kalau direnungkan, manusia-lah satu-satunya spesies mahluk hidup yang meracuni dan merusak tempat hidupnya sendiri. Betapa arogannya kita umat manusia...
manusia adalah bagian dari lingkaran kehidupan di muka bumi ini... |
Subscribe to:
Posts (Atom)