Sunday, May 18, 2008

retrospeksi, konser abah Iwan Abdurrahman

Festival Air Internasional 2008 adalah agenda utamanya. Dan konser Abah Iwan ini jadi salah satu rangkaian acaranya. Diselenggarakan di STSI, Bandung oleh Teater Payung Hitam dan kedutaan Belanda, kegiatan ini memperingati hari Air yang jatuh di bulan Maret lalu. Alangkah indahnya kegiatan-kegiatan semacam ini apabila bisa terus bergaung dan terus mengingatkan kita tentang isu lingkungan hidup yang sejak beberapa waktu lalu bergaung. Masalahnya, masyarakat kita ini biasanya hanya 'anget-anget tai ayam'. Gampang terbawa eforia untuk segala sesuatu dan kemudian gampang pula hilang tak ada bekasnya. Kita itu ga konsisten banget.

Bicara tentang konsistensi, konser abah kali ini Iwan bicara sebaliknya. Abah tampil membawakan lagu-lagu yang bercerita tentang sejarah dan peristiwa-peristiwa sejak beliau masih muda, sejak lebih dari 40 tahun yang lalu. Luar biasa. Kisahnya kurang lebih dimulai saat beliau SD kelas 5 dan mendapat hadiah sebuah gitar dari neneknya. Dan kisah perjalanan waktu ini dimulai dengan lagu-lagu yang mempengaruhi proses belajar dan penghayatan beliau sekaligus keterampilannya memetik dawai gitar sejak dulu sampai akhirnya kita sekarang mendengarkan lagu-lagu gubahan abah yang sarat kontemplasi. Lagu-lagu yang begitu bernyawa dan membawa kita berpikir dan ikut merasakan kedekatan Abah dengan Sang Pencipta. Rasanya hal ini dengan jelas bisa kita pahami muncul dari kedekatan-kecintaan Abah dengan alam terbuka yang intens dan terus berjalan sampai detik ini... Konsistensi!

Seperti biasa kalau mendengar Abah atau lagu-lagunya, ini jadi proses refleksi sendiri buat aku. Kerap lagu-lagu Abah membuat aku merinding, di saat lainnya terharu. Sulit menuliskannya dengan kata-kata karena rasa nurani yang bicara. Aku hanya berharap energi yang terbawa dalam lagu-lagu abah lebih mendekatkan aku padaNya. Dan paling tidak aku bisa belajar untuk terus konsisten untuk apa yang sedang aku lakukan sekarang...

Satu lagi aku ingin mencatat pengantar yang dibawakan kang Aat Soeratin.
" ... maka semacam "koreksi budaya" bisa kita lakukan bersama, misalnya, pada konotasi tak tepat tentang istilah 'jadul' (jaman dulu = kuno = out of date = usang) yang seolah : tak apa (lazim saja) jika diabaikan. Padahal dari masa lalu itulah perjalanan hidup kita terentang. Masa lalu senantiasa menyimpan hikmah..."

Kalau konsistensi adalah sesuatu yang penting bagi apa yang kita lakukan saat ini, maka masa lalu menjadi luar biasa penting bagi cerminan kita terhadap proses yang sedang berjalan. Dan saat itulah kita bisa mengurai maknanya... dari hikmah masa lalu... Nuhun pisan Abah Iwan.

Thursday, May 15, 2008

my cycling hardware

iseng-iseng motretin sepedaku dalam cahaya minim. melihat perangkat perbosehan dalam kondisi pencahayaan yang beda... hasilnya? ya gitu deh...

Thursday, May 8, 2008

'in search of eden'

Di kuliah ke 5 ECF, Bpk. Bambang Sugiharto mengajak kita nonton filem, sebuah wawancara terhadap fisikawan kondang Paul Davies, judulnya In Search of Eden

Yang dimunculkan adalah pandangan beliau tentang asal mula kehidupan.
Menarik. Provokatif. Dan diskusi menjadi menarik saat Pak Bambang Sugiharto membagi whiteboard menjadi dua bagian, di sebelah kiri headingnya agama, di sebelah kanan Sains. Dan dari apa yang diungkap Paul Davies, mau tidak mau aku menangkapnya ada semacam arogansi yang cukup besar, yang mungkin bisa dipahami karena Paul adalah seorang saintis. Dan arogansi ini adalah bentuk kesetiaan dia terhadap bidang yang dia perdalam.

Biasanya, di kuliah-kuliah yang lalu, aku lebih banyak diam. Memang agak sulit berkomentar. Nah ini nih. Kebiasaan ga bisa spontan. 'Tel-Mi' mungkin. Tapi kebetulan topik yang ini aku agak tau-tau sedikit (atau sok tau). Jadi aku mencoba sharing.

Dalam pemahaman aku, pemisahan tegas antara agama dan sains ini muncul karena 'ego' dari masing-masing bidang (yang ditulis di sebelah kiri dan kanan). Mereka yang bergulat dengan aspek religius dan yang lainnya berkutat di sisi ilmiah. Ego ini yang rasanya mencegah mereka untuk saling memahami, karena pola pikir bahwa upaya memahami melalui cara mereka-lah yang paling betul. Buat aku rasanya ini sempit sekali ya. Apalagi saat kita mencoba bicara soal hidup dan kehidupan. Sesuatu yang luar biasa besar... dan kita perlu segala macam cara yang kita punya untuk memahami dan menghayatinya.

Kemarin aku komentar begini, aku mengutip apa yang aku baca dari DH Lawrence : kurang lebih begini : 'kita tahu bahwa air (yang notabene sangat vital untuk kehidupan) terdiri dari 2 molekul hidrogen dan 1 molekul oksigen. Tapi ada satu elemen ke tiga yang kita tidak pernah tahu apa, kenapa dan bagaimana molekul itu bergabung untuk menjadi air. Jadi selalu ada sesuatu yang tidak terjelaskan, sesuatu yang lebih merupakan keajaiban. Selalu ada suatu kekuatan tak terlihat yang ikut serta dan terlibat.'

Dan ini adalah jadi satu-satunya fokus dari (katakanlah) agama. Diumpamakan oleh Pak Bambang, Sains itu mulai dari hilir, menuju ke hulu, mencari sumbernya, menjelaskan dari kepingan-kepingan fakta yang ada. Sedangkan agama mulai dari hulu; mengandaikan sudah tahu segalanya.

Sebetulnya diskusi kemarin sudah mulai nyerempet sesuatu yang aku fahami sebagai upaya mencari titik temu antara agama (aku lebih suka membacanya sebagai spiritualitas) dan sains, sesuatu yang sekarang dikenal sebagai quantum physics. Saat para saintis sudah mulai mampu menelaah dan membedah sampai level sub-atomik, ternyata di dalam atom itu hampa. Jadi benda padat itu apa betul padat? Lalu yang dipersepsikan sebagai benda padat itu apa? Toh atomnya terdiri dari ruang kosong.

Tapi pertanyaan dari aku adalah apakah harus Sains dan Spiritualitas dipisahkan? Tidak dapatkah keduanya diletakkan berdampingan untuk memahami segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Termasuk agama yang rasanya sulit beranjak dari kekakuan dogmatisnya yang sudah berabad-abad bertahan, sementara segala aspek kehidupan manusia berubah dengan cepatnya. Pola pikir manusia modern yang sudah luar biasa berubah, karena kita semakin kenal (atau justru semakin tidak kenal) alam semesta kita...

Rasanya kita memang harus mulai menghilangkan ego dan arogansi kita (yang banyak muncul melalui bidang-bidang/ilmu yang kita pelajari). Hidup dan kehidupan bukan sebagai sesuatu yang harus sekedar dipahami, tapi mungkin lebih mungkin apabila kita hayati... Lagipula, bagaimana mungkin kita menalar dan menjelaskan kebesaran Sang Pencipta...