Sunday, July 29, 2007

In The End

Just today I came across these wonderful words.

In the end what matters most is :
How well did you live
How well did you love
How well did you learn to let go.


I saw this hanging on the wall in a cafe at Jl. Ciburial (Dago Pakar).
I couldn't agree more. Life is about love and about letting go.
But then again, easier said than done... as
what another quotes is saying nyaho can tangtu ngarti...


Saturday, July 21, 2007

Pembukaan Tobucil - Jl. Aceh 56 Bandung



Sabtu kemarin saya diundang oleh seorang teman. Salah satu teman satu 'pergerakan' dulu. Kenal dulu sejak tahun 1998 saat saya dan teman-teman sekantor sedang merintis sebuah komunitas yang dulu kita kenal sebagai Trimatra Center.

Sabtu kemarin 21 Juli 2007, Tobucil dan klabs-nya resmi buka di lokasinya yang baru di Jl. Aceh 56 (di seberang Sanggar Batik).

Saat dulu Tarlen datang ke Trimatra Center (berlokasi di Dago dari tahun 1998 - 2003) dia datang dengan apa yang disebutnya Tobucil (Toko Buku Kecil). Secara visi saya dan Tarlen punya banyak kesamaan. Yang saya salut dengan Tarlen dan Tobucilnya adalah konsistensinya terhadap apa yang dia perjuangkan. Toko bukunya sendiri, seperti namanya memang kecil, dan sejak dulu memang bersahaja. Tapi apa yang ada di dalamnya - istilah inggrisnya much more than meets the eye.

Sebagai sebuah toko buku, Tobucil adalah sebuah alternatif. Buat saya sendiri, koleksi awal buku-buku tentang pendidikan saya peroleh dari Tobucil.

Dan buat apa yang sempat saya geluti secara pribadi : Trimatra, dan sekarang Semi Palar, Tobucil adalah bagian penting dari proses perwujudan eksistensinya, dan dengan demikian punya peran luar biasa dari apa yang saya tekuni sekarang ini. Tobucil juga salah satu yang banyak mempertemukan saya dengan wilayah kesenian dan kebudayaan, lewat apa yang dulu sempat kita kelola bersama untuk bisa tampil di komunitas Trimatra - Tobucil. Saya sangat bersyukur dan berterima kasih atas proses belajar yang sempat saya terima lewat hadirnya Tarlen dan Tobucilnya di Trimatra.

Semi Palar sendiri mulai merintis eksistensinya salah satunya lewat Klab Dongeng yang beberapa kali di awal pemunculannya kita selenggarakan di Tobucil. Selain Tobucil lembaga lain yang juga sangat berjasa saat saya dan teman-teman merintis Semi Palar adalah Rumah Nusantara. Di sana kami menyelenggarakan beberapa kali kegiatan Program Sore.

Dengan keyakinan bahwa semua yang terjadi adalah bukan sekedar kebetulan, saya pribadi punya berharap apa yang kita lakukan (Semi Palar dan Tobucil) bisa bersinggungan lagi; juga atas dasar pengalaman-pengalaman yang buat saya pribadi sangat memperkaya seperti saat dulu Trimatra dan Tobucil bermitra dan berkegiatan bersama .

Tulisan ini adalah refleksi kecil buat saya, karena waktu datang ke pembukaannya Tobucil di tempat barunya, sehari sebelumnya saya menemukan foto-foto saat pembukaan Tobucil di Trimatra Center.

Sukses buat Tarlen dan teman-teman di Tobucil. Tetap konsisten aja dengan literacy movementnya.

Wednesday, July 18, 2007

'bamboo' stairway to heaven

'bamboo' stairway to heaven

there's just something that stirs your feeling when you look up and the sky looks simply amazing
.
it makes you feel that God is watching you from above, from heaven.
this shot taken in June 2003 using point and shoot Kodak DX 4330 camera.

Wednesday, July 11, 2007

Dialog bersama KH Bambang Pranggono dan Romo Tri Harsono

Hari Rabu, 11 Juli 2007 bertempat di Aula Gereja Melania terselenggara sebuah acara yang langka. Kita yang hadir di tempat itu berkesempatan mendengarkan penuturan dari Kiai Haji Bambang Pranggono, dan Romo Tri Harsono. Kedua tokoh bercerita tentang kenapa seharusnya kita umat beragama bisa saling menghormati.

Mas Bambang sendiri sebagai seorang ulama, seorang muslim adalah seorang yang luar biasa. Beliau mengungkapkan diri sebagai orang yang beruntung, ditakdirkan dan diberi kemampuan untuk mencintai ajaran-ajaran Nabi Muhammad dan kitab sucinya Al Quran. Memang itu tampak jelas dari ungkapan-ungkapannya yang selalu merujuk pada Al Quran dan tergambar jelas dari ucapan dan sikap-sikapnya.

Yang paling menarik adalah bahwa sikap menghargai dan rasa hormatnya kepada agama-agama lain adalah gambaran bagaimana Mas Bambang menaati ajaran-ajaran Nabi Muhammad yang disampaikan melalui Al Quran.

Sepanjang waktu yang hampir 3 jam, mas Bambang dan romo Tri bercerita tentang bagaimana kita manusia sering lupa dan melupakan bahwa sebetulnya para nabi kita (termasuk Yesus dan juga Nabi Muhammad) menurunkan ajaran-ajaran yang sifatnya universal, dan berlaku untuk semua manusia. Bahkan agama Islam, Nasrani dan Yunani dalam sejarahnya sebetulnya berakar dari satu agama yang sama yang dulu disebut agama Samawi. Simbolisasi (Salib atau lambang Bulan Bintang, istilah-istilah yang digunakan oleh masing-masing agama bahkan belum ada semasa hidup Yesus dan Nabi Muhammad. Penting disadari bahwa agama-agama yang ada sekarang ini telah melalui lapisan-lapisan ajaran turun menurun, terjemahan, tafsir selama ribuan tahun. Di dalamnya sangat mungkin terbawa serpihan kelemahan manusia yang menyampaikannya sampai saat ini.

Romo Tri bahkan mengingatkan kita untuk berpikir kritis dan bertanya apakah betul ajaran Gereja sekarang adalah sama dengan ajaran Yesus. Apakah betul tidak ada penyimpangan-penyimpangan yang akhirnya terjadi selama ribuan tahun ajaran Yesus diturunkan dari generasi ke generasi lewat tangan dan pikiran manusia (yang pasti sangat banyak kekurangannya).

Mas Bambang bercerita banyak lewat tampilan di layar gambar-gambar lewat ayat-ayat Al Quran, gambar-gambar bangunan suci di Yerusalem, termasuk bagaimana sejarah kedua agama (Katolik dan Islam) bersinggungan di sana. Apa yang terjadi di sana, dan bagaimana kita bisa berusaha memahami kenapa di kota suci tersebut hidup 4 agama yang berdampingan. Bagaimana umat beragama sebetulnya bisa hidup damai dan menghargai, dan bagaimana konflik yang timbul di sana sebetulnya memang sifatnya politis.
Mas Bambang mengajak kita berrefleksi kenapa Tuhan menurunkan agama-agama besar dunia di tempat tersebut, dan bagaimana Al Quran berkisah juga tentang tokoh-tokoh agama Katolik di mata Nabi Muhammad, dan bagaimana mereka berinteraksi pada jamannya. Mas Bambang sendiri yang sudah menunaikan 18 kali ibadah haji dan lebih dari seratus kali ibadah umroh, ternyata juga sudah berkesempatan mampir dan ziarah di situs-situs suci umat Katolik. Beliau sudah enam kali mengikuti Jalan Salib, termasuk berkunjung di tempat kelahiran Yesus dan gua tempat Yesus dimakamkam, juga ke Basilika Santo Petrus. Seperti yang beliau ungkapkan, tempat-tempat tersebut punya aura spiritual yang kuat, sehingga walaupun tempat-tempat tersebut bukan tempat suci untuk agama yang beliau anut, semuanya ikut menggetarkan batin beliau karena aura spiritual yang pasti bisa dirasakan oleh siapapun yang meyakini keberadaan Tuhan yang Esa.

Buat saya ini wawasan baru yang luar biasa, dipandu oleh tokoh agama yang berpandangan sangat luas. Saya menaruh hormat dan penghargaan luar biasa buat Mas Bambang dan Romo Tri. Manusia-manusia yang iman-nya teguh adalah mereka yang tidak takut bersinggungan dengan saudara-saudaranya yang punya kepercayaan berbeda, tanpa takut iman dan ketaqwaannya sendiri tergoyahkan.

Pertemuan ini dipandu oleh Ipong Witono sebagai moderator.

Monday, July 9, 2007

yellow, green, greener

yellow, green, greener

this was taken on our last holiday trip with the kids to Cipanas Puncak.
we were taking a walk early in the morning, when the sun was just begining to shine through the trees.
the colours of the leaves fascinated me, and I just had to stop to take the picture.
the highlights that shone on the edges of the leaves were also very nice. looks like the leaves were glowing
when you walk slowly and enjoy what's happening around you, beauty comes in such simplest things...


manajemen sekolah berbasis kompetensi

Kurikulum 2006, sebagai kurikulum terakhir yang diberlakukan pemerintah sebagai panduan pelaksanaan pendidikan di Indonesia adalah penyempurnaan dari kurikulum 2004 yang sempat dikenal dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Saat diberlakukannya, kurikulum 2006 disambut banyak pihak dengan sinis, seperti apa yang banyak kita baca di media sesaat setelah perubahan kurikulum tersebut diumumkan.

Memang kondisi ini cukup bisa dipahami, karena ini seperti mengulang apa yang sejak dulu berlaku, ganti menteri - ganti kurikulum.

Kalau ditelaah teliti, 'kesinisan' tersebut saya pikir tidak terlalu beralasan. Sejak 4 tahun yang lalu, sebelum KBK diberlakukan, cukup banyak kebijakan pemerintah (walaupun belum semua) semakin lama semakin baik. Terlepas dari bagaimana pelaksanaannya di lapangan, pemerintah tampak semakin paham tentang isu-isu pendidikan yang seharusnya menjadi perhatian dan secara bertahap dibenahi. Kurikulum 2006 adalah salah satu di antaranya.

Kurikulum 2004 (KBK), saat diberlakukan mengandung satu kekurangan besar bahwa pelaksanaan KBK masih dipandu pemerintah. Dengan demikian, walaupun secara konsep berbeda, pelaksanaannya masih sama dengan kurikulum 1994, bahwa semuanya dipandu secara sentralistik oleh Departemen Pendidikan Nasional. Perubahan kurikulum 2004 ke 2006 yang esensial adalah sebetulnya kebijakan bahwa perancangan kurikulum tidak lagi sentralistik, tapi diserahkan kepada sekolah. Itu sebabnya kurikulum 2006 dikenal sebagai KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), yang maknanya adalah bahwa sekolah sebagai Tingkat Satuan Pendidikan terkecil-lah dapat merancang sendiri kurikulum pendidikannya. Acuan kompetensi per jenjang pendidikan murid masih dipandu oleh pemerintah, tapi metoda dan bagaimana kompetensi murid dicapai (berdasarkan pemahaman saya), diserahkan kepada masing-masing sekolah. Dengan demikian berbagai sekolah akan memiliki keunikan, kekhasan kurikulum berdasarkan kondisi aktual sekolah dan potensi-potensi yang dimilikinya. Masalahnya tinggal apakah secara teknis setiap sekolah mampu mengolah dan mengelola kurikulumnya secara mandiri. Hal ini akan kita lihat dalam beberapa waktu ke depan ini.

Beranjak dari kurikulum, pengelola sekolah dihadapkan kembali pada masalah berikutnya yaitu standar manajemen / pengelolaan sekolah. Berdasarkan pengamatan kami, pola manajemen yang dianggap memenuhi syarat masih didasarkan pada pola dan cara pandang yang lama. Standarisasi pengelolaan masih dipandu secara baku, dalam hal ini berdasarkan poin-poin penilaian akreditasi sekolah. Untuk jenjang TK dan SD, poin-poin ini mencakup 163 buah poin belum termasuk sub poin yang terkandung di dalamnya. Jumlah yang luar biasa banyak. Kalau ditelaah isinya, memang mengandung poin-poin yang penting dan perlu diperhatikan dalam pengelolaan sekolah. Masalah mulai muncul saat cara dan perangkatnyapun sekolah diharuskan mengikuti cara dan menggunakan perangkat yang sama. Belum lagi saat konsep-konsep dan pemahaman manajerial pendidikan yang dianut sekolah ada kalanya tidak persis sama visinya dengan apa yang digariskan dalam poin-poin akreditasi tersebut.

Bagi sekolah yang mencoba menerapkan KTSP tentu saja hal ini menjadi beban luar biasa walaupun standarisasi pengelolaan adalah hal yang penting untuk pengelolaan sekolah yang bermutu. Mungkin sekali hal ini masih terlepas dari perhatian Depdiknas, tapi kalau ini tidak dibenahi, hal ini akan menjadi kendala terbesar penerapan KTSP. Pengolahan dan pengelolaan kurikulum secara mandiri adalah hal yang luar biasa berat bagi pihak sekolah. Saat juga dibebani pola pengelolaan yang distandarisasi pemerintah, besar kemungkinan, penerapan KTSP tidak dapat berjalan optimal, karena sekolah akan lebih cenderung mengejar poin-poin akreditasi ketimbang mengikuti kebijakan kurikulum baru.

Solusinya adalah sistem manajemen sekolah yang juga berbasis kompetensi. Jadi yang dituju seharusnya adalah substansi kompetensi manajerialnya, bukan dalam hal teknisnya (cara dan perangkat pengelolaannya). Seperti yang sempat saya dengar dalam sebuah seminar dari salah seorang Bapak Kepala Cabang Diknas Kecamatan di Bandung (tidak sempat saya catat namanya) empat poin standar pengelolaan sekolah adalah sbb :

1. Standar Proses Pengolahan Kurikulum

2. Standar Kualifikasi Staff Pendidik

3. Standar Sarana / Prasarana

4. Standar Pengelolaan Sekolah

Keempat poin tersebut memang luar biasa penting dan harus menjadi empat titik perhatian dalam hal pengelolaan sekolah yang bermutu.

Kalau Depdiknas bisa menggariskan poin-poin standar kompetensi pengelolaan sekolah seperti halnya yang diterapkan kepada murid melalui KBK, sekolah akan dikondisikan untuk mengembangkan kemampuan pengelolaannya secara mandiri, sesuai dengan potensi dan pola-pola manajerial yang dikuasainya. Bagaimana standar tersebut dicapai, cara dan perangkatnya dapat diserahkan dan dipercayakan sepenuhnya kepada pihak sekolah.

Mengenai kualitas pendidikan seperti yang diharapkan bisa diindikasikan oleh UAN, sebetulnya masyarakat akan bisa menilai sendiri bagaimana kualitas sekolah dari pola manajemen yang diterapkan sekolah tersebut. Saat manajemen sekolah dikondisikan untuk seoptimal mungkin memenuhi ke empat poin standar pengelolaan, dengan berjalannya waktu peserta didik dan orang tua akan mampu menentukan sendiri lembaga pendidikan mana yang memenuhi syarat dan menjawab kebutuhan mereka berdasarkan kualitas pelayanannya. Pihak yang paling tepat menilai kualitas pemberi jasa pendidikan adalah sebetulnya para konsumennya sendiri. Depdiknas dapat memposisikan diri menjadi fasilitator untuk memfokuskan diri membantu sekolah-sekolah yang kurang dalam hal sumber daya dan kemampuan manajerialnya agar mampu mencapai standar kompetensi yang ditetapkan. Sebetulnya ini adalah salah satu esensi dari Otonomi Pendidikan yang dulu digaungkan pemerintah.

Kita semua perlu berpijak dalam cara pandang sama bahwa sebagai salah satu bidang kegiatan yang rumit, pengelolaan pendidikan punya cara dan metode yang sangat bervariasi, dan terus berkembang sesuai dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi. Belum lagi dengan teknologi informasi yang semakin mempermudah dan mempercepat kita untuk memperoleh masukan-masukan baru dari manapun untuk semakin memperbaiki pemahaman dan cara-cara kita mendidik anak-anak kita.

Andy Sutioso | Juli 2007

Wednesday, July 4, 2007

waktu kita di alam


Liburan sekolah kali ini kita punya kesempatan langka. Anak-anak punya kesempatan untuk banyak bersentuhan dengan alam. Yang paling istimewa adalah saat kita bisa menginap di daerah Cipanas, Puncak, di kawasan yang cukup tinggi elevasinya, di daerah hutan resapan air. Di sana memang kompleks Villa, tapi pengelolaan konservasinya sangat ketat sehingga suasananya masih tetap seperti hutan. Penebangan pohon kalaupun tidak dilarang diatur baik, juga pengolahan topografi sangat dijaga sehingga pembangunan tidak diperbolehkan merubah bentuk topografi lahan yang ada. Akhirnya hawa dan suara alam masih sangat terasa dan kita bisa tahu bahwa ekosistem daerah itu masih sangat bagus dengan variasi suara binatang yang terdengar. Kera yang tinggal di hutan sekitar villa-pun masih cukup sering terlihat mendekati area villa, tandanya mereka tidak banyak diganggu. Dua malam kita di sana. Di hari pertama seharian kita maen ke Taman Safari. Setelah sekian lama kita tidak ke sana, kesan yang kami peroleh luar biasa. Singkat kata. Salut buat pengelola Taman Safari. Malam harinya kita menyalakan api unggun kecil di bawah pepohonan, sambil membakar Marshmallow.

Di hari ke tiga sebelum pulang kita main di sungai yang ada di dekat tempat kita menginap. Air sungai yang luar biasa jernih di tengah area hutan yang masih asri, di antara bebatuan sungai berbagai ukuran. Dan kitapun bermain dan berpetualang di sana. Saat kita menjelajah ke arah hulu, kita bertemu beberapa kolam-kolam kecil yang memungkinkan kita berendam. Pengalaman yang luar biasa buat kita terutama anak-anak, apalagi saat mereka berucap berulang-ulang “ini hari terbaikku!” Kita hanya berharap apresiasi dan kecintaan mereka akan alam tumbuh dalam nurani mereka. Pengalaman di sungai itu terrekam kuat dalam memori mereka, supaya kelak mereka tumbuh dewasa dengan rasa hormat dan penghargaan luar biasa untuk alam lingkungan yang dititipkan Tuhan buat kita… Yang selama ini kita banyak kita lepaskan dari perhatian kita. Semoga…


Sunday, July 1, 2007

Lapisan Polusi di atas Bandung

Foto ini diambil hari ini 1 Juli 2007, sekitar jam 9.00 pagi dari sekitar desa Wangunsari, selatan Lembang saat saya dan teman sesepedahan.

Pemandangan ini selalu kita lihat saat bersepeda ke arah Lembang. Kebetulan pagi ini udara luar biasa cerah, langitnya biru luar biasa indah. Sambil berhenti cari nafas, saya ambil gambar ini dari kamera handphone. Jadi hasilnya kurang optimal. Tapi dari gambar inipun terlihat jelas lapisan udara kotor (berwarna coklat-abu) di antara kaki cakrawala (barisan pohon) dan profil pegunungan di atasnya. Lapisan polusi itulah yang menutupi kota Bandung sekarang sehari-hari. Dan kita semua bernafas di dalam udara kotor itu. Apalagi kota Bandung seperti kita tahu terletak di dalam sebuah cekungan. Dataran yang dikelilingi pegunungan, sehingga udara kotor yang terkumpul lebih sulit mengalir dan dinetralisir di area yang lebih luas.

Teman saya Budiono yang sering offroading jaman kuliah dulu, lapisan itu tidak terlihat. Solusinya apa? tanam pohon, kurangi bepergian naik kendaraan, kurangi sampah juga, banyak hal bisa kita lakukan... Yang jelas, lapisan polusi ini tidak sehat buat kita.

Buat saya pribadi, sejak bersepeda, saya punya kesempatan untuk membersihkan paru-paru waktu memboseh sepeda ke daerah yang masih bersih udaranya. Banyak pohon, tidak banyak kendaraan. So... let's go cycling... (hehe mani keukeuh nya?)