Saturday, October 25, 2008

Pendidikan Katolik, Mau Kemana?

Makalah ini disusun untuk sharing di Dialog Pendidikan Katolik, di Grha Prakasita, Gereja St. Laurentius Bandung, Minggu 26 Oktober 2008. Pembicara lain adalah Kak Agus Moelyono, Romo Mudji Sutrisno, Suster Irene dan Suster Magda.


Mau Kemana? Ajakan merefleksi

Bertanya ‘mau kemana?’ kita bicara soal arah, orientasi, tujuan. Apakah tujuan kita benar, dan apakah langkah demi langkah kita membawa kita mendekat ke tujuan. Apakah kita terus menjaga bahwa kita setia terhadap tujuan kita, dalam hal ini mendidik anak-anak kita.

Saya kira adalah luar biasa penting untuk secara sadar terus melihat dan mengecek ulang arah perjalanan dalam mendidik anak-anak kita. Apalagi kalau bicara tentang pendidikan, karena sikap dan tindakan kita ikut menentukan masa depan, hidup dan kehidupan anak-anak didik kita. Apa langkah-langkah kita senantiasa berpihak pada kepentingan anak? Ataukah jangan-jangan kita sudah terbelokkan karena satu atau banyak hal, sadar ataupun tidak. Saat kita bisa sadar ada yang tidak benar, ada yang tidak beres, kita tentu bisa melakukan sesuatu untuk memperbaikinya. Kembali lagi, karena kita ikut menentukan hidup dan kehidupan anak-anak kita kelak. Lebih jauh, juga anak cucu mereka, masyarakat dan bangsanya nanti.

Siapa yang tahu arah, siapa yang bisa menentukan arah? Saya yakin juga bahwa kita masing-masinglah yang tahu. Caranya adalah dengan merefleksi diri, berkaca pada nurani kita. Jawabannya bukan ada di teori-teori pendidikan / metode pendidikan yang hebat-hebat, program atau kurikulum yang kita impor. Jawabannya ada di hati nurani kita masing-masing – jika saja selama kita berjalan, mendampingi anak-anak kita bertumbuh kembang kita senantiasa bercermin pada nurani kita yang jernih. Saya yakin arah kita akan selalu benar karena selalu dalam panduan-Nya.

Every man has a conscience, and finds himself observed by an inward judge which threatens and keeps him in awe… and this power which watches over the laws within him is not something which he himself (arbitrarily) makes, but it is incorporated in his being
~ IMMANUEL KANT, The Metaphysical Elements of Ethics ~


Conscience bahasa kerennya. Nurani kita sudah ditanamkan, menjadi bagian dari keberadaan kita sejak kita dilahirkan. Nurani kita, saya percaya adalah anugerah Sang Pencipta yang paling berharga, dan semestinya terus kita genggam selama kita hidup. Apalagi saat kita dalam perjalanan menumbuhkan manusia lain (anak-anak kita) sebagai manusia sejati. Seperti yang diucapkan Pak Harfan di filem Laskar Pelangi, “mendidik dengan hati”.


Cermin di Sekitar Kita

Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk bercermin diri? Sebetulnya cermin kita luar biasa banyak, ada di mana-mana. Tinggal bagaimana kita melihat dan mengamatinya, dengan nurani yang jernih.

Di sini saya ingin mengajak kita semua mencermati cermin-cermin yang mudah kita temui :

  1. Cerminan semangat ajaran Yesus Kristus pada anak-anak kita,
  2. Masyarakat kita sebagai cermin,
  3. Apa Tujuan Pendidikan,
  4. Situasi dan Kritik atas Dunia Pendidikan Kita.



Satu : Anak-anak kita : cermin teladan Yesus Kristus

Saat kita mendampingkan kata Katolik di sebelah kata Pendidikan rasanya kita sepakat bahwa kita mendasarkan diri pada ajaran Yesus Kristus. Bagaimana kita memaknai hal ini juga menjadi penting. Apakah pendidikan Katolik itu :

  1. Pendidikan yang mengajarkan agama Katolik, atau
  2. Pendidikan yang berjiwa Katolik, meneladan dan mengamalkan ajaran Yesus.


Cermin yang paling dekat untuk mengenali hal ini adalah melalui anak-anak kita. Setiap saat sehari-hari, dengan mudah kita bisa mengamati apakah sekolah-sekolah Katolik membawakan penghayatan tentang ajaran Yesus tentang cinta kasih.
Apakah suasana cinta kasih terbawa dalam suasana di kelas, muncul dalam interaksi antara guru dan anak? Ajaran Yesus yang terutama mengenai bagaimana mencintai sesama semestinya muncul dan terlihat jelas di anak-anak kita sehari-hari.


Apakah anak bisa menghayati dan memaknai hadirnya Yesus di kelas selama mereka belajar, berproses hari demi hari menjadi manusia (Katolik) seutuhnya? Apakah ada suka-cita dalam proses belajar mereka, apakah ada semangat mereka pergi ke sekolah. Ataukah sebaliknya, anak-anak belajar dalam tekanan atau ketakutan akan hukuman. Pertanyaannya, bagaimana anak-anak bisa menghayati bahwa Yesus adalah kasih saat keseharian mereka belajar tidak diwarnai semangat dan kegembiraan?


Dua : Masyarakat Kita Sebagai Cermin

Dalam situasi kita dan masyarakat kita hari ini, saya rasa sudah waktunya bertanya kembali apa sesungguhnya yang dimaksud dengan Pendidikan Katolik. Paling tidak kita dapat melihatnya dari dua sudut pandang :

  1. Pendidikan untuk anak-anak kita orang Katolik, atau
  2. Pendidikan oleh kita orang Katolik

Sudut pandang ini sangat menentukan keluaran (output) dari segala bentuk ikhtiar kita. Pemahaman yang pertama saya pikir sangat mempersempit sudut pandang kita. Cermin kita jadinya kecil sekali sehingga kita tidak bisa melihat secara jelas apa yang ada dan sedang terjadi saat ini. Kemudian akan sangat sulit bagi kita untuk membayangkan tentang apa yang bisa dikontribusikan bagi masyarakat. Praktek pendidikan Katolik dengan sendirinya akan jadi eksklusif.


Tapi kalaupun kita harus bicara dalam konteks ke-Katolikan kita, mungkin ini bisa relevan saat kita berpikir dalam sudut pandang yang kedua : Pendidikan oleh kita, orang Katolik. Bagaimana kontribusi kita umat Katolik dalam konteks kemasyarakatan yang lebih luas. Apa yang kita (sebagai umat Katolik – penyelenggara pendidikan yang menyandang nama ‘Katolik’) sumbangkan untuk masyarakat.


Masyarakat kita adalah cermin kita yang paling besar. Bagaimanapun institusi pendidikan adalah salah satu kontributor terbesar dari segala situasi masyarakat yang nyata ada saat ini. Keberhasilan, pencapaian dan juga untuk segala permasalahan yang ada. Bagaimana masyarakat kita hari ini adanya termasuk segala permasalahannya, adalah juga merupakan hasil dari segala sumbangan kita semua termasuk umat Katolik di dalamnya.


Saya berpendapat kalau kita umat Katolik sejauh ini belum berperan mengatasi permasalahan yang ada di masyarakat, artinya, kita masih menjadi bagian dari permasalahan. ‘If we are not part of the solution, then we are part of the problem’.


Yesus mengajar kita untuk menjadi garam dunia. Saya kira ini adalah jelas menggambarkan bahwa walaupun kecil, sedikit jumlahnya, kita bisa sangat berperan memberi ‘warna’, memberi rasa dalam kehidupan masyarakat.


Dalam bingkai spiritualitas Katolik, kita perlu merenung, memaknai dan menghayati kenapa kita umat Katolik diberi tempat dalam bingkai kebhinekaan Indonesia yang luar biasa ini. Ini seharusnya punya makna yang sangat besar buat kita. Selanjutnya dalam praktek pendidikan, tentunya kita harus mengaitkan diri secara nyata pada konteks-situasi masyarakat yang ada dalam rangka memaknai hal ini. Kalau tidak demikian, kita seakan memisahkan anak didik kita dari situasi nyata kehidupan mereka dan dengan sendirinya pendidikan akan kehilangan salah satu maknanya yang terdalam.


Seandainya sekolah-sekolah Katolik ingin mendapat tempat dalam masyarakat, rasanya satu-satunya cara adalah dengan berperan dalam masyarakat. Output pendidikan Katolik harus secara nyata berperan mengatasi persoalan-persoalan yang ada. Tentunya program pendidikan sekolah harus terus berpijak pada situasi nyata, isu-isu yang ada dan terjadi hari demi hari di masyarakat. Kita tahu tidak sulit mendapatkan gambaran bagaimana situasi kita hari ini yang begitu ruwet. Padahal jawaban atas segala permasalahan kita ada di pendidikan.

At the desk where I sit, I have learned one great truth. The answer for all national problems – the answer for all the problems of the world – comes down to a single word. That word is “education”.
~ Lyndon B. Johnson ~


Tiga : Apa Tujuan Pendidikan? Mencari kembali orientasi pendidikan.

Saya mendapat masukan ini dari salah satu rekan orang tua di Semi Palar, mengutip pernyataan Prof. Jacob Soemardjo, sebagai berikut :

… format sekolah saat itu sebenarnya untuk menunjang sistem pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Hasil akhir pendidikan adalah untuk menyediakan tenaga administratif menengah di pemerintahan yang patuh. Itulah sebabnya dibuat penyeragaman bentuk tulisan, disiplin ketat dan lain-lain yang tujuannya agar lulusan dapat menjadi pegawai negeri yang penurut.

Nah sekarang semua sekolah harus merumuskan tujuan lulusannya itu untuk jadi apa. Kalau jaman Orba supaya jadi rakyat yang penurut dan memiliki pemikiran yang seragam supaya gampang dikendalikan. Boleh banyak bekerja, tapi tidak boleh banyak berpikir. Itulah sebabnya sangat disukai model ulangan multiple choice yang hanya menyediakan satu jawaban yang benar. Juga penyeragaman segala macam hal (kaus kaki, topi, pakaian, sepatu, tas, buku catatan) sebetulnya juga mengkondisikan murid supaya tidak punya pendapat sendiri…


Saya kira dua alinea di atas bisa menyadarkan kita tentang betapa pentingnya kita menempatkan tujuan pendidikan sebagai arah/orientasi kita. Situasi jaman yang berubah sedemikian cepat, menuntut perubahan-perubahan dalam pola kita mendidik anak-anak kita. Apa yang dulu dianggap baik, tidak serta merta cocok saat dihadapkan pada kondisi yang sudah (banyak) berubah.

Refleksinya apakah kita sudah bisa mendefinisikan, individu seperti apa yang kita harapkan muncul dari penyelenggaraan pendidikan Katolik? Karakter, ciri khas orang Katolik seperti apa yang ingin kita munculkan di masyarakat?

Apakah selama ini kita memang menghasilkan individu – anggota masyarakat yang peduli dan membawakan hal-hal positif di masyarakat. Atau, sebaliknya, adakah mereka hanya sibuk dengan diri sendiri (dan kelompoknya) dan kurang peduli terhadap segala situasi dan permasalahan aktual yang ada di masyarakat.

Banyak sekali pakar yang mendefinisikan tujuan pendidikan. Kita pasti sudah menetapkan tujuan pendidikan di lembaga kita - biasanya indah dan ideal, tapi seringkali dalam pelaksanaannya hari demi hari, langkah-langkah kita menjauh dari tujuan itu.


Di bawah ini saya cantumkan satu pernyataan pendek tentang tujuan pendidikan:

The aim of education should be to teach us rather how to think, than what to think –
Rather to improve our minds, so as to enable us to think for ourselves,
Than to load the memory with the thoughts of other men.

~ James Beattie ~


Empat : Situasi dan Kritik atas Dunia Pendidikan Kita

Saya tidak tahu sejauh mana kita semua peka mengamati / mengikuti segala bentuk kritik terhadap pendidikan yang ada di sekitar kita. Entah kenapa, saya mengamati saat ada kritik tentang dunia pendidikan yang muncul, kebanyakan dari kita seperti otomatis menempatkan diri “kritik itu bukan untuk saya”. Beranikah kita menengoknya dan menggunakannya untuk bercermin. Saya juga tidak tahu, sebanyak apa kita (sekolah dan guru-guru kita) membaca tulisan, buku-buku dan mencermati fenomena pendidikan yang terus bermunculan hari demi hari:

  1. Sekolah-sekolah alternatif :
    kalau sekolah-sekolah yang ada dinilai menjalankan fungsinya dengan baik, apakah sekolah-sekolah alternatif perlu muncul? Apakah sekolah-sekolah Katolik pernah menengok apa, kenapa dan bagaimana sekolah-sekolah alternatif itu sebetulnya. Kenapa bermunculan? Kenapa dulu tidak ada itu namanya sekolah alternatif?

  2. Les? :
    kita tahu anak-anak kita lebih cerdas dari kita, lalu mengapa mereka butuh les? Kalau di sekolah-sekolah anak belajar dengan baik, kenapa les-les pelajaran perlu ada dan menjamur di mana-mana? (Fenomena terakhir yang paling mengejutkan saya adalah hadirnya ‘Bimbel TK’. Waduh!)

  3. Tulisan dan buku-buku kritik pendidikan :
    Saya coba kutip beberapa judulnya : Matinya Pendidikan, Neil Postman; Sekolah itu Candu, Roem Topatimasang;
    In Memoriam Guru, Dr. Suroso ; Kapitalisme Pendidikan, Francis Wahono; Lebih Baik Tidak Sekolah, Sujono Samba; Selamat Tinggal Sekolah, Yusran Pora dan masih banyak lagi.

    Semua ini merupakan ungkapan dari mereka-mereka yang lebih dahulu berani bercermin, dan mengungkap hal-hal yang yang selama (mungkin) melenceng di dunia pendidikan kita. Kita sangat bisa belajar dari mereka. Berani melihat dari sudut pandang yang berbeda.


Penutup

Dalam refleksi, yang bicara adalah nurani, bukan logika. Sehingga kita perlu mengolah dengan rasa bukan pikiran kita. Saat kita merefleksi diri, yang menjadi penting adalah benar atau salah. Bukan soal kalah atau menang, bukan urusan kompetisi, bukan perbandingan, bukan ukuran, bukan lebih atau kurang. Seperti yang diungkapkan oleh Krishnamurti, pendidikan sejati adalah persoalan batin, nurani.


…Pendidikan sejati berarti bahwa batin manusia, batin Anda, bukan saja mampu menjadi pandai dalam matematika, ilmu bumi dan sejarah, melainkan juga tak akan pernah, dalam keadaan apa pun, terseret oleh arus masyarakat. Oleh karena arus yang kita sebut kehidupan itu sangat kotor, tak bermoral, penuh kekerasan, serakah. Arus itulah budaya kita.
Maka masalahnya ialah bagaimana melaksanakan pendidikan yang benar, sehingga batin dapat menahan segala godaan, segala pengaruh, kebinatangan dari peradaban dan budaya kita. Kita telah sampai pada satu titik dalam sejarah, dimana kita harus menciptakan suatu budaya baru, kehidupan yang sama sekali lain, tidak berdasar pada konsumsi benda-benda dan industrialisasi, melainkan suatu budaya yang berdasarkan sifat religius yang sejati. Nah, bagaimana kita menghasilkan, melalui pendidikan yang benar, suatu batin yang sama sekali lain, suatu batin yang tidak serakah, tidak dengki? Bagaimana kita menciptakan suatu batin yang tidak ambisius, yang luar biasa aktif dan efisien, yang memiliki penglihatan sejati terhadap apa yang benar dalam kehidupan sehari-hari; justru itulah agama".

~ J. Krishnamurti ~


Lalu apa yang perlu kita miliki saat berrefleksi, agar pandangan kita terhadap cermin kita bisa jernih? Saya kira ini dicontohkan juga oleh Yesus Kristus lewat sikap rendah hati dan jujur. Buat manusia modern ini memang sesuatu yang kian sulit kita lakukan. Situasi kehidupan masyarakat kita hari ini seakan mengharuskan kita bersikap sebaliknya.


Seringkali, ego kita-lah yang segera muncul saat kita harus berhadapan dengan kritik atau kegagalan kita. Menghadapi kritik, yang muncul adalah alasan-alasan defensif dan segala bentuk pembenaran diri atas kesalahan / kekurangan kita. Saat kita bisa rendah hati dan jujur, bercermin secara jernih, kita tahu apakah kita benar ataukah sebaliknya memang ada kesalahan-kesalahan yang kita lakukan.

Akhirnya yang menjadi penting senantiasa kita pegang teguh sebagai penyelenggara pendidikan, adalah mentalitas pembelajar, apabila dipahami secara ekstrim adalah merasa senantiasa bodoh. Supaya kitapun senantiasa belajar dan belajar dan tidak pernah berhenti belajar. Saat kita rendah hati, kita akan terus merasa ada yang lebih baik, dan ada yang lebih baik lagi.

Menentukan arah Pendidikan Katolik, adalah satu tantangan yang maha besar. Tapi kalau kita masing-masing terus bercermin diri dan meyakini apa yang kita lakukan adalah benar, jangan-jangan sebagian tugas kita mencari arah Pendidikan Katolik sudah selesai.

Selamat bercermin diri…