Thursday, June 28, 2007

Doger Coblak di CCL


Ayeuna nyobaan postingna make basa Sunda. Punten, nya upami basa Sundana rada teu pararuguh. Tapi sapertos biasa, di CCL sok nyunda wae tema acarana. Resep lah. Nu ieu ge sami. Bari tos tilu kali ieu, urang dipasihan bobodoran jadi we seuseurian

Nu sakali ieu, kesenian nu ditampilkeun namina Doger Coblak. Amun teu lepat, kaping 26 sasih Mei 2007. Lokasina di CCL di pengker terminal Ledeng. CCL (Celah-celah Langit) sakapeung osok oge disebutkeun Cultural Center Ledeng, pimpinan kang Iman Soleh. (atos ah nyunda-na, hehe... kararagok yeuh)

Foto di atas itu ikon visual yang akrab bagi yang sudah menyaksikan pementasan teater multimedia 'Air'. Saya kenal kang Iman sudah sejak lama, waktu di Trimatra Center sekitar tahun 2000 beliau membawakan sebuah monolog dalam musikalisasi puisi Sutardji Calzoum Bachri. Buat saya beliau tokoh yang asik. Kontribusinya luar biasa dalam peranannya menjaga dan menghidupkan kesenian Sunda. Salah satunya Doger Coblak ini.

Lagi di blog ini yang bisa ditampilkan hanya rekaman gambar dan suasananya. Momen-momen ini memang harus dinikmati 'live' untuk bisa diapresiasi. Seperti kedua anak saya (7 dan 10 tahun) yang masih ingat sampai hari ini adegan-adegan dan dialog yang menggelitik dari awal sampai akhir. Doger Coblak ini menarik karena ketiga pemeran menampilkan bobodoran, tarian, musik, berganti kostum (secara cepat) di depan penonton dan 'keriweuhan' ini menjadi kelucuan tersendiri buat para penonton. Dialog sepenuhnya dibawakan dalam bahasa Sunda.

CCL, seperti biasa menampilkan ini secara bersahaja, secara sederhana, secara jujur. Panggungnya terbuka, mis-bar, beratapkan langit. Penonton duduk di lantai. Tapi esensi kesenian rakyat yang diusung oleh CCL kuat terasakan, dan ini menjadi kekuatan tersendiri buat CCL. Kedua anak saya sangat suka suasana CCL dan sangat antusias saat kita bicara tentang CCL, kang Iman atau pertunjukkan di Ledeng.

Saya pribadi merasa sangat beruntung bisa bersentuhan dengan dunia ini. Setiap kali pergi dan pulang menyusuri lorong di belakang terminal Ledeng seakan masuk mesin waktu menuju ke dunia yang lain. Juga anak-anak yang sejak kecil bisa bersentuhan dan sudah bisa mengapresiasi ini. Kita berharap ini bisa jadi bagian dari sesuatu yang memperkaya mereka, apalagi hal-hal seperti ini semakin kita sulit temui saat kita menjadi
'katanya' modern. Buat CCL, kita pasti kembali. Mudah-mudahan blog ini juga bisa menginspirasi siapapun untuk ikutan mampir ke CCL.

Pementasan Sawung Jabo : Menyusuri Lorong Sunyi

Ini adalah pementasan Sawung Jabo kedua yang aku hadiri. Setelah yang pertama di Rumah Nusantara, aku berusaha untuk tidak melewatkan yang ini.

Di Bumi Sangkuriang, 1 April 2007, pementasan ini bertajuk
Menyusuri Lorong Sunyi.

Belum terlalu lama aku berkesempatan mengapresiasi musik Jabo. Pertemuan yang pertama dengan musiknya aku langsung suka. Liriknya, ritme, melodi dan bagaimana Jabo mengaransir musiknya bisa langsung masuk dan aku terima dan dengan mudah aku hayati. Konsep musikalnya memang agak spiritual dan ini salah satu yang menjadikannya menarik buat aku. Pengantar dibawakan oleh kang Aat (foto 1) dan menarik sekali musik pembuka menampilkan alat musik yang baru pertama kali ditampilkan ke publik, hasil kreasi kang Arief Yudhi dari komunitas Jatiwangi Art Factory.

Alat musik ini dinamakan GEMBYUNG :
dibuat dari bahan keramik - yang memang banyak ditemukan dan diolah masyarakat daerah Jatiwangi. Gembyung adalah hasil eksplorasi Arief dan kawan-kawan terhadap media lokal yang ada untuk dijadikan alat musik. Gembyung dibunyikan dengan dipukul, dan (menurut info dari kang Aat Soeratin) bentuknya muncul dari hasil pengolahan bentuk gentong dan kendi. Yang diolah dengan demikian adalah ruang resonansi antara bentuk gentong dan kendi tersebut. Kabar terakhir, alat musik ini sudah mulai tampil di luar negeri, salah satunya di Singapura.

Jabo tampil diiringi musikus-musikus lain yang luar biasa handal. Di sini aku memang tidak bisa menampilkan musiknya, dan hanya bisa menampilkan rekaman gambarnya.

Singkat kata aku lihat Jabo dan kawan-kawan bermusik dengan spirit dan penjiwaan yang luar biasa.
Minimal buat aku pribadi, musiknya sangat kena buat refleksi. Apresiasiku sangat luar biasa buat Jabo.

Posting ini reminder buat aku tentang momen apresiatif ini, sekaligus juga mudah-mudahan mengundang yang lain untuk mau hadir di kesempatan berikutnya. Seperti yang berkali-kali aku alami, momen-momen apresiatif seperti ini sangat memperkaya. Buat Jabo dan teman-teman semoga terus semangat berkreasi.



support 'Stop Global Warming' movement

Stop Global Warming

Visit this site and join the virtual march.
Make your voice counted, your thoughts and actions made a difference.

Spotlight


Spotlight

I took this shot last June at the Sawung Jabo's performance : Menyusuri Lorong Sunyi
I kinda like the composition.
The spot lights on the upper right corner, the bluish ray coming out of the lights,
the vertical line of the light stand contrasting with the horizontal line of the ballustrade.
I think the photo could be better considering I'm only using simple digital camera.
But then that's the joy in photography for me when I'm able to capture something nice with a simple equipment.

Monday, June 25, 2007

Pendidikan yang Punya Misi, Pembelajaran yang Punya Tujuan

Baru saja kita mengajak anak-anak masuk ke sebuah tema baru, setelah di semester ini anak-anak berkenalan dengan suasana desa melalui Desa Cilukba. Sebetulnya apa tujuan kita mengajak anak belajar dalam sebuah tema. Sebelum pertanyaan ini dijawab, kita coba tinjau dulu tentang bagaimana sistem pendidikan di Indonesia selama ini.

Visi dan Misi yang punya makna… inilah yang rasanya tidak pernah kita punya selama ini. Soal sekedar pernyataan visi dan misi kalaupun kita tanya ke Diknas, pasti akan bilang ada, kalau kita tanya ke sebuah lembaga pendidikan, saya yakin akan bilang punya. Tapi yang pasti tidak ada adalah bagaimana visi dan misi tersebut, orientasi dan tujuan diterjemahkan dan dihayati di setiap level, ke setiap unit sampai ke unit terkecilnya, pendidik, lebih jauh ke peserta didik dan lebih penting lagi punya makna dan bisa mereka hayati dalam proses pembelajarannya.

Kalau kita bicara tentang negara kita, dan sekian banyak permasalahan yang ada, logika kita yang sederhana seharusnya bicara bahwa visi dan misi pendidikan harus segera dirubah. Situasi krisis moneter, era reformasi membawa perubahan luar biasa dalam struktur dan dinamika masyarakat kita. Tapi kita lihat sekolah-sekolah kita, universitas kita adem ayem tenang-tenang saja menghadapinya, seolah ini bukan masalah mereka. Sebelum reformasipun, saya amati, lembaga pendidikan kita tidak pernah meletakkan situasi masyarakat yang nyata dalam perspektif pembelajaran mereka.

Coba kita tanya rektor, coba kita tanya dosen, coba kita tanya mahasiswa kita… apa visi misi lembaga pendidikannya? Lalu apa sebetulnya tujuan mahasiswa pergi ke kampus untuk belajar? Saya ragu mereka punya jawabannya. Kalaupun ada jawabannya, apa relevansi visi dan misi yang mereka punya terhadap situasi dan dinamika masyarakat yang ada. Kontribusi apa yang akan mereka bawa untuk membantu memecahkan masalah atau membantu membangun bangsa dan masyarakatnya.

Contohnya, Di bidang ekonomi? Kemampuan seperti apa yang diharapkan akan dimiliki para sarjananya… Bukan hanya sekedar meluluskan mahasiswa jadi sarjana ekonomi. Sejauh ini yang diajarkan adalah hanya efisiensi produksi dan penghematan biaya. Itu saja. Sementara akibatnya buruh dan pekerja ditekan, sumber daya alam dieksploitasi habis-habisan. Lalu apa inovasi kita di bidang ekonomi? Dari sekian banyak lulusan ekonomi yang dihasilkan, apa ada yang hasil studinya membuahkan pembaharuan di bidang ekonomi untuk rakyat. Di bidang pertanian? Kenapa semua buah-buahan kita impor? Kenapa buah-buahan yang dijual di swalayan berembel-embel ‘Bangkok’: Jambu Bangkok, Duren Bangkok. Kenapa kita sampai perlu mengimpor beras, kenapa sampai kita perlu mengimpor gula. Kabarnya bahkan kitapun harus mengimpor garam… Menyedihkan sekali…Di bidang lingkungan? Di bidang perhutanan?

Coba kita tanya jurusan arsitektur dan para pengajarnya (termasuk juga saya dulu), apa problematika bidang arsitektur yang ada di Indonesia lalu apa tujuan pendidikan arsitektur untuk situasional problematika kearsitekturan di Indonesia. Sejauh ini, kita hanya mampu meluluskan arsitek-arsitek yang mampu merancang bangunan (dan sekedar menuruti keinginan klien). Hanya itu… Apa kontribusinya ke permasalahan yang ada di masyarakat? Ini tanda tanya besar.

Akhirnya kita harus berani bicara pendidikan kita selama ini memang tidak menghasilkan apa-apa…

Yang dihasilkan selama ini adalah manusia-manusia yang menggenggam gulungan ijasah ditangannya tanpa tahu sedikitpun apa yang bisa mereka lakukan untuk masyarakat sekeluarnya mereka dari sebuah lembaga pendidikan. Bahkan yang kita lihat sekarang adalah pengangguran luar biasa dari jebolan-jebolan universitas kita, setelah masyarakat kita menghabiskan sekian banyak waktu, tenaga dan biaya mengirim anak-anaknya ke bangku sekolah dan ke kampus-kampus. Yang kita lakukan hanyalah sekedar membeli rasa aman saat menggenggam selembar ijazah yang ternyata juga semu.

Ternyata ini dibarengi tidak dimilikinya kemampuan untuk berkontribusi nyata untuk masyarakat, bahkan dalam banyak kasus juga tidak mampu untuk menolong dirinya sendiri.

Di akhir perang dunia ke II, setelah Jepang menyerah kalah dengan meledaknya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, kaisar Jepang mengumpulkan pejabat-pejabat pemerintahannya, dan pertanyaan pertama yang beliau kemukakan adalah “Berapa guru yang masih hidup? Berapa sekolah yang masih berdiri?”

Bercermin terhadap situasi kita sendiri, mengatasi permasalahan bangsa atau membangun cita-cita sebuah bangsa hanya mungkin dilakukan melalui pendidikan. Sedemikian pentingnyalah peranan pendidikan. Karena disitulah kita membangun kesadaran dan kemampuan kolektif generasi demi generasi untuk kemudian bangsa tersebut mencapai sesuatu tujuan. Kalau tidak demikian, lalu apa sebetulnya tujuan pendidikan?

Dengan 20% anggaran yang akan disisihkan pemerintah untuk pendidikan, apa yang hendak kita capai, apa yang akan kita lakukan? Misi, tujuan, dengan demikian adalah sesuatu yang luar biasa penting dalam penyelenggaraan kegiatan pendidikan. Lalu kalau kita ingin punya tujuan, dengan sendirinya kita juga perlu mendefinisikan visi, pandangan, orientasi. Orientasi yang jelas akan mengarahkan kita melangkah menuju ke tujuan tersebut. Dan kemudian baru kita harus menentukan bagaimana kita melangkah. Agar suatu saat bisa sampai ke tujuan tersebut.

Tujuan inilah yang perlu jadi konsensus bersama di segala level dan dijaga agar terus berorientasi mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi walaupun pemerintahan dijabat bergantian oleh individu yang berbeda. Kemudian, visi dan misi pendidikan harus juga bisa diterjemahkan ke setiap level penyelenggaraan pendidikan, di lembaga pemerintahan yang memfasilitasi masyarakat (Diknas) dari level pusat ke daerah dan kemudian juga di setiap lembaga pendidikan mulai dari pendidikan dasar ke pendidikan tinggi, swasta maupun negeri, formal maupun non-formal.


Kembali ke soal tema di anak-anak kita di Semi Palar. Kembali ke pertanyaan di awal, apa sebetulnya tujuan anak-anak Smipa belajar dalam sebuah tema. Jawabannya sederhana, anak-anak Smipa belajar dalam sebuah tema supaya punya tujuan. Ada sesuatu yang harus dicapai. Tujuan dan pencapaiannya akan memberikan makna kepada proses belajar anak-anak. Kalau proses pembelajaran punya makna, maka proses ini akan menginternalisasi dan menjadi bagian dari dirinya. Sehingga anak-anak mampu menghayati bahwa semua yang dialaminya hari demi hari memang berharga dan menjadi kepingan-kepingan dimana dia semakin membangun kemampuannya, membangun dirinya.


Apa yang kita alami dulu, kita belajar tahun demi tahun, sekian lama tanpa sedikitpun tahu atau menyadari betul apa tujuan kita belajar. Untuk apa kita menghafal nama-nama sungai? Untuk bisa menjawab pertanyaan ulangan. Untuk apa kita mengetahui bagian tubuh, supaya naik kelas. Untuk apa kita naik kelas dan nilainya baik, supaya kita bisa memperoleh ijazah dengan nilai yang baik… Hampir semua tujuan kita belajar didefinisikan oleh orang lain untuk alasan-alasan di luar diri kita.

Waktu kita kecil, orang-orang bilang kita harus sekolah supaya kita pinter. Dan kemudian setelah kita lebih dewasa, orang-orang bilang kita harus kuliah supaya bisa cari uang. Dan memang itulah yang terjadi, masyarakat kita tumbuh sekedar supaya bisa menghidupi dirinya sendiri. Jarang sekali kita mengalami orang-orang bilang kita harus belajar untuk bisa berguna untuk lingkungan di sekitar kita. Dan kalau kita lihat, itulah yang terjadi sekarang: masyarakat yang sibuk dan asyik dengan dirinya sendiri. Dan akhirnya tidak ada yang sadar, peduli dan mampu mengatasi permasalahan yang berkembang di masyarakat justru karena ketidak-pedulian individu terhadap segala sesuatu di luar dirinya.

Manusia adalah mahluk sosial, sehingga tidak bisa dilepaskan dari masyarakat lingkungannya. Kemudian manusia juga adalah bagian dari alam semesta, sehingga tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab terhadap alam lingkungannya. Manusia adalah mahluk ciptaanNya, sehingga tidak bisa dilepaskan dari alasan mendasar eksistensi manusia, kenapa kita diberi hidup olehNya… Akhirnya, manusia yang sadar akan (menemukan) tujuan hidupnya, dan kemudian menjalani tujuan hidupnya tersebut itulah manusia yang hidupnya akan punya makna.

Karena hidup harus punya makna, dengan sendirinya belajarpun harus punya makna, karena kita belajar untuk kehidupan, bukan untuk selembar ijazah. We learn to make a life, not just to make a living (kita belajar untuk hidup, bukan sekedar untuk mencari penghidupan).

Sekolah, pendidikan adalah bagian integral yang paling penting dari perkembangan sebuah bangsa. Bagaimana pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan didefinisikan oleh negara, akan sangat menentukan bagaimana masyarakatnya tumbuh dan berkembang. Kegagalan memahami tujuan pendidikan secara filosofis akan menghasilkan generasi-generasi yang invalid, dan tidak mampu mendukung bangsa dan negaranya untuk berkembang. Bangsa dan Negara yang mampu menghayati hakekat kehidupan dan membawanya dalam proses pembelajaran setiap individu didalamnya, dengan sendirinya akan mampu membangun bangsa yang hidup, negara yang hidup.


_____________________________________________

Sekedar sebuah pemikiran | Andy Sutioso, 9 Maret 2007, 00.14

Saturday, June 23, 2007

Let's go cycling

Tomorrow I will be going on another cycling trip to some area north of Bandung.

I am very happy I take on this cycling thing. I have been doing it for around 4 months or so after watching a friend getting from places to places on bicycles with the yellow bike to work tag hanging on his bike. Cool, man! Since then I have been biking to work several times and riding to nature (as my friend Budiono called it) with my friends from the university. More people are joining in our group. A friend of mine even travelled to Bandung from Jakarta with a truckload of bicycles just for a ride here in Bandung.

Hopefully more and more people will be joining in. A great many benefits are there when more of us go cycling. For our environment of course, and our health, and the fun as well.
In the future I am hoping I could post some map of the cycling routes, some photos of the areas that we are travelling around.

Basking in the Sun 2

Basking in the Sun 2

This picture was taken in Garut last year. This is one of the few themes that I like. Observing the birds before taking the pictures was one of the fun part.

"Since time immemorial, flowers, crystals, precious stones, and birds have held special significance for the human spirit. Like all life forms, they are, of course temporary menifestations of the underlying one Life, one Consciousness."
from Eckhart Tolle's book 'New Earth'.

Friday, June 22, 2007

I promise


For those who have watched the movie 'The Secret', this 'resolution' by Christian D. Larson is something that we could use to constantly remind ourselves about it. Call it positive thinking if you like but more and more I realize that it is much more than just that, far more spiritual than what it seems. Let's keep a copy of this resolution handy, and let's make it our habit, part of us. You can imagine how beautiful life can be...

Monday, June 18, 2007

Dialog Publik 'Reinterpretasi Pancasila'

18 Juni 2007 - Gedung Indonesia Menggugat
Memperingati hari lahirnya Pancasila 18 Juni 1945













Hari gini? Siapa yang masih bicara Pancasila?
Tapi undangan ini saya tidak ingin lewatkan. Pertemuan Senin ini 18 Juni 2007 diselenggarakan di gedung Landraad, yang sekarang diberi nama Gedung Indonesia Menggugat. Saya termasuk orang yang beruntung berkesempatan beberapa kali diundang dan saya memang menyempatkan hadir di bangunan bersejarah ini untuk beberapa acara.

Dalam dialog kali ini hadir dua pembicara: Bpk Hidayat Nur Wahid, ketua MPR RI, dan Taufik Rahzen, seorang budayawan. Pembicara kedua, kang Taufik sudah sempat saya kenal dan sempat ikuti lewat beberapa forum sebelumnya. Seseorang yang luar biasa cerdas, analisis-analisisnya banyak muncul melalui sudut-sudut pandang yang tidak terduga. Lalu bapak ketua MPR ini : seseorang yang ingin saya kenal lebih jauh, secara langsung di dalam forum ini. Seperti apa beliau sebenarnya. Dialog ini dimoderatori oleh kang Aat Soeratin.

Lalu apa sih dan bagaimana sebetulnya dialog ini? Kenapa kita bicara Pancasila? Sesuatu yang jangan-jangan sudah lepas dari genggaman memori kolektif bangsa kita? Jangankan anak-anak ABG kita. Seperti yang diungkapkan Ipong Witono, saat pembukaan dialog : jendral-jendral kita pun sekarang ini sudah enggan bicara Pancasila. Mungkin justru itu alasannya bahwa kita memang harus lagi mulai berani dan menggali di mana kita meletakkan Pancasila dalam kerangka hidup kita. Karena bagaimanapun kita adalah bangsa Indonesia yang hidup di tanah air - negara Indonesia. Sebagai sebuah landasan filosofis, Pancasila seharusnya kita betul-betul pahami hayati dan jadi pedoman kehidupan berbangsa bernegara Indonesia.

Saya pribadi? Buat saya nasionalisme adalah sesuatu yang sangat penting. Saya kira rasa bangga saat bendera Indonesia dikibarkan, namanya diucapkan dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan adalah bagian penting dari kesadaran diri kita. Saya harap juga anak-anak saya menjadi besar dengan nasionalisme yang juga mantap di tengah apa yang disebut-sebut dengan globalisasi sekarang ini. Sebagai bagian dari upaya memahami kenapa kita dilahirkan di tengah bangsa dan di dalam negara Indonesia, tentunya.

Acara dibuka seperti biasa dengan lagu Indonesia Raya. Tapi seperti yang selalu saya alami di dalam komunitas ini, lagu Indonesia Raya tidak pernah mewujud biasa. Selalu punya makna. Ada rasa bangga, rasa haru luar biasa yang terasa. Entah berapa ratus kali saya mengikuti upacara bendera, tapi di komunitas ini, di ruangan ini, diiringi kibaran bendera merah putih oleh Imam Suryantoko, lagu Indonesia jadi punya makna yang mendalam. Entah mungkin ura ruangan dan bangunan ini bicara juga.

Dari apa yang sempat saya rekam intisarinya,
Memang sangat relevan kalau kita bicara lagi soal Pancasila justru hari ini. Dasar-dasar, prinsip dasar berbangsa dan bernegara yang diuraikan melalui lima sila Pancasila menjadi acuan refleksi luar biasa buat kita semua. Seperti kata Hidayat Nur Wahid, sudah bukan waktunya lagi kita mempertanyakan Pancasila, tapi waktunya kita mempraktekkan Pancasila. Selama ini Pancasila hanya jadi lambang, jadi jargon, dan sila-silanya tidak pernah kita hayati betul, kita maknai dan kita laksanakan. Dasar dasar berbangsa dan bernegara yang diletakkan oleh para founding fathers (dan mothers) dulu kalau kita hayati luar biasa bijaksana. Dan segala permasalahan bangsa yang sekarang muncul seharusnya tidak perlu ada saat setiap individu menghayati dan mengamalkan Pancasila (nah ini klise kan?) tapi kenyataannya memang tidak pernah demikian.

Dari kang Taufik, beliau menganalisis siklus perjalanan sebuah bangsa yang berjalan dalam siklus 30 tahunan. Mulai dari tahun 1908, 1938 (puncaknya kemerdekaan Indonesia tahun 1945), 1968 (era orde baru), 1998 (saat reformasi bergulir) dan siklus yang berjalan sekarang hingga tahun 2028 (100 tahun Sumpah Pemuda). Belajar dari sejarah peradaban lain, Indonesia juga sedang memasuki periode krisis. Dimana segala sesuatu yang dilakukan secara kolektif akan menentukan kelanjutan keberadaan bangsa ini. Ini membutuhkan kesadaran masyarakat yang semakin lama semakin kuat bahwa cara berpikir, bersikap dan bertindak secara individu akan menentukan juga kelangsungan bangsa dan negara, di mana kita hidup dari hari ke hari.

Seperti biasa, even-even semacam ini adalah kesempatan refleksi buat saya. Sekaligus juga berpikir tentang apa yang seharusnya bisa kita lakukan untuk hal-hal di luar diri kita. Ini baru berpikir, buat bertindak? Mudah-mudahan kita bisa...

Wednesday, June 13, 2007

A Return To Love

Love is what we are born with. Fear is what we learn.
The spiritual journey is the unlearning of fear and prejudices and the acceptance of love back in our hearts.
Love is the essential reality and our purpose on earth. To be consciously aware of it, to experience love in ourselves and others, is the meaning of life.
Meaning does not lie in things. Meaning lies in us.

~ Marianne Williamson ~

this is one of my favorite quotes. I don't really remember how I got it.
But it stuck to my mind. Just as Dalai Lama stated, there are only two fundamental emotions that underly all other emotions we may know and experience. They are either LOVE or FEAR.
Marianne's reminded us what we originaly have, what comes from within.
And what comes from without. With that, how we can choose whether we should take it in, avoid it or simply let it go...

Monday, June 11, 2007

view to east Lembang


view to east Lembang

this was taken on a short hiking trip last week with my Dad and the kids.
a nice view to the eastern area of Lembang, framed by the profile of Gunung Batu rocks on the right.
It was around 8 0'clock in the morning, the sky was blue, the sun was shining, the air was remarkably fresh.
It was a good trip, a fun one, and hopefully a memorable one for the kids.

Thursday, June 7, 2007

Nyaho can tangtu ngarti...


nyaho can tangtu ngarti,
ngarti can tangtu bisa,
bisa can tangtu tuman,
tuman can tangtu ngajadi...


kata-kata ini saya dengar dari Abah Iwan Abdurrahman, dalam diskusi yang diselenggarakan di Rumah Nusantara. Waktu itu sebuah refleksi dibawakan abah Iwan lewat lagu-lagunya, dan kalimat ini sangat menarik perhatian saya. Ceritanya, ini disampaikan dulu oleh guru silatnya Abah Iwan di Cianjur dulu.
Ternyata nyambung sama apa yang sedang kita coba konsepkan di Semi Palar sebagai tahapan belajar anak-anak, membangun sesuatu karakter, kebisaan, keterampilan menjadi bagian diri kita perlu waktu, perlu perjuangan.

Poster Lingkungan Hidup Semi Palar


Poster Lingkungan Hidup Rumah Belajar Semi Palar
Ini adalah satu dari seri poster lingkungan hidup yang materinya dibuat anak-anak Rumah Belajar Semi Palar.
Bagian dari proses belajar mereka di sekolah, dalam tema Penjaga Rumah Rimbun. Tema ini memang berfokuskan lingkungan hidup. Sesuatu yang harus jadi perhatian kita sama-sama. Harapannya anak-anak ikut merasakan berpartisipasi aktif dalam aksi bersama melestarikan lingkungan hidup, alam yang semakin lama semakin rusak karena ulah kita semua. Tentunya perspektif kita ke depan adalah tentang masa depan anak-anak kita. Planet macam apa yang akan kita wariskan kepada mereka...

Gagasan ini kita harapkan menular ke banyak pihak, tidak peduli siapapun.
Karena semakin banyak yang berpikir tentang lingkungan hidup, tentunya akan semakin baik.
Buat semua pihak yang mendukung, saya pribadi sangat berterima kasih ide ini bisa terwujud.
Walaupun inisiatif ini bukan untuk pribadi, tapi untuk kita semua.

Buat yang berminat mendapatkan poster ini, ada 3 jenis, silakan kontak ke email : info1@semipalar.net

Saturday, June 2, 2007

Pementasan 'AIR'


















Pementasan Teater Multimedia

' Air '

oleh komunitas kesenian CCL (Celah-Celah Langit)

pimpinan Iman Soleh.
di Saung Angklung Udjo, 29 Maret 2007


Ini salah satu pementasan yang sempat kami hadiri, event yang semakin kini semakin langka, langka penyelenggaraan maupun langka apresiasi. Memperhatikan masyarakat negara lain yang masih punya apresiasi terhadap even-even kebudayaan, masyarakat kita justru lebih tertarik pada even-even yang sifatnya komersial dan hiburan. Pementasan sejenis ini, yang punya isi, yang bisa membawa penontonnya merefleksi diri, sudah tidak lagi punya daya tarik atau sebaliknya masyarakat sudah tidak lagi peduli.

Pementasan ini mengusung tema lingkungan, tentang Air, isu yang perlu dapat perhatian kita bersama saat ini. Saat para pemeran berteriak sambil menatap nanar "TIDAK ADA!", yang lain menyahut "DISINI JUGA TIDAK ADA!", kita bisa merenung saat nanti air benar-benar sudah tidak ada... Maka yang akan muncul hanyalah tinggal air mata...

Pementasan ini dibuka oleh lagu-lagu yang dibawakan oleh Abah Iwan Abdurahman, rangkaian prakata yang pas untuk apa yang ditampilkan teman-teman dari CCL. Pementasan ini sempat ditampilkan di World Performing Arts Festival di Pakistan bulan November 2006. Sebetulnya sayang saat masyarakat kita sendiri tidak banyak hadir untuk bisa mengapresiasinya.




Bunga Rumput

Bunga Rumput

Keindahan seringkali muncul di hal-hal sederhana yang lewat dari perhatian kita...
Hidup kita yang begitu cepat bergerak lewat dari momen ke momen
seringkali membuat kita tidak lagi sempat melihat bagaimana luar biasa
dan sempurnanya ciptaan Tuhan...

Gambar ini diambil waktu perjalanan hiking dari Lembang ke Gunung Batu | 1 Juni 2007

Belajar Sejati itu Berpusat di Hati Nurani

catatan : karena kegiatan utama saya ada di Semi Palar, banyak refleksi dan pemikiran muncul atas hal-hal yang terjadi di sana. Catatan-catatan ini adalah bagian penting dari proses belajar saya. Walaupun begitu blog ini bukan blognya Semi Palar lho...

Sejauh ini mengamati apa yang terjadi di anak-anak Semi Palar dalam proses belajarnya, ada satu kesimpulan yang semakin lama semakin saya yakini, bahwa pembelajaran sejati itu berpusat bukan di kepala (otak) kita tapi di hati nurani (true learning lies not in our minds but in our hearts).

Anak-anak kita ajak berpetualang di hutan dalam tema yang berjudul Penjaga Rumah Rimbun. Dan dalam diskusi kami bersama guru-guru, terlihat jelas antusiasme mereka dalam berkegiatan di tema ini ditambah lagi dengan apa-apa yang bisa mereka hasilkan dalam karya-karya mereka (gambar, karangan, doa dan lain sebagainya). Anak-anak SD kelas 1 di akhir tema yang berjalan 6 minggu bisa menghasilkan cukup banyak karya tentang hutan. Kak Wienny dan Kak Caroline mengusulkan agar karya-karya tersebut dirangkum kedalam bentuk buku yang akan ditempatkan di perpustakaan.

Beberapa cerita tentang apa yang terjadi selama tema ini memang menggambarkan bahwa anak-anak

memang terlibat cukup dalam di tema ini. Saat ada anak SD yang meneteskan air mata sewaktu menuliskan doa tentang hutan, atau ekspresi emosional anak-anak yang terlihat jelas saat menonton filem tentang penebangan hutan.

Satu peristiwa lain yang jelas menyentuh nurani anak-anak adalah saat beberapa minggu lalu, hujan lebat dan angin kencang menimpa sebagian besar kota Bandung, dan dalam kejadian itu, batang pohon Angsret di sebelah pendopo Smipa ada yang patah dan diterbangkan angin ke pendopo dan tepat ke kebun jagung anak-anak. Senin pagi berikutnya, anak-anak bersama kakak berkerumun di sekitar kebun mereka yang porak poranda. Sebagian besar hasil kerja anak-anak menanam dan memelihara tanaman jagung sejak hampir 3 bulan yang lalu (tema Desa) hancur. Pagi itu bersama kakak mereka membereskan dan berusaha menyelamatkan jagung yang sudah hampir panen tapi rebah tertimpa dahan pohon yang patah. Tampak di wajah anak-anak rasa sedih dan kecewa. Beberapa anak yang pohon jagungnya selamat dan dipanen di minggu berikutnya membagi hasil panennya ke teman-temannya.

Tanpa disadari ada peristiwa ‘bencana kecil’ ini membuka pintu pembelajaran yang luar biasa bagi anak-anak. Saat apa yang mereka alami kita belokkan untuk membangun empati anak terhadap apa yang dialami para petani saat panennya gagal karena bencana. Keterlibatan anak secara emosional, ternyata sangat penting dalam pembelajaran mereka dan akan memperdalam pemahaman-penghayatan mereka tentang apa yang sedang mereka pelajari bersama. Dan ini hanya bisa terjadi saat anak belajar secara aktif melalui pengalaman-pengalaman mereka dalam belajar (experiential learning). Apa yang terjadi dan dialami anak-anak adalah bukan terbatas di pikiran mereka tapi memang menyentuh hati nurani mereka.

Di jenjang lain, TK dan PG karya anak-anak juga mengungkapkan itu. Karya-karya luar biasa yang hanya bisa muncul saat antusiasme anak bisa digali / dimunculkan. Pendidikan (Education) yang asal katanya dari bahasa Yunani ‘educare’ maknanya memang itu : menggali / memunculkan. Dan antusiasme (juga dari bahasa Yunani ‘an’ dan ‘theos’ yang makna katanya : Tuhan ada di dalam) hanya bisa muncul saat anak betul-betul mencurahkan seluruh dirinya (badan, jiwa dan pikiran) saat menghasilkan karya itu. Bagaimana membangun keterlibatan anak secara penuh dalam kegiatan adalah tugas guru atau fasilitator yang terutama. Dalam konteks tulisan ini adalah bagaimana guru membangun keterkaitan antara anak dengan materi, tema atau kegiatan yang sedang dijalankan dengan menghayati bahwa pembelajaran yang sejati adalah saat hati nurani anak terlibat dalam apa yang sedang mereka tekuni / pelajari.

Saat hati nurani anak terlibat saat belajar tentang tema hutan, dengan mudah mereka akan bisa memotivasi diri untuk mencari tahu segala sesuatunya tentang hutan, membangun pengetahuan atas dasar ketertarikan yang sudah memang sudah mereka miliki. Mengisi kepala dan memorinya dengan pengetahuan adalah sesuatu yang jadi jauh lebih sederhana, karena keterikatan batin antara diri mereka dengan apa yang sedang mereka pelajari sudah terbentuk.

Akhirnya ini menjelaskan tentang bagaimana spiritualitas adalah titik pusat dari pembelajaran holistik. Saat anak belajar dan berproses menjadi manusia yang utuh, manusia yang punya kesadaran (awareness) bahwa segala sesuatunya (manusia, alam semesta dan Tuhan) adalah satu bagian yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Bahwa segala sesuatu yang kita lakukan, sekecil apapun itu, punya dampak ke segala sesuatu di alam semesta ini.

Salam, Andy Sutioso, 15 April 2007

B2W (be-two-doubleyou)

Ada 2 kepanjangan B2W... Yang pertama Bike To Work, yang
keduanya Back To Walk... (yang ini mah karangan saya sendiri, hehe...)
Tapi keduanya lagi dicoba.
Sudah seminggu ini saya pergi kerja berjalan kaki (25 menit) atau
bersepeda (15 menit). Keduanya ternyata sangat 'enjoyable'.

Banyak hal positif yang sebetulnya berhubungan. Mengurangi
emisi konsumsi BBM, olah raga / kesehatan, mengurangi emisi gas
buang dll.
Tidak pernah terpikir sebelumnya. Kenapa ya? Apakah karena
malas, karena manja? Tapi kalau semakin banyak orang bersepeda
atau berjalan kaki, bayangkan bagaimana segarnya udara di
sekitar kita karena berkurangnya polusi.

Kata akhir, dicoba deh... Siapa tahu ketagihan.
Dan yang penting, ketergantungan kita kepada BBM dan kontribusi
kita dari emisi gas buang juga berkurang. Terakhir, yang tidak kalah penting badan
sehat...



Friday, June 1, 2007

'Gunung Batu' Hiking Trip

Sudah cukup lama kita tidak melakukan hal seperti ini.
Dulu kita suka cross country atau hiking, sekarang memang tidak lagi. Jalan-jalan di jaman sekarang banyak tergantikan sama jalan-jalan di mall. Atas inisiatif opa ini kita mulai lagi. Anak-anak sudah mulai besar dan sudah mulai kuat fisiknya. Awalnya memang mereka cukup kaget melihat tujuan perjalanan kita. Tapi waktu perlahan-lahan kita mulai mendekat, semangat mulai muncul. Apalagi
waktu sampai di tujuan, di puncak, kita disuguhi pemandangan luar biasa ke sekitar Gunung Batu: ke arah Bandung, maupun ke daerah Lembang. Waktu itu kita ditemani 4 anak dari desa Suka Ampat, entah apakah pengalaman ini juga merupakan sesuatu yang luar biasa bagi mereka .

Sekarang buat kita, juga buat anak-anak kita makin sulit dipahami bahwa segala sesuatu yang luar biasa dalam hidup (
the finest things in life) sebetulnya gratis : sinar mentari yang hangat, embun di rerumputan, pemandangan alam, udara yang luar biasa segar, kebersamaan di antara orang-orang yang kita sayangi... Dengan semakin tebalnya kita membungkus diri kita dengan hal-hal material yang kita beli, hal-hal lain yang sebetulnya adalah anugerah Tuhan semakin mudah kita lupakan. Mudah-mudahan anak-anak tidak hilang kepekaannya untuk hal-hal seperti ini.