Tuesday, December 14, 2010

a child as a miracle



The child must know that he is a miracle, 
that since the beginning of the world there hasn't been, 
and until the end of the world there will not be, 
another child like him.

-Pablo Casals

Sunday, October 17, 2010

Thanks Dad for Showing Me How Poor We Are


One day, the father of a very wealthy family took his son on a trip to the country with the express purpose of showing him how poor people live. They spent a couple of days and nights on the farm of what would be considered a very poor family. On their return from their trip, the father asked his son , "How was the trip?" "It was great, Dad.""Did you see how poor people live?" the father asked.."Oh yeah," said the son. "So, tell me, what did you learn from the trip?" asked the father.

The son answered: "I saw that we have one dog and they had four. We have a pool that reaches to the middle of our garden and they have a creek that has no end. We have imported lanterns in our garden and they have the stars at night. Our patio reaches to the front yard and they have the whole horizon. We have a small piece of land to live on and they have fields that go beyond our sight. We have servants who serve us, but they serve others. We buy our food, but they grow theirs. We have walls around our property to protect us, they have friends to protect them. "The boy's father was speechless. 

Then his son added, "Thanks Dad for showing me how poor we are.



"Isn't perspective a wonderful thing? Makes you wonder what would happen if we all gave thanks for
everything we have, instead of worrying about what we don't have. Appreciate every single thing you
have, especially your friends!

From one of the mailing lists I'm subscribing to. Thanks Wido for forwarding this my way.

Tuesday, September 28, 2010

merubah sikap (bahasa) terhadap sampah

Kebetulan sebelum lebaran saya sempat ngobrol dengan Kang Aat Soeratin, salah satu budayawan senior Bandung. Kami sempat berbincang banyak tentang lingkungan hidup. Dan beliau menyampaikan kurang lebih begini. Soal sampah ini kan soal budaya, soal perilaku. Dan kita perlu merubah cara kita berpikir dan memandang sampah. Ayo kita coba dengan cara sederhana : merubah kata-kata Buang Sampah Pada Tempatnya, menjadi Simpan Sampah pada Tempatnya.

Kata ‘buang’ itu memang biasanya kita gunakan untuk benda2 yang sudah tidak ada nilainya. Sebaliknya kata ‘simpan’ mengkonotasikan bahwa benda2 ini masih ada nilainya, dan kita perlu sedikit berpikir bagaimana memperlakukannya, saat nilai gunanya sudah tidak ada buat kita. Tapi toh masih ada nilainya saat diolah dengan cara tertentu oleh orang2 lain. (Kita tahu ya ada orang2 yang jadi kaya gara2 sampah)…

Dari sudut pandang lain, baru saja kami di Semi Palar ngobrol juga dengan pakar / pemerhati masalah bahasa dan budaya: Bapak Acep Iwan Saidi  dan katanya, bahasa itu kan sangat mencerminkan diri kita, seperti ungkapan Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jadi kalau kita cara kita membahasakan sampah dengan sikapnya tidak menghargai ya akhirnya perilaku kita juga demikian. Jadilah kita bangsa yang sangat bermasalah dengan sampah…



Sunday, September 5, 2010

foto :: dimakan usia



dimakan usia
gambar ini aku rekam di Keraton Jogja. satu bagian dari kereta tua yang disimpan di sana.
entah kenapa menarik pandanganku. entah kenapa sesuatu yang sudah lama ada seakan menyimpan cerita
dan seperti ada yang ingin dikisahkannya... entah sudah berapa lama benda-benda itu merekam peristiwa dan getaran-getaran kejadian pasti ikut menggores, membentuk, dan mewarnainya hingga benda itu tampil seperti ini. andaikan benda-benda itu bisa bercerita.



Menargetkan lulusan 5000 Doktor?

Beberapa waktu lalu, running text di sebuah TV Swasta menampilkan tulisan pendek kurang lebih bunyinya seperti ini : "Mendiknas menargetkan lulusnya 5000 orang Doktor di tahun ini." Hmmm, apa bisa begitu ya? Kalau kita sepakat bahwa pendidikan adalah sebuah proses (yang kompleks pula), bagaimana kita bisa menargetkan sesuatu? Kalau proses pembelajaran yang sejati mensyaratkan seseorang untuk bukan sekedar tahu, tapi lebih dari itu paham dan menghayati pengetahuannya lalu apakah bisa kita membuat target-target waktu dan pencapaian seseorang dalam proses pendidikan. Apalagi seorang doktor yang dalam proses studinya ia belajar memperdalam pemahamannya sampai level yang filosofis, apakah bisa hal ini kita targetkan. Lalu kalau atas target tersebut yang kemudian dihasilkan adalah individu doktoral yang justru tidak paham lalu bagaimana? Kalau jumlah tersebut tercapai (secara kuantitas) tapi tidak secara kualitas, apakah program Depdiknas bisa dikatakan sukses atau berhasil? Lalu apa dampaknya buat dunia pendidikan kita di Indonesia ke depan? Kalau tolok ukur keberhasilan sistem pendidikan kita secara kuantitatif, saya kira kita tidak akan pernah berhasil . Sebaliknya kenapa harus kualitatif? Saya kira sederhana jawabannya, karena kita mendidik manusia, bukan robot. Dan kita tidak akan bisa memperlakukan manusia sebagai robot atau mesin. Manusia adalah ciptaan Tuhan dengan segala keajaibannya.

Baru saja saya menamatkan buku Negeri Lima Menara karya A. Fuadi. Buku yang luar biasa inspiratif buat saya. Di bagian awal dikisahkan saat murid2 baru menapakkan kakinya di Pondok Madani, Kiai Rais, pimpinan PM memberi sambutan pendek: "Menuntut ilmu di PM bukan buat gagah-gagahan dan bukan biar bisa bahasa asing. Tapi menuntut ilmu karena Tuhan semata. Karena itulah kalian tidak akan kami beri ijazah, tidak akan kami beri ikan, tapi akan kami beri ilmu dan kail. Kami, para ustad ikhlas mendidik kalian dan kalian ikhlaskan pula niat untuk mau dididik."

Lalu Raja (salah satu murid baru) menjelaskan kepada temannya Said : "Maksudnya, PM tidak mengeluarkan ijazah seperti sekolah lain. Yang ada adalah bekal ilmunya. Ijazah PM adalah ilmunya sendiri."

Saya kira ini luar biasa dan secara spirit bertentangan dengan apa yang dimunculkan bapak Mendiknas kita. Apa sebabnya saya tidak tahu. Apakah karena perbedaan pemahaman filosofis tentang pendidikan? Karena kalau secara filosofis pemahaman pendidikan tidak tepat, tentunya apapun yang dibangun di atasnya akan tidak tepat sasaran...

Apa yang saya kutip dari running text di layar televisi seperti di atas ini buat saya adalah gambaran kebingungan pengambil kebijakan tentang bagaimana membangun pendidikan di negeri ini. Walaupun sebetulnya para pendahulu kita seperti ki Hadjar Dewantara sudah meletakkan landasan filosofis pendidikan yang luar biasa. Kenapa kita meninggalkannya, saya tidak tahu...

Tuesday, August 17, 2010

65 tahun Indonesia Merdeka

Sudah 65 tahun Indonesia Merdeka. Lalu apa yang sudah kita capai bersama sebagai sebuah bangsa? Seperti apa potret kita saat ini? Kalau kita berani mengamatinya dengan jujur, potret kita sebagai bangsa adalah bukan sesuatu yang menarik atau membanggakan. Kalau kita melihat dengan jujur apa yang tampil di media dan layar kaca kita, yang menampilkan seperti apa bangsa Indonesia, apa yang kita lihat sehari-hari di sekitar kita, jelas perjalanan kita masih panjang, perjuangan kita masih berat karena penjajahan masih nyata ada. Penjajahan atas kesadaran2 kita yang terdasar, bahwa kita masih terpenjara oleh kelemahan pikiran-pikiran kita yang lemah, malas, sombong, egois, serakah dan mudah menyerah karena tidak mampu menaklukan diri sendiri (nuhun mas Ipong atas inspirasinya)

Lalu bagaimana? Saya kira, kalau ada dari kita yang masih bergetar hatinya menatap Sang Merah Putih berkibar di angkasa, kalau ada dari kita yang meneteskan air mata saat menyanyikan Indonesia Raya, harapan masih ada. Semoga semakin banyak dari kita yang bangun dan sadar atas keterjajahan diri kita dan kemudian berjuang untuk merdeka! Karena ternyata mengalahkan diri sendiri adalah perjuangan yang paling sulit buat kita manusia...

Saturday, August 14, 2010

Gowes Sahur RCTI

 rombongan Gowes Sahur RCTI melintas di depan Gedung Merdeka

Pukul 23.00 sedikit demi sedikit rombongan pesepeda mulai berkumpul di lapangan parkir PVJ. Goweser dari berbagai komunitas seperti Bike2Work, Sel-B (sepeda lipat Bandung), B2C (Bike to Campus) dan banyak lainnya terus bermunculan dan memenuhi pelataran tengah PVJ. Kejutan menyenangkan dari PVJ, bahwa ternyata PVJ secara khusus telah membuat tempat parkir sepeda. Tempat parkir ini dibuat cukup serius (walaupun dimensinya kurang pas) menunjukkan PVJ sebagai salah satu mall yang populer di Bandung telah menempatkan sepeda sebagai moda transportasi warga kota yang perlu difasilitasi dengan baik. Bravo PVJ! 

Lewat tengah malam, acara dibuka dan ini adalah bagian dari rangkaian acara yang digelar RCTI di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Bandung, Jakarta, Jogjakarta, Semarang dll. Kegiatan ini melibatkan komunitas pesepeda sebagai bagian dari kampanye penggunaan sepeda sebagai alternatif alat transportasi yang paling ramah lingkungan sekaligus juga menyambut bulan Ramadhan di mana ini jadi waktu yang indah buat berbagi kepada sesama. Menjelang sahur, rombongan sepeda ini akan melintasi jalan2 kota Bandung dan mampir di Panti Jompo Budi Pertiwi di Jalan Sancang serta Rumah Yatim di jalan Cemara untuk membagikan bingkisan makanan untuk sahur. Diperkirakan rombongan konvoi sepeda mencapai jarak lebih dari 20 km, dan kami kembali ke PVJ sekitar pukul 3 dini hari untuk menikmati sahur bersama. 

Buat saya pribadi ini sesuatu yang sangat menyenangkan. Bersepeda bersama teman2 di jalanan kota Bandung yang sepi walaupun hawa dingin cukup menusuk. Saya sendiri tidak berpuasa, tapi momen ini jadi kesempatan yang juga indah untuk ikut berbagi dan menikmati kebersamaan.

grup sadar kamera
di depan Rumah Yatim

Friday, August 13, 2010

morning coffee @ poernama


udah lama kita pengen mampir untuk sarapan di Purnama - jl. alkateri. 
kebetulan pagi ini semangat gowes dan akhirnya memboseh lah aku dan Lyn dan 
menikmati sarapan di sana. Asik banget! Jalannya sepi (kebetulan bulan puasa), 
udara segar, langit cerah, dan kita bisa menikmati suasana sarapan yang berbeda...
masuk ke suasana jadoel, banyak opa-oma ngrumpi sembari sarapan
dan bapak tua yang duduk baca koran ditemani secangkir kopi susu... 
dan seperti biasa, setelah mboseh, segala sesuatu terasa lebih nikmat dari biasanya...
life is good, really good!

Sunday, July 4, 2010

foto :: matahari jimbaran


matahari jimbaran
sunset di jimbaran. kebetulan awan mendung terbuka dan memunculkan
sang surya di bawahnya... memunculkan komposisi yang menyenangkan antara gelapnya awan, sinar matahari, garis cakrawala dan ombak yang pecah di latar depan...

Saturday, March 27, 2010

earth hour 2010

ini kali ke dua kami mengikut-sertakan diri jadi satu keluarga yang ikut mematikan lampu selama satu jam selama earth hour. anak2 setelah makan malam mulai sibuk mencari senter, menyiapkan lilin dan korek api. tanpa terasa waktu berjalan dan menginjak jam 20.30. lilin pun dinyalakan, dan supaya praktis kami ke luar rumah untuk mematikan saklar utama. seperti tahun kemarin, kami juga mengamati rumah2 tetangga, yang ternyata, seperti tahun lalu, sama cueknya, apakah karena tidak tahu atau tahu dan tidak peduli... akhirnya kali ini juga hanya rumah kami yang berpartisipasi, padahal publikasi di televisi diputar beberapa waktu sebelum event ini...

anak2 memang tidak bertanya seperti tahun lalu... walaupun mungkin banyak pertanyaan di benak mereka. mereka tahu betul masalah lingkungan adalah masalah serius, mungkin mereka bertanya kenapa tidak ada yang peduli... persis seperti saat kami pergi ke hutan kota lembah siliwangi sewaktu ada rencana akan dibangun proyek komersial di sana. waktu itu ada sekelompok kecil orang yang berkumpul karena kepedulian, dan waktu itu anakku bertanya: "kok yang datang hanya segini?".

akupun sedikit kecewa dan berpikir hal yang sama, bedanya ada ide baru yang muncul di benakku, di tahun depan aku akan mencoba membuat dan membagikan leaflet sederhana ke para tetangga rumahku, untuk meyakinkan bahwa mereka tahu tentang hari ini, dan dari sana mungkin aku bisa melihat sejauh mana mereka peduli... karena hal kecil ini yang sebetulnya tidak terlalu berarti buat planet bumi mencirikan soal kesadaran, bahwa dengan mematikan lampu, kita 'vote earth'. Kita memilih bumi kita, memilih untuk peduli, memilih untuk menjadi sadar bahwa apapun yang kita lakukan sehari-hari tanpa kita pikirkan (dan membebani alam lingkungan) bisa kita rubah... memilih untuk memilih cara-cara lain yang lebih ramah lingkungan supaya bumi kita kembali sembuh dan tetap menjadi tempat tinggal yang nyaman dan manusiawi untuk generasi dan generasi mendatang...

Sunday, March 21, 2010

3 tahun aku bersepeda

Kurang lebih 3 tahun sudah lewat sejak aku tergoda untuk memiliki sepeda, gara2 temanku yang membantu konstruksi bangunan sekolah Semi Palar sering datang ke proyek di atas sepeda dengan tag kuning Bike2Work tergantung dibelakangnya sadelnya. Keren banget. Lalu mulailah oom Bud ini 'menebarkan racunnya'. Tidak lama dia meminjamkan salah satu sepeda miliknya, dan sayapun mulai menggowes. Dari situpun tidak lama saya tergoda untuk mulai merakit sepeda (kebetulan pada saat itu sedang punya tabungan). Motivasi awalnya adalah sekedar mencari kegiatan olahraga. Tidak berapa lama bersama teman2 kuliah yang juga sedang senang bersepeda kita mulai mencoba2 gowes ke Utara Bandung. Sejak itu aku mulai jatuh cinta sama dunia bersepeda... setelah mengingat bahwa masa kecil dulu aku juga sangat senang main sepeda.

Awalnya sebetulnya aku pikir agak tidak masuk akal ada orang-orang yang bersepeda dari Bandung menuju Lembang. Dengan berkendaraanpun, perjalanan ke Lembang makan waktu panjang dan jarak tempuhnya memang bukan jarak yang dekat, belum soal tanjakannya...

Memang di awal2 bersepeda staminaku sangat payah, ternyata setelah dirutinkan, rasanya terkaget-kaget sendiri saat suatu saat aku dan teman2 tiba2 sudah keluar di satu titik di daerah Lembang, 'kok bisa juga!'. Makan waktu kurang dari 3 bulan sejak aku mulai bersepeda aku sampai di titik cukup pede saat diajak bersepeda dengan jarak cukup jauh. Sekarang ini, aku sudah terbiasa untuk bepergian dengan bersepeda sejauh memungkinkan. Dan saat berada di atas sepeda, senang rasanya membayangkan bahwa aku tidak menyumbangkan emisi karbon pun tidak mengonsumsi BBM...

Dengan sendirinya, sejalan dengan itu aku juga semakin concern sama isu2 lingkungan, dan sampai pada titik keyakinan bahwa bersepeda itu harus jadi alternatif moda transportasi yang ada di setiap rumah, kalau kita ingin kota kita manusiawi. Aku yakin kita semua pasti ingin merasakan kondisi alam kembali ramah dan nyaman seperti dulu. Untuk sampai ke sana, kita harus memulai. Kita harus memutus lingkaran setan yang sekarang ini terjadi. Karena jalan2 tidak oke buat jalan kaki dan bersepeda, kita semua memakai kendaraan pribadi. Lalu apa yang akan terjadi kalau pola ini kita jalankan terus? Sementara kita tahu persis kita harus melawan kecenderungan kita untuk hanya mengutamakan kenyamanan kita tanpa peduli dampak segala pola hidup kita terhadap lingkungan hidup. Kalau kita lihat di dunia, kota2 yang maju dan nyaman buat warganya adalah kota2 yang memiliki budaya bersepeda (biking culture) di masyarakatnya.

Dari situ aku-pun semakin semangat 'meracuni' beberapa teman (siapapun) untuk juga mulai bersepeda. Beberapa berhasil dan masih konsisten bersepeda sampai sekarang. Dalam prosesnya aku juga berkenalan sama teman2 komunitas Bike2Work dan mendapatkan teman2 baru. Komunitas Bike2Work ini rutin berkumpul setiap hari Jum'at sore di Taman Cikapayang - Dago. Sejauh aku amati, anggota2 komunitas ini terus bertambah... sesuatu yang sangat menggembirakan.

Sempat juga beberapa kali dengan beberapa teman ikutan funbike seperti Gowes Anti Panas dan terakhir Green Fun Bike bareng dengan ribuan pesepeda kota Bandung. Berada di tengah2 lautan pesepeda dengan warga kota dari segala lapisan buatku membawa perasaan yang luar biasa. Walaupun kita tidak saling kenal, ada sesuatu yang nyata yang mengikat kita bersama. Ada kepuasaan tersendiri saat kita berpartisipasi dalam gerakan membangun kesadaran untuk sesuatu yang memang baik dan harus kita perjuangkan bersama.

Di rumah, anak2 juga sekarang ini tampaknya sangat menyenangi kegiatan ini. Sejalan dengan itu di Rumah Belajar Semi Palar, gerakan hari bebas kendaraan yang mulai digaungkan saat Hari Bumi 2008, ternyata selain memunculkan gerakan jalan kaki juga memunculkan antusiasme bersepeda dari anak2 di sekolah. Beberapa keluarga yang jarak tempat tinggalnya cukup dekat bahkan beberapa kali tampak mengantar anak2nya bersepeda ke sekolah, walaupun belum menjadi sebuah kerutinan.

Minggu lalu, saat liburan hari raya Nyepi, sebuah ide dadakan muncul mengajak anak2 Semi Palar (dan orangtuanya) bersepeda di Kota Baru Parahyangan, mencicipi bagaimana rasanya kita (dan anak2) bersepeda di atas bikelane (jalur khusus sepeda). Tujuannya hanya having fun, seperti yang memang dirasakan kita semua yang ikut serta, tapi yang lebih penting, mudah2an ini jadi awal buat kita semua, khususnya anak2 mencintai sepeda dan bersepeda. Karena bagaimanapun kita harus beralih ke moda transportasi yang bersih dan ramah lingkungan. Kebetulan sekali momen ini bertepatan dengan rencana pemkot Bandung untuk membangun bikelane di beberapa ruas jalan di kota Bandung. Mudah-mudahan semua ini mendorong perubahan menuju apa yang kita harapkan bersama, kualitas hidup yang lebih baik, alam yang lebih lestari, kota yang manusiawi... Dan aku merasa senang bisa menjadi bagian dari prosesnya...

one more bike on the road, one less car off the road

Saturday, March 20, 2010

How Does It Feel To Be In Flow?

taken from Mihaly Csikszentmihaly's lecture on TED, entitled Creativity, Fullfilment and Flow

  1. Completely involved in what we are doing - focused, concentrated.
  2. A sense of ecstasy - of being outside everyday reality.
  3. Great inner clarity - knowing what needs to be done, and how well we are doing
  4. Knowing that the activity is doable - that our skills are adequate to the tasks
  5. A sense of serenity - no worries of oneself, and a feeling of growing beyond the boundaries of the ego.
  6. Timelessness - thoroughly focused on the present, hours seem to pass by in minutes.
  7. Intrinsic motivation - whatever produces flow becomes its own reward.


Monday, March 15, 2010

FHB : TPA Leuwi Gajah dan Masyarakat Adat Ciomas

Ini kali ke dua aku hadir di Pertemuan Forum Hijau Bandung. Satu 'paguyuban' tempat kumpulnya komunitas, aktivis dan mereka2 yang peduli tentang masalah lingkungan hidup di Kota Bandung. Kali ini pertemuan diadakan di sekretariat Pangasuh Bumi, Jl. Dipati Ukur 91, satu komunitas yang baru kali ini aku kenal secara langsung.

Secara umum kegiatannya asik banget. Teman2 yang hadir cukup dari beberapa komunitas / kelompok seperti Bandung Green and Clean, U Green, Ganesha Hijau, Sembilan Matahari, HTML ITB, Climate Change Center, Pangasuh Bumi, Greeneration Indonesia, Komunitas Sahabat Kota dll. Serba hijau, dan yang aku suka adalah spirit dari semua yang hadir. Yang aku kurang suka adalah ngaretnya, karena startnya ngaret banget sementara aku hadir seperti dijadwalkan pukul 18.30 (eh, telat juga sih 5 menit karena macet). Wah mulainya baru hampir jam 8-an, hehe...

Hari ini aku juga kebagian mempresentasikan sedikit tentang program
distribusi buku yang diterbitkan yayasan ars86 peduli; cerita sedikit tentang
yayasannya sekaligus menjelaskan program buku gratis dan apa yang kita
harapkan dari format kerja sama ini. Karena beberapa teman tahu aku juga dari Semi Palar, aku juga diminta sedikit mensharingkan tentang Rumah Belajar Semi Palar.

Tapi aku mau cerita tentang apa yang diceritakan teman-teman Pangasuh Bumi. Ceu Yuni dan Erwin mengisahkan pengalamannya berkunjung ke Leuwi Gajah, bekas TPA yang ditinggalkan karena bencana longsor yang membawa korban jiwa beberapa tahun yang lalu, kemudian bagaimana mereka menyaksikan upacara adat masyarakat Ciomas yang luar biasa kaya dari berbagai aspeknya : ritualnya, keterlibatan masyarakatnya, ekspresi spiritualitasnya, aspek sejarahnya, aspek lingkungan hidupnya, yang dibungkus oleh tradisi / kebudayaan yang masih dijaga sampai sekarang.

foto kawasan TPA Leuwi Gajah yang permukaannya sudah ditumbuhi rumput (ki)
ceu Yuni menunjuk bagian TPA yang longsor (ka)


Lokasi eks TPA Leuwi Gajah, ternyata kondisinya sudah berubah luar biasa. Timbunan (gunungan) sampah yangi di titik-titik tertentu mencapai ketinggian 15 meter (setinggi bangunan 4 lantai) sekarang sudah ditutupi tetumbuhan. Hamparan alam entah seluas berapa hektar yang kita timbuni sampah yang dihasilkan masyarakat kota Bandung, (sampah kita), ternyata sudah mulai memulihkan dirinya sendiri secara alami. Dan saat teman2 berkunjung ke sana, bau sampah sudah sama sekali hilang, tergantikan olah aroma rumput yang membentang menutupi timbunan sampah masyarakat Bandung.

Beberapa fakta yang baru kita ketahui, berdasarkan cerita tokoh masyarakat adat di daerah sana cukup mengagetkan. Salah satunya bahwa TPA Leuwi Gajah berada di atas 3 buah mata air yang sampai sekarang masih mengalir terus. Longsor, berarti bukan sesuatu yang mengejutkan karena air terus membasahi tumpukan2 sampah di atasnya yang jadi potensial mengakibatkan longsor. Ironisnya (kalau terlalu kasar untuk bilang bodoh), mata air adalah sumber penghidupan, apalagi bagi masyarakat Sunda. Dan pemerintah dengan tanpa banyak peduli menjadikan daerah ini tempat pembuangan sampah.

Setelahnya ceu Yuni mengajak kita melihat dokumentasi prosesi upacara adat Nyangku, di Kota Panjalu - daerah Ciamis, diselenggarakan setiap tahun yang merupakan ritual memandikan pusaka. Salah satu pusaka ini berupa pedang yang konon merupakan peninggalan Syaidina Ali, salah satu tokoh agama Islam yang sangat berpengaruh pada jamannya (sekitar tahun 700an). Pusaka ini yang menjadi milik Raja BorosNgora dimandikan menggunakan air yang diambil dari sembilan mata air di daerah tersebut. Mata air yang sampai hari ini masih dijaga dengan baik oleh masyarakat adat di daerah sana.

Dari rangkaian ritual yang digelar seharusnya upacara ini punya makna luar biasa. Pedang ini Kalau ini benar seperti yang diyakini masyarakat Ciomas, berarti sejarah masuknya agama Islam seperti yang kita kenal selama ini perlu kita periksa kembali.

Berikut ini laporan perjalanannya ceu Yuni (Pangasuh Bumi) yang saya kutip dari milis Forum Hijau Bandung

Assalamu'alaikum wr.wb
Salam sejahtera, Sampurasun

Sahabat2 forum hijau..
Berikut laporan perjalanan kami ke kampung adat cireundeu..
Jam 12 an kumpul di dipatiukur.. Yang hadir kang erwin, Fariz, Ahmad dan Vanny (TL ITB). Berangkat ke lokasi jam 1. Sesampainya di kampung adat cirendeu, bergabung kang rahmat, anggi (belantara)..

Kami bersilaturahmi dgn masyarakat adatnya, sayang sesepuh adat abah asep setelah naik ke gunung salam beliau kurang enak badan.. Sempat bertemu, tp alhamdulillah masyarakat adat masih bisa bersilaturahmi...

Diputuskan, kami meninjau tpa leuwigajah dari puncak gunung kunci, yang konon dulu merupakan pusat atau kunci dari cekungan bandung.. Juga tempat orang bermeditasi.. (Walaupun dinamakan gunung sebenernya bukit...) Satu lagi, kami berjalan tanpa alas kaki... Dari tempat kmpg adat menuju TPA..

Dari sejauh mata memandang, banyak tanaman2 yang semak dan perdu.. Mudah2an ini awal yang baik bagi perkembangan secara ekologis didaerah tersebut.. Karena didaerah Leuwigajah terdapat 2 mata air utama yang menjadi supporting ketersediaan air di daerah tersebut..

Selanjutnya kami menuju Gunung Gajahlangu... Perjalanan yang cukup menyenangkan, mendebarkan serta mengharukan..Menyenangkan karena kami bersama dengan masy adat kang Yana yang memimpin kami semua untuk naik ke leuweung larangan - Syanghang Sirah yang berada di puncak gunung.. Juga ada yang jatuh2 krn licin jalurnya.. Mendebarkan karena ketika memasuki kawasan leuweung larangan, kami harus menetapkan hati, tidak boleh sembarangan bicara, dan takut jg kalau ketemu dgn ular, atau hujan...disini kami tidak boleh makan dan minum lagi..

Mengharukan ketika kami sdh sampai di puncak gunung.. kami disambut oleh suara binatang tongeret.. Kenceng banget.. Angin yang menerpa jg luar biasa.. Seperti mensupport kedatangan kami..
Kami berusaha mensinkronkan diri dgn alam dgn cara merenung (bukan melamun...)...
Alangkah indahnya bila puncak gunung ini sudah dipenuhi oleh pohon2 besar... (Karena selama dalam perjalanan... Banyak sekali lahan kritisnya..) Pada saat ini komunitas adat Cirendeu sedang dalam proses pemulihan lingkungan berbasis kearifan lokal..

Waktunya kembali ke kampung setelah dari puncak gunung.. Ketika hendak sampai, mulailah hujan dan petir. Subhannallah...

Sesampainya di rumah abah Asep, kami berdiskusi tg TPA dan perjalanan kami.. Ternyata bahwa di gunung Gajahlangu banyak banget ularnya dan galak2.. Tetapi mungkin karena kami semua tidak memakai alas kaki, aura dan tekad hati kami yg tidak ingin merusak alam membuat kami sama sekali tidak bertemu dgn binatang2.., Alhamdulillah lagi, kami disuguhi nasi singkong... Makin terharu, karena artinya bila kita sudah disuguhi oleh makanan asli, kami sdh dianggap keluarga oleh masyarakat adat...

Alhamdulillah...
Jam 9 malam kami pamit dan kembali ke bandung...
Insya Allah, bahwa pada hari ini kami sdh melewati tahap silaturahmi dan peninjauan lokasi. selanjutnya bahwa tugas berikutnya masih banyak yang harus dikerjakan... (Memang tugas yang tidak pernah berhenti..)
Makasih semuanya..
Salam hijau...!

Ceu Yuni..


Mendengar kisah dari ceu Yuni dan Erwin, saya sampe lupa mengambil gambar... Betul yang dikatakan ceu Yuni alam punya kekuatan luar biasa, dan kalau manusia terus menjalin hubungan yang harmoni dan sikap penuh respek (bahkan sakral) terhadap alam, manusia akan tetap punya kekuatan luar biasa. Justru ini bisa diperoleh saat manusia bersikap sangat rendah hati terhadap alam lingkungannya. Seperti tulisan pendek yang menjadi filosofi masyarakat adat di daerah Ciomas, tertulis di sebuah bangunan di lokasi upacara seperti di bawah ini...
Apakah kita, yang mengaku manusia modern masih sebijak mereka...

Thursday, March 11, 2010

HIDUP : hadiah puisi dari seorang sahabat


|
|

Pagi itu seperti cermin.
Memantulkan sisi hidup.
Sisi masa lalu dan misteri masa depan...
Pagi itu seperti bayangan tubuh.
Mengejar gerak tubuh. Menanti harapan.

Siang itu seperti energi.
Ketika keringat dan otak bersatu.
Siang itu seperti bayu. Mengantar asa dalam sang waktu.
Letih akan harapan.

Malam itu pengantin rembulan...
Gelap mendekap, ...memeluk mimpi harapan...
Mengalir cinta tak berujung...

|
|

dari kakak dan sahabatku Ipong Witono, di pagi hari 12 Maret 2010
di tanggal ini 42 tahun yang lalu Sang Pencipta menentukan aku lahir di muka bumi ini.
semoga hari ini aku sedang berada di dalam jalan dan harapanNya,
melaksanakan amanat-amanatNya... agar kelahiranku, keberadaanku bukan sesuatu yang sia-sia...
sementara aku sedang belajar dan masih terus belajar untuk mengalirkan cinta yang tak berujung...
semoga suatu saat aku bisa...



Sunday, March 7, 2010

foto :: taking a break 3


taking a break 3
gambar ini aku ambil di rumah ortu-ku. kontras warnanya yang menarik
capung merah ini seperti dengan sengaja nampang di dekatku.



Friday, March 5, 2010

Launching SOS (Sehati Oentoek Sesama) di GIM

Gerakan SOS yang diprakarsai oleh teh Rieke Diah Pitaloka ini baru saja diwacanakan seminggu yang lalu di tempat ini juga, di Gedung Indonesia Menggugat. Salah satu tempat yang belakangan sering bawa cerita dan pengalaman istimewa buat aku.
Sore ini aku mampir lagi di GIM setelah Kang Aat mengajak aku ketemuan di sana. Event ini sebetulnya aku sudah tau lewat undangan temanku Tompel lewat FB, tapi karena judulnya lelang lukisan, awalnya aku agak kurang berminat datang (da teu bogaeun duit keur meser lukisan)...
Setelah dengar ada Abah Iwan, Mukti2, Doel Sumbang dkk, akupun memutuskan hadir. Sebetulnya kondisi badan masih ga fit karena sepanjang minggu lalu kena batuk dan pilek... tapi kalo ada denger Abah Iwan mau nyanyi, bawaannya selalu aja pengen dateng entah kenapa. Kebetulan aku juga ingin cari info tentang Posko pengumpulan bantuan untuk bencana alam jawa barat yang akan mereka kelola.

Setelah acara mulai, rangkaian acara demi acara mulai digelar. Dibuka oleh Kang Aat dan diawali dengan ritual yang tak pernah lepas dari komunitas ini, pengibaran Merah Putih dan lagu Indonesia Raya oleh mas Imam. Ini juga salah satu hal yang jadi kerinduan aku belakangan ini. Entah aku jadi sentimentil atau gimana, menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam komunitas dan suasana ini selalu istimewa. Ada rasa bergetar, ada rasa haru, ada rasa bangga... Hal ini juga yang bikin aku kangen untuk hadir dan hadir lagi dalam kegiatan2 seperti ini.
Kemudian diputar cuplikan rekaman situasi longsor di Ciwidey, yang mengantar kita pada penghayatan kenapa kita semua berkumpul di sana. Selanjutnya hari ini aku punya kesempatan mendengarkan Boni Avibus, anak perempuan berusia 7 tahun, yang menyumbangkan puisi yang dibawakannya dengan luar biasa. Entah apa yang membuatnya bisa begitu... Ekspresi, penghayatannya, intonasi! Singkatnya keren banget!

Lalu Rieke bercerita memberikan pengantar tentang kegiatan ini, satu kalimatnya yang aku catat : "bencana alam akan berubah jadi bencana kemanusiaan, saat kita sudah tidak peduli, saat kita membiarkan para korban kesepian"... Setelahnya Abah Iwan membawakan 5 buah lagunya yang membawa kita kepada perenungan2 mendalam tentang banyak hal, termasuk mengingatkan kita bahwa bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini adalah cerminan kalutnya alam batin masyarakat Indonesia. Selain bencana-bencana alam yang terjadi di sekitar kita, tragedi yang sama terjadi di tengah pemimpin dan wakil-wakil rakyat kita seperti yang sehari-hari kita saksikan di media dan layar kaca...

Akhirnya, kang Herry Antha dan teh Rieke-pun mulai seru memimpin lelang lukisan . Ada 9 lukisan yang disumbangkan para seniman Jawa Barat seperti Acep Zamzam Noor, Herry Dim, Diyanto, Jeihan, Diyanto, Hanafi, Edos, Rosid dan Isa Perkasa. Ini jadi gelaran pertama dari event serupa yang akan digelar di kota-kota di Jawa Barat.

Sebagai catatan penutup, hari ini hadir juga Bpk Gubernur kita bpk. Ahmad Heryawan dan Ibu Netty, di antara kita. Beliau hadir atas undangan per telepon (bukan undangan formal) yang dilakukan teh Rieke Melihat bapak cukup menghangatkan perasaan bahwa pimpinan kita cukup peduli terhadap apa yang juga jadi perhatian kita bersama...

Informasi tambahan : Posko SOS (Sehati Oentoek Sesama) di Gedung Indonesia Menggugat buka setiap hari untuk menerima bantuan berupa barang (pakaian bekas layak pakai, makanan instan, selimut) dan uang.

Semoga kita semua, di tengah segala kenyamanan dan kecukupan kita, terketuk hatinya untuk membantu.

Thursday, March 4, 2010

foto :: garis-garis bayangan


garis-garis bayangan
kisi-kisi besi yang bertabrakan dengan tekstur batu
jatuhnya sudut sinar matahari pagi
menjadikan pola bayangan dan komposisi menarik
Ciwangun Indah, Februari 2010


Tuesday, March 2, 2010

... akar Masyarakat Indonesia adalah Kenusantaraannya!

EPILOG buku acara pentas teater Perjuangan Suku Naga
oleh Aat Soeratin

Tak dapat dipungkiri, kini telah semakin tumbuh kesadaran pada masyarakat Indonesia bahwa kebesaran Nusantara adalah karena kebhinekaan suku bangsa yang dimilikinya. Maka secara substansial: menjaga, memelihara dan mengembangkan eksistensi etnisitas adalah tugas mulia dan kewajiban utama setiap warga negara demi berkembangnya kultur bangsa Indonesia agar dapat menyumbangkan berbagai-bagai manfaat dan kebajikan kepada peradaban dunia sehingga kita bisa "duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi" dengan kebudayaan bangsa mana pun di dunia.

Telah tiba saatnya masyarakat Indonesia untuk bergerak sigap menjajari percepatan masa depan dengan semangat "keindonesiaan" - yang digali dari kedalaman lokalitas Nusantara - jika tak ingin tertinggal jauh oleh saudara kita dari bangsa lain yang telah lebih dulu memupuk semangat dan melompat menyambut masa depan kebudayaan dunia. Pergerakan ini tak mungkin dilaksanakan tanpa dilambari rasa 'persatuan dan kesatuan' di kalangan masyarakat Nusantara. Ibarat mendorong sebongkah batu gunung yang menghalangi jalanan umum, maka seribu tangan akan lebih berdaya guna ketimbang satu-dua tangan saja meski sekuat apa pun tenaga satu-dua tangan itu.

Maka kini, upaya ngarumat, ngamumule, memelihara, memuliakan Kebudayaan Nusantara, sepenuhnya bergantung hasrat dan kepedulian kita bersama. Hasrat untuk memuliakan etnisitas timbul dari kesadaran bahwa kejayaan Indonesia terbentuk karena kebhinekaan wilayah budaya yang menyimpan beratus etnik dengan kearifan tradisinya masing-masing. Dan mengasah kekayaan etnik memaknakan secara lebih hakiki pengertian Bhinekka Tunggal Ika, semboyan kolektif yang selama ini kita usung bersama. Kepedulian untuk menjaga nilai-nilai kearifan tradisi, menerbitkan keinginan saling memberi dalam rasa tulus dan nawaitu beribadah. Hasrat dan kepedulian semacam itu melatari laku budaya yang hanya akan muncul karena rasa cinta.

Bagaimanapun, senantiasa harus diyakini bahwa kemana pun jauhnya kita melangkah, di level mana pun kita kini berada, "akar" masyarakat Indonesia adalah "kenusantaraan"nya. Dan betapa malangnya manusia yang hidup dalam zaman globalisasi seperti sekarang ini tanpa mempunyai akar yang menancap ke banjar karang pamidangan, nagara ancik-ancikannya. Seolah kembara yang tak punya Tanah Air untuk pulang.

Kiranya, hanya dengan itu kita dapat menyongsong masa depan dengan penuh harga diri.


Hanya dengan itu.



Kutipan ini saya angkat dari booklet acara pentas teater "Kisah Perjuangan Suku Naga" yang dipentaskan tanggal 11 s/d 15 November 2009 sebagai bagian rangkaian kegiatan Bandung Mengenang Rendra.

Kutipan ini bagi saya sangat menginspirasi... Tulisan pendek yang penuh dengan kata kunci tentang kita semua, tentang jati diri kita dan bagian dari sebuah bangsa... Sebuah bangsa yang semakin terombang-ambing seperti tanpa tujuan, tanpa pegangan dan tanpa paham kemana harus kembali, karena kita semua tidak, atau belum betul-betul paham dan peduli tentang akar kita sendiri... Akar yang memang tidak pernah tampak di permukaan, tidak tampak dalam pandangan, terpendam bahkan mungkin diinjak-injak, justru sesuatu yang penting, karena akar-lah kita yang bisa membuat kita tahu siapa diri kita, bagaimana kita berdiri dan berpegang saat angin kuat menerpa kita. Saat segala sesuatu yang bertajuk globalisasi menerpa, saat segala sesuatu yang asing bertebaran di sekitar kita, akar justru jadi luar biasa penting, karena akar adalah tempat kita berpijak, mengingatkan kemana kita harus kembali sejauh apapun kita pergi dan memahami siapa diri kita sedalam-dalamnya.

Hatur nuhun Kang Aat, hatur nuhun buat semua yang masih memperjuangkan budaya kita, akar kita...

Monday, March 1, 2010

foto :: taking a break 2

taking a break 2
kupu2 kecil ini hinggap di handel sepedaku sesaat sebelum aku melanjutkan perjalanan,
sesaat setelah aku menikmati segelas lahang yang menyegarkan.
perjumpaan2 kecil seperti ini, entah kenapa membuat aku senang.
sebentuk interaksi yang mungkin tidak sengaja, tapi punya makna tertentu buatku.
mungkin karena hal2 seperti ini tidak bisa kita jumpai sehari-hari.
sesuatu yang langka, tentunya jadi istimewa.
Taman Hutan Raya Juanda, Februari 2010

Sunday, February 28, 2010

Bapak Tua Penjual Lahang


Hari ini aku jumpa dengan seorang bapak tua penjual lahang. Di bawah bayangan pepohonan, saat matahari pagi menerobos sela2 dedaunan di salah satu tempat di Taman Hutan Raya Juanda. Hari masih pagi, masih sepi. Begitu melihatnya aku segera menghampirinya dan meminta Bapak itu untuk menuangkan segelas Lahang untuk dinikmati. Manisnya, segarnya, dinginnya, Lahang terasa begitu nikmat, apalagi aku dan teman bersepedaku Murfy baru saja selesai mengatasi tanjakan dari awal Jalan Dago sampai ke Tahura.

Tidak ada tujuan khusus hari ini aku mengunjungi Tahura, selain sebuah tujuan bersepeda yang lumayan menantang kemampuan fisik, lokasi ini aku sangat aku sukai karena suasananya yang menyenangkan. Hutan, pohon-pohon besar, suara burung, udara segar, kabut, sinar matahari di antara pepohonan sekarang jadi barang mewah saat tinggal di kota sangat menjauhkan kita dari hal-hal tadi... Tujuan kedua adalah menemani kakak2 Smipa survey lokasi untuk tujuan outing anak2 Semi Palar beberapa waktu ke depan.


Hari ini, karena tanpa tujuan spesifik, akhirnya kitapun ngobrol sama bapak tua tadi... (konyolnya, aku kok ga sempat menanyakan namanya). Bapak penjual lahang, yang memang dilahirkan di daerah sekitar pakar, sudah cukup lama berjualan lahang. Minuman dari tumbuhan aren tadi diambilnya dari lokasi yang cukup jauh dari tempatnya berjualan. Beliau hanya membawa satu wadah, satu tabung panjang yang dibuat dari awi gombong, diberi pegangan dan di bagian mulutnya ditutup segumpal ijuk yang juga berfungsi jadi filter. Satu tabung bambu itu hanya memuat lahang untuk sekitar 20 gelas. Segelas lahang, dijualnya dengan harga Rp. 1.500,- saja.
Kalau kita asumsikan dagangan beliau laris setiap hari, beliau mendapatkan 30.000 rupiah. Karena bapak ini hanya berdagang hari Sabtu dan Minggu saat banyak pengunjung, beliau hanya berjualan delapan kali setiap bulan. Maksimalnya, beliau hanya mendapatkan 240.000 rupiah perbulannya. Tidak banyak, sungguh tidak banyak.

Beliau tampak senang diajak mengobrol, dan agak malu-malu saat aku mengambil beberapa gambarnya. Di tengah-tengah obrolan dan pertanyaan-pertanyaan kami, beliaupun 'curhat', katanya (dalam bahwa Sunda) "yah Neng, dagangan ini mah kadang abis, sering juga ngga... udah ga banyak yang tau minuman seperti ini mah, karena ga tau, ya ngga beli". Aku beruntung waktu kecil orangtuaku pernah beberapa kali mengajak aku minum minuman ini saat bepergian ke luar kota. Kalau aku ga pernah tau, mungkin aku juga ga akan pernah ingin mencoba, atau malah mencari minuman lain saat di warung-warung dijual berbagai minuman bermerek yang dikemas lebih menarik dan dipromosikan terus di mana-mana .

Lalu bagaimana dengan bapak ini sebenarnya. Seorang yang memanfaatkan kekayaan alam hanya seperlunya, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sekedarnya. Satu wadah lahang itu diperolehnya dari 2 pohon saja. Tidak ada keserakahan atau hasrat berlebihan yang akhirnya eksploitatif... Sementara kita lihat begitu banyak orang2 yang berupaya menguasai alam, mengambil kekayaan alam untuk keuntungan pribadi semata. Hutan-hutan industri, pencurian kayu, pertambangan... Industri2-industri besar yang 'sepertinya' tumbuh untuk 'menjawab' kebutuhan konsumsi manusia yang sekarang ini menggila. Hal ini juga yang akhirnya menjadi penyebab kerusakan alam lingkungan dan berefek lanjut kepada krisis iklim global sekarang ini.

Dari sisi lain, Bapak tua ini seperti juga bagian dari sejarah... sisa-sisa masa lalu, seperti gua Jepang dan gua Belanda yang menjadi jejak sejarah perjuangan masa lalu di tempat ini. Minuman sederhana dan bapak tua pedagangnya ini seperti bagian dari museum hidup yang membuat kita bisa merefleksikan masa lalu kita saat belum ada Buavita dan Fanta, Teh Botol ataupun minuman2 instan lainnya... Apakah hal langka ini akan segera punah dan hilang dari ingatan kolektif kita aku tidak tahu. Semoga obrolan kecil ini jadi motivasi juga buat beliau untuk terus melakukan apa yang sekarang dilakukannya.

Saat kamipun beranjak pergi, aku hanya bisa berharap, Bapak ini masih ada di sana menjual lahang saat aku kembali. Aku pasti akan kembali untuk menyapa dan menikmati segelas kecil Lahang. Dan pertama-tama aku akan menanyakan namanya.

Wednesday, February 10, 2010

foto :: tangga tobucil

tangga tobucil
ini juga masih di tobucil di desember tahun lalu. aku liat tangga bambu ini bersender di depan rak-rak kayu di dinding yang juga ditumbuhi tanaman merambat... komposisinya menarik, kontras-kontras cahayanya, termasuk di mana si tanaman rambat mulai tumbuh membelit si tangga bambu... sudah cukup lama rupanya tangga itu berada di sana... tidak berapa lama sesudahnya, tangga bambu itu memang dipindahkan oleh seseorang...

masih hobi motret? : pemikiranku tentang fotografi

Pertanyaan itu dimunculkan kawan saya dr Gigi Endro di kliniknya sore tadi...
Jadi mikir sebetulnya kenapa saya suka motret, dari dulu, saya suka motret... bukan seperti hobbyist sejati, tapi saya memang suka jeprat jepret kiri kanan setiap ada kesempatan. Kalau keluar rumah, hampir pasti saya bawa kamera di tas. Bukan untuk secara spesifik hunting foto, tapi ya siap2 aja siapa tahu ada momen / spot bagus untuk direkam...

Skill motret saya biasa banget. Ga ada istimewanya. Ga pernah belajar motret secara khusus, kamera yang dipake juga basic saja, bukan kamera yang canggih. Saya juga ga pernah secara spesifik hunting foto, nyari lokasi atau nyari obyek... Saat kita hunting foto kita sebetulnya mencari objek, menunggu momen, cahaya, peristiwa apapun. Kalau saya sih engga... Sebetulnya tujuan saya bawa kamera hanya untuk mendorong saya lebih mengamati segala sesuatu yang ada di sekeliling saya. Dan Endro menyimpulkannya dengan pas : "supaya lebih aware sama sekeliling ya?". Wah betul banget. Hanya itu tujuannya.

'There are no ordinary moments', quote yang saya suka dari buku dan filemnya Dan Millman, Peaceful Warrior. Intinya dari keadaan yang serba biasa, bahkan serba kotor dan sederhana, pastinya ada hal-hal luar biasa di dalamnya. Tinggal bagaimana kita peka menangkap dan melihatnya... Lalu cara paling sederhana adalah dengan merekamnya dengan kamera... Saya pikir fotografi adalah cara bagus buat mendidik anak-anak membangun kepekaan diri mereka, membangun kesadaran tentang itu tadi : 'there are no ordinary moments'

Dari sudut pandang ini, kamera bisa jadi media luar biasa buat kita membangun spiritualitas kita... Lalu akhirnya, mau kamera murah atau mahal, poket atau DSLR, jadinya ga penting lagi... Fotografi adalah bagimana kita merekam momen... Setiap momen adalah istimewa adanya, dan sebagai anugerah Tuhan momen apapun itu tidak pernah akan terulang lagi...

belajar lewat menulis

teks pendek ini tercetak di atas salah satu bangku baso yang ada di Tobucil. Dulu bangku-bangku baso ini mangkal di komunitas Trimatra Center dan menjadi saksi setia dari banyak peristiwa yang sempat ada di sana...

Di Trimatra (yang notabene digagas, dirintis dan dilahirkan saat Krisis Moneter tahun 97) akupun mulai belajar menulis... Dulu keinginan belajar menulis kita munculkan lewat buletin board Trimatra, yang ditempel persis di dekat pintu masuk Tobucil. Di sana lah aku dan teman-teman di Trimatra dan Tobucil memberanikan diri dan mencoba, belajar menuliskan pemikiran-pemikiran dan gagasan kita, sekaligus memberikan komentar atas apa yang teman-teman kita tuliskan di sana... Beberapa tulisan itu masih aku simpan sampai hari ini... Dan tak disadari itu jadi akar dari apa yang sampai sekarang-pun aku coba munculkan, coba bangun di komunitas yang aku kawal hari ini, di Semi Palar. Papan buletin (yang buat aku bersejarah) itu-pun sekarang tergantung di ruang tunggu orangtua Semi Palar, tetap membawa peranan yang sama, menggantungkan opini-opini, kisah-kisah pengalaman kita yang kita bawakan melalui untaian kata di atas lembaran-lembaran putih, kertas yang sebelumnya kosong dan ternyata bisa mendatangkan perubahan-perubahan besar... Tulisan memang betul media luar biasa buat belajar...

(Masalahnya, kok orang-orang kita ga terlalu suka nulis ya? Jangan-jangan orang-orang kita ga suka belajar?)

Friday, February 5, 2010

Apakah ada yang peduli

Pertanyaan ini sering muncul di kepala... di tengah begitu seringnya akhir-akhir ini kita mendengar orang-orang berbicara tentang pelestarian lingkungan hidup, Global Warming, Go Green, Save the Planet dan lain sebagainya... Tapi kenyataannya kalau kita melihat ke sekeliling apakah sudah ada yang betul-betul peduli? Apakah statement-statement yang banyak berdengung di sekitar kita hanya sekedar mengikuti trend belaka, jangan2 inipun hanya sekedar eforia belaka?

Di rumah, saya, istri dan kedua anak saya sudah cukup lama mencoba 'menghijaukan' perilaku kita sehari-hari, mulai dari :
  • mengurangi penggunaan kresek, belanja dengan tas kain.
  • membawa botol minum sendiri setiap saat bepergian.
  • membebas-tugaskan 'water heater' di rumah; otomatis dengan mandi air dingin, kita mandi lebih cepat, tidak berlama-lama dan kita menghemat air dan menghemat listrik...
  • memilah sampah, mencari spot-spot di mana kita bisa mendaur-ulang sampah-sampah kita...
  • merubah pola belanja kita, kita beli barang2 yang dikemas kecil2, untuk mereduksi jumlah sampah kita...
  • memakai kertas bolak-balik...
  • mengurangi berkendaraan, jarak dekat kita jalan kaki atau bersepeda saat saya bepergian sendiri...
  • bawa sumpit sendiri ke mana-mana...
  • mengganti bohlam dengan lampu hemat energi...
  • banyak lagi...
Lalu, di mana masalahnya? Balik ke pertanyaan di atas tadi... Seberapa jauh orang-orang lain juga melakukannya. Saat kita pergi berbelanja, saya selalu menyempatkan diri tengak-tengok kiri-kanan apakah ada orang lain yang juga bawa tas belanja sendiri? Sejauh ini kok tidak pernah ada yang terlihat?

Saat pergi bersepeda, sambil boseh saya selalu cari2 teman pesepeda, ternyata belum banyak juga yang melakukannya.


Tahun lalu waktu Earth Hour kita mematikan semua lampu di rumah, saat saya dan anak-anak keluar mematikan saklar utama, ternyata tetangga-tetangga kok cuek aja? Tidak ada satupun keluarga di sekitar rumah kita yang melakukan hal serupa... Anak2 jadi bertanya, kok yang laen ga ada yang matiin lampu?

Saat kita merasa hanya sendiri melakukannya, seakan-akan kita jadi seperti orang yang kurang waras...

Sejauh ini saya terus mengikuti isu-isu lingkungan hidup, dan jadi paham seberapa jauh kerusakan lingkungan sudah terjadi dan akan semakin memburuk, saya seakan tidak melihat orang-orang lain juga menjadi tau dan semakin paham dan juga melakukan sesuatu...

Sejauh bergaul dengan teman2 yang bergerak di berbagai komunitas membangun kesadaran tentang lingkungan hidup, sejauh mana kita berhasil, sampai di titik ini. Ini masih jadi pertanyaan besar buat saya...

Saya sadar betul, kita semua (yang sudah lebih dahulu paham) tidak boleh berhenti. Berbuat sesuatu untuk lingkungan hidup memang membuat kita jadi jauh lebih repot...
Jalan kaki, naek sepeda, bawa kresek, milah sampah, hemat air, matiin lampu... semua ini jauh bikin kita lebih repot... tapi ini memang hal yang harus kita lakukan kalau kita ingin planet kita lestari. Ini harga yang sebelumnya tidak pernah kita bayarkan, dan kita bebankan ke planet bumi kita... Kemanjaan kita, kenyamanan kita, ketidak-pedulian kita selama ini, justru merupakan hal utama yang menjadikan planet kita sedemikian rusak hari ini. Hal ini datang dari kita semua, masing-masing diri kita, individu demi individu.

Di sisi lain kita juga melihat bagaimana kapitalisme, industri-industri besar di tangan para pemilik modal merasa memiliki segala sesuatu yang ada di atas, permukaan dan di dalam muka bumi kita. Mereka mengeksploitasi semuanya dengan keserakahan luar biasa untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya untuk segelintir orang atau kelompok... Dan umat manusia sisanya, anak cucu kita ditinggali kerusakan alam, ditinggali ampas-ampas kerakusan mereka... Kalau ditelaah lebih lanjut, eksistensi mereka juga bergantung pada kita semua individu... Saat kita semua memang menjadi sedemikian konsumtif, mereka tidak akan berhenti... Saat kita semua lebih bijak membeli betul-betul hanya apa yang kita butuhkan, suatu saat mereka akan berhenti juga. Dan hal ini akan baik akibatnya buat planet tempat tinggal kita ini...

Tapi kembali lagi, kita tidak boleh berhenti... Saya yakin ada teman2 di luar sana yang juga masih bertanya-tanya hal serupa... Kalaupun apa yang kita lakukan walaupun sedikit membawa dampaknya, kalaupun yang peduli bertambah sedikit demi sedikit, toh perubahan itu ada...

Kita hanya perlu terus berdoa, semoga bumi kita bertahan, dan kita semua tidak terlambat.

foto :: pendar sinar

pendar sinar
Ciater Desember 2009

Wednesday, February 3, 2010

"berbeda agama, tapi satu iman"

"Saya dan Romo Mangun berbeda agama, tapi satu iman," kata Gus Dur suatu kali.

Iman bagi Gus Dur bukanlah suatu benteng: suatu konstruksi di sebuah wilayah. Benteng kukuh dan tertutup bahkan dilengkapi senjata, untuk menangkis apa saja yang lain yang diwaspadai. Bangunan itu berdiri karena sebuah asumsi, juga kecemasan: akan ada musuh yang menyerbu atau pecundang yang menyusup.

Iman bagi Gus Dur bukanlah sebuah benteng, melainkan sebuah obor. Sang mukmin membawanya dalam perjalanan menjelajah, menerangi lekuk yang gelap dan tak dikenal. Iman sebagai suluh adalah iman seorang yang tak takut menemui yang berbeda dan tak terduga. Terkadang nyala obor itu redup atau bergoyang, tapi ia tak pernah padam. Bila padam, ia menandai perjalan yang telah berhenti...

dari Catatan Pinggir Goenawan Mohamad, TEMPO, 17 Januari 2010

Friday, January 22, 2010

foto :: daun dan lumut

daun dan lumut
aku suka komposisinya... warna, bentuk dan formasi batu dan di mana daun itu jatuh, dan mengering... jadi aksen yang menarik...
ada kisah sederhana di sana... juga ada ada kontras luar biasa... ada yang gugur dan mati, ada juga kehidupan yang muncul di atas permukaan batu yang dingin dan keras...
gambar diambil di dekat sebuah sungai di daerah Ciater Desember 2009

Saturday, January 16, 2010

Refleksi dari seorang Paimo, pesepeda jarak jauh


Life is a journey
, hidup itu sebuah perjalanan. Kata2 ini mampir lagi di kepalaku setelah pulang mendengarkan sharingnya mas Paimo, seorang petualang sejati, pesepeda jarak jauh yang sudah menjelajahi pelosok2 benua di bumi ini. Melintasi tempat-tempat terekstrim di planet ini: mendaki lereng-lereng Himalaya, melintasi gurun Atacama, bersepeda, seorang diri (berdua, bersama Tuhan). Kalau tidak salah sudah hampir semua muka benua sudah dijelajahinya. Tidak ada kata lain yang cocok selain amazing, mengagumkan, walaupun kata itu juga mungkin tidak cukup... Bayangkan saat perjalanannya di Amerika Selatan, Paimo bersepeda menempuh 6.000 km, yang dilakukannya hampir selama 3 bulan, seorang diri...

Di hari itu, Paimo bercerita tentang perjalanan-perjalanannya dalam acara yang bertajuk 'CONQUERING ROADS Under The Heat of The Same Sun'


Lalu apa yang aku dapat waktu itu? Selain kekaguman akan kisah dan foto-foto perjalanan yang diceritakannya, apa yang bisa aku catat di pertemuan itu terutama adalah kepasrahan Paimo dalam setiap perjalanannya. Dan aku kira itu adalah kunci keberhasilannya dalam setiap perjalanannya. Memang saat ditanya apa yang jadi tujuannya dan apa motivasinya, Paimo juga tidak bisa banyak menjelaskan. Katanya, saat nanti ia dipanggil penciptanya, ia hanya ingin dikenang sebagai Paimo saja. Apa motivasinya? Dia bilang tidak tahu persis. Sepertinya di perjalanan2 itu Paimo merasa 'hidup'. Gairah, semangat, spiritnya saat menempuh ribuan kilometer kayuhan demi kayuhan di atas sepeda tuanya mencerminkan bahwa pada momen-momen itulah Paimo merasa dirinya sungguh-sungguh hidup - he really feels alive! Paimo menemukan spiritualitasnya saat bersepeda jarak jauh. Saat-saat sendiri itulah Paimo seakan-akan bertemu dengan Tuhannya. Ini menjelaskan kepasrahannya, karena memang ada kekuatan yang menemaninya saat Paimo sendirian berada di sepedanya... Saat-saat itu, Paimo memang tidak pernah sendirian...



Mirip dengan kisah Paimo, beberapa waktu lalu di sebuah website aku 'berjumpa' dgn seorang Vietnam melalui website dan blognya, Kim Nguyen, seorang muda yg meninggalkan kehidupan 'normal'nya untuk bersepeda dari Australia ke Copenhagen untuk COP 15, International Climate Summit, di bulan November tahun lalu. Perjalanannya memakan waktu 17 bulan. Misinya adalah membawa pesan & membangun kesadaran tentang perubahan iklim kepada semua orang di semua tempat yang dijumpainya dalam perjalanannya dari daerah ke daerah, negara ke negara.

Seperti yang dibilang Paimo, banyak orang akan bilang orang-orang seperti Kim itu gila, orang seperti Paimo itu gendeng. Tapi ya itulah. Hanya spirit yang sungguh2 besar dan disadari betul oleh orang-orang tersebut yang bisa mendorong mereka melakukan hal-hal luar biasa seperti itu. Dan pada akhirnya merekalah orang-orang yang menghasilkan pencapaian2 besar dan apa yang dilakukannya akan jadi memori untuk orang-orang yang mengenalnya dan mendapatkan inspirasi dari mereka. Sebuah warisan, sebuah legacy... inilah yang bikin seseorang jadi legenda, dan mereka tidak akan pernah mati, they live on!

Lalu bagaimana dengan kita? Sudah pasti tidak semua bisa seperti Paimo. Tapi kita masing-masing pasti punya perjalanan kita sendiri. Pertanyaannya, apakah kita sudah menemukan perjalanan kita? Apakah kita tau kemana dan apa tujuan hidup kita? Apakah kita sedang menjalani perjalanan itu, menuju tujuan kita, tidak mesti di atas sepeda, tapi lewat apa yang kita lakukan sehari-hari...

Kita lihat banyak juga orang yang menemukan makna hidupnya dengan berdiam diri, merenung, mengisi hari2nya dalam hening, lewat doa meditasi, seperti yang banyak dipraktekkan oleh para pendeta Budhis, atau para petapa Hindu, mereka yang belajar Zen dll. Sebetulnya sama juga mereka sedang melakukan perjalanan: bedanya perjalanan mereka ini dilakukan ke dalam dirinya : sebuah inner journey. Di sebuah buku 'One Purpose Million Ways' (Carol Adrienne) aku baca bahwa orang-orang yang tinggal di desa-desa di ketinggian Himalaya, adalah sepertinya orang-orang yang paling bahagia di dunia, padahal mereka paling tidak punya apa-apa. Masyarakat yang hidup di daerah yang sangat gersang untuk bisa ditanami sesuatu. Bukan lingkungan tempat tinggal yang mudah buat siapapun juga tapi mereka punya kedamaian yang inheren dalam kehidupan mereka. Kalau mereka tidak punya apa-apa tapi bahagia, tentunya apa yang ada dalam dirinyalah yang membuat mereka bahagia...

Mencari spiritnya, menemukan soul - jiwanya, dan dalam prosesnya menemukan kembali keterkaitan dirinya dengan kekuatan Ilahiah yang mengatur segala sesuatu di alam semesta ini. Istilah singkatnya dalam kamusku : spiritualitas.

Lagi, buat kita yang bukan Paimo, bukan pendeta lalu gimana? Ya itu tadi, perjalanan hidup kita tentunya berbeda-beda, menemukan dan menjalaninya jadi penting.

Rasanya, apa yang seharusnya kita lakukan adalah jujur. Jujur terhadap diri sendiri, lalu terbuka terhadap hal-hal apa yang membuat kita bahagia. Saat kita bahagia, merasa damai saat kita melakukan sesuatu, bisa jadi itulah saat kita sejalan, masuk dalam arus besar kehidupan kita (yang digariskan Sang Maha Pencipta). Dan memang, kebahagiaan dan kedamaian, sejatinya ada, terletak di dalam diri kita sendiri.

Masalahnya di jaman modern ini, kita sangat mudah teralihkan dan kemudian tersesat, karena banyak sekali hal yang mendistraksi kita dari apa yang seharusnya kita lakukan - dari peta perjalanan hidup kita. Sulit untuk menemukan apa yang seharusnya kita lakukan. Terlalu banyak standar yang dimunculkan / digariskan dari luar diri kita oleh persepsi masyarakat, khususnya. Masyarakat (yang dikendalikan oleh media massa) sepertinya punya standar-standar sendiri untuk setiap dari kita. Orang sukses (bahagia) kalau punya rumah di sini, punya hape merek ini, pake baju merek ini, nyetir mobil merek ini, bisa berjalan2 ke luar negeri dll. Orang yang cantik itu yang berkulit putih, berambut panjang.
Bergeraklah kita ke sana kemari karena hal-hal itulah yang jadi ukuran di masyarakat, dan tidak disadari menjauhkan kita dari jalan hidup kita yang sejati, dan kita malah kehilangan kebahagiaan kita yang sesungguhnya.

Kembali ke beliau-beliau yang diceritakan di atas, aku kira intinya adalah kejujuran mereka kepada diri sendiri. Dan dengan kejujuran ini, mereka bisa menemukan spirit yang memandu mereka dalam langkah-langkah kehidupannya. Yang aku yakin, mereka bahagia.
Buat aku, buat kita, bisakah kita jujur terhadap diri kita supaya kita bisa menemukan makna, tujuan, dan akhirnya kebahagiaan dan kedamaian hidup kita... Terima kasih Paimo, untuk segala inspirasinya.