Sunday, September 5, 2010

Menargetkan lulusan 5000 Doktor?

Beberapa waktu lalu, running text di sebuah TV Swasta menampilkan tulisan pendek kurang lebih bunyinya seperti ini : "Mendiknas menargetkan lulusnya 5000 orang Doktor di tahun ini." Hmmm, apa bisa begitu ya? Kalau kita sepakat bahwa pendidikan adalah sebuah proses (yang kompleks pula), bagaimana kita bisa menargetkan sesuatu? Kalau proses pembelajaran yang sejati mensyaratkan seseorang untuk bukan sekedar tahu, tapi lebih dari itu paham dan menghayati pengetahuannya lalu apakah bisa kita membuat target-target waktu dan pencapaian seseorang dalam proses pendidikan. Apalagi seorang doktor yang dalam proses studinya ia belajar memperdalam pemahamannya sampai level yang filosofis, apakah bisa hal ini kita targetkan. Lalu kalau atas target tersebut yang kemudian dihasilkan adalah individu doktoral yang justru tidak paham lalu bagaimana? Kalau jumlah tersebut tercapai (secara kuantitas) tapi tidak secara kualitas, apakah program Depdiknas bisa dikatakan sukses atau berhasil? Lalu apa dampaknya buat dunia pendidikan kita di Indonesia ke depan? Kalau tolok ukur keberhasilan sistem pendidikan kita secara kuantitatif, saya kira kita tidak akan pernah berhasil . Sebaliknya kenapa harus kualitatif? Saya kira sederhana jawabannya, karena kita mendidik manusia, bukan robot. Dan kita tidak akan bisa memperlakukan manusia sebagai robot atau mesin. Manusia adalah ciptaan Tuhan dengan segala keajaibannya.

Baru saja saya menamatkan buku Negeri Lima Menara karya A. Fuadi. Buku yang luar biasa inspiratif buat saya. Di bagian awal dikisahkan saat murid2 baru menapakkan kakinya di Pondok Madani, Kiai Rais, pimpinan PM memberi sambutan pendek: "Menuntut ilmu di PM bukan buat gagah-gagahan dan bukan biar bisa bahasa asing. Tapi menuntut ilmu karena Tuhan semata. Karena itulah kalian tidak akan kami beri ijazah, tidak akan kami beri ikan, tapi akan kami beri ilmu dan kail. Kami, para ustad ikhlas mendidik kalian dan kalian ikhlaskan pula niat untuk mau dididik."

Lalu Raja (salah satu murid baru) menjelaskan kepada temannya Said : "Maksudnya, PM tidak mengeluarkan ijazah seperti sekolah lain. Yang ada adalah bekal ilmunya. Ijazah PM adalah ilmunya sendiri."

Saya kira ini luar biasa dan secara spirit bertentangan dengan apa yang dimunculkan bapak Mendiknas kita. Apa sebabnya saya tidak tahu. Apakah karena perbedaan pemahaman filosofis tentang pendidikan? Karena kalau secara filosofis pemahaman pendidikan tidak tepat, tentunya apapun yang dibangun di atasnya akan tidak tepat sasaran...

Apa yang saya kutip dari running text di layar televisi seperti di atas ini buat saya adalah gambaran kebingungan pengambil kebijakan tentang bagaimana membangun pendidikan di negeri ini. Walaupun sebetulnya para pendahulu kita seperti ki Hadjar Dewantara sudah meletakkan landasan filosofis pendidikan yang luar biasa. Kenapa kita meninggalkannya, saya tidak tahu...

No comments: