Saturday, June 6, 2015

Understanding Holism, Spirit and Spirituality

Only a few weeks ago I came across this amazing person Satish Kumar talking about Holistic Education. I posted the video (entitled Learning with Your Whole Beinghere in the Semi Palar's website. I have just been following Satish's thinking recently and find it very fascinating as they really resonate with my own thoughts.

The video below is about a wonderful conversation between Satish Kumar and Richard Dawkins, both of whom I find amazing people. This is in my oppinion a meeting of two worlds. Satish Kumar is more of a spiritualist, a philosopher. Richard Dawkins on the other hand, is a scientist whose thinking are in my oppinion are also brilliant.

Both to me complement each other. It is interesting to watch how Satish and Richard talk in their own world view or paradigm although somehow you can feel how Satish is one who has a strong holistic view while Richard is somehow is still tied to a mechanistic / partial worldview, which is quite common in scientists due to how they learned and are educated.

Towards the end of the video, the distinction between those two worldviews became more obvious. I myself understand Satish quite clearly. I agree with him, and Satish seemed to also understood how Richard thinks. On the other side, Richard seemed to find it difficult to accept Satish's worldview.
For me this is an illustration of the challenge of the so called global mindshift, that I - agreeing with Satish need to be moving from the mechanistic toward a natural - holistic worldview.

Satish closed the discussion with the importance of openmindedness - of humility especially in the scientific world. And that also, I totally agree...



Friday, May 22, 2015

[kisah inspiratif] tentang berbagi


Perkenankan saya berbagi cerita.

Belum lama ini saya berbincang dengan sepasang suami istri dengan seorang anak perempuan berusia menjelang 6 tahun. Anak perempuan tersebut duduk di jenjang TK. Obrolan berlompatan secara spontan seputar banyak hal dan perlahan2 bergeser ke urusan pendidikan. Cerita punya cerita, sang ayah pun berkisah bahwa dirinya hanya sekolah sampai sebatas kelas 2 SMP. Beliau tumbuh tanpa ayah - entah sejak umur berapa - dalam suasana yang serba diliputi keterbatasan kalaupun tidak mau menyebutnya dengan berkekurangan...

Sekolah di mana anaknya sekarang bersekolah ini, adalah sekolah yang menurut mereka jauh dari jangkauan keluarga ini dalam hal pembiayaan. Di sisi lain, kedua orangtua ini meyakini sekolah ini yang mereka anggap baik dan cocok buat anak mereka. Entah prosesnya bagaimana, walaupun pada awalnya mereka ragu, ternyata waktu berjalan dan keluarga ini mendaftarkan putrinya ke sekolah ini.

Mereka berkisah bagaimana mereka begitu merasa was-was pertama berkunjung ke sekolah ini karena putri mereka juga terlihat suka dengan suasana di sekolah ini. Pada saat itu mereka menyadari bahwa sekolah ini diluar kemampuan mereka untuk membiayai - pada saat itu.

Tapi ini bukan inti ceritanya...


Dengan segala keterbatasan dirinya, sang ayah punya pandangan yang unik tentang kehidupan. Ia punya keyakinan luar biasa tentang berbagi. Ujarnya, "Untuk apa hidup kalau hidup kita tidak ada manfaatnya buat orang lain".

Obrolan berlanjut sampai beliau mengisahkan pengalaman dirinya mengenai keyakinannya ini. Di suatu titik waktu, keluarga mereka sedang punya kebutuhan pengeluaran (sesuatu yang harus dibayarkan) sebesar 7 juta rupiah dalam beberapa waktu ke depan. Saat itu, di kantong mereka hanya tersimpan sekitar 1 juta rupiah...

Entah bagaimana dalam situasi ini sang ayah masih punya keinginan besar untuk berbagi - sesuai keyakinannya di atas tadi. Keinginan ini disampaikan kepada istrinya dan sang istri juga menyetujuinya. Lalu sang ayah ini pergi membelanjakan 700 ribu rupiah yang dimilikinya untuk dibagikan. 300 ribu sisanya ia sisihkan untuk kebutuhan diri dan keluarganya. Soal kebutuhannya mereka meyakini akan ada jalannya.

Iapun membelanjakan 700 ribu uangnya dalam bentuk makanan. Kemudian iapun pergi berkeliling dan membagikan bungkusan-bungkusan makanan itu kepada orang-orang yang ia jumpai dan tampak membutuhkan - tanpa syarat apapun. Sebelum berangkat ia berkomitmen untuk membagikan itu tanpa memilih, apakah orang tersebut lagi 'ngelem', usianya tua ataupun muda, mau berterima kasih atau tidak... siapapun". Beberapa menolak pemberiannya dengan pandangan curiga. Dengan caranya yang rendah hati, ia bilang kepada siapa ia ingin berbagi, "Bapak (atau ibu), saya sedang gembira, saya ingin membagikan kegembiraan itu kepada Bapak atau ibu..."

Dan itulah yang beliau lakukan...

Beberapa waktu berlalu, lalu ia melanjutkan kisahnya, keajaibanpun terjadi. Saatnya ia harus membayarkan tagihannya itu, entah darimana datangnya, ia bercerita ia bisa punya 11 juta rupiah di kantongnya, untuk membayarkan keperluan usahanya dan masih bersisa untuk dirinya dan keluarganya... Rejeki ternyata datang tanpa mereka duga.

Memutuskan berbagi dengan uang yang terbatas yang dimilikinya bukan tindakan yang masuk akal... tidak logis. Siapa dari kita yang akan melakukan itu? Tapi keyakinan dirinya berbuah, dan semesta menjawab ketulusan keluarga itu untuk berbagi di tengah segala keterbatasan mereka... Luar biasa...

Rupanya semesta tidak bicara dengan logika atau itung-itungan untung rugi belaka. Semesta adalah tentang perjalanan dan pertukaran energi. Kalau kita tak henti berbagi, kitapun akan menerima... Kisah di atas tadi adalah kisah nyata tentang bagaimana kita punya peluang untuk berbagi kebaikan dengan cara apapun. Dan di dalam kisah tadi tersimpan keyakinan bahwa kehidupan selalu baik bagi kita, tergantung bagaimana kita memandangnya...

Sebagai penutup cerita, putri keluarga tersebut sampai hari ini masih menerima pendidikannya di sekolah yang mereka anggap ideal. Rupanya kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan membuahkan rejeki yang memungkinkan mereka menyekolahkan putrinya di sekolah ini. Hal ini jadi kebahagian tersendiri buat keluarga ini mengingat segala keterbatasan yang ada di dalam mereka. Tapi rupanya, mereka punya hal yang tak berbatas yaitu kebaikan dan ketulusan hati untuk berbagi.

Namaste _/\_

Sunday, April 12, 2015

menantikan 'The Jigsaw of the Universe", sebuah catatan perjumpaan



Sudah lama saya gak mboseh... sejak sebulan yang lalu punya kesempatan (dan motivasi tambahan) lagi untuk membebaskan sepeda kesayangan dan mengeluarkannya dari tempat parkirnya yang berdebu.

Sejak sebulan lalu, saya berkesempatan mengajak anak saya bersepeda di jalanan kota Bandung untuk sebuah aktivitas komunitas rutin di Taman Balai Kota. Bagi saya ini adalah kesempatan juga untuk beraktivitas fisik dengan bersepeda sambil menikmati suasana akhir minggu kota Bandung. 

Dari Balai Kota, biasanya saya mengarahkan sepeda ke arah utara. Di bilangan Dago Simpang ada kediaman teman dekat saya Yusuf yang seringkali saya jadikan tujuan untuk singgah dan berbincang. Teman sejak kuliah ini memang teman mengobrol yang mengasikkan. Selain teman saya itu, ayahnyapun teman berbincang yang luar biasa. Oom Hadi, biasa saya memanggilnya adalah seorang akademisi. Beliau pakar geologi dengan minat dan wawasan yang sangat luas. Seorang yang saya yakini gemar berpikir dan merenungkan banyak hal. Nama beliau adalah MM. Purbo Hadiwijoyo. Isu-isu ke-bahasa-an adalah salah satu minat terbesar beliau. 

Di hari ini, kebetulan beliau sedang duduk membaca buku di teras depan rumahnya sambil berjemur di sinar matahari pagi. Sayapun segera menyapa beliau, setelah entah berapa lama kami tak saling jumpa. Luar biasa melihat beliau dalam kondisi kesehatan dan kebugaran yang luar biasa. Ya, beliau sudah berumur 92 tahun. Beliau masih ingat betul siapa saya, masih ingat siapa dan di mana ayah saya bekerja dan lain-lainnya. Beliau sedang membaca majalah-majalah berbahasa Jerman, dan sewaktu saya mengungkap kekaguman saya tentang kebugaran beliau, beliau langsung mengambil salah satu majalah yang sedang dibacanya yang (lihat gambar di atas) bertemakan tentang Fitness. 

Selain dulu mengajar, beliau juga senang menulis buku. Saya beruntung sudah beroleh beberapa judul buku langsung dari beliau. Yang tak kalah luar biasa, di usianya yang sekarang inipun beliau sedang menulis sebuah buku dengan judul yang sangat menarik buat saya "The Jigsaw of the Universe". Judulnya sendiri belum final, oom Hadi dan Yusuf putranya masih berdiskusi judul mana yang lebih pas, apakah Puzzle atau Jigsaw, tapi saya membayangkan isinya akan sangat menarik mengenali hal-hal apa yang ada di benak beliau. Lagipula kata kunci kepingan (puzzle) dan semesta (universe) sedang jadi wacana yang sedang sangat menarik minat saya beberapa tahun terakhir ini. 

Yang jelas pertemuan dengan oom Hadi hari ini sangat inspiratif buat saya. Betapa beliau masih sangat produktif dan kreatif di usianya yang sudah sangat lanjut. Selain juga kondisi fisiknya yang luar biasa... Saat ini tulisan2 pemikiran beliau sedang dituliskan dalam sebuah blog... yang ingin segera saya intip apa isinya. Sambil bercerita tentang itu Yusuf berkisah juga bahwa sayapun punya sebuah blog... hanya saja sudah sangat lama tidak terupdate - karena waktu dan perhatian yang terbagi untuk juga memelihara blog Rumah Belajar Semi Palar. Walaupun begitu toh perjumpaan ini jadinya memicu saya untuk kembali menghembuskan kehidupan - menuangkan catatan2 perjalanan di jurnal daring ini - yang sudah cukup lama terbengkalai. 

Terima kasih oom Hadi, semoga tetap sehat dan produktif, tetap berbagi kepada sesama... Buku yang sedang dituliskan, The Jigsaw of the Universe sangat saya nantikan untuk bisa saya serap wacana2nya melengkapi kepingan pemahaman saya tentang semesta dan kehidupan kita manusia di dalamnya... Salam hormat oom Hadi. 


Wednesday, March 11, 2015

To Forgive

Tidak pernah terbayangkan bahwa aku akan berdiri di depan sejumlah banyak orang dan memimpin mereka menuju suatu tempat yang akupun belum pernah kenal sebelumnya.

Sejak aku dilahirkan sekian tahun pada tanggal ini dulu dari rahim ibuku, dari kasih sayang kedua orangtuaku... hari ini aku berdiri di depan dan menapakkan kakiku selangkah demi selangkah ke arah yang aku rasa benar. Karena di sanalah aku merasa nuraniku menuntunku.

...

Monday, February 9, 2015

Pendidikan itu bukan Ujian


Ini curhatan saya yang sedang dalam proses menyusun kisi2 buat Ujian Sekolah SMP... Begitu banyak ya - bahkan sangat banyak - yang ternyata harus kita ujikan kepada anak-anak kita di akhir suatu jenjang pendidikan. Kalau teman2 buka dan amati poin-poin SKLnya begitu berat target kompetensi bagi anak-anak kita. Dan itu harus kita ujikan apakah betul anak-anak kita sudah mencapai kompetensi itu. Kalau SKL itu kita paparkan kepada mereka, sebelum mereka mendaftar ke SMP misalnya, bisa-bisa mereka urung mendaftar sekolah...

Guru dan para birokrat tidak akan pernah bisa berempati beban seperti apa yang dihadapi anak-anak. Penyusun soal hanya menyusun 50 soal untuk mata ujian tertentu... dan selesai. Anak2 kita akan berhadapan dengan 4 mata ujian UN, - yang juga diulang di Ujian Sekolah ditambah sekian banyak mata Ujian Sekolah tertulis yang tidak diujikan di UN ditambah lagi Mata Ujian Praktek...

Kami sendiri merasa sebagai pendidik merasa sudah meyakini dari amatan proses mereka, sudah cukup banyak yang sudah mereka jalani dan sudah melampaui poin2 kompetensi itu, TANPA harus melampaui sesi khusus berhari-hari menguji ketercapaian kompetensi itu. Ujian Nasional, Ujian Sekolah, yang terdiri dari Ujian Praktek dan Ujian Tertulis. Sekilas berhitung, 4 minggu setidaknya akan dihabiskan untuk Ujian2 ini belum terhitung proses persiapan-persiapannya.

Di sekolah anak saya yang saat ini kelas 12 (swasta), dia harus berhadapan dengan 7 kali Pra UN, sebelum menghadapi Ujian sesungguhnya. Sungguh sangat mengerikan - kalau kita bilang bahwa inilah proses mencerdaskan - mendewasakan anak-anak kita.

Mudah-mudahan ini TAHUN TERAKHIR anak-anak kita sudah berhadapan dengan hal ini. Kuncinya memang ada di guru dan proses pembelajaran, bukan di ujian akhir.

Salam pendidikan, teman-teman. Terima kasih sudah membaca curhatan saya. Selamat beraktivitas.