Saturday, August 25, 2012

Living Manifesto from Holstee

for those who love life, for those who love cycling, then this video from Holstee is a must see!

Sunday, August 12, 2012

[trash] collectivism

TC, wah benda apa itu? Hmm, Trash Collectivism hanya istilah rekaan saya belaka. Supaya keren, begitu... supaya 'catchy' dan mudah diingat orang. Lalu apa sebenarnya TC itu? Terjemahan bebasnya adalah mengumpulkan sampah. 'TC' adalah salah satu hal sederhana yang bisa kita lakukan di rumah kita masing-masing untuk mulai mengolah sampah. Pertanyaan berikutnya yang mungkin muncul adalah "Untuk apa sampah kita olah? Namanya saja sampah?"

Secara sederhana, tujuan mengolah sampah adalah agar sampah itu punya nilai tambah. Selama ini di dalam benak kita, sampah adalah benda-benda yang tidak lagi ada gunanya. Pola pikir ini harus kita ubah. Sampah harus tidak lagi kita pandang sebagai sekedar sesuatu yang kita buang karena sudah tidak ada nilainya. Benda apapun yang sudah habis nilai fungsinya bagi kita perlu kita lihat dan temukan nilai lainnya - paling tidak nilai materialnya. Kenapa? Karena benda apapun yang kita gunakan, sumber / bahan bakunya pasti berasal dari alam. Segala sesuatu yang dimiliki dan tersedia di alam kita adalah terbatas (finite), bahkan sangat terbatas untuk mencukupi kebutuhan umat manusia yang sudah sekian miliar orang jumlahnya - dan masih terus bertambah.

Sebuah ilustrasi sederhana: plastik - termasuk juga kantong kresek atau plastik kemasan yang kita gunakan sehari-hari diolah dari bahan dasar minyak bumi. Salah satu turunan olahan minyak bumi (kalau tidak salah diistilahkan polimer) kita gunakan sebagai kemasan produk atau kantong pembawa barang-barang belanjaan kita sehari-hari. Sudah tidak banyak kita sadari lagi bahwa ketersediaan minyak bumi adalah sangat terbatas. Atau, kita sadar tapi tidak terlalu peduli atau paham betul apa dampaknya. Para ahli memperkirakan persediaan minyak bumi di planet kita ini akan habis dalam jangka waktu 20-30 tahun ke depan. Sebaliknya kita juga sering lupa bahwa alam perlu waktu jutaan tahun untuk memproses tumbuhan yang mati dan tertimbun dalam tanah untuk menghasilkan sejumlah besar minyak bumi untuk bisa kita manfaatkan.

Plastik (dalam bentuk tas plastik (kresek) atau kemasan) adalah produk yang jangka waktu manfaatnya paling pendek. Para pedagang toko dan warung dengan mudah mengeluarkan kantong kresek untuk kemudahan kita membawa belanjaan kita. Kita dengan mudah juga menerimanya. Di rumah tanpa berpikir juga kita lemparkan kantong kresek tersebut ke dalam tempat sampah. Kita berpikir, nilai fungsi dan ekonominya sudah tidak ada. Kita lupa, biaya ekologinya belum kita bayar. Kita lupa bahwa kantong kresek / kemasan yang kita sudah manfaatkan hanya dalam hitungan jam perlu ribuan tahun untuk terurai kembali secara di alam. Kita tidak bisa bayangkan berapa biaya yang harus kita keluarkan kalau kita diminta untuk menguraikan kembali seluruh sampah limbah yang kita hasilkan selama kita hidup.

Beberapa waktu lalu, dari sebuah situs lingkungan hidup (www.oneearth.org) saya belajar bahwa jumlah seluruh limbah yang dihasilkan untuk memproduksi sebuah mobil baru adalah 21 ton. 21 TON! Limbah tersebut dihitung mulai dari proses produksi baja, kaca, plastik, karet, kulit dsb. Mulai dari proses produksi bahan baku, bahan setengah jadi hingga ke produk akhir sebuah mobil yang dipajang di showroom. Harga yang dibayarkan untuk sebuah mobil baru adalah katakan sekian ratus juta rupiah. Pertanyaannya, apakah harga yang dibayar konsumen tersebut cukup untuk mengolah 21 ton limbah yang dihasilkan tersebut secara bertanggung jawab? Siapa yang membayar biaya ekologis untuk mengolah limbah hasil produksi mobil tersebut? Kemudian selama masa pakainya, apakah harga yang dibayarkan konsumen cukup untuk menggantikan emisi CO2 yang dihasilkan kendaraan tersebut selama dimanfaatkan? Betapa besar biaya ekologis yang tidak pernah kita bayarkan - dengan kata lain kita hutangkan - kepada planet kita dan tidak pernah kita bayarkan?

Hutang ekologis ini suatu saat HARUS kita bayar. Kalau bukan kita yang membayarkannya mulai dari sekarang, anak cucu kita-lah yang akan menanggungnya. Hutang ini akan muncul dalam bentuk kerusakan lingkungan yang luar biasa dan sangat sulit kita perbaiki kembali kondisinya. Disadari atau tidak gejala-gejala kerusakan lingkungan ini sudah sangat bisa kita rasakan - lewat perubahan iklim (climate change) - atau lewat banyak gejala-gejala pemanasan bumi (global warming) yang sudah begitu banyak dimunculkan oleh media. Sejauh ini kita masih pada tahap bicara dan berwacana, dan apa yang kita lakukan masih jauh-jauh dari cukup.

Kembali ke TC, konsepnya begini. Sederhana sekali. Perhatikan gambar di bawah ini. Gambar sebelah kiri adalah sebuah sikat gigi bekas yang saya buang ke tempat sampah - seperti yang selama ini kita lakukan. Setelah tempat sampah tersebut dikosongkan dan digabung dengan sampah-sampah rumah tangga lainnya, sikat gigi bekas tersebut kelihatan tidak ada harganya.  

kiri : 1 sikat gigi di dalam tong sampah | kanan : sekumpulan benda berbahan dasar plastik

Di gambar sebelah kanan, saya mengumpulkan sikat-sikat gigi bekas yang sudah tidak terpakai, sebelum saya 'berikan' kepada tukang sampah. Ada suatu nilai tambah di situ - karena ada upaya yang kita tanamkan di sana dengan mengumpulkan sampah kita sebelum kita keluarkan dari rumah kita. Ini yang saya istilahkan dengan nilai material. Secara fungsi - sebagai sikat gigi nilainya sudah habis - tapi yang muncul adalah sejumlah tertentu benda yang bahan dasarnya adalah plastik. Walaupun bukan kita yang melakukannya, saya yakin sekantong besar sikat gigi (baca: plastik) akan mendorong orang yang mengambilnya untuk berpikir dan mengubahnya menjadi sesuatu yang punya nilai ekonomi. Dengan mengumpulkan sampah kita per-jenis, kita mendorong orang lain melakukan recycling. Daur ulang adalah upaya kita untuk memperpanjang nilai fungsional / masa pakai dari setiap benda yang kita gunakan. Semakin banyak dari kita yang melakukan TC ini, akan semakin besar pula insentif bagi orang lain yang memang mencari penghidupan dari sampah / limbah untuk mendaur ulang. Ini adalah pemikiran mendasar dari TC.
contoh lain sampah yang bisa kita kumpulkan
Kalau hal-hal semacam ini kita lakukan terus menerus, secara fundamental, hal ini juga akan mengubah pola pikir kita terhadap sampah / limbah yang kita hasilkan.

Pada akhirnya kita bicara tentang kesadaran ekologis. Kesadaran adalah kemampuan kita melihat sesuatu melampaui apa yang terlihat secara kasat mata. Saat kita melihat sebuah buku, biasanya kita melihatnya hanya setumpuk kertas yang dijilid. Kita memiliki kesadaran, saat kita bisa melihat buku tersebut sebagai sebuah pohon.
Saat kita berbelanja di sebuah Super Market, apakah kita melihat bahwa di kiri-kanan rak pajangan produk sebagian besar daripadanya adalah sampah yang akan kita keluarkan dari rumah kita. Sampah kita tersebut akan ikut mengotori planet kita, tempat hidup kita.

Kesadaran kita akan menentukan sikap kita dalam melakukan segala sesuatu. Lepas dari terkenal atau tidaknya suatu produk, mungkin kita akan memilih produk yang kemasannya paling sederhana - sehingga sampahnya paling sedikit. Mungkin kita akan memilih produk yang dikemas menggunakan kertas daripada plastik...

Sejauh kita belum bisa melepaskan diri dari produk-produk yang dijual di toko-toko untuk kebutuhan hidup kita sehari-hari, paling tidak hal-hal sederhana semacam ini bisa kita lakukan. Dalam bahasa gerakan lingkungan hidup, sekecil apapun hal yang kita lakukan, hal tersebut pasti membawa perubahan."So, no matter how small, do it anyway!". Ayo kita coba!

Monday, August 6, 2012

Belajar Mengenal, Mengalami dan Menghayati Kebudayaan, Tinjauan Kritis terhadap Pelajaran Bahasa Sunda

Belajar mengenal, mengalami dan menghayati kebudayaan... Sudah lama wacana seputar ini berputar-putar di benak saya. Di berbagai kesempatan yang hadir, di dalam forum-forum dan bincang-bincang dengan berbagai kenalan, saya selalu mencoba menemukan sebetulnya apa dan bagaimana ihwal kebudayaan ini semestinya dihantarkan ke anak-anak kita di sekolah. Di kalangan birokrasi pendidikan, ini dikenal sebagai Mu-Lok (Muatan Lokal) Budaya. Di Jawa Barat khususnya, di sekolah, muatan kurikulum ini diterjemahkan sebagai Pelajaran Bahasa Sunda.

Dalam prakteknya sejak hal ini diterapkan, saya banyak melihat begitu mubazirnya upaya pendidikan ini. Kenapa mubazir, sederhana saja, karena banyak sekali siswa yang pada akhirnya benci Bahasa Sunda. Saya kira bukan Bahasa Sunda-nya yang salah, tapi pendekatan yang digunakan untuk menghantarkan salah satu aspek kebudayaan ini ke dalam alam belajar anak-anak kita.

Lalu suatu sore di wall facebook saya, seorang teman Sinta Ridwan memampang posting yang berbunyi begini:
Mengundang Bapak/Ibu/Saudara untuk menghadiri Talkshow Budaya, sebagai putaran ke-2 di Bandung dari 5 Kota di tanah air, dengan TEMA  : 
‘Nilai Warisan Budaya dalam Kajian Pengembangan berwawasan Pelestarian di Jawa Barat’

Penyelenggara : Komunitas Gambara  bekerja sama dengan majalah Warisan Indonesia.


Sore itu akhirnya sayapun menyempatkan hadir di pertemuan itu. Forum ini sebetulnya adalah forum sosialisasi kompetisi fotografi yang bertemakan kebudayaan - yang diinisiasi oleh majalah Warisan Indonesia. Pembicara di forum sore itu adalah tokoh-tokoh yang belum saya kenal sebelumnya, kecuali Prof. Bambang Sugiharto. Seperti biasa saya menyempatkan hadir untuk menemukan jawaban. Siapa tahu ada jawaban-jawaban yang mampir atas berbagai pertanyaan yang selama ini mondar-mandir di benak saya.

Kebudayaan adalah hal maha penting dalam kehidupan manusia di dalam masyarakat. Selain penting, keduanya juga semestinya tidak terpisahkan. Dalam perjalanannya, masyarakat tanpa disadari mengambil jarak terhadap apa yang disebut kebudayaan. Bukan lagi masyarakat yang salah, karena masyarakat sekedar ikut arus perkembangan peradaban yang ada. Tapi kita perlu bertanya, kenapa di banyak negara di dunia, kebudayaan asli yang tumbuh di dalam dan bersama masyarakat masih tetap tumbuh subur dan terpelihara, tapi tidak di Indonesia. Saya melihat bahwa ini adalah bagian dari keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah dalam memahami, memandang dan kemudian menempatkan kebudayaan dalam proses berkehidupan bangsa Indonesia. Kalau kita masih ingat, belum lama berselang, hal ihwal kebudayaan di Indonesia dikelola oleh Departeman Kebudayaan dan Pariwisata. Tentunya tidak salah kalau masyarakat akhirnya memandang kebudayaan hanya sebagai hal-hal yang bisa dijual sebagai komoditas pariwisata.Entah apa juga yang pada tahun 2012 mendorong berubahnya nama Kementrian Pendidikan Nasional kembali menjadi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada prakteknya, di bawah pak Menteri, kedua bidang ini dikelola terpisah oleh dua orang wakil menteri...

Kembali ke masalah MuLok Budaya, di Bandung, implementasi Mulok di sekolah-sekolah pada umumnya berangkat dari instruksi kepala daerah, dalam hal ini SK Gubernur. Walaupun kita sepaham bahwa pengenalan budaya itu penting, saya kira solusinya tidak sesederhana itu. Kalau para penyelenggara pendidikan paham arti pentingnya memahami kebudayaan lokal, tanpa instruksi gubernur-pun, sekolah-sekolah akan menghantarkannya kepada para muridnya. Sebaliknya, kalau tidak paham esensi apa sebetulnya yang menjadi landasan berpikir di belakangnya, sekolah-sekolah sekedar menjalankan SK gubernur, mengajarkan pelajaran Bahasa Sunda kepada murid-muridnya. Dengan segala hormat, Bapak Gubernur, segala sesuatu di dalam ranah pendidikan tidaklah sesederhana menuliskan selembar Surat Keputusan. Keberhasilan pendidikan sangat bergantung pada pemahaman mendasar para pelaksananya.  Lebih penting lagi bagaimana cara yang akan digunakan untuk menghantarkannya. Saat berbeda frekuensi antara pemancar dan penerima, pesan yang ditransmisikan tidak akan tersampaikan / diterima dengan baik. Kalau hal-hal semacam ini lewat dari perhatian kita, hampir bisa dipastikan, upaya-upaya yang dilakukan menjadi mubazir.

Salah satu kunci keberhasilan kita untuk menghantarkan anak-anak kita mengenal budaya / tradisi lokal adalah dengan memahami konteks kehidupan anak-anak kita sehari-hari. Kebetulan jawaban atas pertanyaan saya ini saya temukan di forum ini - lewat pernyataan mas Bambang yang kira-kira bunyinya begini, bahwa, "Anak-anak kita dewasa ini, tidak lagi hidup dalam tradisi ke-Sunda-an." Saya kira mas Bambang bicara dalam konteks anak-anak kita yang hidup di kota Bandung - kota yang nyaris metropolitan di jaman sekarang ini. Memang demikianlah adanya. Saya sering mengungkapkan bahwa bagi anak-anak kita ini, Bahasa Sunda adalah sesuatu yang lebih asing dari Bahasa Inggris. Sederhananya, persentuhan mereka dengan Bahasa Inggris - lewat media apapun - jauh lebih intens daripada persentuhan mereka dengan kebudayaan asli yang dilahirkan oleh tempat di mana mereka tinggal - di Tatar Sunda, misalnya. Bagi mereka, belajar Bahasa Sunda seakan justru membawa mereka menjauh mereka dari pola kehidupan yang mereka jalani sehari-hari.

Umtuk mencapai sasaran pendidikan bagi anak-anak kita memahami dan menghayati kebudayaannya, saya kira kita perlu mengembangkan cara-cara yang lebih canggih (sophisticated) daripada sekedar mengaturkan jam pelajaran di sekolah - sebagai contoh - Bahasa Sunda. Kemudian guru mengajari mereka apa dan bagaimana Bahasa Sunda dari satu buku paket ke buku paket lainnya. Pertama-tama secara sederhana tentunya kita ingin menghindari bahwa apa yang kita kerjakan menjadi mubazir karena metode yang tidak tepat.

Kedua, justu karena kita meyakini bahwa kesadaran budaya adalah sesuatu sesuatu yang penting sebagai bagian dari kesadaran diri mereka secara utuh. Dari sudut pandang spiritualitas, kita mestinya meyakini bahwa kelahiran manusia di suatu tempat di muka bumi ini, memiliki suatu makna. Kita perlu memfasilitasi anak-anak kita untuk bisa memaknai kenapa mereka dianugerahi kehidupan di tanah di mana ia dilahirkan. Hal esensial berikutnya adalah membantu anak mengenal identitasnya, mengenal 'akar' kehidupan mereka. Kalau kita memahami betul lokalitas kita sebagai bagian dari identitas diri kita, barulah kemudian eksistensi kita menjadi berarti, karena kita menjadi bukan sembarang orang yang tidak jelas asal-usul dan akarnya - kita menjadi serupa seperti sekian miliar orang lainnya di muka bumi ini...

Lalu bagaimana cara mencapainya? Pengembangan metode adalah kata kunci yang pertama. Saya berpendapat bahwa bagi kita yang tinggal di dunia yang semakin modern dan serba terkoneksi secara global, tradisi dan kekayaan lokal adalah warisan kekayaan yang luar biasa - dan karenanya perlu kita jaga. Caranya bagaimana adalah dengan merayakan kebudayaan kita tersebut (celebrating our culture). Karena kebudayaan itulah yang menjadi bagian terpenting dari ciri dan acuan eksistensi diri kita di dalam pergaulan yang sangat global saat ini. Hal inilah yang dilakukan oleh negara-negara maju yang sangat memegang teguh kebudayaannya. Mereka tidak henti-hentinya merayakan kebudayan mereka. Disadari atau tidak negara-negara yang melakukan inilah yang berhasil terus menjaga eksistensi mereka di kancah global. Saya yakin, di level individual berlaku hal yang sama. Kalau sekolah-sekolah kita bergerak dari paradigma merayakan kebudayaan, alih-alih mengajarkan bahasa daerah, saya yakin kebudayaan kita akan sangat terjaga eksistensinya. Anak-anak kita akan memandang kebudayaan lokal mereka sebagai sesuatu yang berharga dan bernilai tinggi, bukan sebagai sebuah beban.

Kata kunci yang kedua adalah membangun kesadaran. Awareness. Membangun kesadaran bahwa dalam dunia yang semakin global, lokalitas menjadi semakin tinggi nilainya. Dalam penjelasan yang sederhana, semua orang akan bisa bicara bahasa Inggris, tapi suatu waktu, orang-orang yang menguasai Bahasa Sunda (atau aspek kebudayaan lainnya) akan menjadi langka dan semakin dicari dan dibutuhkan. Dalam lansekap global, hanya ada dua hal yang tidak bisa diduplikasi dan direproduksi yaitu keunikan ekologis atau kerenikan sebuah kebudayaan. Dua hal ini akan memang sangat lokal sifatnya. Untuk melihat / menikmatinya, kita harus datang ke lokasi tertentu di manapun di dunia untuk dapat menikmati secara orisinal hal-hal tersebut. Fenomena ini diulas secara khusus oleh John Naisbitt dalam bukunya Global Paradox.

Sebagai penutup, tulisan ini adalah kesimpulan sementara dari proses pencarian saya yang sudah cukup panjang. Bagi saya pribadi, yang berketurunan Cina, lahir di Bandung dari orang tua (bahkan Kakek Nenek) yang lebih fasih berbahasa Belanda daripada Tionghoa dan menganut agama Katolik, persoalan akar, kebudayaan dan identitas sempat menjadi pertanyaan besar buat saya. Saya kira, pendidikan punya peran besar dalam hal ini. Apalagi kita hidup di Indonesia yang berBhinneka Tunggal Ika. Semoga bagi anak-anak kita, keberagaman yang begitu luar biasa di negeri Indonesia ini betul-betul bisa menjadi kekayaan yang tak ternilai bagi kehidupan mereka di era global ini...



Sunday, August 5, 2012

What is Holistic Education?

Holistic Education ...
  •  is concerned with the growth of every person's intellectual, emotional, social, physical, artistic, creative and spiritual potentials. It actively engages students in the teaching/learning process and encourages personal and collective responsibility.
  • is a quest for understanding and meaning. Its aim is to nurture healthy, whole, curious persons who can learn whatever they need to know in any new context. By introducing students to a holistic view of the planet, life on Earth, and the emerging world community, holistic strategies enable students to perceive and understand the various contexts which shape and give meaning to life.
  • recognises the innate potential of EVERY student for intelligent, creative, systemic thinking. This includes so-called "students-at-risk", most of whom have severe difficulties learning within a mechanistic reductionistic paradigm which emphasises linear, sequential processes.
  • recognises that all knowledge is created within a cultural context and that the "facts" are seldom more than shared points of view. It encourages the transfer of learning across the chasms that have separated academic disciplines in the past. Holistic education encourages learners to critically approach the cultural, moral and political contexts of their lives.
  • values spiritual knowledge (in a non-sectarian sense). Spirituality is a state of connectedness to all life, honouring diversity in unity. It is an experience of being, belonging and caring. It is sensitivity and compassion, joy and hope. It is the harmony between the inner life and the outer life. It is the sense of wonder and reverence for the mysteries of the universe and a feeling of the purposefulness of life. It is moving towards the highest aspirations of the human spirit.
quoted from Holistic Education Network of Tasmania (www.hent.org)