Friday, December 14, 2012

menjadi individu...

Dalam prosesnya menjadi dewasa, anak-anak ibarat sedang menyusun sebuah puzzle besar yang tidak kita ketahui apa gambarnya dan seberapa besar ukurannya. Dalam setiap pengalaman kehidupannya (di sekolah, di rumah, di manapun) ia menemukan keping demi keping pengetahuan, kesadaran, penghayatan dan menyusunnya menjadi bagian dirinya. Saat pengalamannya lengkap, utuh dan seimbang, menggambarkan diri dan kehidupannya, ia akan menjadi individu yang utuh, dewasa, lengkap. Ia akan menjadi individu yang mengenal segala keunikan dirinya di tengah sesama, alam lingkungan, di hadapan Penciptanya.

Sunday, November 18, 2012

Don't Hate what You Don't Understand



from The Lessons of Life by Louise Smith
Membenci apa yang tidak kita pahami... Jangan-jangan ini adalah sesuatu yang sering kita lakukan - sadar ataupun tidak. Pemikiran tadi muncul saat suatu waktu gambar di atas ini saya lihat di salah satu posting status facebook dari The Lessons of Life. (Salah satu laman facebook yang kerap saya kunjungi secara khusus karena isinya selalu inspiratif.). Mungkin istilah lainnya menghakimi, atau men-judge - memberikan penilaian atau menarik kesimpulan terhadap sesuatu yang sebetulnya tidak kita pahami. 

Pengalaman saya di Semi Palar begini, ceritanya berkisar di seputar KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Sejak awal saya mendengar soal KKM sebagai acuan ketuntasan bagi salah satu sasaran pembelajaran murid di kelas, saya spontan menilai KKM itu ga bener. Ga masuk akal. Dan memang penilaian saya itu menjadi penghalang besar bagi saya untuk mencoba memahami apa sebetulnya yang disebut KKM itu. Dengan ke'sok-tauan' saya, saya menyimpulkan KKM ini ciptaan baru Diknas yang 'mengada-ada'. Hal ini, tanpa disadari berlangsung cukup lama. 

Sampai beberapa waktu lalu sekolah kami Semi Palar berhadapan dengan akreditasi. Salah satu di antara banyak persiapannya adalah bagaimana kami harus menyiapkan berbagai dokumen untuk keperluan akreditasi tersebut. Dalam prosesnya, saya ternyata dipaksa untuk memahami apa itu namanya KKM dengan segala seluk beluknya. Walaupun semakin paham, bagi saya KKM itu tetap ga nyambung... Waktu berjalan dan di suatu kesempatan saya sempat melontarkan pertanyaan saya tentang KKM ini kepada rekan-rekan di grup FB Bale Edukasi, tempat berdiskusinya rekan-rekan pemerhati dan praktisi pendidikan. Salah satu yang merespon tentang KKM ini ternyata Prof Iwan Pranoto. Beliau menjelaskan dengan singkat dan gamblang bagaimana pendekatan Competence Based Curicullum yang sebenarnya. Dan dari situ sayapun semakin paham apa dan bagaimana KKM ini. 

Akreditasi kemudian dilewati, lengkap dengan pengarahan sore hari dari pak Mamad (asesor 1) secara khusus mengenai KKM kepada tim Semi Palar. Apakah nyambung? ternyata ya tidak juga, tapi saya bisa secara gamblang menjelaskannya kenapa. Apa bedanya dengan dulu, dulu saya sekedar tidak suka. Rasa tidak suka itu ternyata menghalangi saya untuk belajar dan memahami lebih lanjut. Lalu apa manfaatnya? Bagi saya proses memahami KKM ini justru mendorong saya untuk menggali lebih dalam mengenai Pembelajaran Holistik, yang selama ini saya dan tim di Smipa terus coba terapkan di Rumah Belajar Semi Palar. Di titik ini, kalau saya ditanya, saya dapat menjelaskan dengan lebih baik kenapa KKM itu tidak relevan dengan pembelajaran holistik di Semi Palar.

Mundur cukup jauh, saya juga punya pengalaman menarik dari sebuah forum di Rumah Nusantara, mungkin sekitar tahun 2004-an. Waktu itu rekan-rekan komunitas Rumah Nusantara mengundang pembicara-pembicara yang memang tidak biasa. Hadir di sore itu, Ilham Aidit dan Sarjono Kartosuwiryo. Dari nama-namanya, kita tahu mereka putra-putra dari orang-orang yang dikenal berseberangan dengan Republik pada jamannya dulu. Hadir pula waktu itu Arswendo Atmowiloto dan beberapa pembicara lain. Nama-nama mereka, Aidit dan Kartosuwiryo, tentunya dengan segera membangunkan persepsi tertentu pada benak kita - sebagaimana pada saat kita bersekolah pengetahuan-pengetahuan tentang mereka ditanamkan. Saya masih ingat betul bagaimana persepsi saya berubah seketika mendengar paparan rekan-rekan ini di forum tersebut. Terlebih pada saat Sarjono menekankan bahwa hari ini, tidak ada alasan apapun untuk mendirikan negara Islam - karena negara Indonesia sudah berdiri berlandaskan Pancasila dengan segala prinsipnya. Berbeda situasinya saat peristiwa sejarah gerakan DI/TII berhadapan dengan militer Indonesia. Menurut pemaparan Sarjono, ada hukum Islam yang menegaskan bahwa kalau ada sejumlah tertentu umat Islam yang berkumpul tanpa kepimpinan yang jelas - karena situasi kepemimpinan Indonesia saat itu memang sedang tidak jelas - maka harus didirikanlah sebuah Negara Islam. Hal ini ditujukan untuk melindungi rakyat dan menghindari terjadinya kekacauan. Begitu pemahaman yang saya tangkap dari pembicaraan di forum tersebut. Memang begitu mudah kita mengambil kesimpulan dari hal-hal yang ternyata tidak betul-betul kita pahami.

Melengkapi tulisan di atas, berikut satu tulisan menarik yang saya temukan pada sebuah situs : "Kartosuwiryo Dinilai Pahlawan Indonesia yang Telah Digembosi Sejarah".

Entah apa yang membuat kita sangat mudah menghakimi sesuatu, bahkan pada hal-hal yang seringkali dekat dengan kita. Apakah itu muncul dari kebutuhan kita untuk selalu merasa benar dan menjadikan kita berpegang pada pembenaran, ataukah muncul dari keengganan kita untuk melangkah mencari kebenaran? Rasanya hanya kesadaran kita yang bisa menemukan jawabannya. Mudah-mudahan lebih jauh lagi kesadaran ini bisa membantu kita untuk tidak mudah menilai sesuatu sebelum kita cukup memahami suatu hal, apapun itu...

Thursday, November 15, 2012

narasi hidup


Setiap peristiwa yang kita alami adalah narasi hidup kita. Kalau kita gagal membacanya dengan cermat, memaknainya dengan tepat, entah karena terburu-buru ataupun tergesa menyimpulkan sesuatu, kita akan gagal memahami kisah hidup kita dan menjalankan apa yang seharusnya kita perankan. 
Seperti didalam teks, tanda baca dan notasi, walaupun kecil mereka berperan besar menentukan makna sebuah kalimat. 
Hidup mengajak kita untuk peka dan menyadari setiap hal kecil yang membingkai makna setiap peristiwa.
 

Saturday, November 3, 2012

[Book Review] You are Not a Gadget

You are Not a GadgetYou are Not a Gadget by Jaron Lanier

My rating: 4 of 5 stars


Jaron Lanier (the writer) is someone who really understands the digital world. He is one of those who designs the digital world that we live in today. Yet he is one of the few (I presume) who really understand the significance and ramifications of those small things that were put in the design of the digital world. Especially in relation to us as human being. I read another book (quite a long time ago) titled The Skin of Culture. It was written by Derrick de Kerckhove. In my understanding Derrick simply stated that Design is the very skin of Culture. The design of things defines our culture, how we think, how we act, how we do things, how we interact. This statement, I believe defines the significance of things we design on our culture. We have to really understand how technology works as it may well defined who we are. I have not finished the book, but this is for me an important book.



View all my reviews

Friday, October 5, 2012

What is Progress? (refleksi pendek mengenai kemajuan)


Coba amati rangkaian gambar di bawah ini, bingkai gambar demi bingkai gambar. Amati, bukan sekedar melihat sekilas.

klik untuk gambar lebih besar
Kita pasti menemukan benda-benda yang bertambah (muncul) dari gambar ke gambar, dan sebaliknya - yang lebih penting, apa yang hilang. Mudah-mudahan anda menemukannya. Bayangkan proses yang terjadi di dalam setiap langkah perubahan tersebut. Bukan sekedar menemukan, anda juga bisa menyadari bahwa di dalam perubahan tersebut, banyak juga hal yang hilang... Ada pepohonan yang ditebang, ada binatang-binatang yang terusir, ada permukaan tanah yang akhirnya tertutupi bangunan atau aspal... dan seterusnya.
Lalu bagaimanakah kita mendefinisikan perubahan di dalam rangkaian gambar yang ada di atas tadi. Inikah kemajuan? Is it progress? Kemajuan bagi siapa? Apakah yang kita sebut sebagai kemajuan senantiasa membawa kebaikan? Apa yang paling mudah menjadi korban? Dari gambar di atas, alam-lah yang selalu jadi korban. Dari gambar pertama di mana segala sesuatu masih serba hijau, pepohonan, rerumputan, burung berterbangan. Di gambar terakhir, semua hilang - tergantikan dengan segala sesuatu yang serba sintetis - serba buatan. Segala yang serba hidup - ciptaan Tuhan, kita gantikan dengan benda-benda tak bernyawa ciptaan manusia.

Pertanyaannya, bagaimana manusia bisa merasa berhak menghilangkan semua itu? Siapakah yang memberi ijin? Belum lama ini, saya menjumpai sebuah teks pendek yang berbunyi...

 ~ remember, nature never give ownership to humans ~

Jadi siapa yang memberi ijin? Segala sesuatu yang selama ini manusia lakukan dan tidak hentinya kita lakukan ternyata sangat justru bertentangan dengan teks di atas tadi. Manusia seakan merasa memiliki alam, memiliki hak untuk tidak henti-hentinya mengeksploitasi alam. Manusia mengolahnya menjadi barang-barang konsumtif dan mengkonversinya jadi uang. Tanpa henti. Masalah timbul karena manusia sepertinya tidak pernah puas dan tidak tahu batas. Inilah sebabnya planet bumi ini mulai rusak, menjadi sakit. Dulu kalau kita ingat, masyarakat tradisi (yang kita sebut belum maju) selalu minta ijin kepada Sang Kuasa, saat akan melakukan sesuatu di dalam setiap kehidupannya. Mau menebang pohon, mereka berdoa dulu; mau gali sumur, mereka upacara dulu; mau bertanam, mereka minta ijin dulu; setelah panen, mereka sukuran dulu... Masyarakat tradisional sadar betul tempat dan posisi mereka di tengah alam semesta...

Mungkin semua tahu, kata-kata luar biasa dari Gandhi :

~ The Earth provides enough to satisfy every man's need,
but not every man's greed ~


Di sinilah letak masalahnya. Manusia modern (yang katanya sudah maju ini) tampaknya tidak tahu kapan harus berhenti. Semakin canggih teknologi dan maju kehidupannya, semakin manusia tidak pernah berpikir dan merenung. Alam yang dititipkan Tuhan kepada kita dianggap sebagai pemberian. Demikian besar ego manusia, ia merasa ada di puncak segalanya. Manusia lupa bahwa ia adalah bagian, adalah komponen yang sama dari dunia yang ditinggalinya. Bahwa saat seorang manusia merusak sebagian kecil dari alam, ia juga merusak bagian kecil kehidupannya sendiri.


Saya jadi ingat sewaktu berjumpa dengan Butet Manurung yang mendirikan Sokola Rimba bagi anak-anak di pedalaman berbagai daerah di Indonesia. Butet bercerita bagaimana anak-anak Rimba itu bingung karena melihat Butet memiliki begitu banyak pakaian. Mereka bertanya "Ibu, kenapa ibu punya baju banyak sekali? Kita kan hanya perlu dua. Satu kita pakai, satu lagi kita cuci..."

Beberapa hari yang lalu, saya berdiskusi dengan teman-teman dari kelompok Ulin - kelas 7 Semi Palar. Diskusi tentang sampah akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa manusia jaman dulu (yang disebut primitif) jauh lebih canggih dari kita karena tidak pernah membuang sampah. Berbeda dengan kita sekarang ini di mana hampir setiap tindakan kita (yang katanya modern) ini selalu menghasilkan sampah.

Sekarang manusia seakan tidak lagi berpikir. Perubahan peradaban manusia menggiring manusia ke titik di mana selama ada uang, walaupun kita tidak perlu kita akan beli. Setiap bulan beli baju... HP tidak cukup satu, kita beli dua, bahkan tiga. Mobil tidak cukup satu, kita beli lagi. Rumah tidak cukup satu, kalau perlu kita beli dua atau tiga... Untuk apa, mungkin untuk cari uang, untuk investasi katanya, untuk kemajuan kehidupan kita. Kita kerja semakin keras untuk kemajuan ekonomi - supaya punya uang. Buat apa uang, supaya kita bisa beli lagi dan beli lagi dan beli lagi... Berbeda ya dengan anak-anak Rimba Bukit Dua Belas tadi, mereka berpikir... buat apa ya punya banyak-banyak baju...

Kita lupa, semakin kita beli, beli dan beli, semakin hancurlah alam kita, karena segala sesuatu kita pasti ambil dari alam, dan segala sesuatu yang sudah tidak kita pakai kita buang lagi ke alam, menjadi sampah. Semua ini kita bungkus dengan satu kata : kemajuan. Progress.

Lalu kembali ke pertanyaan di atas tadi? Apakah itu kemajuan? What is progress? Tidakkah manusia lupa belajar satu hal penting: kapankah kita perlu berhenti. Kapan kita bisa mengatakan ini sudah cukup untuk kita. Supaya setiap manusia hidup dalam porsi yang secukupnya untuk kehidupannya. Tidak berlebihan. Rasanya dengan demikian apa yang diungkapkan Gandhi bisa menjadi masuk akal karena planet ini tidak akan bisa mencukupi kerakusan kita...

:: gambar diambil dari grup facebook : GASAN (Give a Shit about Nature)  dan Earth We Are One



Saturday, September 22, 2012

Bagaimana (semestinya) Kita Memandang Pengetahuan

Bicara pendidikan, hampir pasti kita bicara pengetahuan. Walaupun pendidikan (semestinya) tidak berhenti pada pengetahuan belaka. Pengetahuan, apabila ditilik secara holistik, akan menjadi sangat kompleks, luas dan dinamis. Keluasan dan kompleksitas yang melingkupi butir-butir pengetahuan tersebut, sebetulnya adalah bagian tak terpisahkan dari pengetahuan itu sendiri.


Mengumpulkan pengetahuan adalah salah satu titik awal proses belajar manusia yang serba kompleks dan multidimensional. Setelah sekian lama sekolah-sekolah melalui para guru berupaya mengajari siswanya berbagai pengetahuan yang (menurut kita para pendidik) dibutuhkan oleh para siswa bagi kehidupannya sewaktu dewasa, ada baiknya kita berhenti dan melihat kembali apa dan bagaimana sebetulnya butiran-butiran pengetahuan yang kita jadikan bahan belajar (materi) untuk anak-anak kita. Apakah yang sesungguhnya telah kita lakukan dalam memandang dan menggambarkan pengetahuan dalam proses pembelajaran anak-anak kita di sekolah? Apakah cara kita menyajikan pengetahuan memang membantu mereka dalam proses belajar, selain untuk mengetahui, juga memahami dan menghayatinya.


Linear Thinking
dari A ke B ke C...
Dalam ranah proses kognitif, ilustrasi di sebelah kiri menggambarkan apa yang disebut sebagai Linear Thinking. Ini adalah bagaimana konstelasi pengetahuan yang serba kompleks, penuh dinamika dan saling terkait diterjemahkan ke dalam satu rangkaian proses yang linier, satu arah, satu jalur, dari satu hal ke hal lain, dari satu bab menuju bab berikutnya. Singkatnya begitu banyak hal-hal yang dihilangkan dari kompleksitas dan dinamika situasi yang sesungguhnya. Disederhanakan, dihilangkan kerenikannya. Membuatnya lebih parah adalah bagaimana pengetahuan ini kemudian disampaikan di sekolah. Sekolah (saat ini) melalui guru-gurunya menyuguhkan rangkaian pengetahuan yang linier - satu dimensional - dilakukan dalam jam pelajaran dan bidang studi yang terpisah-pisah oleh guru mata pelajaran yang berbeda pula.


Dua atau Tiga dimensional?
mind-map (peta pikiran)
Lalu bagaimana cara yang tepat mengajak anak dan memandang pengetahuan? Apakah pengetahuan lebih tepat dipetakan secara dua dimensional - seperti peta pikiran (mind-map) di sebelah kiri ini? Pengetahuan digambarkan sebagai sebuah jaringan (web) dan kita bisa melihat bagaimana satu hal dapat dijabarkan lebih jauh ke cabang-cabang yang lebih kecil. Sebaliknya, hal yang menjadi pusat mind-map sebenarnya adalah bagian dari jaringan yang lebih besar lagi. Jadi, apakah pemetaan dua dimensional ini memadai, jangan-jangan juga tidak, karena kompleksitas realita adalah luar biasa - mungkin tak terbatas - dan sangat multi dimensional.

Kita coba bergerak lagi. Bagaimana kalau kita bayangkan lembaran mind-map tadi kita jadikan pembungkus sebuah bola, saya kira itu penggambaran pengetahuan yang lebih mendekati. Peta pengetahuan tidak lagi dua dimensional tapi menjadi tiga dimensional. Lebih lanjut, bola pengetahuan tersebut kita imajinasikan sebagai sebuah gelembung sabun (transparan / bening) dengan butiran pengetahuan yang saling berkaitan tergambarkan di atasnya, kita bisa melihat bahwa setiap butiran pengetahuan tidak pernah berdiri sendiri, selalu ada hal lain yang terkait (koneksi) dan melingkupi / melatar-belakanginya (konteks) - dan selalu bergerak. Melalui analogi ini, kita seharusnya bisa memahami bagaimana kita tidak pernah bisa (boleh) mengisolasi materi pembelajaran apapun dari koneksi atau konteksnya. Kalau hal tersebut kita lakukan, butir pengetahuan tersebut akan kehilangan maknanya. Selanjutnya pada saat makna pengetahuan tersebut hilang, sang pembelajarpun akan menjadi sulit memahaminya.

peta pengetahuan tiga dimensional

Dimensi ke Empat dalam Analogi Gelembung Sabun.

Dalam upaya menyelami kompleksitas konstelasi pengetahuan, kita mungkin bisa juga menyadari bahwa ada satu dimensi lain yang kerap terabaikan (atau jangan-jangan sengaja diabaikan) saat kita menyajikan berbagai butiran pengetahuan ke alam pembelajaran anak-anak di sekolah. Dimensi ke empat - dimensi waktu. Dimensi waktu adalah salah satu dimensi terpenting yang sering dihilangkan. Inilah yang menjadikan bahan pelajaran seakan-akan bisa 'dibekukan'. Padahal dimensi waktu adalah satu hal yang senantiasa mengubah segala sesuatu di alam semesta ini. Tidak ada sesuatupun yang tidak berubah. Sebongkah batu di sudut suatu taman yang tidak pernah tersentuhpun tidak pernah sama kondisinya, detik ini dari detik yang lalu."Nothing stays the same"; segala sesuatu selalu berubah dan dengan demikian pengetahuan-pun senantiasa berubah.

Dalam ranah pendidikan, kepingan pengetahuan atau keterampilan yang dibutuhkan di satu waktu bisa jadi sangat tidak dibutuhkan oleh peserta didik di dalam konteks waktu (atau situasi) yang berbeda. Sebagai contoh, satu pesies yang di tahun lalu kita sebut sebagai binatang langka, jangan-jangan di hari ini spesies tersebut sudah punah. Inilah sebabnya kita tidak bisa lagi sekedar bersandar pada buku-buku paket untuk panduan pembelajaran anak-anak di kelas. Saat ini perubahan terjadi begitu cepat. Materi pembelajaran di sekolah seharusnya dipandang sangat dinamis sifatnya, tidak mungkin distandarisasikan dan serba di sama ratakan. Lebih jauh lagi, yang semestinya dibangun pada anak-anak adalah kemampuan mereka untuk menggali dan mengolah pengetahuan sesuai kebutuhan kehidupannya - sekarang maupun kelak. Yang menjadi penting adalah bukan butir pengetahuannya semata - yang kita tahu pasti akan berubah dan hampir pasti tidak lagi relevan pada saat anak kita dewasa. Dari sudut pandang ini, kita bisa memahami kenapa pertanyaan-pertanyaan tertutup, pilihan ganda yang mengandalkan hafalan belaka hampir tidak ada manfaatnya bagi proses berpikir dan belajar anak-anak kita.


Kembali ke analogi gelembung sabun, saat melayang di udara, gelembung sabun senantiasa bergerak, ada yang saling menempel, berputar, ada yang kemudian pecah dan lain sebagainya. Seperti itulah kompleksitas dan dinamika pengetahuan yang terserak di semesta ini. Sementara semesta tidak berhenti menghembuskan gelembung-gelembung pengetahuan yang baru. Kita harus mampu mengajak anak-anak belajar memahami pengetahuan di dalam kompleksitas dan dinamikanya sekaligus agar mereka mampu menempatkan diri dan mengolah butiran pengetahuan tersebut menjadi bermanfaat bagi dirinya dan lingkungan sekitarnya.

kompleksitas dan dinamika pengetahuan - analogi gelembung sabun



Koherensi Proses Pembelajaran dan Pemetaan Pengetahuan 
Apa yang saya coba uraikan di sini adalah pentingnya kita memahami karakteristik pengetahuan itu sendiri, sebelum kita mulai mengolah dan menyajikannya kepada para murid. Hal ini adalah salah satu penentu keberhasilan proses pembelajaran. Metode, pola atau pendekatan yang diambil sangat bergantung pada bagaimana kita memandang pengetahuan.


Kata kuncinya adalah KOHERENSI - yang mungkin dapat diterjemahkan sederhana sebagai kesejajaran. Apakah pengetahuan yang disusun dan disajikan di ke dalam ruang belajar anak-anak kita - di kelas - mampu merepresentasikan situasi nyata dari mana pengetahuan tersebut bersumber. Semakin kecil tingkat koherensinya, kita harus berani berpikir bahwa akan tingkat keberhasilan pembelajaran akan semakin sulit dicapai karena pengetahuan yang kita sajikan begitu berjarak terhadap apa yang sesungguhnya ada / terjadi. "Gak nyambung", begitu kira-kira. Pada saat pengetahuan gak nyambung di dalam ruang pemikiran anak-anak, tentunya pengetahuan betapapun pentingnya, menjadi tidak bermakna. Dalam bahasa gaul anak-anak kita sekarang istilahnya "GJ" (Gak Jelas) dan ujung-ujungnya pun mereka akan berujar: "EGP" (Emang Gua Pikirin?).

Kesimpulannya? Untuk menemukan maknanya di dalam pembelajaran, komponen pengetahuan tidak boleh dilepaskan dari kompleksitasnya. Dalam pandangan pendidikan holistik, koneksi dan konteks-lah yang justru menjadi penting untuk membangun makna bagi setiap butiran pengetahuan yang ingin kita sajikan kepada anak-anak kita.

Saturday, August 25, 2012

Living Manifesto from Holstee

for those who love life, for those who love cycling, then this video from Holstee is a must see!

Sunday, August 12, 2012

[trash] collectivism

TC, wah benda apa itu? Hmm, Trash Collectivism hanya istilah rekaan saya belaka. Supaya keren, begitu... supaya 'catchy' dan mudah diingat orang. Lalu apa sebenarnya TC itu? Terjemahan bebasnya adalah mengumpulkan sampah. 'TC' adalah salah satu hal sederhana yang bisa kita lakukan di rumah kita masing-masing untuk mulai mengolah sampah. Pertanyaan berikutnya yang mungkin muncul adalah "Untuk apa sampah kita olah? Namanya saja sampah?"

Secara sederhana, tujuan mengolah sampah adalah agar sampah itu punya nilai tambah. Selama ini di dalam benak kita, sampah adalah benda-benda yang tidak lagi ada gunanya. Pola pikir ini harus kita ubah. Sampah harus tidak lagi kita pandang sebagai sekedar sesuatu yang kita buang karena sudah tidak ada nilainya. Benda apapun yang sudah habis nilai fungsinya bagi kita perlu kita lihat dan temukan nilai lainnya - paling tidak nilai materialnya. Kenapa? Karena benda apapun yang kita gunakan, sumber / bahan bakunya pasti berasal dari alam. Segala sesuatu yang dimiliki dan tersedia di alam kita adalah terbatas (finite), bahkan sangat terbatas untuk mencukupi kebutuhan umat manusia yang sudah sekian miliar orang jumlahnya - dan masih terus bertambah.

Sebuah ilustrasi sederhana: plastik - termasuk juga kantong kresek atau plastik kemasan yang kita gunakan sehari-hari diolah dari bahan dasar minyak bumi. Salah satu turunan olahan minyak bumi (kalau tidak salah diistilahkan polimer) kita gunakan sebagai kemasan produk atau kantong pembawa barang-barang belanjaan kita sehari-hari. Sudah tidak banyak kita sadari lagi bahwa ketersediaan minyak bumi adalah sangat terbatas. Atau, kita sadar tapi tidak terlalu peduli atau paham betul apa dampaknya. Para ahli memperkirakan persediaan minyak bumi di planet kita ini akan habis dalam jangka waktu 20-30 tahun ke depan. Sebaliknya kita juga sering lupa bahwa alam perlu waktu jutaan tahun untuk memproses tumbuhan yang mati dan tertimbun dalam tanah untuk menghasilkan sejumlah besar minyak bumi untuk bisa kita manfaatkan.

Plastik (dalam bentuk tas plastik (kresek) atau kemasan) adalah produk yang jangka waktu manfaatnya paling pendek. Para pedagang toko dan warung dengan mudah mengeluarkan kantong kresek untuk kemudahan kita membawa belanjaan kita. Kita dengan mudah juga menerimanya. Di rumah tanpa berpikir juga kita lemparkan kantong kresek tersebut ke dalam tempat sampah. Kita berpikir, nilai fungsi dan ekonominya sudah tidak ada. Kita lupa, biaya ekologinya belum kita bayar. Kita lupa bahwa kantong kresek / kemasan yang kita sudah manfaatkan hanya dalam hitungan jam perlu ribuan tahun untuk terurai kembali secara di alam. Kita tidak bisa bayangkan berapa biaya yang harus kita keluarkan kalau kita diminta untuk menguraikan kembali seluruh sampah limbah yang kita hasilkan selama kita hidup.

Beberapa waktu lalu, dari sebuah situs lingkungan hidup (www.oneearth.org) saya belajar bahwa jumlah seluruh limbah yang dihasilkan untuk memproduksi sebuah mobil baru adalah 21 ton. 21 TON! Limbah tersebut dihitung mulai dari proses produksi baja, kaca, plastik, karet, kulit dsb. Mulai dari proses produksi bahan baku, bahan setengah jadi hingga ke produk akhir sebuah mobil yang dipajang di showroom. Harga yang dibayarkan untuk sebuah mobil baru adalah katakan sekian ratus juta rupiah. Pertanyaannya, apakah harga yang dibayar konsumen tersebut cukup untuk mengolah 21 ton limbah yang dihasilkan tersebut secara bertanggung jawab? Siapa yang membayar biaya ekologis untuk mengolah limbah hasil produksi mobil tersebut? Kemudian selama masa pakainya, apakah harga yang dibayarkan konsumen cukup untuk menggantikan emisi CO2 yang dihasilkan kendaraan tersebut selama dimanfaatkan? Betapa besar biaya ekologis yang tidak pernah kita bayarkan - dengan kata lain kita hutangkan - kepada planet kita dan tidak pernah kita bayarkan?

Hutang ekologis ini suatu saat HARUS kita bayar. Kalau bukan kita yang membayarkannya mulai dari sekarang, anak cucu kita-lah yang akan menanggungnya. Hutang ini akan muncul dalam bentuk kerusakan lingkungan yang luar biasa dan sangat sulit kita perbaiki kembali kondisinya. Disadari atau tidak gejala-gejala kerusakan lingkungan ini sudah sangat bisa kita rasakan - lewat perubahan iklim (climate change) - atau lewat banyak gejala-gejala pemanasan bumi (global warming) yang sudah begitu banyak dimunculkan oleh media. Sejauh ini kita masih pada tahap bicara dan berwacana, dan apa yang kita lakukan masih jauh-jauh dari cukup.

Kembali ke TC, konsepnya begini. Sederhana sekali. Perhatikan gambar di bawah ini. Gambar sebelah kiri adalah sebuah sikat gigi bekas yang saya buang ke tempat sampah - seperti yang selama ini kita lakukan. Setelah tempat sampah tersebut dikosongkan dan digabung dengan sampah-sampah rumah tangga lainnya, sikat gigi bekas tersebut kelihatan tidak ada harganya.  

kiri : 1 sikat gigi di dalam tong sampah | kanan : sekumpulan benda berbahan dasar plastik

Di gambar sebelah kanan, saya mengumpulkan sikat-sikat gigi bekas yang sudah tidak terpakai, sebelum saya 'berikan' kepada tukang sampah. Ada suatu nilai tambah di situ - karena ada upaya yang kita tanamkan di sana dengan mengumpulkan sampah kita sebelum kita keluarkan dari rumah kita. Ini yang saya istilahkan dengan nilai material. Secara fungsi - sebagai sikat gigi nilainya sudah habis - tapi yang muncul adalah sejumlah tertentu benda yang bahan dasarnya adalah plastik. Walaupun bukan kita yang melakukannya, saya yakin sekantong besar sikat gigi (baca: plastik) akan mendorong orang yang mengambilnya untuk berpikir dan mengubahnya menjadi sesuatu yang punya nilai ekonomi. Dengan mengumpulkan sampah kita per-jenis, kita mendorong orang lain melakukan recycling. Daur ulang adalah upaya kita untuk memperpanjang nilai fungsional / masa pakai dari setiap benda yang kita gunakan. Semakin banyak dari kita yang melakukan TC ini, akan semakin besar pula insentif bagi orang lain yang memang mencari penghidupan dari sampah / limbah untuk mendaur ulang. Ini adalah pemikiran mendasar dari TC.
contoh lain sampah yang bisa kita kumpulkan
Kalau hal-hal semacam ini kita lakukan terus menerus, secara fundamental, hal ini juga akan mengubah pola pikir kita terhadap sampah / limbah yang kita hasilkan.

Pada akhirnya kita bicara tentang kesadaran ekologis. Kesadaran adalah kemampuan kita melihat sesuatu melampaui apa yang terlihat secara kasat mata. Saat kita melihat sebuah buku, biasanya kita melihatnya hanya setumpuk kertas yang dijilid. Kita memiliki kesadaran, saat kita bisa melihat buku tersebut sebagai sebuah pohon.
Saat kita berbelanja di sebuah Super Market, apakah kita melihat bahwa di kiri-kanan rak pajangan produk sebagian besar daripadanya adalah sampah yang akan kita keluarkan dari rumah kita. Sampah kita tersebut akan ikut mengotori planet kita, tempat hidup kita.

Kesadaran kita akan menentukan sikap kita dalam melakukan segala sesuatu. Lepas dari terkenal atau tidaknya suatu produk, mungkin kita akan memilih produk yang kemasannya paling sederhana - sehingga sampahnya paling sedikit. Mungkin kita akan memilih produk yang dikemas menggunakan kertas daripada plastik...

Sejauh kita belum bisa melepaskan diri dari produk-produk yang dijual di toko-toko untuk kebutuhan hidup kita sehari-hari, paling tidak hal-hal sederhana semacam ini bisa kita lakukan. Dalam bahasa gerakan lingkungan hidup, sekecil apapun hal yang kita lakukan, hal tersebut pasti membawa perubahan."So, no matter how small, do it anyway!". Ayo kita coba!

Monday, August 6, 2012

Belajar Mengenal, Mengalami dan Menghayati Kebudayaan, Tinjauan Kritis terhadap Pelajaran Bahasa Sunda

Belajar mengenal, mengalami dan menghayati kebudayaan... Sudah lama wacana seputar ini berputar-putar di benak saya. Di berbagai kesempatan yang hadir, di dalam forum-forum dan bincang-bincang dengan berbagai kenalan, saya selalu mencoba menemukan sebetulnya apa dan bagaimana ihwal kebudayaan ini semestinya dihantarkan ke anak-anak kita di sekolah. Di kalangan birokrasi pendidikan, ini dikenal sebagai Mu-Lok (Muatan Lokal) Budaya. Di Jawa Barat khususnya, di sekolah, muatan kurikulum ini diterjemahkan sebagai Pelajaran Bahasa Sunda.

Dalam prakteknya sejak hal ini diterapkan, saya banyak melihat begitu mubazirnya upaya pendidikan ini. Kenapa mubazir, sederhana saja, karena banyak sekali siswa yang pada akhirnya benci Bahasa Sunda. Saya kira bukan Bahasa Sunda-nya yang salah, tapi pendekatan yang digunakan untuk menghantarkan salah satu aspek kebudayaan ini ke dalam alam belajar anak-anak kita.

Lalu suatu sore di wall facebook saya, seorang teman Sinta Ridwan memampang posting yang berbunyi begini:
Mengundang Bapak/Ibu/Saudara untuk menghadiri Talkshow Budaya, sebagai putaran ke-2 di Bandung dari 5 Kota di tanah air, dengan TEMA  : 
‘Nilai Warisan Budaya dalam Kajian Pengembangan berwawasan Pelestarian di Jawa Barat’

Penyelenggara : Komunitas Gambara  bekerja sama dengan majalah Warisan Indonesia.


Sore itu akhirnya sayapun menyempatkan hadir di pertemuan itu. Forum ini sebetulnya adalah forum sosialisasi kompetisi fotografi yang bertemakan kebudayaan - yang diinisiasi oleh majalah Warisan Indonesia. Pembicara di forum sore itu adalah tokoh-tokoh yang belum saya kenal sebelumnya, kecuali Prof. Bambang Sugiharto. Seperti biasa saya menyempatkan hadir untuk menemukan jawaban. Siapa tahu ada jawaban-jawaban yang mampir atas berbagai pertanyaan yang selama ini mondar-mandir di benak saya.

Kebudayaan adalah hal maha penting dalam kehidupan manusia di dalam masyarakat. Selain penting, keduanya juga semestinya tidak terpisahkan. Dalam perjalanannya, masyarakat tanpa disadari mengambil jarak terhadap apa yang disebut kebudayaan. Bukan lagi masyarakat yang salah, karena masyarakat sekedar ikut arus perkembangan peradaban yang ada. Tapi kita perlu bertanya, kenapa di banyak negara di dunia, kebudayaan asli yang tumbuh di dalam dan bersama masyarakat masih tetap tumbuh subur dan terpelihara, tapi tidak di Indonesia. Saya melihat bahwa ini adalah bagian dari keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah dalam memahami, memandang dan kemudian menempatkan kebudayaan dalam proses berkehidupan bangsa Indonesia. Kalau kita masih ingat, belum lama berselang, hal ihwal kebudayaan di Indonesia dikelola oleh Departeman Kebudayaan dan Pariwisata. Tentunya tidak salah kalau masyarakat akhirnya memandang kebudayaan hanya sebagai hal-hal yang bisa dijual sebagai komoditas pariwisata.Entah apa juga yang pada tahun 2012 mendorong berubahnya nama Kementrian Pendidikan Nasional kembali menjadi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada prakteknya, di bawah pak Menteri, kedua bidang ini dikelola terpisah oleh dua orang wakil menteri...

Kembali ke masalah MuLok Budaya, di Bandung, implementasi Mulok di sekolah-sekolah pada umumnya berangkat dari instruksi kepala daerah, dalam hal ini SK Gubernur. Walaupun kita sepaham bahwa pengenalan budaya itu penting, saya kira solusinya tidak sesederhana itu. Kalau para penyelenggara pendidikan paham arti pentingnya memahami kebudayaan lokal, tanpa instruksi gubernur-pun, sekolah-sekolah akan menghantarkannya kepada para muridnya. Sebaliknya, kalau tidak paham esensi apa sebetulnya yang menjadi landasan berpikir di belakangnya, sekolah-sekolah sekedar menjalankan SK gubernur, mengajarkan pelajaran Bahasa Sunda kepada murid-muridnya. Dengan segala hormat, Bapak Gubernur, segala sesuatu di dalam ranah pendidikan tidaklah sesederhana menuliskan selembar Surat Keputusan. Keberhasilan pendidikan sangat bergantung pada pemahaman mendasar para pelaksananya.  Lebih penting lagi bagaimana cara yang akan digunakan untuk menghantarkannya. Saat berbeda frekuensi antara pemancar dan penerima, pesan yang ditransmisikan tidak akan tersampaikan / diterima dengan baik. Kalau hal-hal semacam ini lewat dari perhatian kita, hampir bisa dipastikan, upaya-upaya yang dilakukan menjadi mubazir.

Salah satu kunci keberhasilan kita untuk menghantarkan anak-anak kita mengenal budaya / tradisi lokal adalah dengan memahami konteks kehidupan anak-anak kita sehari-hari. Kebetulan jawaban atas pertanyaan saya ini saya temukan di forum ini - lewat pernyataan mas Bambang yang kira-kira bunyinya begini, bahwa, "Anak-anak kita dewasa ini, tidak lagi hidup dalam tradisi ke-Sunda-an." Saya kira mas Bambang bicara dalam konteks anak-anak kita yang hidup di kota Bandung - kota yang nyaris metropolitan di jaman sekarang ini. Memang demikianlah adanya. Saya sering mengungkapkan bahwa bagi anak-anak kita ini, Bahasa Sunda adalah sesuatu yang lebih asing dari Bahasa Inggris. Sederhananya, persentuhan mereka dengan Bahasa Inggris - lewat media apapun - jauh lebih intens daripada persentuhan mereka dengan kebudayaan asli yang dilahirkan oleh tempat di mana mereka tinggal - di Tatar Sunda, misalnya. Bagi mereka, belajar Bahasa Sunda seakan justru membawa mereka menjauh mereka dari pola kehidupan yang mereka jalani sehari-hari.

Umtuk mencapai sasaran pendidikan bagi anak-anak kita memahami dan menghayati kebudayaannya, saya kira kita perlu mengembangkan cara-cara yang lebih canggih (sophisticated) daripada sekedar mengaturkan jam pelajaran di sekolah - sebagai contoh - Bahasa Sunda. Kemudian guru mengajari mereka apa dan bagaimana Bahasa Sunda dari satu buku paket ke buku paket lainnya. Pertama-tama secara sederhana tentunya kita ingin menghindari bahwa apa yang kita kerjakan menjadi mubazir karena metode yang tidak tepat.

Kedua, justu karena kita meyakini bahwa kesadaran budaya adalah sesuatu sesuatu yang penting sebagai bagian dari kesadaran diri mereka secara utuh. Dari sudut pandang spiritualitas, kita mestinya meyakini bahwa kelahiran manusia di suatu tempat di muka bumi ini, memiliki suatu makna. Kita perlu memfasilitasi anak-anak kita untuk bisa memaknai kenapa mereka dianugerahi kehidupan di tanah di mana ia dilahirkan. Hal esensial berikutnya adalah membantu anak mengenal identitasnya, mengenal 'akar' kehidupan mereka. Kalau kita memahami betul lokalitas kita sebagai bagian dari identitas diri kita, barulah kemudian eksistensi kita menjadi berarti, karena kita menjadi bukan sembarang orang yang tidak jelas asal-usul dan akarnya - kita menjadi serupa seperti sekian miliar orang lainnya di muka bumi ini...

Lalu bagaimana cara mencapainya? Pengembangan metode adalah kata kunci yang pertama. Saya berpendapat bahwa bagi kita yang tinggal di dunia yang semakin modern dan serba terkoneksi secara global, tradisi dan kekayaan lokal adalah warisan kekayaan yang luar biasa - dan karenanya perlu kita jaga. Caranya bagaimana adalah dengan merayakan kebudayaan kita tersebut (celebrating our culture). Karena kebudayaan itulah yang menjadi bagian terpenting dari ciri dan acuan eksistensi diri kita di dalam pergaulan yang sangat global saat ini. Hal inilah yang dilakukan oleh negara-negara maju yang sangat memegang teguh kebudayaannya. Mereka tidak henti-hentinya merayakan kebudayan mereka. Disadari atau tidak negara-negara yang melakukan inilah yang berhasil terus menjaga eksistensi mereka di kancah global. Saya yakin, di level individual berlaku hal yang sama. Kalau sekolah-sekolah kita bergerak dari paradigma merayakan kebudayaan, alih-alih mengajarkan bahasa daerah, saya yakin kebudayaan kita akan sangat terjaga eksistensinya. Anak-anak kita akan memandang kebudayaan lokal mereka sebagai sesuatu yang berharga dan bernilai tinggi, bukan sebagai sebuah beban.

Kata kunci yang kedua adalah membangun kesadaran. Awareness. Membangun kesadaran bahwa dalam dunia yang semakin global, lokalitas menjadi semakin tinggi nilainya. Dalam penjelasan yang sederhana, semua orang akan bisa bicara bahasa Inggris, tapi suatu waktu, orang-orang yang menguasai Bahasa Sunda (atau aspek kebudayaan lainnya) akan menjadi langka dan semakin dicari dan dibutuhkan. Dalam lansekap global, hanya ada dua hal yang tidak bisa diduplikasi dan direproduksi yaitu keunikan ekologis atau kerenikan sebuah kebudayaan. Dua hal ini akan memang sangat lokal sifatnya. Untuk melihat / menikmatinya, kita harus datang ke lokasi tertentu di manapun di dunia untuk dapat menikmati secara orisinal hal-hal tersebut. Fenomena ini diulas secara khusus oleh John Naisbitt dalam bukunya Global Paradox.

Sebagai penutup, tulisan ini adalah kesimpulan sementara dari proses pencarian saya yang sudah cukup panjang. Bagi saya pribadi, yang berketurunan Cina, lahir di Bandung dari orang tua (bahkan Kakek Nenek) yang lebih fasih berbahasa Belanda daripada Tionghoa dan menganut agama Katolik, persoalan akar, kebudayaan dan identitas sempat menjadi pertanyaan besar buat saya. Saya kira, pendidikan punya peran besar dalam hal ini. Apalagi kita hidup di Indonesia yang berBhinneka Tunggal Ika. Semoga bagi anak-anak kita, keberagaman yang begitu luar biasa di negeri Indonesia ini betul-betul bisa menjadi kekayaan yang tak ternilai bagi kehidupan mereka di era global ini...



Sunday, August 5, 2012

What is Holistic Education?

Holistic Education ...
  •  is concerned with the growth of every person's intellectual, emotional, social, physical, artistic, creative and spiritual potentials. It actively engages students in the teaching/learning process and encourages personal and collective responsibility.
  • is a quest for understanding and meaning. Its aim is to nurture healthy, whole, curious persons who can learn whatever they need to know in any new context. By introducing students to a holistic view of the planet, life on Earth, and the emerging world community, holistic strategies enable students to perceive and understand the various contexts which shape and give meaning to life.
  • recognises the innate potential of EVERY student for intelligent, creative, systemic thinking. This includes so-called "students-at-risk", most of whom have severe difficulties learning within a mechanistic reductionistic paradigm which emphasises linear, sequential processes.
  • recognises that all knowledge is created within a cultural context and that the "facts" are seldom more than shared points of view. It encourages the transfer of learning across the chasms that have separated academic disciplines in the past. Holistic education encourages learners to critically approach the cultural, moral and political contexts of their lives.
  • values spiritual knowledge (in a non-sectarian sense). Spirituality is a state of connectedness to all life, honouring diversity in unity. It is an experience of being, belonging and caring. It is sensitivity and compassion, joy and hope. It is the harmony between the inner life and the outer life. It is the sense of wonder and reverence for the mysteries of the universe and a feeling of the purposefulness of life. It is moving towards the highest aspirations of the human spirit.
quoted from Holistic Education Network of Tasmania (www.hent.org)

Friday, July 20, 2012

lagi... Bincang Edukasi di Bandung

Kata banyak orang, Bandung itu Kota Pendidikan. Seperti apa pendidikannya, memang tidak banyak dibahas. Apakah ada yang bangga dengan status itu, saya tidak tahu, mungkin tidak banyak juga yang peduli. Mungkin label ini disebut-sebut oleh PemKot untuk memberikan identitas tertentu bagi kotanya. Mungkin juga supaya banyak pelajar mahasiswa dari luar kota yang mencari sebentuk wadah pendidikan untuk melirik kota Bandung sebagai pilihan utamanya. Apakah warganya peduli, mungkin juga tidak. Apakah saya peduli menjadi seorang dari jutaan warga Kota Pendidikan, rasanya juga tidak, biasa saja. Lalu bagaimana?

Sebagai warga Bandung yang cukup punya keprihatinan sekaligus kepedulian untuk pendidikan, saya akan lebih peduli dan bangga kalau Bandung bukan sekedar punya banyak sekolah dan kampus, tapi Bandung jadi kota di mana ditelorkan banyak gagasan dan inovasi pendidikan. Lama sudah lewat waktunya saya mendapat kesempatan dengan salah seorang dosen jurusan Seni Rupa di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) di dalam sebuah forum tentang pendidikan. Beliau (Bapak Bambang Sapto) berkomentar begini, "Aneh ya, inovasi pendidikan kok selalu muncul dari luar UPI". Nah lho. Bagaimana ini? Sejak diskusi itu berlangsung sampai hari inipun, dari bincang-bincang saya dari teman-teman mahasiswa dan lulusan UPI, kesan itu masih kental terasa. Tapi entah, karena saya tidak tahu persis seperti apa suasana dan situasi UPI sesungguhnya. Yang terlihat secara kasat mata, UPI semakin mentereng dan megah, terus membangun gedung-gedung baru. Pertanyaannya, di tengah segala bentuk 'kemajuan' ini apakah UPI juga menyumbangkan gagasan, terobosan dan inovasi tentang konsep-konsep baru pendidikan? Saya hanya berharap semoga nasib UPI di Kota Pendidikan Bandung ini tidak menjadi seperti TPI, Televisi Pendidikan Indonesia yang akhirnya bermutasi jadi stasiun siaran TV yang saat ini penuh dengan tayangan sinetron dan musik dangdut. Bagaimana dengan institusi pendidikan lainnya, saya juga tidak tahu karena tampaknya mereka hanya sibuk dengan menghasilkan ribuan wisudawan setiap tahun, ibarat pabrik-pabrik yang terus berlomba mengeluarkan produk-produknya. 

Sabtu lalu, tanggal 7 Juli 2012, di sebuah ruang kecil yang nyaman, berkumpul sekitar 80-an warga Bandung (dan luar Bandung) untuk berbincang tentang pendidikan. Bincang Edukasi namanya. Nah, ini yang justru bikin saya bangga. Karena sekumpulan kecil individu ini berkumpul untuk saling berbagi dan menginspirasi dalam visi bersama memperbaiki dunia pendidikan kita. Dalam waktu singkat, sejak bulan Maret, forum ini adalah BinEd ke tiga di Bandung dan ke 8 di Indonesia. Pertama kali Bined diinisiasi di Surabaya oleh Kresha Aditya, dan teman-teman, lalu kemudian beralih ke Jakarta. Apresiasi yang besar atas inisiatif kurator BinEd Ardandi Andiarti dan Deta Kristanti yang berhasil memboyong dan merealisasi BinEd di Bandung.

 rekan Danti, Deta kurator BinEd Bandung dan Kreshna salah satu inisiator BinEd

BinEd #8 ini diisi 5 presentan. Tiga di antaranya kebetulan sudah saya kenal, lebih lanjut saya beruntung bisa berjumpa dengan dua lagi pegiat pendidikan yang berkegiatan di dua segmen pendidikan yang berbeda. Yang pertama Maya Hirai yang mengelola Rumah Origami, kemudian Fitri yang mengelola Yayasan Cakrawala Baca. Listia Rahmandaru berbagi tentang Bandung Berkebun, kemudian ada dua rekan pendidik yang lebih senior, Bpk Iwan Pranoto dan Kang Wawan Husein. Kang Wawan membawakan kisah Marlin Kundang (yang jemprol) yang sekolah dan menjadi chef di Inggris sana, sebuah versi alternatif dari kisah yang selama ini kita terima, dibawakan secara teatrikal oleh kang Wawan.

Pak Iwan tidak membahas banyak, sebetulnya. Walaupun apa yang disampaikan adalah sesuatu yang sangat fundamental sifatnya. Kami yang datang diajak untuk mendengarkan sebuah lagu dari Genesis "Silver Rainbow", bagaimana pendidikan adalah perjalanan membawa anak-anak didik berjalan sampai beyond the silver rainbow, lupa diri, lupa segala sesuatu pada saat guru berhasil membangkitkan antusiasme mereka belajar. Kata kuncinya adalah hasrat, passion. 

Sementara tiga rekan presentan pertama menghantarkan pesan bagi kita bagaimana edukasi adalah sesuatu yang sangat luas, pendidikan bisa sangat dicapai melalui berbagai cara dan media. Saya kira pesannya secara umum adalah kita perlu sangat berpikir ulang mengenai pola-pola pendidikan yang membatasi dan mengkotak-kotakkan (apakah itu kurikulum yang kaku, tes-tes standar, batasan ruang kelas, buku-buku paket dan lain sebagainya) dan merancang ulang pendidikan yang bisa memberdayakan anak-anak kita yang dilahirkan ke dunia dengan potensi yang begitu luar biasa oleh Sang Penciptanya. Kang Wawan merefleksikan hal ini dengan cerdas dengan mengingatkan bagaimana kita selama ini terpaku atas hanya satu versi cerita Malin Kundang. Apakah tidak boleh kita mengimajinasikan perjalanan hidup Maling Kundang secara berbeda? Bukankan berpikir lateral - berpikir alternatif adalah juga bagian penting dari sebuah keterampilan hidup.


Kenapa rekan-rekan presentan memilih dan mendalami bidang yang disukainya, yang dicontohkan melalui berkebun, origami atau dunia kepustakaan - misalnya, adalah contoh sederhana bagaimana seseorang bisa berbuat banyak saat bersentuhan dalam aliran energi kehidupannya, hidup dalam hasratnya. Pak Iwan yang menurut pengakuannya adalah seorang yang malas menghafal, menemukan matematika sebagai hasrat kehidupannya. Kang Wawan lewat kejeprutannya dalam kesenian, menemukan berbagi - mendidik lewat mendongeng / story telling sebagai jalan hidupnya yang bertahun-tahun dijalaninya dengan penuh cinta.

Kesimpulannya buat saya pribadi, Bined 8 kali ini mengingatkan kita semua bahwa salah satu tugas utama pendidikan adalah bagaimana kita bisa membantu anak-anak yang kita dampingi menemukan diri dan hasrat kehidupannya - apapun itu bentuknya. Hakikat pendidikan adalah bukan soal kurikulum atau dana BOS; adalah bukan juga soal UN atau akreditasi. Kalau kita para pendidik: guru, orang tua - seperti diingatkan mas Soelis dan tidak ketinggalan masyarakat, memahami dan menghayati betul soal ini, anak-anak kita akan tumbuh dewasa dengan harapan besar. Lebih jauh lagi, bangsa Indonesia akan juga punya harapan - mengingat kita setelah sekian lama merdeka masih hidup di dalam segala bentuk kemiskinan...

Akhirnya, terima kasih banyak kepada rekan-rekan presentan atas segala inspirasinya. Salam Pendidikan!


Sunday, June 17, 2012

human spirit needs nature


The image above somehow struck me when suddenly I realise how detached we are as human beings, as a creature of nature from its natural surroundings. We now drink bottled watter, breathe from machined air (air conditioning), and walk on artificial grass. Now at least we wear shoes and sandals day in day out, something we take for granted yet it is something that actually disconnect us from our mother earth. (see www.earthing.com)
Something that really reduces our humanity because human being really shouldn't be disconnected from
our natural parents...

When you watch movies like the Avatar, they tell stories that we are connected to the natural world more than we realize, then you might realize that technologies and all things modern are actually moving us away from the very core of our being.

Getting in touch with nature is important, simply because human beings are part of it. If we realize that this is true, than we need to be aware that today, nearly everything that we do destroy our natural environment. We human beings have to somehow managed to save some (if not most) of the natural environment in this planet. Leaving places pristine enough for us to let us get back and find our very soul. As we are part of this world we live in. A natural world that has a spirit. And this is the same spirit that we need to live by as true human beings. So it is really our duty to protect the planet, as we need to protect ourselves...

I got this picture from Louise Smith's Album, a friend I met on facebook. Her page Lessons of Life has been a great source of inspiration to me. And somehow we share the same hobby, mountain biking. I visit her page every now and then and without really realising it, I always try to spend time to visit her page to find some inspirations, words to life by that relate to my situation. 

Sunday, May 20, 2012

Holistic Education: A response to the crisis of our time


Holistic Education:  A response to the crisis of our time

Holistic Education began to emerge as a coherent philosophy in the mid-1980s and is today becoming recognized in many parts of the world as an inspiring response to the serious challenges of this age of globalization, such as violence, cultural disintegration, and ecological decline.

Bringing together the best theory and practices from diverse educational alternatives, a holistic perspective asserts that education must start by nourishing the unique potentials of every child, within overlapping contexts of family, community, society, humanity, and the natural world. Holistic education is not a fixed ideology but an open-ended attempt to embrace the complexity and wholeness of human life.

Holistic educators reject the current obsession with educational uniformity: rigid standards, relentless testing, and authoritarian control of the learning process. Holistic education is essentially a democratic education, concerned with both individual freedom and social responsibility. It is education for a culture of peace, for sustainability and ecological literacy, and for the development of humanity’s inherent morality and spirituality.

Quoted from www.pathsoflearning.net

Wednesday, May 2, 2012

Manusia Indonesia adalah bukan Sumber Daya

Bapak Muhamad Nuh berpesan begini dalam pidato peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2012 : "Kita harus melakukan investasi besar-besaran dlm bidang SDM"...

Saat kita memandang dan memperlakukan manusia-manusia Indonesia sebagai sekedar SUMBER DAYA, sebagai komoditi yang bisa dihitung-hitung untung ruginya, diukur lebih kurangnya... manusia-manusia Indonesia yang (semestinya) luar biasa tidak akan muncul sebagaimana Sang Pencipta memaksudkannya.

Manusia adalah ciptaan Tuhan yang demikian luar biasa. Ciptaan Tuhan yang tidak bisa direkayasa kecanggihannya! Yang bisa kita lakukan adalah menyiapkan lahan subur di mana manusia Indonesia dengan segala kerenikan individualitasnya,
yang hidup dalam kompleksitas lingkungan sosial budaya dan alamnya... dapat menumbuhkan keunikan dan potensi individunya. Pendidikan adalah memanusiakan manusia dengan segenap hakikat kemanusiaannya.

Manusia Indonesia adalah bukan Sumber Daya - wahai pak Menteri. Pendidikan adalah BUKAN mengenai investasi untuk sejenis sumber daya, apalagi anda bicara tentang manusia Indonesia...

Sunday, April 29, 2012

Jiwaku :: puisi Ibnu Al'Arabi

Jiwaku telah siap menerima segala bentuk:
Jiwaku adalah rumput hijau bagi kawanan rusa
dan menjadi sebuah biara bagi rahib-rahib kristen
dan sebuah kuil pemujaan
dan para penjiarah Ka'bah
dan meja untuk Taurat
dan kitab Kur'an
aku mengikuti agama cinta
Apapun dan kemanapun unta-unta berjalan,
Itulah agamaku dan imanku

dari Puisi Ibnu Al'Arabi, The Tarjuman Al-Ashwaq, buku xi, dikutip oleh Danah Zohar, hal. 293
disampaikan di kuliah Extension Course Filsafat 2009, oleh Romo Fabie
... seandainya jiwa kita manusia bisa seterbuka ini ...  

Saturday, April 21, 2012

Menjadi Terang di dalam Kegelapan...

Kadang saya berpikir bahwa anak-anak Indonesia yang tidak bisa bersekolah formal 'lebih beruntung' dari pada mereka yang berada di dalam sistem pendidikan - dengan catatan mereka punya pendamping-pendamping yang memang punya hati (cinta tak bersyarat - seperti diungkapkan di Tayangan Kick Andy). Posting ini saya tuliskan seusai menonton tayangan liputan kawan-kawan dari Rumah Belajar SAHAJA (Sahabat Anak Jalanan).

Kenapa beruntung, karena pertama-tama mereka masih punya kemerdekaan. Kemerdekaan sebagai anak-anak dan individu yang merupakan bingkai kemanusiaan yang terutama. Komponen penentu selanjutnya adalah bahwa mereka punya pendamping-pendamping - para pendidik yang memberi mereka cinta melalui perhatian dan apresiasi. Mungkin begini, kemerdekaan berpikir itu ibarat bahan dasarnya. Saat anak-anak tersebut mendapatkan perhatian dan apresiasi, bahan dasar itu seperti berjumpa bahan bakarnya. Apa itu bahan bakarnya? HARAPAN. Sampai suatu saat anak-anak dapat menemukan bahwa semangat hidupnya bisa berkobar dan menyala besar saat menyadari dirinya berharga sebagai seorang manusia. Bahwa ia PERLU dan BISA ADA (eksis) di tengah sesamanya. Sangat mengharukan saat adik-adik Sahaja dengan tegas berani berucap, aku ingin jadi presiden, yang satunya ingin jadi pedagang kaya yang bisa bantu anak-anak jalanan. Yang lain lagi ingin jadi Da'i, ada pula yang ingin jadi masinis, menggantikan ayahnya yang cacat karena kecelakaan kereta api. Saya hanya bisa tertegun mendengarnya. Di tengah segala kesulitan hidup yang menghimpit mereka, mereka justru punya visi hidup yang luar biasa.

Dari beberapa perjumpaan sebelumnya, saya mengalami beberapa hal yang serupa, kenapa akhirnya kesimpulan di atas ini muncul. Saya sempat berjumpa dengan Butet Manurung dan mendengar paparannya tentang Sokola Rimba. Sekolah yang diritisnya di kawasan Rimba Bukit Dua Belas di pedalaman Riau. Butet bercerita bahwa ia harus tinggal 8 bulan di dalam rimba sebelum ia diterima oleh masyarakat pedalaman untuk hidup bersama mereka dan mendidik anak-anak mereka. Contoh lagi, pendidikan yang berpijak atas cinta tak bersyarat.

Sekitar tahun 2005, saya pernah duduk dalam sebuah diskusi di Taman Budaya bersama anak-anak asuhan Sanggar Anak Akar - yang dirintis Romo Sandyawan di Jakarta. Merekapun anak jalanan. Duduk bersama saya seorang anak remaja berpenampilan 'punk' dengan pakaian serba hitam, asesoris tindik di mana-mana dan tato di lengannya. Sangat mengejutkan buat saya saat ia berbicara dengan begitu kritis dan cerdasnya. Bahkan melampaui rekan-rekan mahasiswa yang pernah saya fasilitasi di sebuah Lembaga Pendidikan Tinggi Swasta di Bandung. Sangat percaya diri, sangat menguasai apa yang dibicarakannya - padahal anak muda ini tidak pernah 'makan sekolahan'. Cerita punya cerita, Sanggar Anak Akar ternyata punya program-program pendidikan luar biasa, ada diskusi filsafat, kelas Bahasa Inggris dan lain sebagainya. Mereka hadir saat mereka merasa berminat dan memang ingin membangun dirinya. Mereka hadir di sana berpijak atas kemerdekaannya, atas keinginan dirinya lepas dari kungkungan situasi yang mereka rasakan sehari-hari. Mereka hadir bukan karena target nilai atau ranking, bukan karena kewajiban absensi dan kehadiran, mereka hadir karena mereka ingin belajar dan membangun diri mereka. Perjumpaan ini sangat berkesan, sehingga masih terbayang jelas suasana pertemuan hari itu.

Satu lembaga lain yang saya cukup kenal di Bandung adalah teman-teman di Rumah Musik Harry Roesli. Putra almarhum (Yala Roesli) dan teman-temannya meneruskan apa yang dibangun oleh ayahnya almarhum Harry Roesli. Almarhum - panggilan teman-teman di RMHR dengan tangan terbuka mengajak anak-anak jalanan dari beberapa tempat di kota Bandung untuk bermusik dan berkreasi. Sambil waktu berjalan, merekapun mendapat kesempatan untuk melihat dan mengalami banyak hal di luar realita keseharian mereka. Mereka berjumpa dengan para pendamping dan relawan yang mengenalkan mereka dengan potensi mereka yang sesungguhnya - menyirami mereka dengan harapan. Pada satu kesempatan, RMHR menggelar rangkaian pameran dan pagelaran yang menunjukkan potensi mereka yang luar biasa.

Lalu bagaimana dengan anak-anak yang berada di dalam sistem pendidikan formal? Mereka seakan beruntung setiap pagi berangkat ke sekolah dengan berseragam, bertahun-tahun menerima pendidikan alih-alih berkeliaran di jalananan. Yang perlu kita sadari, pendidikan formal justru mengungkung dan menekan kemerdekaan anak-anak kita. Kebanyakan anak-anak kita yang bisa duduk di bangku sekolah seakan digiring ke dalam satu lorong sempit yang menyamakan mereka ke dalam pola pikir dan sistem nilai yang serba seragam. Mulai dari seragam sekolah, berbaris masuk kelas, duduk di susunan bangku yang tidak pernah berubah dari tahun ke tahun. Rutinitas harian yang sama dari hari ke hari. Anak-anak digiring berpikir dalam kungkungan buku paket - dan menjawab pertanyaan pilihan berganda - dengan hanya ada satu jawaban yang benar. Mereka dinilai, dievaluasi, dirunutkan dalam satu sistem rangking yang melarutkan hakikat mendasar mereka sebagai manusia. Hal ini berjalan dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, selama anak duduk di bangku sekolah. Pendidikan (formal) justru mencerabut mereka dari kemanusiaan mereka. Coba saja tanya cita-cita anak-anak yang duduk di sekolah formal. Mereka akan menjawab "tidak tahu" atau menjawab normatif tanpa tahu betul apa makna jawaban mereka.

Keberlimpahan dan (seakan) banyaknya pilihan justru menjadikan mereka tidak sensitif terhadap kehidupan dan kemerdekaan mereka sebagai manusia.. Anak-anak muda kita yang berkecukupan dan berkesempatan sekolah justru menjadi pragmatis... sekolah, kuliah, kerja, nikah, punya anak, menafkahi keluarga... that's it!  Lalu apa sumbangsih mereka bagi kehidupan kalau pola pendidikan kita menghantar anak-anak kita dalam satu pola pikir yang sangat egosentris.

Ada sesuatu pada akhirnya yang sangat bertentangan dengan hakikat KEHIDUPAN - anugerah dan karunia Tuhan yang begitu kaya dengan dinamika yang tak terhingga. Ada pola pikir yang salah besar dalam sistem pendidikan kita. John Dewey menggaris-bawahi hal ini dengan bernasnya :  
"Education is not preparation for life. Education is life itself"

Tulisan ini saya dedikasikan untuk rekan Inun dan Fajar, dua rekan relawan Rumah Belajar SAHAJA yang pernah saya jumpai langsung dan berbincang dengan saya. Suatu kehormatan bagi saya berjumpa dengan kalian mewakili teman-teman SAHAJA yang belum pernah saya jumpai secara langsung. Indonesia beruntung bahwa masih banyak anak-anak muda yang membawa bersamanya Cinta Tak Bersyarat buat bangsanya. Untuk anak-anak Sahaja, kalian menjadi terang dalam kegelapan, yakinlah bahwa merekapun - suatu saat nanti - akan menjadi terang dalam kegelapan. Terima kasih atas segala inspirasinya.

Saturday, March 17, 2012

Refleksi Bincang Edukasi #5 di Bandung


Pagi – siang tadi, saya hadir di Bincang Edukasi di Bandung. Bertempat di Boemi Nini, sebuah tempat yang walaupun kecil suasananya nyaman dan ngendonesia sekali. Pengunjung kabarnya ada seratusan lebih, di luar perkiraan panitia yang menduga akan dihadiri sekitar 70-an pengunjung. Pengunjung duduk lesehan, sebagian di atas tikar di lapangan rumput. Asik. Di hari ini ada empat orang yang diminta berbagi secara singkat tentang visi dan proses menjalankan sesuatu dalam konteks pendidikan. Sebuah forum yang saya pribadi melihat sangat dibutuhkan sebagai wadah saling berbagi dan saling belajar untuk memperbaiki dunia pendidikan di Indonesia.

Sesaat sebelum giliran saya berbagi, saya baru menyadari kecermatan teman-teman kurator (Deta Ratna Kristanti dan Ardanti Andiarti) memilih para pembicara. Disadari atau tidak presentan (terlepas dari apa yang dibicarakannya) mewakili wilayah pendidikan yang berbeda. Puti bercerita tentang Rumah Mentari, bagaimana Puti dan teman-temannya menyentuh anak-anak yang seakan tidak tersentuh pendidikan yang semestinya. Rumah Mentari dikembangkan di daerah Dago Utara, bersama teman-teman volunteer – berbagi cahaya dan semangat untuk anak-anak untuk bisa belajar banyak hal. Kandi dan Komunitas Sahabat Kota beranjak dari keprihatinan atas kota Bandung yang tidak lagi ramah dan semakin berjarak dari warga kotanya – khususnya anak-anak. KSK menggerakan sesama muda melakukan hal positif menjadi fasilitator dan mendampingi anak-anak di Bandung untuk mengenal kotanya lebih dekat. Anyi dan Ibut datang dari sudut pandang yang sangat berbeda – bergerak dari bagaimana musik menjadi komoditi industri – bukan lagi sebagai media ekpresi dan mengapresiasi kehidupan – terutama dalam proses pendidikan anak-anak. Save Our Music – musik kitapun harus kita selamatkan. Sedangkan saya berbagi cerita bagaimana Rumah Belajar Semi Palar dibangun agar menjadi wadah pendidikan anak-anak secara utuh (holistik) – supaya anak-anak bisa berkembang dengan segala potensinya secara utuh – di dalam sebuah lembaga pendidikan formal (sekolah).

Dari sudut lain, segala keprihatinan yang mendorong teman presentan untuk melakukan apa yang dilakukannya sekarang di komunitas / institusinya seperti menjadi gambaran bagaimana dunia pendidikan di Indonesia memiliki masalah di berbagai sudutnya. Bahkan untuk anak-anak yang memiliki kesempatan bersekolah. Dunia pendidikan memang kompleks luar biasa. Sepintas tampak sederhana dan sangat terprediksi segala sesuatunya. Tapi dengan mudah kita menemukan sudut-sudut yang bermasalah, tidak terperhatikan, atau perlu dibenahi. Ibarat puncak gunung es yang bisa kita lihat / amati di atas permukaan, sementara kita tidak tahu apa yang tersembunyi di kedalaman lautan. Kita perlu mengatasinya bersama, bekerja sama mengolahnya dari berbagai arah. Kenapa forum-forum seperti ini jadi kebutuhan besar bagi banyak dari kita, semestinya karena memang pendidikan di Indonesia dalam banyak hal harus diperbaiki.

Satu hal yang menjadi kesamaan adalah teman-teman semua (termasuk Rumah Belajar Semi Palar) mengawali langkah dengan berpijak dari sebentuk keprihatinan. Saya yakin teman-teman presentan (Puti, Kandi, Anyi dkk.) ingin membagikan hal yang sama, apapun yang bisa kita lakukan, di manapun adanya, bagaimanapun caranya, sebesar atau sekecil apapun, mendidik, membangun orang lain adalah hal sangat bisa kita lakukan. Kalau kita punya secuil keprihatinan, kita perlu berhenti mengomel atau berkeluh kesah dan melakukan sesuatu yang nyata, melalui apa yang kita bisa.  Seperti kata Anyi, daripada kita berpikir mencari-cari apa yang mendorong kita harus melakukannya, kita perlu berpikir sebaliknya, hal apa yang membuat kita tidak berbuat sesuatu?

Saya pribadi berpikir, kalau pertemuan-pertemuan semacam ini bisa menyalakan sepercik semangat dan keyakinan dalam diri teman-teman yang hadir, memberikan seberkas inspirasi dan motivasi untuk mulai melakukan sesuatu – melalui pendidikan, forum ini sudah memberikan hasilnya. Sebesar apa hal yang dilakukan saya kira hal itu tidak penting. Kalaupun ada seorang yang terinspirasi untuk mendampingi satu orang di luar dirinya (misalnya seorang anak di lingkungan sekitar rumah tinggal kita) saya kira hal itu sudah luar biasa. Kita bisa menjadi cahaya cahaya buat lingkungan sekitar kita. Memang di akhir pertemuan saya dan beberapa teman sempat berbincang dan beberapa teman bercerita tentang apa yang sudah dan ingin mereka lakukan. Senang sekali saya mendengarnya.

Suatu kehormatan bisa berbagi di Bincang Edukasi. Sebuah forum terbuka untuk pendidikan Indonesia yang diinisiasi Kreshna Aditya dan teman-teman. Sungguh menyenangkan melihat bahwa semua yang hadir membawa sesuatu ke pertemuan tadi. Ada satu energi yang mengikat semua yang hadir tadi. Saya yakin apa yang mendorong semua yang hadir di forum tadi, mulai dari para pengunjung, kurator, presentan, adalah semangat untuk pendidikan Indonesia. Bagaimanapun caranya, sebesar apapun skalanya. Terima kasih buat semuanya.



Thursday, March 8, 2012

menuju Earth Hour 2012 : sebuah refleksi

Hari Minggu yang lalu, tanggal 4 Maret 2012, sekelompok manusia berkaos hitam bergambar huruf besar 60+ berkumpul di area Car Free Day - Dago. Tulisan ini bukan melambangkan usia 60 tahun ke atas, tapi kelompok ini berada di sana untuk mengampanyekan gerakan global Earth Hour... 60 menit dari waktu kita untuk sebuah langkah bersama membangun kesadaran tentang planet kita, planet bumi : Earth Hour.

Sederetan teks pendek di layar hape-ku yang aku terima dari seorang teman mendorong aku untuk menuju ke tempat yang sama. Pagi-pagi sepeda kesayangan aku siapkan dan menggoweslah aku ke Dago untuk bergabung dengan teman-teman di sana.

Sudah sejak tiga tahun ini aku bersama keluargaku di rumah ikut mematikan lampu - satu jam dari jam 20.30 sampai jam 21.30, seperti jutaan manusia penghuni bumi di banyak tempat di seluruh dunia... Sepertinya bukan hal sulit, tapi dilihat-lihat tidak banyak juga yang melakukannya. Banyak wajah-wajah penuh tanda tanya (dan curiga) yang muncul pada saat mereka bertemu dengan para volunteer Earth Hour ini. Tentunya ini menjadi alasan utama kenapa rekan-rekan dari berbagai komunitas - maupun individu berkeliaran di Dago membawa papan2 informasi dan mengajak pengunjung Car Free Day untuk paling tidak mulai mengenal apa yang disebut Earth Hour... 

teman-teman volunteer Earth Hour 2012

komitmen-komitmen yang diberikan untuk Earth Hour dan gerakan hemat energi...

Pak Sariban, tokoh lingkungan hidup kota Bandung yang membawa semangat luar biasa...
Buat aku pribadi, Earth Hour akhirnya bukan sekedar mematikan lampu. Waktu 60 menit ini setiap tahun ibarat menjadi momen perenungan, kontemplasi, tentang relasi aku sebagai manusia-satu individu penghuni planet bumi dengan planet bumi yang menjadi tempat berpijakku sepanjang hidup. Memang menjadi pas, saat kita mematikan lampu dan segala peralatan elektronik. Suasana menjadi hening, gelap... beralih dari suasana yang biasanya didominasi benderang cahaya lampu, kilau layar bergambar dan segenap suara yang muncul dari kotak kaca di ruang keluarga...

Saat kita mematikan lampu dan segala peralatan elektronik, seakan kita kembali ke situasi primitif saat  setiap malam setelah beraktifitas manusia berada dalam situasi hening, kontemplatif, di mana dengan segera manusia merasa kecil berada di tengah kebesaran alam semesta dan Sang segala Pencipta. Teknologi memang mudah membuat manusia menjadi pongah dan arogan, karena manusia menjadi mampu memotong jarak, menghilangkan waktu, membongkar keheningan, merasa kuat dan perkasa. Akibatnya, manusia jadi kehilangan kebijaksanaannya, lupa diri, lupa pada kedebuannya. Lupa bahwa manusia adalah hanya sebagian kecil dari kebesaran alam semesta dan penciptanya... 

Konon planet bumi-pun punya jiwa, punya spirit, apa yang dikenal sebagai Gaia. Bumi adalah sesuatu yang 'hidup'. Aku percaya itu. Karenanya apabila kita tidak cukup memberi perhatian untuk planet kita ini, relasi kita akan terputus, dan siklus kehidupan (circle of life) pada akhirnya akan terganggu juga. Global Warming adalah salah satu gejalanya. Aku sering mengistilahkannya sebagai bumi yang sedang sakit (meriang) - sedang demam. Karena kita semua, umat manusia melalui segala bentuk aktifitasnya terus memborbardir planet bumi sendiri dengan racun dalam berbagai bentuk limbah. Sementara organ-organ tubuh yang penting buat planet bumi terus kita hilangkan keberadaannya (fungsinya) - seperti gambar di samping ini. Hutan (paru-paru dunia) terus rusak, sampai suatu waktu bumi termasuk segala mahluk hidup di atasnya tidak bisa bernafas lagi... Melelehnya tumpukan es di kawasan Kutub Utara yang berfungsi sebagai regulator suhu bumi sekaligus meregulasi iklim bumi melalui pergerakan air laut di samudera-samudera di berbagai bagian bumi menjadi penyebab krisis iklim. Bencana alam yang semakin hari semakin kerap dan tidak terprediksi. Bumi kita sedang sakit.

Manusia perlu kembali ke kesadaran mendasar bahwa ia adalah bagian dari jejaring kehidupan di bumi dan alam semesta ini. Manusia bukan penguasa planet bumi, bukan pemiliknya, ia tidak berdiri di puncak piramida kehidupan di planet bumi, tapi bagian dari lingkaran / jejaring mahluk hidup di dalamnya. Manusia dengan anugerah kecerdasannya, semestinya mampu menjaga dan memelihara bahwa lingkaran kehidupan semua mahluk di planet bumi ini tetap lestari, alih-alih menguasai dan mengekploitasi planet bumi dan segala isinya. Kalau direnungkan, manusia-lah satu-satunya spesies mahluk hidup yang meracuni dan merusak tempat hidupnya sendiri. Betapa arogannya kita umat manusia...
manusia adalah bagian dari lingkaran kehidupan di muka bumi ini...
Entah seberapa jauh Earth Hour ini bisa membangun kembali kesadaran kolektif kita mengenai keberadaan manusia di planet bumi ini. Kalau kita di seluruh muka bumi berhasil bersepakat, bergerak bersama untuk mematikan lampu dan peralatan listrik walaupun hanya satu jam, ini menjadi sebuah penanda yang menggembirakan. Bisa jadi ini juga mencerminkan kesadaran kita bersama tentang ketidak-bijakan kita mengenai pemakaian energi - yang melukai dan merusak tempat hidup kita sendiri. Kalau memang itu perkaranya, tampaknya kita masih punya harapan, planet bumi ini masih punya harapan. Mudah-mudahan.

Sunday, January 15, 2012

belajar etos kerja dari montir bengkel

Sudah hampir 3 minggu, AC mobilku rusak. Sadar betul sih pemakaian AC itu tidak ramah lingkungan, tapi ternyata kendaraan2 jaman sekarang tidak dirancang agar dapat digunakan tanpa AC. Begitu AC rusak, jendela ditutup di saat hujan turun, kaca jendela jadi berembun dan kita tidak bisa melihat keluar... Mobilku yang dulu, VW kodok tahun 68, aman-aman saja saat dikendarai tanpa AC (karena memang tidak ada AC-nya) saat hari hujan. One ingenious design, that Volkswagen.


Tapi ini bukan cerita tentang mobil. Sabtu kemarin aku membawanya ke satu bengkel kecil di Jln. Abdurrahman Saleh. Bukan Authorized Service Center, bukan bengkel resmi maksudnya, tapi penanda di depannya menyebutkan Service AC. Akupun ke sana di pagi hari dan disambut dua orang montir dengan pakaian khasnya (werkpak) menanyakan apa yang perlu dibantu.

Di awal sepertinya biasa-biasa saja. Cukup meyakinkan kelihatannya, tapi mulai berbeda saat mereka mulai membongkar bagian bagian dari komponen AC yang bermasalah. Dua montir ini, pak Enjang dan kang Toni, mulai memperlihatkan keahliannya. Tapi bukan sekedar keahliannya, tapi juga kehati-hatian mereka terhadap yang dilakukan. Teliti, berhati-hati, sabar... Etos kerja yang sudah tidak lagi banyak terlihat. Mereka menggunakan alat yang tepat untuk berbagai kegiatan. Sangat teliti, bahkan mereka mencatat, beberapa sekrup yang sudah tidak lagi lengkap. Hal yang sudah semakin sulit kita temukan.

Sehari kemarin, mereka kerja penuh, bahkan melewatkan waktu istirahatnya. Hal-hal kecil yang sebetulnya bukan pekerjaan mereka-pun sempat mereka perhatikan. Sekrup yang tidak ada dilengkapi. Jalur-jalur selang yang sudah berubah dikembalikan ke posisinya semula. Mereka bekerja sangat fokus. Profesional. Saluran-saluran AC yang dibersihkan tidak ada yang terlewat bahkan untuk posisi-posisi yang sulit dijangkau atau dikerjakan sekalipun. Mereka bahkan sempat menawarkan untuk membubuhkan pewangi kendaraan di dalam saluran AC untuk menghilangkan bau bensin yang dipakai untuk membersihkan saluran-saluran AC. Setelah selesai, semua bagian mobil yang kotor karena tangan-tangan mereka yang berminyak mereka bersihkan.

Di akhir hari, setelah pekerjaan semua selesai, mereka baru bercerita, "biasana mah dinten Sabtu tos beres tabuh tilu-an, Pa." sementara waktu sudah menjelang 5 sore. Yang menarik buat aku, hari itu bos mereka tidak ada di tempat sejak awal sampai selesai mereka mengerjakan semuanya. Tidak ada yang mengawasi, tapi mereka melakukan pekerjaan dengan cara bekerja yang buat aku cukup mengagumkan.

Jadi ya begitulah, satu hari itu walaupun aku harus 'nongkrong' di bengkel seharian, aku belajar sesuatu dari teman2 baru, dua orang montir yang setelah satu hari menjadi teman ngobrol dan jadi guruku hari itu. Semoga aku ingat pengalaman hari ini, saat menyalakan kembali AC mobil yang sudah kembali jadi dingin.