Sunday, November 18, 2012

Don't Hate what You Don't Understand



from The Lessons of Life by Louise Smith
Membenci apa yang tidak kita pahami... Jangan-jangan ini adalah sesuatu yang sering kita lakukan - sadar ataupun tidak. Pemikiran tadi muncul saat suatu waktu gambar di atas ini saya lihat di salah satu posting status facebook dari The Lessons of Life. (Salah satu laman facebook yang kerap saya kunjungi secara khusus karena isinya selalu inspiratif.). Mungkin istilah lainnya menghakimi, atau men-judge - memberikan penilaian atau menarik kesimpulan terhadap sesuatu yang sebetulnya tidak kita pahami. 

Pengalaman saya di Semi Palar begini, ceritanya berkisar di seputar KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Sejak awal saya mendengar soal KKM sebagai acuan ketuntasan bagi salah satu sasaran pembelajaran murid di kelas, saya spontan menilai KKM itu ga bener. Ga masuk akal. Dan memang penilaian saya itu menjadi penghalang besar bagi saya untuk mencoba memahami apa sebetulnya yang disebut KKM itu. Dengan ke'sok-tauan' saya, saya menyimpulkan KKM ini ciptaan baru Diknas yang 'mengada-ada'. Hal ini, tanpa disadari berlangsung cukup lama. 

Sampai beberapa waktu lalu sekolah kami Semi Palar berhadapan dengan akreditasi. Salah satu di antara banyak persiapannya adalah bagaimana kami harus menyiapkan berbagai dokumen untuk keperluan akreditasi tersebut. Dalam prosesnya, saya ternyata dipaksa untuk memahami apa itu namanya KKM dengan segala seluk beluknya. Walaupun semakin paham, bagi saya KKM itu tetap ga nyambung... Waktu berjalan dan di suatu kesempatan saya sempat melontarkan pertanyaan saya tentang KKM ini kepada rekan-rekan di grup FB Bale Edukasi, tempat berdiskusinya rekan-rekan pemerhati dan praktisi pendidikan. Salah satu yang merespon tentang KKM ini ternyata Prof Iwan Pranoto. Beliau menjelaskan dengan singkat dan gamblang bagaimana pendekatan Competence Based Curicullum yang sebenarnya. Dan dari situ sayapun semakin paham apa dan bagaimana KKM ini. 

Akreditasi kemudian dilewati, lengkap dengan pengarahan sore hari dari pak Mamad (asesor 1) secara khusus mengenai KKM kepada tim Semi Palar. Apakah nyambung? ternyata ya tidak juga, tapi saya bisa secara gamblang menjelaskannya kenapa. Apa bedanya dengan dulu, dulu saya sekedar tidak suka. Rasa tidak suka itu ternyata menghalangi saya untuk belajar dan memahami lebih lanjut. Lalu apa manfaatnya? Bagi saya proses memahami KKM ini justru mendorong saya untuk menggali lebih dalam mengenai Pembelajaran Holistik, yang selama ini saya dan tim di Smipa terus coba terapkan di Rumah Belajar Semi Palar. Di titik ini, kalau saya ditanya, saya dapat menjelaskan dengan lebih baik kenapa KKM itu tidak relevan dengan pembelajaran holistik di Semi Palar.

Mundur cukup jauh, saya juga punya pengalaman menarik dari sebuah forum di Rumah Nusantara, mungkin sekitar tahun 2004-an. Waktu itu rekan-rekan komunitas Rumah Nusantara mengundang pembicara-pembicara yang memang tidak biasa. Hadir di sore itu, Ilham Aidit dan Sarjono Kartosuwiryo. Dari nama-namanya, kita tahu mereka putra-putra dari orang-orang yang dikenal berseberangan dengan Republik pada jamannya dulu. Hadir pula waktu itu Arswendo Atmowiloto dan beberapa pembicara lain. Nama-nama mereka, Aidit dan Kartosuwiryo, tentunya dengan segera membangunkan persepsi tertentu pada benak kita - sebagaimana pada saat kita bersekolah pengetahuan-pengetahuan tentang mereka ditanamkan. Saya masih ingat betul bagaimana persepsi saya berubah seketika mendengar paparan rekan-rekan ini di forum tersebut. Terlebih pada saat Sarjono menekankan bahwa hari ini, tidak ada alasan apapun untuk mendirikan negara Islam - karena negara Indonesia sudah berdiri berlandaskan Pancasila dengan segala prinsipnya. Berbeda situasinya saat peristiwa sejarah gerakan DI/TII berhadapan dengan militer Indonesia. Menurut pemaparan Sarjono, ada hukum Islam yang menegaskan bahwa kalau ada sejumlah tertentu umat Islam yang berkumpul tanpa kepimpinan yang jelas - karena situasi kepemimpinan Indonesia saat itu memang sedang tidak jelas - maka harus didirikanlah sebuah Negara Islam. Hal ini ditujukan untuk melindungi rakyat dan menghindari terjadinya kekacauan. Begitu pemahaman yang saya tangkap dari pembicaraan di forum tersebut. Memang begitu mudah kita mengambil kesimpulan dari hal-hal yang ternyata tidak betul-betul kita pahami.

Melengkapi tulisan di atas, berikut satu tulisan menarik yang saya temukan pada sebuah situs : "Kartosuwiryo Dinilai Pahlawan Indonesia yang Telah Digembosi Sejarah".

Entah apa yang membuat kita sangat mudah menghakimi sesuatu, bahkan pada hal-hal yang seringkali dekat dengan kita. Apakah itu muncul dari kebutuhan kita untuk selalu merasa benar dan menjadikan kita berpegang pada pembenaran, ataukah muncul dari keengganan kita untuk melangkah mencari kebenaran? Rasanya hanya kesadaran kita yang bisa menemukan jawabannya. Mudah-mudahan lebih jauh lagi kesadaran ini bisa membantu kita untuk tidak mudah menilai sesuatu sebelum kita cukup memahami suatu hal, apapun itu...

Thursday, November 15, 2012

narasi hidup


Setiap peristiwa yang kita alami adalah narasi hidup kita. Kalau kita gagal membacanya dengan cermat, memaknainya dengan tepat, entah karena terburu-buru ataupun tergesa menyimpulkan sesuatu, kita akan gagal memahami kisah hidup kita dan menjalankan apa yang seharusnya kita perankan. 
Seperti didalam teks, tanda baca dan notasi, walaupun kecil mereka berperan besar menentukan makna sebuah kalimat. 
Hidup mengajak kita untuk peka dan menyadari setiap hal kecil yang membingkai makna setiap peristiwa.
 

Saturday, November 3, 2012

[Book Review] You are Not a Gadget

You are Not a GadgetYou are Not a Gadget by Jaron Lanier

My rating: 4 of 5 stars


Jaron Lanier (the writer) is someone who really understands the digital world. He is one of those who designs the digital world that we live in today. Yet he is one of the few (I presume) who really understand the significance and ramifications of those small things that were put in the design of the digital world. Especially in relation to us as human being. I read another book (quite a long time ago) titled The Skin of Culture. It was written by Derrick de Kerckhove. In my understanding Derrick simply stated that Design is the very skin of Culture. The design of things defines our culture, how we think, how we act, how we do things, how we interact. This statement, I believe defines the significance of things we design on our culture. We have to really understand how technology works as it may well defined who we are. I have not finished the book, but this is for me an important book.



View all my reviews