Sunday, February 28, 2010

Bapak Tua Penjual Lahang


Hari ini aku jumpa dengan seorang bapak tua penjual lahang. Di bawah bayangan pepohonan, saat matahari pagi menerobos sela2 dedaunan di salah satu tempat di Taman Hutan Raya Juanda. Hari masih pagi, masih sepi. Begitu melihatnya aku segera menghampirinya dan meminta Bapak itu untuk menuangkan segelas Lahang untuk dinikmati. Manisnya, segarnya, dinginnya, Lahang terasa begitu nikmat, apalagi aku dan teman bersepedaku Murfy baru saja selesai mengatasi tanjakan dari awal Jalan Dago sampai ke Tahura.

Tidak ada tujuan khusus hari ini aku mengunjungi Tahura, selain sebuah tujuan bersepeda yang lumayan menantang kemampuan fisik, lokasi ini aku sangat aku sukai karena suasananya yang menyenangkan. Hutan, pohon-pohon besar, suara burung, udara segar, kabut, sinar matahari di antara pepohonan sekarang jadi barang mewah saat tinggal di kota sangat menjauhkan kita dari hal-hal tadi... Tujuan kedua adalah menemani kakak2 Smipa survey lokasi untuk tujuan outing anak2 Semi Palar beberapa waktu ke depan.


Hari ini, karena tanpa tujuan spesifik, akhirnya kitapun ngobrol sama bapak tua tadi... (konyolnya, aku kok ga sempat menanyakan namanya). Bapak penjual lahang, yang memang dilahirkan di daerah sekitar pakar, sudah cukup lama berjualan lahang. Minuman dari tumbuhan aren tadi diambilnya dari lokasi yang cukup jauh dari tempatnya berjualan. Beliau hanya membawa satu wadah, satu tabung panjang yang dibuat dari awi gombong, diberi pegangan dan di bagian mulutnya ditutup segumpal ijuk yang juga berfungsi jadi filter. Satu tabung bambu itu hanya memuat lahang untuk sekitar 20 gelas. Segelas lahang, dijualnya dengan harga Rp. 1.500,- saja.
Kalau kita asumsikan dagangan beliau laris setiap hari, beliau mendapatkan 30.000 rupiah. Karena bapak ini hanya berdagang hari Sabtu dan Minggu saat banyak pengunjung, beliau hanya berjualan delapan kali setiap bulan. Maksimalnya, beliau hanya mendapatkan 240.000 rupiah perbulannya. Tidak banyak, sungguh tidak banyak.

Beliau tampak senang diajak mengobrol, dan agak malu-malu saat aku mengambil beberapa gambarnya. Di tengah-tengah obrolan dan pertanyaan-pertanyaan kami, beliaupun 'curhat', katanya (dalam bahwa Sunda) "yah Neng, dagangan ini mah kadang abis, sering juga ngga... udah ga banyak yang tau minuman seperti ini mah, karena ga tau, ya ngga beli". Aku beruntung waktu kecil orangtuaku pernah beberapa kali mengajak aku minum minuman ini saat bepergian ke luar kota. Kalau aku ga pernah tau, mungkin aku juga ga akan pernah ingin mencoba, atau malah mencari minuman lain saat di warung-warung dijual berbagai minuman bermerek yang dikemas lebih menarik dan dipromosikan terus di mana-mana .

Lalu bagaimana dengan bapak ini sebenarnya. Seorang yang memanfaatkan kekayaan alam hanya seperlunya, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sekedarnya. Satu wadah lahang itu diperolehnya dari 2 pohon saja. Tidak ada keserakahan atau hasrat berlebihan yang akhirnya eksploitatif... Sementara kita lihat begitu banyak orang2 yang berupaya menguasai alam, mengambil kekayaan alam untuk keuntungan pribadi semata. Hutan-hutan industri, pencurian kayu, pertambangan... Industri2-industri besar yang 'sepertinya' tumbuh untuk 'menjawab' kebutuhan konsumsi manusia yang sekarang ini menggila. Hal ini juga yang akhirnya menjadi penyebab kerusakan alam lingkungan dan berefek lanjut kepada krisis iklim global sekarang ini.

Dari sisi lain, Bapak tua ini seperti juga bagian dari sejarah... sisa-sisa masa lalu, seperti gua Jepang dan gua Belanda yang menjadi jejak sejarah perjuangan masa lalu di tempat ini. Minuman sederhana dan bapak tua pedagangnya ini seperti bagian dari museum hidup yang membuat kita bisa merefleksikan masa lalu kita saat belum ada Buavita dan Fanta, Teh Botol ataupun minuman2 instan lainnya... Apakah hal langka ini akan segera punah dan hilang dari ingatan kolektif kita aku tidak tahu. Semoga obrolan kecil ini jadi motivasi juga buat beliau untuk terus melakukan apa yang sekarang dilakukannya.

Saat kamipun beranjak pergi, aku hanya bisa berharap, Bapak ini masih ada di sana menjual lahang saat aku kembali. Aku pasti akan kembali untuk menyapa dan menikmati segelas kecil Lahang. Dan pertama-tama aku akan menanyakan namanya.

Wednesday, February 10, 2010

foto :: tangga tobucil

tangga tobucil
ini juga masih di tobucil di desember tahun lalu. aku liat tangga bambu ini bersender di depan rak-rak kayu di dinding yang juga ditumbuhi tanaman merambat... komposisinya menarik, kontras-kontras cahayanya, termasuk di mana si tanaman rambat mulai tumbuh membelit si tangga bambu... sudah cukup lama rupanya tangga itu berada di sana... tidak berapa lama sesudahnya, tangga bambu itu memang dipindahkan oleh seseorang...

masih hobi motret? : pemikiranku tentang fotografi

Pertanyaan itu dimunculkan kawan saya dr Gigi Endro di kliniknya sore tadi...
Jadi mikir sebetulnya kenapa saya suka motret, dari dulu, saya suka motret... bukan seperti hobbyist sejati, tapi saya memang suka jeprat jepret kiri kanan setiap ada kesempatan. Kalau keluar rumah, hampir pasti saya bawa kamera di tas. Bukan untuk secara spesifik hunting foto, tapi ya siap2 aja siapa tahu ada momen / spot bagus untuk direkam...

Skill motret saya biasa banget. Ga ada istimewanya. Ga pernah belajar motret secara khusus, kamera yang dipake juga basic saja, bukan kamera yang canggih. Saya juga ga pernah secara spesifik hunting foto, nyari lokasi atau nyari obyek... Saat kita hunting foto kita sebetulnya mencari objek, menunggu momen, cahaya, peristiwa apapun. Kalau saya sih engga... Sebetulnya tujuan saya bawa kamera hanya untuk mendorong saya lebih mengamati segala sesuatu yang ada di sekeliling saya. Dan Endro menyimpulkannya dengan pas : "supaya lebih aware sama sekeliling ya?". Wah betul banget. Hanya itu tujuannya.

'There are no ordinary moments', quote yang saya suka dari buku dan filemnya Dan Millman, Peaceful Warrior. Intinya dari keadaan yang serba biasa, bahkan serba kotor dan sederhana, pastinya ada hal-hal luar biasa di dalamnya. Tinggal bagaimana kita peka menangkap dan melihatnya... Lalu cara paling sederhana adalah dengan merekamnya dengan kamera... Saya pikir fotografi adalah cara bagus buat mendidik anak-anak membangun kepekaan diri mereka, membangun kesadaran tentang itu tadi : 'there are no ordinary moments'

Dari sudut pandang ini, kamera bisa jadi media luar biasa buat kita membangun spiritualitas kita... Lalu akhirnya, mau kamera murah atau mahal, poket atau DSLR, jadinya ga penting lagi... Fotografi adalah bagimana kita merekam momen... Setiap momen adalah istimewa adanya, dan sebagai anugerah Tuhan momen apapun itu tidak pernah akan terulang lagi...

belajar lewat menulis

teks pendek ini tercetak di atas salah satu bangku baso yang ada di Tobucil. Dulu bangku-bangku baso ini mangkal di komunitas Trimatra Center dan menjadi saksi setia dari banyak peristiwa yang sempat ada di sana...

Di Trimatra (yang notabene digagas, dirintis dan dilahirkan saat Krisis Moneter tahun 97) akupun mulai belajar menulis... Dulu keinginan belajar menulis kita munculkan lewat buletin board Trimatra, yang ditempel persis di dekat pintu masuk Tobucil. Di sana lah aku dan teman-teman di Trimatra dan Tobucil memberanikan diri dan mencoba, belajar menuliskan pemikiran-pemikiran dan gagasan kita, sekaligus memberikan komentar atas apa yang teman-teman kita tuliskan di sana... Beberapa tulisan itu masih aku simpan sampai hari ini... Dan tak disadari itu jadi akar dari apa yang sampai sekarang-pun aku coba munculkan, coba bangun di komunitas yang aku kawal hari ini, di Semi Palar. Papan buletin (yang buat aku bersejarah) itu-pun sekarang tergantung di ruang tunggu orangtua Semi Palar, tetap membawa peranan yang sama, menggantungkan opini-opini, kisah-kisah pengalaman kita yang kita bawakan melalui untaian kata di atas lembaran-lembaran putih, kertas yang sebelumnya kosong dan ternyata bisa mendatangkan perubahan-perubahan besar... Tulisan memang betul media luar biasa buat belajar...

(Masalahnya, kok orang-orang kita ga terlalu suka nulis ya? Jangan-jangan orang-orang kita ga suka belajar?)

Friday, February 5, 2010

Apakah ada yang peduli

Pertanyaan ini sering muncul di kepala... di tengah begitu seringnya akhir-akhir ini kita mendengar orang-orang berbicara tentang pelestarian lingkungan hidup, Global Warming, Go Green, Save the Planet dan lain sebagainya... Tapi kenyataannya kalau kita melihat ke sekeliling apakah sudah ada yang betul-betul peduli? Apakah statement-statement yang banyak berdengung di sekitar kita hanya sekedar mengikuti trend belaka, jangan2 inipun hanya sekedar eforia belaka?

Di rumah, saya, istri dan kedua anak saya sudah cukup lama mencoba 'menghijaukan' perilaku kita sehari-hari, mulai dari :
  • mengurangi penggunaan kresek, belanja dengan tas kain.
  • membawa botol minum sendiri setiap saat bepergian.
  • membebas-tugaskan 'water heater' di rumah; otomatis dengan mandi air dingin, kita mandi lebih cepat, tidak berlama-lama dan kita menghemat air dan menghemat listrik...
  • memilah sampah, mencari spot-spot di mana kita bisa mendaur-ulang sampah-sampah kita...
  • merubah pola belanja kita, kita beli barang2 yang dikemas kecil2, untuk mereduksi jumlah sampah kita...
  • memakai kertas bolak-balik...
  • mengurangi berkendaraan, jarak dekat kita jalan kaki atau bersepeda saat saya bepergian sendiri...
  • bawa sumpit sendiri ke mana-mana...
  • mengganti bohlam dengan lampu hemat energi...
  • banyak lagi...
Lalu, di mana masalahnya? Balik ke pertanyaan di atas tadi... Seberapa jauh orang-orang lain juga melakukannya. Saat kita pergi berbelanja, saya selalu menyempatkan diri tengak-tengok kiri-kanan apakah ada orang lain yang juga bawa tas belanja sendiri? Sejauh ini kok tidak pernah ada yang terlihat?

Saat pergi bersepeda, sambil boseh saya selalu cari2 teman pesepeda, ternyata belum banyak juga yang melakukannya.


Tahun lalu waktu Earth Hour kita mematikan semua lampu di rumah, saat saya dan anak-anak keluar mematikan saklar utama, ternyata tetangga-tetangga kok cuek aja? Tidak ada satupun keluarga di sekitar rumah kita yang melakukan hal serupa... Anak2 jadi bertanya, kok yang laen ga ada yang matiin lampu?

Saat kita merasa hanya sendiri melakukannya, seakan-akan kita jadi seperti orang yang kurang waras...

Sejauh ini saya terus mengikuti isu-isu lingkungan hidup, dan jadi paham seberapa jauh kerusakan lingkungan sudah terjadi dan akan semakin memburuk, saya seakan tidak melihat orang-orang lain juga menjadi tau dan semakin paham dan juga melakukan sesuatu...

Sejauh bergaul dengan teman2 yang bergerak di berbagai komunitas membangun kesadaran tentang lingkungan hidup, sejauh mana kita berhasil, sampai di titik ini. Ini masih jadi pertanyaan besar buat saya...

Saya sadar betul, kita semua (yang sudah lebih dahulu paham) tidak boleh berhenti. Berbuat sesuatu untuk lingkungan hidup memang membuat kita jadi jauh lebih repot...
Jalan kaki, naek sepeda, bawa kresek, milah sampah, hemat air, matiin lampu... semua ini jauh bikin kita lebih repot... tapi ini memang hal yang harus kita lakukan kalau kita ingin planet kita lestari. Ini harga yang sebelumnya tidak pernah kita bayarkan, dan kita bebankan ke planet bumi kita... Kemanjaan kita, kenyamanan kita, ketidak-pedulian kita selama ini, justru merupakan hal utama yang menjadikan planet kita sedemikian rusak hari ini. Hal ini datang dari kita semua, masing-masing diri kita, individu demi individu.

Di sisi lain kita juga melihat bagaimana kapitalisme, industri-industri besar di tangan para pemilik modal merasa memiliki segala sesuatu yang ada di atas, permukaan dan di dalam muka bumi kita. Mereka mengeksploitasi semuanya dengan keserakahan luar biasa untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya untuk segelintir orang atau kelompok... Dan umat manusia sisanya, anak cucu kita ditinggali kerusakan alam, ditinggali ampas-ampas kerakusan mereka... Kalau ditelaah lebih lanjut, eksistensi mereka juga bergantung pada kita semua individu... Saat kita semua memang menjadi sedemikian konsumtif, mereka tidak akan berhenti... Saat kita semua lebih bijak membeli betul-betul hanya apa yang kita butuhkan, suatu saat mereka akan berhenti juga. Dan hal ini akan baik akibatnya buat planet tempat tinggal kita ini...

Tapi kembali lagi, kita tidak boleh berhenti... Saya yakin ada teman2 di luar sana yang juga masih bertanya-tanya hal serupa... Kalaupun apa yang kita lakukan walaupun sedikit membawa dampaknya, kalaupun yang peduli bertambah sedikit demi sedikit, toh perubahan itu ada...

Kita hanya perlu terus berdoa, semoga bumi kita bertahan, dan kita semua tidak terlambat.

foto :: pendar sinar

pendar sinar
Ciater Desember 2009

Wednesday, February 3, 2010

"berbeda agama, tapi satu iman"

"Saya dan Romo Mangun berbeda agama, tapi satu iman," kata Gus Dur suatu kali.

Iman bagi Gus Dur bukanlah suatu benteng: suatu konstruksi di sebuah wilayah. Benteng kukuh dan tertutup bahkan dilengkapi senjata, untuk menangkis apa saja yang lain yang diwaspadai. Bangunan itu berdiri karena sebuah asumsi, juga kecemasan: akan ada musuh yang menyerbu atau pecundang yang menyusup.

Iman bagi Gus Dur bukanlah sebuah benteng, melainkan sebuah obor. Sang mukmin membawanya dalam perjalanan menjelajah, menerangi lekuk yang gelap dan tak dikenal. Iman sebagai suluh adalah iman seorang yang tak takut menemui yang berbeda dan tak terduga. Terkadang nyala obor itu redup atau bergoyang, tapi ia tak pernah padam. Bila padam, ia menandai perjalan yang telah berhenti...

dari Catatan Pinggir Goenawan Mohamad, TEMPO, 17 Januari 2010