Saturday, October 25, 2008

Pendidikan Katolik, Mau Kemana?

Makalah ini disusun untuk sharing di Dialog Pendidikan Katolik, di Grha Prakasita, Gereja St. Laurentius Bandung, Minggu 26 Oktober 2008. Pembicara lain adalah Kak Agus Moelyono, Romo Mudji Sutrisno, Suster Irene dan Suster Magda.


Mau Kemana? Ajakan merefleksi

Bertanya ‘mau kemana?’ kita bicara soal arah, orientasi, tujuan. Apakah tujuan kita benar, dan apakah langkah demi langkah kita membawa kita mendekat ke tujuan. Apakah kita terus menjaga bahwa kita setia terhadap tujuan kita, dalam hal ini mendidik anak-anak kita.

Saya kira adalah luar biasa penting untuk secara sadar terus melihat dan mengecek ulang arah perjalanan dalam mendidik anak-anak kita. Apalagi kalau bicara tentang pendidikan, karena sikap dan tindakan kita ikut menentukan masa depan, hidup dan kehidupan anak-anak didik kita. Apa langkah-langkah kita senantiasa berpihak pada kepentingan anak? Ataukah jangan-jangan kita sudah terbelokkan karena satu atau banyak hal, sadar ataupun tidak. Saat kita bisa sadar ada yang tidak benar, ada yang tidak beres, kita tentu bisa melakukan sesuatu untuk memperbaikinya. Kembali lagi, karena kita ikut menentukan hidup dan kehidupan anak-anak kita kelak. Lebih jauh, juga anak cucu mereka, masyarakat dan bangsanya nanti.

Siapa yang tahu arah, siapa yang bisa menentukan arah? Saya yakin juga bahwa kita masing-masinglah yang tahu. Caranya adalah dengan merefleksi diri, berkaca pada nurani kita. Jawabannya bukan ada di teori-teori pendidikan / metode pendidikan yang hebat-hebat, program atau kurikulum yang kita impor. Jawabannya ada di hati nurani kita masing-masing – jika saja selama kita berjalan, mendampingi anak-anak kita bertumbuh kembang kita senantiasa bercermin pada nurani kita yang jernih. Saya yakin arah kita akan selalu benar karena selalu dalam panduan-Nya.

Every man has a conscience, and finds himself observed by an inward judge which threatens and keeps him in awe… and this power which watches over the laws within him is not something which he himself (arbitrarily) makes, but it is incorporated in his being
~ IMMANUEL KANT, The Metaphysical Elements of Ethics ~


Conscience bahasa kerennya. Nurani kita sudah ditanamkan, menjadi bagian dari keberadaan kita sejak kita dilahirkan. Nurani kita, saya percaya adalah anugerah Sang Pencipta yang paling berharga, dan semestinya terus kita genggam selama kita hidup. Apalagi saat kita dalam perjalanan menumbuhkan manusia lain (anak-anak kita) sebagai manusia sejati. Seperti yang diucapkan Pak Harfan di filem Laskar Pelangi, “mendidik dengan hati”.


Cermin di Sekitar Kita

Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk bercermin diri? Sebetulnya cermin kita luar biasa banyak, ada di mana-mana. Tinggal bagaimana kita melihat dan mengamatinya, dengan nurani yang jernih.

Di sini saya ingin mengajak kita semua mencermati cermin-cermin yang mudah kita temui :

  1. Cerminan semangat ajaran Yesus Kristus pada anak-anak kita,
  2. Masyarakat kita sebagai cermin,
  3. Apa Tujuan Pendidikan,
  4. Situasi dan Kritik atas Dunia Pendidikan Kita.



Satu : Anak-anak kita : cermin teladan Yesus Kristus

Saat kita mendampingkan kata Katolik di sebelah kata Pendidikan rasanya kita sepakat bahwa kita mendasarkan diri pada ajaran Yesus Kristus. Bagaimana kita memaknai hal ini juga menjadi penting. Apakah pendidikan Katolik itu :

  1. Pendidikan yang mengajarkan agama Katolik, atau
  2. Pendidikan yang berjiwa Katolik, meneladan dan mengamalkan ajaran Yesus.


Cermin yang paling dekat untuk mengenali hal ini adalah melalui anak-anak kita. Setiap saat sehari-hari, dengan mudah kita bisa mengamati apakah sekolah-sekolah Katolik membawakan penghayatan tentang ajaran Yesus tentang cinta kasih.
Apakah suasana cinta kasih terbawa dalam suasana di kelas, muncul dalam interaksi antara guru dan anak? Ajaran Yesus yang terutama mengenai bagaimana mencintai sesama semestinya muncul dan terlihat jelas di anak-anak kita sehari-hari.


Apakah anak bisa menghayati dan memaknai hadirnya Yesus di kelas selama mereka belajar, berproses hari demi hari menjadi manusia (Katolik) seutuhnya? Apakah ada suka-cita dalam proses belajar mereka, apakah ada semangat mereka pergi ke sekolah. Ataukah sebaliknya, anak-anak belajar dalam tekanan atau ketakutan akan hukuman. Pertanyaannya, bagaimana anak-anak bisa menghayati bahwa Yesus adalah kasih saat keseharian mereka belajar tidak diwarnai semangat dan kegembiraan?


Dua : Masyarakat Kita Sebagai Cermin

Dalam situasi kita dan masyarakat kita hari ini, saya rasa sudah waktunya bertanya kembali apa sesungguhnya yang dimaksud dengan Pendidikan Katolik. Paling tidak kita dapat melihatnya dari dua sudut pandang :

  1. Pendidikan untuk anak-anak kita orang Katolik, atau
  2. Pendidikan oleh kita orang Katolik

Sudut pandang ini sangat menentukan keluaran (output) dari segala bentuk ikhtiar kita. Pemahaman yang pertama saya pikir sangat mempersempit sudut pandang kita. Cermin kita jadinya kecil sekali sehingga kita tidak bisa melihat secara jelas apa yang ada dan sedang terjadi saat ini. Kemudian akan sangat sulit bagi kita untuk membayangkan tentang apa yang bisa dikontribusikan bagi masyarakat. Praktek pendidikan Katolik dengan sendirinya akan jadi eksklusif.


Tapi kalaupun kita harus bicara dalam konteks ke-Katolikan kita, mungkin ini bisa relevan saat kita berpikir dalam sudut pandang yang kedua : Pendidikan oleh kita, orang Katolik. Bagaimana kontribusi kita umat Katolik dalam konteks kemasyarakatan yang lebih luas. Apa yang kita (sebagai umat Katolik – penyelenggara pendidikan yang menyandang nama ‘Katolik’) sumbangkan untuk masyarakat.


Masyarakat kita adalah cermin kita yang paling besar. Bagaimanapun institusi pendidikan adalah salah satu kontributor terbesar dari segala situasi masyarakat yang nyata ada saat ini. Keberhasilan, pencapaian dan juga untuk segala permasalahan yang ada. Bagaimana masyarakat kita hari ini adanya termasuk segala permasalahannya, adalah juga merupakan hasil dari segala sumbangan kita semua termasuk umat Katolik di dalamnya.


Saya berpendapat kalau kita umat Katolik sejauh ini belum berperan mengatasi permasalahan yang ada di masyarakat, artinya, kita masih menjadi bagian dari permasalahan. ‘If we are not part of the solution, then we are part of the problem’.


Yesus mengajar kita untuk menjadi garam dunia. Saya kira ini adalah jelas menggambarkan bahwa walaupun kecil, sedikit jumlahnya, kita bisa sangat berperan memberi ‘warna’, memberi rasa dalam kehidupan masyarakat.


Dalam bingkai spiritualitas Katolik, kita perlu merenung, memaknai dan menghayati kenapa kita umat Katolik diberi tempat dalam bingkai kebhinekaan Indonesia yang luar biasa ini. Ini seharusnya punya makna yang sangat besar buat kita. Selanjutnya dalam praktek pendidikan, tentunya kita harus mengaitkan diri secara nyata pada konteks-situasi masyarakat yang ada dalam rangka memaknai hal ini. Kalau tidak demikian, kita seakan memisahkan anak didik kita dari situasi nyata kehidupan mereka dan dengan sendirinya pendidikan akan kehilangan salah satu maknanya yang terdalam.


Seandainya sekolah-sekolah Katolik ingin mendapat tempat dalam masyarakat, rasanya satu-satunya cara adalah dengan berperan dalam masyarakat. Output pendidikan Katolik harus secara nyata berperan mengatasi persoalan-persoalan yang ada. Tentunya program pendidikan sekolah harus terus berpijak pada situasi nyata, isu-isu yang ada dan terjadi hari demi hari di masyarakat. Kita tahu tidak sulit mendapatkan gambaran bagaimana situasi kita hari ini yang begitu ruwet. Padahal jawaban atas segala permasalahan kita ada di pendidikan.

At the desk where I sit, I have learned one great truth. The answer for all national problems – the answer for all the problems of the world – comes down to a single word. That word is “education”.
~ Lyndon B. Johnson ~


Tiga : Apa Tujuan Pendidikan? Mencari kembali orientasi pendidikan.

Saya mendapat masukan ini dari salah satu rekan orang tua di Semi Palar, mengutip pernyataan Prof. Jacob Soemardjo, sebagai berikut :

… format sekolah saat itu sebenarnya untuk menunjang sistem pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Hasil akhir pendidikan adalah untuk menyediakan tenaga administratif menengah di pemerintahan yang patuh. Itulah sebabnya dibuat penyeragaman bentuk tulisan, disiplin ketat dan lain-lain yang tujuannya agar lulusan dapat menjadi pegawai negeri yang penurut.

Nah sekarang semua sekolah harus merumuskan tujuan lulusannya itu untuk jadi apa. Kalau jaman Orba supaya jadi rakyat yang penurut dan memiliki pemikiran yang seragam supaya gampang dikendalikan. Boleh banyak bekerja, tapi tidak boleh banyak berpikir. Itulah sebabnya sangat disukai model ulangan multiple choice yang hanya menyediakan satu jawaban yang benar. Juga penyeragaman segala macam hal (kaus kaki, topi, pakaian, sepatu, tas, buku catatan) sebetulnya juga mengkondisikan murid supaya tidak punya pendapat sendiri…


Saya kira dua alinea di atas bisa menyadarkan kita tentang betapa pentingnya kita menempatkan tujuan pendidikan sebagai arah/orientasi kita. Situasi jaman yang berubah sedemikian cepat, menuntut perubahan-perubahan dalam pola kita mendidik anak-anak kita. Apa yang dulu dianggap baik, tidak serta merta cocok saat dihadapkan pada kondisi yang sudah (banyak) berubah.

Refleksinya apakah kita sudah bisa mendefinisikan, individu seperti apa yang kita harapkan muncul dari penyelenggaraan pendidikan Katolik? Karakter, ciri khas orang Katolik seperti apa yang ingin kita munculkan di masyarakat?

Apakah selama ini kita memang menghasilkan individu – anggota masyarakat yang peduli dan membawakan hal-hal positif di masyarakat. Atau, sebaliknya, adakah mereka hanya sibuk dengan diri sendiri (dan kelompoknya) dan kurang peduli terhadap segala situasi dan permasalahan aktual yang ada di masyarakat.

Banyak sekali pakar yang mendefinisikan tujuan pendidikan. Kita pasti sudah menetapkan tujuan pendidikan di lembaga kita - biasanya indah dan ideal, tapi seringkali dalam pelaksanaannya hari demi hari, langkah-langkah kita menjauh dari tujuan itu.


Di bawah ini saya cantumkan satu pernyataan pendek tentang tujuan pendidikan:

The aim of education should be to teach us rather how to think, than what to think –
Rather to improve our minds, so as to enable us to think for ourselves,
Than to load the memory with the thoughts of other men.

~ James Beattie ~


Empat : Situasi dan Kritik atas Dunia Pendidikan Kita

Saya tidak tahu sejauh mana kita semua peka mengamati / mengikuti segala bentuk kritik terhadap pendidikan yang ada di sekitar kita. Entah kenapa, saya mengamati saat ada kritik tentang dunia pendidikan yang muncul, kebanyakan dari kita seperti otomatis menempatkan diri “kritik itu bukan untuk saya”. Beranikah kita menengoknya dan menggunakannya untuk bercermin. Saya juga tidak tahu, sebanyak apa kita (sekolah dan guru-guru kita) membaca tulisan, buku-buku dan mencermati fenomena pendidikan yang terus bermunculan hari demi hari:

  1. Sekolah-sekolah alternatif :
    kalau sekolah-sekolah yang ada dinilai menjalankan fungsinya dengan baik, apakah sekolah-sekolah alternatif perlu muncul? Apakah sekolah-sekolah Katolik pernah menengok apa, kenapa dan bagaimana sekolah-sekolah alternatif itu sebetulnya. Kenapa bermunculan? Kenapa dulu tidak ada itu namanya sekolah alternatif?

  2. Les? :
    kita tahu anak-anak kita lebih cerdas dari kita, lalu mengapa mereka butuh les? Kalau di sekolah-sekolah anak belajar dengan baik, kenapa les-les pelajaran perlu ada dan menjamur di mana-mana? (Fenomena terakhir yang paling mengejutkan saya adalah hadirnya ‘Bimbel TK’. Waduh!)

  3. Tulisan dan buku-buku kritik pendidikan :
    Saya coba kutip beberapa judulnya : Matinya Pendidikan, Neil Postman; Sekolah itu Candu, Roem Topatimasang;
    In Memoriam Guru, Dr. Suroso ; Kapitalisme Pendidikan, Francis Wahono; Lebih Baik Tidak Sekolah, Sujono Samba; Selamat Tinggal Sekolah, Yusran Pora dan masih banyak lagi.

    Semua ini merupakan ungkapan dari mereka-mereka yang lebih dahulu berani bercermin, dan mengungkap hal-hal yang yang selama (mungkin) melenceng di dunia pendidikan kita. Kita sangat bisa belajar dari mereka. Berani melihat dari sudut pandang yang berbeda.


Penutup

Dalam refleksi, yang bicara adalah nurani, bukan logika. Sehingga kita perlu mengolah dengan rasa bukan pikiran kita. Saat kita merefleksi diri, yang menjadi penting adalah benar atau salah. Bukan soal kalah atau menang, bukan urusan kompetisi, bukan perbandingan, bukan ukuran, bukan lebih atau kurang. Seperti yang diungkapkan oleh Krishnamurti, pendidikan sejati adalah persoalan batin, nurani.


…Pendidikan sejati berarti bahwa batin manusia, batin Anda, bukan saja mampu menjadi pandai dalam matematika, ilmu bumi dan sejarah, melainkan juga tak akan pernah, dalam keadaan apa pun, terseret oleh arus masyarakat. Oleh karena arus yang kita sebut kehidupan itu sangat kotor, tak bermoral, penuh kekerasan, serakah. Arus itulah budaya kita.
Maka masalahnya ialah bagaimana melaksanakan pendidikan yang benar, sehingga batin dapat menahan segala godaan, segala pengaruh, kebinatangan dari peradaban dan budaya kita. Kita telah sampai pada satu titik dalam sejarah, dimana kita harus menciptakan suatu budaya baru, kehidupan yang sama sekali lain, tidak berdasar pada konsumsi benda-benda dan industrialisasi, melainkan suatu budaya yang berdasarkan sifat religius yang sejati. Nah, bagaimana kita menghasilkan, melalui pendidikan yang benar, suatu batin yang sama sekali lain, suatu batin yang tidak serakah, tidak dengki? Bagaimana kita menciptakan suatu batin yang tidak ambisius, yang luar biasa aktif dan efisien, yang memiliki penglihatan sejati terhadap apa yang benar dalam kehidupan sehari-hari; justru itulah agama".

~ J. Krishnamurti ~


Lalu apa yang perlu kita miliki saat berrefleksi, agar pandangan kita terhadap cermin kita bisa jernih? Saya kira ini dicontohkan juga oleh Yesus Kristus lewat sikap rendah hati dan jujur. Buat manusia modern ini memang sesuatu yang kian sulit kita lakukan. Situasi kehidupan masyarakat kita hari ini seakan mengharuskan kita bersikap sebaliknya.


Seringkali, ego kita-lah yang segera muncul saat kita harus berhadapan dengan kritik atau kegagalan kita. Menghadapi kritik, yang muncul adalah alasan-alasan defensif dan segala bentuk pembenaran diri atas kesalahan / kekurangan kita. Saat kita bisa rendah hati dan jujur, bercermin secara jernih, kita tahu apakah kita benar ataukah sebaliknya memang ada kesalahan-kesalahan yang kita lakukan.

Akhirnya yang menjadi penting senantiasa kita pegang teguh sebagai penyelenggara pendidikan, adalah mentalitas pembelajar, apabila dipahami secara ekstrim adalah merasa senantiasa bodoh. Supaya kitapun senantiasa belajar dan belajar dan tidak pernah berhenti belajar. Saat kita rendah hati, kita akan terus merasa ada yang lebih baik, dan ada yang lebih baik lagi.

Menentukan arah Pendidikan Katolik, adalah satu tantangan yang maha besar. Tapi kalau kita masing-masing terus bercermin diri dan meyakini apa yang kita lakukan adalah benar, jangan-jangan sebagian tugas kita mencari arah Pendidikan Katolik sudah selesai.

Selamat bercermin diri…

Sunday, September 28, 2008

hutan

... Mungkin sebab itu, ketika hutan ditebang, waktupun berubah.
Bagaikan sepetak tanah yang gundul, di mana jalan akan direntang dan pasar akan dibangun, waktu pun terhantar, datar, siap diukur.
Tamasya itu - hutan yang hilang, waktu yang dirampat - tak lagi punya tuah.
Ia hanya punya harga. Ia hanya punya guna. Tiap jengkal telah tercampak, menyerah ke dalam rengkuhan kalkulasi manusia. Waktu yang menakjubkan, juga "puak yang perkasa dan damai" itu. - ungkapan Marcel Proust tentang pohon-pohon - pun tak dilahirkan kembali.

Hutan, saya kira, adalah wilayah penghabisan di mana Kegaiban masih belum hilang, di mana Misteri belum dipetakan. Itu sebabnya, dulu, raja-raja yang uzur menyingkir ke dalamnya sebagai pertapa, untuk - seperti Destrasastra, disertai Gandari dan Kunthi dalam bagian terakhir Mahabharata - menantikan mati. Para penguasa yang mengubah diri jadi resi itu tak lagi berniat menaklukkan dunia. Mereka datang ke rimba menemui kembali pohon-pohon.

dari Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai, Goenawan Mohamad : hal. 103

Friday, September 26, 2008

Bike 2 Workers ngumpul di Cikapayang


Kumpul-kumpul Jum'at Sore Komunitas B2W.
Jum'at sore hari ini dari Semi Palar saya mampir sebentar ke kediaman kang Aat. Kami ngobrol-ngobrol sebentar tentang Babakan Siliwangi dan lain sebagainya, lalu meluncurlah saya melintasi Pasupati dan turun di Taman Sari. Di depan saya ada seorang mbak memboseh sepeda lipat dengan tag Bike2Work di bawah sadelnya. Ternyata tujuan kami sama. Ke Taman Cikapayang, bekas SPBU Dago.

Di sana sudah ada beberapa teman yang sudah saya kenal, kang Tiyo, gegedugnya B2W, lalu Rizki (Greeners) dan beberapa lainnya. Ada mungkin sekitar 6-7 sepeda dan beberapa skate-boarders dan pesepeda free-style yang hebat-hebat atraksinya. Ga lama teman-teman pesepeda bermunculan. Wah menyenangkan sekali.
Kamipun berkenalan dan ngobrol seputar pengalaman kita dalam perbosehan. Sore kemarin saya berkenalan dengan 4 orang pendatang baru, teman-teman yang sama-sama baru pertama kali dateng dan kumpul di Cikapayang, hanya karena satu kesamaan, kita sama-sama menunggang sepeda.

Buat saya teman-teman ini adalah pejuang lingkungan hidup. Mereka-mereka yang tidak berkontribusi membuang karbon ke atmosfir planet ini. Ada yang bahkan bersepeda setiap hari ke tempat kerja. Salah satunya Stefan teman baru yang masih duduk di bangku SMP. Dia bersepeda setiap hari ke sekolah. Luar biasa.

Mengingat apa yang pernah saya baca / lihat di kota-kota besar di dunia. Amsterdam, Melbourne, Copenhagen, dan banyak lagi. Kota-kota ini sangat ramah pesepeda. Tentunya kualitas hidupnya luar biasa karena kepadatan kendaraan bermotor tentunya sangat dibatasi.

Ini jadi mimpi saya, suatu hari Bandung jadi kota nyaman buat bersepeda dan pejalan kaki. Apa bisa?
Kenapa tidak?

Sunday, September 14, 2008

How to Save the Climate by Biking Culture


Salah satu jawaban dari Krisis Iklim Global (Global Climate Crisis) adalah bersepeda!
Itu kata abah Iwan. Wah kenapa saya ngefans berat sama abah salah satunya adalah karena beliau adalah salah satu pesepedah yang paling konsisten yang saya tau. Dan dia bukan bersepeda karena pengen gaya atau pengen beken, karena beliau cinta alam lingkungan, sadar betul dan berusaha berbuat sesuatu untuk lingkungan hidup.

Lagu-lagu gubahan beliau-pun bicara betul soal itu, dan yang hebat abah bukan hanya ngomong, beliau juga mempraktekkan apa yang diungkapkannya.

Saya hadir hari itu karena ingin ketemu sama komunitas Bike To Work. Dan jadi lebih spesial karena hari itu ada pemutaran filem Greenpeace. Komplit lah. Hasilnya saya, Lyn dan anak-anak berangkat ke BEC untuk mengikuti kampanye ini.

Hari ini cukup spesial buat saya. karena akhirnya saya bisa berkenalan sama teman-teman dari Greenpeace, komunitas Bike To Work dan majalah Greeners, selain juga ada Abah Iwan dan sidekicknya Abah: kang Erick. Saya punya secuplik gagasan dan impian untuk mengkampanyekan penggunaan sepeda di kota Bandung yang harapannya memang menarik lebih banyak pesepeda ke jalan2 di Bandung - dengan demikian mengurangi pengguna kendaraan bermotor lalu mengurangi konsumsi BBM dan emisi CO2 dan selanjutnya dan selanjutnya...

Untuk apa? untuk masa depan anak cucu kita yang lebih baik. Bandung di tahun kemarau tahun 2007 mengalami suhu tertinggi sepanjang sejarah : 34 derajat celcius. Luar biasa! Ini sih suhu kota Jakarta. Saya sering bercerita kepada anak-anak bahwa dulu waktu kecil tidak mungkin kita keluar rumah tanpa jacket dan celana panjang. Tidur tidak bisa tidak harus pakai selimut. Sore hari, kabut pasti menutup kota Bandung. Sekarang?

Saya spontan bingung saat ada orang yang bilang bahwa tidak ada itu yang namanya Pemanasan Global? HAH??? Bagaimana bisa?

Saat saya bisa keluar rumah dengan berjalan kaki atau bersepeda, saya merasa senang bahwa paling tidak saya memilih untuk tidak menyumbangkan emisi karbon untuk aktifitas saya hari itu. Soal kenyamanan? Itu jadi nomor dua. Buat saya masa depan anak-anak tentunya harus jadi nomor satu.

Matematikanya sederhana, kalau setiap orang di Bandung bisa memilih untuk tidak bekendaraan sekali saja dari 5 hari aktifitasnya, tingkat polusi / emisi karbon dari kendaraan bermotor bisa berkurang hingga 20%. Dampaknya pasti terasa. Untuk Bandung yang lebih sehat, manusiawi dan masa depan yang lebih cerah, kenapa tidak? Atau apakah kita sudah sedemikian egoistik dan tidak peduli?

Saturday, September 13, 2008

Save Babakan Siliwangi

Beberapa hari lalu aku terima email tentang isu BakSil ini di mailbox-ku.
Spontan terpikir : "Buset!, kemaren kan udah, ga bosen-bosen ya yang coba-coba menduduki Babakan Siliwangi". Sepintas aku cerita sama anak-anakku. Yang kecil pengen tau lebih jauh, katanya : "kenapa sih pah?" "Ini... ada hutan kota mau dijadiin mall, pohon-pohonnya mau ditebangin."

Ga lama aku dapet telepon dari temanku Rizki, redaksinya Greeners. Katanya ada kumpul-kumpul
teman-teman yang peduli sama Babakan Siliwangi, kegiatannya mau bersih-bersih dan mau ngobrol-ngobrol soal itu. Sebentar kemudian saya online untuk ikutan ngisi 'online-petition : save Babakan Siliwangi'. Anak-anak ikut ngumpul di depan komputer. Sabtu, 13 September sekitar jam 2 an, yang ikutan ngisi petisi sudah ada 1446. Komentar-komentarnya mereka ikut baca. Lalu kita masuk ke blognya untuk liat-liat. Di halaman depannya ada foto udara kawasan itu, Sabuga dan sekitarnya. Terlihat jelas sabuk pepohonan di area Babakan Siliwangi itu.

Lalu aku bilang sama anak-anak, sore nanti aku mau ke sana. Mau apa? tanya mereka. Mau liat2 dan kumpul-kumpul sama temen-temen yang mau mencegah hutan itu di rubah jadi mall. Spontan mereka bilang "Aku mau ikut!'. Sore harinya jam 4 akhirnya kitapun menuju ke sana. Sesampainya mereka-pun
mulai mengamati pepohonan yang ada di sana, lengkap dengan apresiasi mereka yang khas anak : "wah yang itu tuh pohonnya bagus!" "waah pohonnya gede-gede ya!" "mana sih yang mau dijadiin mall?" Baru hari itu juga akupun ikut mengamati betul situasi yang ada di sana. Aku hanya bisa tarik nafas mengimajinasikan pepohonan yang sekarang asri ada di sana digantikan oleh dinding-dinding beton tak bernyawa.

Setelah parkir yang terlihat hanya sekelompok teman-teman pesepeda dari komunitas Bike to Work. Setelah keliling sebentar akhirnya kami mencari-cari tempat kumpul dan ketemu di salah satu saung restoran lama yang masih berdiri. Ada kelompok teman-teman di sana. Seorang teman seniman, Gustaff, ada juga uwa Endang (kalau tidak salah pemangku adat di beberapa daerah di Jawa Barat.

Gustaff bicara tentang 'bunuh diri ekologi', setelah bercerita sedikit tentang sejarah kota Bandung. Kota yang sedianya hanya dirancang untuk 400.000 penduduk. Yang menarik, uwa Endang bercerita bahwa dulu, di Jawa Barat, masyarakat Sunda punya kebiasaan ritual tahunan yang tidak pernah terlewatkan : yaitu meruwat (selametan) sumber air, mata air, sumur, sungai dan lain sebagainya.
Air yang memang sumber kehidupan memang ditempatkan jadi sesuatu yang dimuliakan. Itulah sebabnya banyak sekali nama daerah di Jawa Barat dimulai dengan awalah 'Ci'. (Cibadak, Cipaganti, Cihampelas, Ciamis, Cilaki, Cibarengkok dan lain sebagainya)

Sebuah penghormatan, di mana air memang sumber segala kehidupan di suatu daerah . Uwa Endang menambahkan. Kita hidup itu dari alam. Daging, darah, tulang dan kulit kita adalah berasal dari makanan dan minuman yang semuanya berasal dari alam. Kalau alam kita rusak, bagaimana bisa menyehatkan diri kita?

Catatan terakhir yang saya ingat, uwa Endang bilang, para pengambil keputusan, para birokrat dan business man, tidak akan merasakan dampak dari segala keputusannya. Saat alam kita nanti rusak, anak cucu kita-lah yang akan mengalaminya. Betapa betul kata-katanya...

Akhirnya kitapun beranjak pulang. Si kecil tanya : "Udah pah? Udah selesai? Katanya mau ngumpul?" Ya ini ngumpulnya, udah selesai, nanti temen-temen ini pengen ngomong ke pa Walikota supaya hutan ini tidak jadi diganti bangunan. "Temen-temen yang ngumpul ini, menurut kamu mereka gimana? Mereka yang peduli atau gimana?". "Ya yang peduli", sebentar kemudian dia menambahkan...
"Kok cuman segini yang peduli?". Akupun terkejut mendengarnya, dan tidak bisamenjawab... Pertanyaan yang luar biasa dari seorang anak berusia 8 tahun...

Dalam perjalanan pulang, aku hanya bisa berpikir, apa yang bisa aku lakukan? Karena paling tidak aku berhutang untuk anak-anak saya. Dan seharusnya ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuk mereka...

Sunday, September 7, 2008

Makam Junghuhn, satu sudut yang terlupakan



Gambar ini aku ambil waktu sesepedahan ke Lembang hari Minggu 7 September
Hari itu aku pilih lewat jalan raya biar ga terlalu cape :-). Aku mboseh sama Hanin.

Sesampainya di Lembang entah kenapa iseng mengambil jalan ke arah Jayagiri.
Di suatu pertigaan aku lihat ada tanda bertuliskan Makam Junghuhn. Berbelok-lah kami ke sana.
Masuk jalan itu sekitar 500 meter, di hadapan kami ada sepetak hutan pinus di belakang pintu pagar terkunci. Kami liat-liat sekeliling, sebentar kemudian ada seorang Bapak yang menegur dan mengajak kami masuk lewat jalan berputar di belakang rumah-rumah di sana. Dan akhirnya kami bisa masuk ke dalamnya.

Suasananya enak banget. Asri. Udaranya segar. Dan di tengah-tengah tempat itu berdiri sebuah monumen yang menandai tempat Wilhelm Junghuhn dimakamkan. Sekeping sejarah Jawa Barat ada di sana.

Sayangnya tempat itu kurang terawat dan pastinya kurang diapresiasi. Minimal sebagai tempat kita memutar balik pikiran kita saat orang-orang seperti Junghuhn ikut membangun peristiwa2 di tempat tinggal kita dalam putaran waktu masa lalu kita.

Pabrik kina yang ada di jalan Cicendo - Pajajaran, jangan-jangan tidak akan berdiri kalau Junghuhn tidak mulai membudidayakan tanaman kina. Dan kata seorang ibu yang tinggal di sana kulit kina juga dipakai sebagai salah satu bahan untuk membuat minuman Cola... Well what do you know?

Wednesday, August 27, 2008

Douglas MacArthur's Prayer

Tuhanku,

bentuklah putra-putriku menjadi manusia yang cukup berani
untuk menghadapi kelemahannya
dan berani menghadapi dirinya manakala dia takut.

Manusia yang tetap teguh dalam kekalahan
tetapi jujur dan rendah hati
serta berbudi halus dalam kemenangan.

Bentuklah putra-putriku menjadi manusia yang cita-citanya tak pernah padam
dan sanggup mewujudkannya di dalam tindakan.

Putra putri yang insyaf bahwa mengenal dirinya adalah alasan landasan
pengetahuan.

Tuhanku,
aku mohon supaya putra-putriku berada di atas jalan yang tidak mudah dan
lunak,

akan tetapi tumbuh dan Kau pimpin
di dalam desakan dan tantangan agar dia dapat berdiri kokoh di tengah badai;

Putra-putri yang dapat memimpin dirinya sendiri
sebelum berhasrat memimpin orang lain;

Putra-putri yang dapat memenangkan hari depan
dan masa lampau setelah itu semua menjadi miliknya;

Aku masih mohon supaya putra putriku diberi perasaan jenaka
agar dia dapat bersungguh-sungguh tanpa terlampau bersungguh-sungguh;

Karuniakanlah mereka kerendahaan hati dan bimbinglah mereka
agar selalu ingat akan Engkau sebagai sumber keAgungan dan keSederhanaan
yang asli, sebagai sumber keArifan dan keKuatan yang asli,

dengan demikian, aku, ayahnya dapat memberanikan diri untuk berbisik
"hidupku tidak sia-sia"

Douglas MacArthur

Sunday, August 17, 2008

DIRGAHAYU INDONESIAKU

pertanyaannya,
apakah yang sudah kita lakukan untuk kemerdekaan negara kita?
apa yang sudah kita lakukan untuk bangsa kita?

foto kiriman dari Kang Andar. Nuhun Kang.

Saturday, August 16, 2008

Menghidmati 17 Agustus 1945

selasar soenaryo | 16 Agustus 2008 | 20.00

Entah kenapa saya selalu menanti acara-acara yang dibawakan di komunitas ini. Teman-teman yang saya kenal ada di komunitas Rumah Nusantara, Abah Iwan, Kang Iman Soleh, Imam Suryantoko, Selasar Soenaryo dan lainnya.
Selalu ada energi / aura yang berbeda di dalamnya.
Saat mas Imam mengibarkan bendera Merah Putih dan kita sama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ada rasa menyesak di dada. Dan seringkali air mata mendesak keluar seakan ingin ikut menyaksikan peristiwa...
Kenapa? Sejak sekian lama ratusan kali mungkin saya pernah ikut upacara bendera? Kenapa suasana hati tidak pernah terbawa?
Hari inipun sama, pengunjung diajak serta mengkhidmati kemerdekaan Indonesia, 63 tahun yang lalu.
Mungkin tidak ada cara yang lebih dekat daripada saat Abah Iwan mengajak kita merenungkan momentum kemerdekaan lewat lagu dan petikan gitarnya.
Kembali rasa syukur saya luncurkan kepadaNya karena malam ini pula, batin saya diberi kesempatan bergetar dan membatin, apa makna hidup saya hari ini di dalam hawa kemerdekaan yang dihembuskan para pahlawan kita...


Wednesday, July 30, 2008

HARD LIFE? Think Again


Ibu ini salah satu dari sekelompok ibu-ibu yang turun ke area Tahura Juanda
untuk mencari suluh, kayu bakar untuk keperluan dapurnya.
Selangkah demi selangkah beliau menapak jalur menanjak,
entah dengan beban berapa ada di punggungnya.
Dari obrolan singkat, ibu-ibu ini melakukannya hampir setiap hari.

You think your life is hard? Think again...

Thursday, June 26, 2008

foto :: bunga

'b u n g a'
Gambar ini aku ambil waktu hiking bersama anak-anak dan teman-teman di jalur Tahura menuju Maribaya. Sepanjang jalan, pepohonan ini, entah apa namanya sedang memekarkan bunga-bunga ini.
Mengamati keindahannya, namanya jadi tidak penting lagi.
Mudah-mudahan 10, 20 tahun lagi, bunga-bunga ini masih ada di hutan ini, dan saat anak-anak ku kembali ke sini, mereka juga bisa mengamati keindahannya seperti hari ini.

Tuesday, June 24, 2008

CONTIGO


Sirkus Kontemporer CONTIGO
Taman Budaya Jawa Barat | 24 Juni 2008

Saturday, June 21, 2008

a classic : saint cristopher cycle bell

wah ini klasik banget. yang nemu bendanya dan motretnya teman aku.
sayang sekali aku ga lihat sekali sepedanya.
mengenai bel-nya ini pasti benda langka. yang diukirkan di atasnya adalah
gambar figur Santo Kristoforus, yang sedang menggendong Yesus menyeberangi sunyai.
Di dalam keyakinan agama Katolik, Santo Kristoforus adalah orang suci yang merupakan pelindung bagi orang-orang yang melakukan perjalanan. Very cool.

nuhun pisan Bepe untuk kiriman fotonya

Sunday, May 18, 2008

retrospeksi, konser abah Iwan Abdurrahman

Festival Air Internasional 2008 adalah agenda utamanya. Dan konser Abah Iwan ini jadi salah satu rangkaian acaranya. Diselenggarakan di STSI, Bandung oleh Teater Payung Hitam dan kedutaan Belanda, kegiatan ini memperingati hari Air yang jatuh di bulan Maret lalu. Alangkah indahnya kegiatan-kegiatan semacam ini apabila bisa terus bergaung dan terus mengingatkan kita tentang isu lingkungan hidup yang sejak beberapa waktu lalu bergaung. Masalahnya, masyarakat kita ini biasanya hanya 'anget-anget tai ayam'. Gampang terbawa eforia untuk segala sesuatu dan kemudian gampang pula hilang tak ada bekasnya. Kita itu ga konsisten banget.

Bicara tentang konsistensi, konser abah kali ini Iwan bicara sebaliknya. Abah tampil membawakan lagu-lagu yang bercerita tentang sejarah dan peristiwa-peristiwa sejak beliau masih muda, sejak lebih dari 40 tahun yang lalu. Luar biasa. Kisahnya kurang lebih dimulai saat beliau SD kelas 5 dan mendapat hadiah sebuah gitar dari neneknya. Dan kisah perjalanan waktu ini dimulai dengan lagu-lagu yang mempengaruhi proses belajar dan penghayatan beliau sekaligus keterampilannya memetik dawai gitar sejak dulu sampai akhirnya kita sekarang mendengarkan lagu-lagu gubahan abah yang sarat kontemplasi. Lagu-lagu yang begitu bernyawa dan membawa kita berpikir dan ikut merasakan kedekatan Abah dengan Sang Pencipta. Rasanya hal ini dengan jelas bisa kita pahami muncul dari kedekatan-kecintaan Abah dengan alam terbuka yang intens dan terus berjalan sampai detik ini... Konsistensi!

Seperti biasa kalau mendengar Abah atau lagu-lagunya, ini jadi proses refleksi sendiri buat aku. Kerap lagu-lagu Abah membuat aku merinding, di saat lainnya terharu. Sulit menuliskannya dengan kata-kata karena rasa nurani yang bicara. Aku hanya berharap energi yang terbawa dalam lagu-lagu abah lebih mendekatkan aku padaNya. Dan paling tidak aku bisa belajar untuk terus konsisten untuk apa yang sedang aku lakukan sekarang...

Satu lagi aku ingin mencatat pengantar yang dibawakan kang Aat Soeratin.
" ... maka semacam "koreksi budaya" bisa kita lakukan bersama, misalnya, pada konotasi tak tepat tentang istilah 'jadul' (jaman dulu = kuno = out of date = usang) yang seolah : tak apa (lazim saja) jika diabaikan. Padahal dari masa lalu itulah perjalanan hidup kita terentang. Masa lalu senantiasa menyimpan hikmah..."

Kalau konsistensi adalah sesuatu yang penting bagi apa yang kita lakukan saat ini, maka masa lalu menjadi luar biasa penting bagi cerminan kita terhadap proses yang sedang berjalan. Dan saat itulah kita bisa mengurai maknanya... dari hikmah masa lalu... Nuhun pisan Abah Iwan.

Thursday, May 15, 2008

my cycling hardware

iseng-iseng motretin sepedaku dalam cahaya minim. melihat perangkat perbosehan dalam kondisi pencahayaan yang beda... hasilnya? ya gitu deh...

Thursday, May 8, 2008

'in search of eden'

Di kuliah ke 5 ECF, Bpk. Bambang Sugiharto mengajak kita nonton filem, sebuah wawancara terhadap fisikawan kondang Paul Davies, judulnya In Search of Eden

Yang dimunculkan adalah pandangan beliau tentang asal mula kehidupan.
Menarik. Provokatif. Dan diskusi menjadi menarik saat Pak Bambang Sugiharto membagi whiteboard menjadi dua bagian, di sebelah kiri headingnya agama, di sebelah kanan Sains. Dan dari apa yang diungkap Paul Davies, mau tidak mau aku menangkapnya ada semacam arogansi yang cukup besar, yang mungkin bisa dipahami karena Paul adalah seorang saintis. Dan arogansi ini adalah bentuk kesetiaan dia terhadap bidang yang dia perdalam.

Biasanya, di kuliah-kuliah yang lalu, aku lebih banyak diam. Memang agak sulit berkomentar. Nah ini nih. Kebiasaan ga bisa spontan. 'Tel-Mi' mungkin. Tapi kebetulan topik yang ini aku agak tau-tau sedikit (atau sok tau). Jadi aku mencoba sharing.

Dalam pemahaman aku, pemisahan tegas antara agama dan sains ini muncul karena 'ego' dari masing-masing bidang (yang ditulis di sebelah kiri dan kanan). Mereka yang bergulat dengan aspek religius dan yang lainnya berkutat di sisi ilmiah. Ego ini yang rasanya mencegah mereka untuk saling memahami, karena pola pikir bahwa upaya memahami melalui cara mereka-lah yang paling betul. Buat aku rasanya ini sempit sekali ya. Apalagi saat kita mencoba bicara soal hidup dan kehidupan. Sesuatu yang luar biasa besar... dan kita perlu segala macam cara yang kita punya untuk memahami dan menghayatinya.

Kemarin aku komentar begini, aku mengutip apa yang aku baca dari DH Lawrence : kurang lebih begini : 'kita tahu bahwa air (yang notabene sangat vital untuk kehidupan) terdiri dari 2 molekul hidrogen dan 1 molekul oksigen. Tapi ada satu elemen ke tiga yang kita tidak pernah tahu apa, kenapa dan bagaimana molekul itu bergabung untuk menjadi air. Jadi selalu ada sesuatu yang tidak terjelaskan, sesuatu yang lebih merupakan keajaiban. Selalu ada suatu kekuatan tak terlihat yang ikut serta dan terlibat.'

Dan ini adalah jadi satu-satunya fokus dari (katakanlah) agama. Diumpamakan oleh Pak Bambang, Sains itu mulai dari hilir, menuju ke hulu, mencari sumbernya, menjelaskan dari kepingan-kepingan fakta yang ada. Sedangkan agama mulai dari hulu; mengandaikan sudah tahu segalanya.

Sebetulnya diskusi kemarin sudah mulai nyerempet sesuatu yang aku fahami sebagai upaya mencari titik temu antara agama (aku lebih suka membacanya sebagai spiritualitas) dan sains, sesuatu yang sekarang dikenal sebagai quantum physics. Saat para saintis sudah mulai mampu menelaah dan membedah sampai level sub-atomik, ternyata di dalam atom itu hampa. Jadi benda padat itu apa betul padat? Lalu yang dipersepsikan sebagai benda padat itu apa? Toh atomnya terdiri dari ruang kosong.

Tapi pertanyaan dari aku adalah apakah harus Sains dan Spiritualitas dipisahkan? Tidak dapatkah keduanya diletakkan berdampingan untuk memahami segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Termasuk agama yang rasanya sulit beranjak dari kekakuan dogmatisnya yang sudah berabad-abad bertahan, sementara segala aspek kehidupan manusia berubah dengan cepatnya. Pola pikir manusia modern yang sudah luar biasa berubah, karena kita semakin kenal (atau justru semakin tidak kenal) alam semesta kita...

Rasanya kita memang harus mulai menghilangkan ego dan arogansi kita (yang banyak muncul melalui bidang-bidang/ilmu yang kita pelajari). Hidup dan kehidupan bukan sebagai sesuatu yang harus sekedar dipahami, tapi mungkin lebih mungkin apabila kita hayati... Lagipula, bagaimana mungkin kita menalar dan menjelaskan kebesaran Sang Pencipta...

Tuesday, April 29, 2008

tentang kesadaran spiritual

Pertama-tama aku bersentuhan dengan apa yang disebut-sebut dengan spiritualitas adalah kurang lebih sepuluh tahun tahun yang lalu, sekitar tahun 1998. Tahun ini agak keramat buat aku karena di tahun ini aku memulai petualanganku menjelajah ke luar teritori yang aku kenali dengan teramat dekat. Sebelum tahun itu aku hanya mengeksplorasi segala sesuatu tentang arsitektur dan desain. Hanya itu. Saat itu duniaku ‘sempit sekali’ walaupun aku sudah sempat studi lanjut di negeri orang.

Waktu itu temanku menunjukkan kepadaku buku karangan James Redfield, yang judulnya : The Celestine Prophecy. Buku ini salah satu buku best seller dunia. Terjemahannya sudah ada di Gramedia dengan judul Manuskrip Celestine. Waktu itu entah kenapa aku tidak tertarik. Hanya aku buka-buka halaman depannya, lalu aku kembalikan kepada temanku. Nanti aja deh, nih gua balikin dulu…

Di sekitar tahun 2000-an, saat beberapa hal yang aku coba rintis ‘seakan gagal’, aku jumpa kembali dengan buku itu. Dalam kondisi yang serba membingungkan dan aku menyimpan sangat banyak pertanyaan, aku membaca buku itu. Dan saat itu aku dipertemukan dengan banyak jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku. Konon, ada waktunya tersendiri kapan buku-buku itu berperan mengisi diri kita. Momen yang luar biasa buat aku.

Celestine Prophecy dikemas sebagai sebuah novel. Dikisahkan melalui petualangan seorang yang melacak jejak manuskrip kuno yang menjelaskan tentang rahasia besar peradaban umat manusia. Menjelang pertengahan buku tersebut aku disadarkan bahwa buku ini bukan sekedar novel. Buku ini menyimpan pesan luar biasa. Dan buku itu telah mengantar perjalanan aku dari kebingungan-kebingungan aku sampai aku mampu membangun keyakinan diri bahwa apa yang aku jalani sekarang ini adalah sesuatu yang memang harus aku jalani. Bahwa aku memang harus keluar teritori (di tahun 98 itu tanpa disadari aku mulai beralih ke pendidikan, dan di titik itu lah aku betul-betul belajar. Aku mengalami begitu banyak peristiwa dan berjumpa dengan banyak sekali orang). Saat aku berani menerobos batas itulah aku membangun wawasan dan kesadaran-ku tentang banyak hal dan memperoleh perspektif yang betul-betul berbeda dari pemahaman-pemahaman aku sebelumnya.

Salah satu yang ditekankan oleh James Redfield, dalam bukunya adalah bahwa :”tidak ada suatu peristiwapun di dunia ini yang terjadi secara kebetulan”. Jadi semua peristiwa, apapun bentuknya membawa makna. Seperti ungkapan yang pernah aku dengar juga “Everything happens for a reason”. Tentunya ini pada akhirnya akan mengkristal pada bagaimana kita memaknai hidup kita masing-masing. Hidup kita sebagai sesuatu yang sakral, sesuatu yang luar biasa yang dianugerahkan Tuhan kepada kita. Memaknai hidup kita adalah tugas utama kita, sesuatu yang harus kita pertanggung jawabkan kepada Tuhan atas karuniaNya yang maha besar tersebut. Kesadaran spiritual dalam pemahaman aku, dimulai pada saat kita, dalam kesadaran kita mulai memunculkan pertanyaan tersebut.

Sejak saat itu, aku berusaha memahami lebih jauh, belajar lebih banyak tentang spiritualitas. Akhirnya di titik ini aku bisa memahami, bisa memetakan, menarik garis dari titik-titik peristiwa dalam hidupku, paling tidak sejak 10 tahun terakhir sampai akhirnya aku meyakini bahwa aku memang ‘ditugaskan’ oleh Penciptaku untuk mengawal sesuatu yang kita kenal sebagai Semi Palar. Sampai detik ini, aku terus berusaha memaknai segala sesuatu yang terjadi dan aku alami dalam kerangka spiritualitas ini.

Dari beberapa buku lain yang aku baca, periode yang sekarang disebut-sebut sebagai periode pergeseran atau yang disebut dengan Evolusi Spiritual (Spiritual Evolution). Beberapa ahli menyebutkan banyaknya anak-anak yang dikenal memiliki kepekaan-kepekaan tertentu (Indigo Children) sebagai bagian dari proses berlangsungnya evolusi ini.

Apa yang aku amati dan alami sendiri, kelihatannya mengkonfirmasi hal ini. Bahwa kesadaran spiritual muncul semakin lama semakin dini (secara usia). Ayahku, belum lama ini kelihatannya baru mencapai tahap ini, saat pembicaraan dan obrolan kami menyinggung hal-hal ini. Bacaan beliau juga mencerminkan hal ini. Salah satu favorit beliau adalah Paulo Coelho. Penulis favorit aku juga yang memang karya-karyanya sangat spiritual : salah satunya yang paling beken : The Alchemist.

Buat aku sendiri, minatku dan pertanyaan-pertanyaan yang ‘spiritual’ muncul lebih awal, ya sekitar tahun 2000-an tadi. Belum lama ini, keponakan Lyn yang rencananya hendak menikah, tampak memunculkan gejala-gejala kesadaran spiritual tadi. Banyak pertanyaan ‘aneh-aneh’ yang muncul. Dan memang ini cukup membingungkan orang tuanya. Sepintas kayak orang yang lagi bingung. Tapi dari pengalamanku bingung seperti itu, ya dia memang sedang mencari jawaban. Masalahnya hal-hal seperti ini tidak mudah ditemukan jawabannya. Aku sempat sedikit berbincang dengan dia, dan yang aku lakukan hanya merekomendasikan beberapa buku yang bisa membantu kita menemukan jawaban / keyakinan.

Yang agak mengejutkan adalah saat anakku sendiri di usianya yang masih sangat muda memunculkan pertanyaan-pertanyaan serupa. Tahun 2005, berusia 5 tahun, Rico sempat bertanya :”Pa, kenapa sih kita dikasih hidup?” Wuaduh! Apa ga bingung? Agak beruntung aku sedang dalam proses banyak baca buku-buku yang membahas tentang ini. Tapi respon aku secara garis besar adalah bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan luar biasa yang banyak orang dewasa pun belum tau jawabannya. Aku hanya menambahkan bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan yang hebat dan jadi tugas kita masing-masing untuk menemukan jawabannya.

Lalu tidak berapa lama kemudian muncul kembali pertanyaan yang tidak kalah berat : “Kalau Tuhan yang menciptakan dunia ini, terus yang menciptakan Tuhan siapa dong?” Nah lho…

Dari beberapa obrolan dengan teman-teman lain, sempat terdengar juga cerita serupa, bahwa anak-anak yang masih kecil sudah memunculkan pertanyaan-pertanyaan sejenis – yang ‘jero’ istilah sundanya mah, pertanyaan yang sulit sekali menjawabnya bahkan untuk kita orang dewasa.

Kenapa ya ? Tapi aku pikir tidak terlalu penting kenapanya? Lalu apakah betul Evolusi Spiritual itu sedang berlangsung, walahualam, siapa yang tahu. Yang lebih penting adalah bagaimana kita merespon dan menjaga agar kesadaran spiritual itu tetap hidup di anak-anak kita dengan memberikan respon yang tidak mematikan (menghancurkan proses belajar mereka).

Satu hal lagi yang aku pelajari adalah bahwa proses pembelajaran adalah proses membangun kesadaran. Kesadaran atau awareness, secara garis besar ada 3 tahap (kalau tidak salah di Hindu ada 7 tingkatan kesadaran). Tiga tahap ini adalah

  1. Physical Awareness
  2. Emotional Awareness
  3. Spiritual Awareness

Penjelasan sederhananya gini. Ini berhubungan dengan 3 unsur utama dari keutuhan manusia yaitu :

Body – Mind – Spirit atau : Badan - Pikiran (termasuk emosi) dan Jiwa.

Di tahap awal, manusia (bayi) belajar untuk menyadari segala sesuatu tentang tubuhnya, dan ini berlangsung sejak bayi, lewat pubertas sampai menginjak dewasa saat pertumbuhan secara fisik bisa dikatakan berhenti. Lalu manusia dewasa berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiknya, salah satunya lewat mencari nafkah untuk kehidupannya. Setelah ini terpenuhi, apa yang dicari adalah Emotional Awareness, termasuk di dalamnya aktualisasi diri dan mencari kebahagiaan. Singkatnya, akan menjadi penting bagi dirinya untuk juga merasa bahagia (happy), selain memenuhi kebutuhan jasmaninya. Setelah melampaui tahapan ini, yang kemudian muncul adalah Spiritual Awareness. Spiritualitas ini memang lebih berorientasi mencari makna. Setelah badan dan emosi tercukupi kebutuhan kesadarannya, yang dicari kemudian oleh manusia adalah makna. Pada akhirnya manusia perlu mencari makna. Saat menemukan makna, yang akan dirasakan manusia adalah antusiasme. Dan ini sejalan dengan asal kata antusias yang berasal dari bahasa Yunani : An – Theos yang artinya Tuhan ada di dalam.

Mungkinkah pergeseran kesadaran spiritual ini disebabkan perbedaan generasi? Orang tua kita di sebagian besar kehidupannya kebanyakan bergulat untuk memenuhi kebutuhan pokok, mencari nafkah, mencukupi secara fisik. Saat ini situasi keluarga generasi kita sudah jauh lebih baik. Apa yang kita cari bukan sekedar nafkah juga kenyamanan dan kebahagiaan dalam hidup. Anak-anak kita? Dengan situasi yang pada umumnya sudah sangat nyaman mungkinkah mereka lebih cepat bersentuhan dengan dimensi spiritual mereka? Bisa jadi. Apalagi kita tahu anak-anak kita punya kecerdasan yang jauh lebih tinggi dari kita. Yang penting konsekuensinya, apakah kita guru dan orang tua mereka siap membantu dan memfasilitasi mereka dengan segala proses pencarian, rasa ingin tahu dan kekritisan mereka? Pastinya kitapun harus belajar seperti mereka…

© Nday | 29042008

Saturday, April 26, 2008

diskusi budaya : Menguak Tabir Multikulturalisme

sub title kegiatan diskusi ini : 'Alun Lampah Penelusuran Anak Bangsa'
Satu lagi diskusi asik yang sempat aku hadiri. Asik karena bicara budaya dan multikulturalisme. Diselenggarakan oleh Semadi (Sekretariat Kemanusiaan dan Keadilan Keuskupan Bandung), menghadirkan pembicara yang asik-asik juga, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Garin Nugroho, KH Asep Muhtadi dan Prof. Jacob Sumardjo. Buat aku sih sangat-sangat mencerahkan. Apa isinya, mudah-mudahan bisa sempat saya segera susulkan di sini.


riding into the light

riding into the light
Ini di jalur tahura lagi, minggu lalu saat ada event SimpatiZone Biking Adventure. Kita sih ga ikutan, tapi ambil jalur biasa ke arah Maribaya, berenti di tengah pas nyampe di warung sambil makan nasi timbel merah.Wah, mak nyuss, pokoknya... Sebetulnya kita agak banyakan ngebosehnya, ada mas Yuliardi, Rudyanto, Hanin, aku, ditambah Yanto dan Steve yang sudah mendahului ke arah Maribaya.

Jalur tahura memang enak banget buat dijadiin jalur ngeboseh karena hijaunya pepohonan yang otomatis menyediakan oksigen segar buat kita. Teduh sekali dimana-mana kita berhenti untuk mencari nafas. Catatannya kita berangkat jangan terlalu siang, karena jalur ke arah Tahura semakin siang semakin padat kendaraan.
Tanjakannya masih bisa dikuasai, variasi naik turun, walaupun permukaan paving memang agak licin kalau habis hujan. Jalurnya relatif gampang, walaupun begitu, suasana bahwa kita bersepeda di alam masih sangat kental terasa.

Senang melihat semakin banyak pesepeda yang terlihat. Semoga Bandung bisa jadi kota pesepeda suatu waktu nanti. Sebetulnya sudah semakin banyak teman-teman gabung jadi pesepeda, yang bike to work atau juga untuk rekreasi olahraga yang bisa dilakukan di akhir minggu. Asik pisan lah pokoknya...

Hayu atuh urang ngaboseh...

Saturday, April 19, 2008

filsafat ???

Filsafat ??? Hah, barang apa itu? Itu pandanganku dulu tentang sesuatu yang namanya filsafat. Anehnya, sekarang aku bisa duduk kembali di bangku kuliah (setelah bertahun-tahun lamanya aku tidak masuk kampus), aku bersama beberapa kakak Smipa ikutan Extension Course Filsafat dengan tajuk Philosophy of Religion.

Di sini bukan course ini yang penting, tapi pengalamanku di Semi Palar, mengamati anak-anak dalam proses belajarnya yang luar biasa, akhirnya merefleksikan sesuatu yang lain. Jangan-jangan memang aku (kita) dididik dengan cara yang salah. Aku tidak pernah belajar untuk bertanya dan bertanya.

Salah satu forum diskusi yang pernah aku hadiri sepertinya menegaskan hal
ini saat seorang pembicara bilang bahwa manusia Indonesia itu manusia
How-To... Hanya tahu gimana melakukan sesuatu. Hanya ngerti teknis,
prosedural, hanya paham masalah cara. Pragmatis banget. HIDUP-pun jadi
sesuatu yang sangat teknis. Pokoknya jalanin aja seperti orang-orang lain.
Dari bayi, sekolah, sekolah lalu kuliah (pilih jurusan yang rame / laku),
lulus lalu kerja, kerja lalu cari jodo, lalu kawin, lalu punya anak, lalu
pensiun, lalu???

Kita tidak pernah lagi bertanya sesuatu yang lebih dalam dari pertanyaan
bagaimana? Kita tidak pernah bertanya apa dan kenapa? Apa itu hidup? Kenapa
kita dianugerahi hidup? Apa itu pernikahan? Apa itu bekerja? Apa itu
pekerjaan? Hal-hal semacam itu...

Filsafat seakan-akan jadi sesuatu yang jauh dari kita. Padahal seharusnya
tidak begitu (paling tidak menurut saya). Karena untuk punya hidup yang
bermakna, makna hidup akhirnya toh harus dicari. Kita harus bisa memaknai
hidup kita, kalau tidak ya hidup kita akan kosong, hampa, tanpa makna. Kalau
hidup adalah sebuah perjalanan, seharusnya hidup punya tujuan. Sepertinya
orang harus studi S3 untuk bisa memahami filsafat (yang ditandai dengan
gelar PhD: Doctor of Philosophy).

Kalo belum S3, jangan sok tau deh, kamu kan masih pada belon ngarti...
Padahal filsafat (menurut aku) adalah sekedar bertanya dan mencari jawaban.
Berusaha kritis, gitu lho.

Di Smipa, sehari-hari kita banyak sekali berjumpa dengan filsuf-filsuf
hebat. Anak-anak. Mereka yang selalu bertanya dan bertanya dan
mempertanyakan lagi jawaban-jawaban kita, atau fakta-fakta yang sudah kita
ketahui. Seperti sebuah pencarian terhadap kebenaran. Kami, kakak-kakak
fasilitator mereka sering kali tertegun mendengarnya. Persis seperti apa
yang dibilang John Holt, pakar pendidikan : "Children are like philosophers.
They ask big questions!"

Kalau memang bertanya adalah suatu kemampuan yang
dimiliki anak-anak? Tapi kenapa kita jadi (tidak suka, tidak berani, atau
tidak biasa) bertanya? Saat kita memandang hidup kita dan segala sesuatu di sekelilingnya adalah sesuatu yang luar biasa, sakral dan mengagumkan, bagaimana mungkin kita tidak bertanya dan mencoba memahaminya, mencari maknanya?

Filsafat ternyata bisa jadi sangat sederhana. Seperti di filem Horton Hears
the Who... "Bagaimana mungkin ada manusia tinggal di dalam sebutir debu?
Debu kan kecil sekali?" protes si Kangguru, lalu balas Horton, "Belum tentu
mereka yang kecil... Mungkin saja kita ini yang sangat besar"... Nah lho?

Akhirnya filsafat hanyalah seperti tagline iklan sebuah produk rokok : TANYA
KENAPA! (hehe... rokoknya sih aku ga suka, tapi tagline-nya... top banget!)

Saturday, April 12, 2008

sepeda dari bahan daur ulang??

Beberapa hari lalu aku dapet hadiah sepeda dari salah seorang kakak guru Smipa (ka Eet) yang sekarang doyan mboseh. Sepeda ini dari bahan daur ulang... Lucu, dari bungkus kopi kapal api... Keren banget. Kreatif abis. Proporsinya bagus. Udah menghayati banget ya soal sepeda. Ka Eet sekarang sering Bike To School (maksudnya kan sehari-harinya kerja di sekolah). Nuhun ka Eet. Mudah-mudahan ide kreatifnya makin sering muncul gara-gara bersepeda...

Sunday, April 6, 2008

verticality

verticality

gambar ini sudah lama sekali aku ambil, kebetulan filenya ketemu dan aku upload di sini.
komposisinya menarik, kebetulan bawa kamera dan aku ambil gambarnya.
objeknya pasti dikenal, akrab dengan kita, tapi garis-garis dan orientasi vertikal yang muncul sebetulnya bisa lebih mengingatkan kita akan sesuatu yang di atas sana...
eit, tapi sebentar... di atas? rasanya tidak ya, Dia ada di mana-mana...

what's happening lately?

Wah, lama aku ga ngeblog... Bukannya 'nothing's going on', sebaliknya banyak banget yang terjadi sampe sulit buat aku menuliskannya... Jadi aku tulis pendek-pendek di sini supaya ga kelewat...
Mudah-mudahan aku segera punya waktu untuk mencatatkannya di sini.
  • Mulai dari hari ini, aku ngumpul-ngumpul di Jakarta sama teman seangkatan (ars86) yang sedang sibuk dengan yayasan kami yang baru dan segala proyek dan gagasannya. Senang sekali merasa bisa ngumpul bareng dengan teman-teman jaman kuliah dulu. Dan setelah sekian lama, kegilaan yang sama masih muncul, bahkan lebih parah! haha... Tapi sekarang ini energinya sudah lebih positif munculnya, dan sangat menyenangkan untuk bisa melakukan sesuatu untuk lingkaran di luar diri kita. Apa yang sedang kita garap, details ada di www.ars86care.org
  • Kuliah filsafat. Ini juga menyenangkan karena aku duduk lagi di bangku kuliah setelah sekian lama. Filsafat? Hmmm, yang ini agak panjang ceritanya, nanti aku tulis terpisah.
  • What did I miss? Karena bentrok dengan jadwal kuliah, aku ga sempat hadir ke acara perbincangan budaya di Grand Hotel Preanger. Pembicaranya Sri Sultan Hamengkubuwono dan Kang Ajip Rosidi, tentang rekonsiliasi sejarah Jawa dan Sunda... Tapi teman-teman ku sempat datang dan mudah-mudahan aku dapat cerita tentang ini.
  • Awal bulan aku datang ke peringatan ulang tahun ke 3 Yayasan Harry Roesli. Menarik, menginspirasi sekali, minimal buat aku. Membuat aku yakin bahwa siapapun kita, bagaimanapun situasi kita, perhatian dan cinta kasih akan membuat kita hidup. Merefleksi apa yang terjadi belakangan ini di sekolah dengan anak-anak Semi Palar, gimana ya? Rasanya begitu mudah buat kita untuk mengabaikan sesuatu - taking things for granted...
  • Di rumah ada peristiwa lucu-lucu tentang anak-anak. Bagaimana atas inisiatif sendiri anak-anak bisa membuat tantangan untuk mereka sendiri untuk mendapatkan sesuatu, dan menawarkannya kepadaku... Lucu, sekaligus bikin aku juga senang sekaligus bangga akan mereka.
  • Lalu aku pergi nonton sama mereka Horton Hears the Who! Filem luar biasa. Very smart movie. Filem selucu itu bawa pesan filosofis yang mendalam buat aku? Hebat! Sambil perut sakit karena terlalu banyak tertawa, filem itu bawa perenungan banyak buat aku.
  • Minggu kemarin aku ajak anak-anak untuk nonton Downhill Race di Cikole. Sekedar untuk mengenalkan mereka ke hal-hal yang bisa jadi opsi buat mereka. Kebetulan kak Kiki, salah satu calon guru di Semi Palar ikut balapan. Buat aku, senang sekali berada di salah satu event persepedahan yang cukup besar...
  • Jum'at kemarin kita evaluasi mid semester di Semi Palar. Satu lagi juga yang jadi bagian dari refleksi aku sekarang-sekarang ini. Termasuk juga salah satu teman yang membuat satu dari dua pilihan sulit, dan memutuskan pilihan yang termasuk 'beyond logic'...
    Quoting Robert Frost :
    Two roads diverged in a wood, and I-
    I took the one less traveled by,
    And that has made all the difference.
  • Besok masuk minggu ke dua seorang temanku yang lain berpetualang ke Jepang. Postur tubuhnya kecil, tapi jiwa, keberanian dan keyakinan dirinya besar. Semoga dia menemukan apa yang dicarinya di sana dan pengalaman-pengalamannya memperkaya dia.
  • Apa lagi ya? Udah dulu ah...
Yang aku yakini bahwa setiap peristiwa membawa makna. Mudah-mudahan aku mampu memaknai dan menghayatinya...

Friday, March 21, 2008

World Silent Day


apa yang mau dilakukan hari ini dan kenapa-nya sudah kita sampaikan ke anak-anak sejak kira-kira seminggu sebelumnya. kakak-kakak di sekolah juga sudah menitipkan kepada anak-anak untuk berpartisipasi. apa yang terjadi di rumah kita? kebetulan hari ini bertepatan dengan peringatan wafatnya Isa Almasih (hari Jum'at Agung). jam 10 tepat anak-anak mulai heboh mematikan segala peralatan elektronik (kecuali lemari es dan mesin sirkulasi aquarium). HP termasuk perangkat yang kita matikan juga.
sebentar kemudian kami berangkat ke gereja Katedral untuk upacara Jum'at Agung.
selesai upacara di gereja, waktu sudah menunjukkan waktu sekitar 14.30. sudah lewat pula waktu makan siang, entah dari mana muncul ide iseng untuk jalan kaki ke rumah. hari itu kebetulan cukup panas, lapar sudah menyerang pula, tapi entah kenapa ya anak-anak menyetujui pula. si kecil sebetulnya agak ragu, tapi karena kakaknya semangat sekali akhirnya kitapun mulai menapak kaki pulang ke rumah. 45 menit kemudian kami sampai di rumah. si adik udah hampir menyerah... "aduuh, aku sudah ga kuat jalan lagi selangkah-pun!" sampai di rumah, si kecil langsung menggeletak di lantai...
dari obrolan selanjutnya kita tahu bahwa dia sadar sedang melakukan sesuatu untuk planet bumi.
sebagai orang tuanya, minimal ini pengalaman yang bisa kita berikan. mudah-mudahan kelak berkembang jadi penghayatan.
buat kita sendiri orang tuanya, ini juga jadi sesuatu yang baru. kemudahan yang kita punya biasanya menjadikan kita jadi manja. tapi toh sebetulnya kita punya pilihan. dan untuk bumi kita semoga kita lebih sering berpikir dan memilih sebelum memanjakan diri mencari kemudahan, dan pada saat yang sama membebani planet kita...

klik di sini untuk situs world silent day...

Saturday, March 15, 2008

3 Tahunnya Yayasan Harry Roesli



15 Maret, peringatan ke 3 hari jadi Yayasan Harry Roesli.
Hari itu saya diundang teman-teman untuk hadir. Di sore yang gerimis itu, sayapun menuju ke sana. Apa yang saya dapatkan di hari itu, hanyalah keyakinan bahwa saat anak-anak mendapatkan perhatian dan sentuhan nurani kita, apapun situasinya, mereka akan bisa memunculkan potensinya, karena anugerah Tuhan adalah luar biasa. Kenapa aku ada di sana, di tengah-tengah mereka, bisa jadi ada sesuatu yang harus aku dan bisa lakukan untuk mereka. Apakah itu? Aku hanya harus menemukannya...

Satu lagi, seperti yang disampaikan kang Aat, ada salah satu pesan terakhir dari Kang Harry sebelum beliau berpulang, lampu di ruang kerjanya jangan pernah dipadamkan. Ini jadi pengingat buat kita semua bahwa masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Mudah-mudahan kita bisa terus ingat pesan beliau. Mudah-mudahan...



Tuesday, January 22, 2008

selimut polutan di atas Bandung (2)

(klik untuk gambar yang lebih besar)

Ini adalah ke dua kalinya aku ngambil foto tentang ini. Entah kenapa ini terus jadi perhatian aku, karena saat bersepeda ke daerah utara Bandung dan melihat pemandangan itu, rarasaeun napas jadi sesek. Berada di luar kepengapan itu dan menyaksikannya dari luar terus jadi pengingat aku tentang kondisi lingkungan kita yang parah. Ini jadi barometer apakah kita dan segala apa yang kita lakukan mampu memperbaiki situasi ini. Kalau tidak, ya kita harus siap dengan segala konsekuensinya... Mungkin bukan kita, tapi anak-anak kita... Ini jadi kesalahan kita saat anak-anak kita harus bernafas di tengah udara yang penuh polutan dan sarat dengan racun, tumpukan segala limbah yang kita buang saat ini.

Kali ini aku memotretnya secara
panoramic. Mudah-mudahan lebih jelas menggambarkan situasinya daripada saat aku merekam gambarnya Juli tahun 2007 dengan kamera handphone.

Saat ini aku hanya mampu mengambil gambarnya... belum lebih dari itu... saat aku pergi bersepeda, mengurangi sampah atau berkendaraan, mungkin ada satu dua partikel debu yang berkurang, mudah-mudahan walaupun kelewat sedikit pengaruhnya.