Saturday, March 17, 2012

Refleksi Bincang Edukasi #5 di Bandung


Pagi – siang tadi, saya hadir di Bincang Edukasi di Bandung. Bertempat di Boemi Nini, sebuah tempat yang walaupun kecil suasananya nyaman dan ngendonesia sekali. Pengunjung kabarnya ada seratusan lebih, di luar perkiraan panitia yang menduga akan dihadiri sekitar 70-an pengunjung. Pengunjung duduk lesehan, sebagian di atas tikar di lapangan rumput. Asik. Di hari ini ada empat orang yang diminta berbagi secara singkat tentang visi dan proses menjalankan sesuatu dalam konteks pendidikan. Sebuah forum yang saya pribadi melihat sangat dibutuhkan sebagai wadah saling berbagi dan saling belajar untuk memperbaiki dunia pendidikan di Indonesia.

Sesaat sebelum giliran saya berbagi, saya baru menyadari kecermatan teman-teman kurator (Deta Ratna Kristanti dan Ardanti Andiarti) memilih para pembicara. Disadari atau tidak presentan (terlepas dari apa yang dibicarakannya) mewakili wilayah pendidikan yang berbeda. Puti bercerita tentang Rumah Mentari, bagaimana Puti dan teman-temannya menyentuh anak-anak yang seakan tidak tersentuh pendidikan yang semestinya. Rumah Mentari dikembangkan di daerah Dago Utara, bersama teman-teman volunteer – berbagi cahaya dan semangat untuk anak-anak untuk bisa belajar banyak hal. Kandi dan Komunitas Sahabat Kota beranjak dari keprihatinan atas kota Bandung yang tidak lagi ramah dan semakin berjarak dari warga kotanya – khususnya anak-anak. KSK menggerakan sesama muda melakukan hal positif menjadi fasilitator dan mendampingi anak-anak di Bandung untuk mengenal kotanya lebih dekat. Anyi dan Ibut datang dari sudut pandang yang sangat berbeda – bergerak dari bagaimana musik menjadi komoditi industri – bukan lagi sebagai media ekpresi dan mengapresiasi kehidupan – terutama dalam proses pendidikan anak-anak. Save Our Music – musik kitapun harus kita selamatkan. Sedangkan saya berbagi cerita bagaimana Rumah Belajar Semi Palar dibangun agar menjadi wadah pendidikan anak-anak secara utuh (holistik) – supaya anak-anak bisa berkembang dengan segala potensinya secara utuh – di dalam sebuah lembaga pendidikan formal (sekolah).

Dari sudut lain, segala keprihatinan yang mendorong teman presentan untuk melakukan apa yang dilakukannya sekarang di komunitas / institusinya seperti menjadi gambaran bagaimana dunia pendidikan di Indonesia memiliki masalah di berbagai sudutnya. Bahkan untuk anak-anak yang memiliki kesempatan bersekolah. Dunia pendidikan memang kompleks luar biasa. Sepintas tampak sederhana dan sangat terprediksi segala sesuatunya. Tapi dengan mudah kita menemukan sudut-sudut yang bermasalah, tidak terperhatikan, atau perlu dibenahi. Ibarat puncak gunung es yang bisa kita lihat / amati di atas permukaan, sementara kita tidak tahu apa yang tersembunyi di kedalaman lautan. Kita perlu mengatasinya bersama, bekerja sama mengolahnya dari berbagai arah. Kenapa forum-forum seperti ini jadi kebutuhan besar bagi banyak dari kita, semestinya karena memang pendidikan di Indonesia dalam banyak hal harus diperbaiki.

Satu hal yang menjadi kesamaan adalah teman-teman semua (termasuk Rumah Belajar Semi Palar) mengawali langkah dengan berpijak dari sebentuk keprihatinan. Saya yakin teman-teman presentan (Puti, Kandi, Anyi dkk.) ingin membagikan hal yang sama, apapun yang bisa kita lakukan, di manapun adanya, bagaimanapun caranya, sebesar atau sekecil apapun, mendidik, membangun orang lain adalah hal sangat bisa kita lakukan. Kalau kita punya secuil keprihatinan, kita perlu berhenti mengomel atau berkeluh kesah dan melakukan sesuatu yang nyata, melalui apa yang kita bisa.  Seperti kata Anyi, daripada kita berpikir mencari-cari apa yang mendorong kita harus melakukannya, kita perlu berpikir sebaliknya, hal apa yang membuat kita tidak berbuat sesuatu?

Saya pribadi berpikir, kalau pertemuan-pertemuan semacam ini bisa menyalakan sepercik semangat dan keyakinan dalam diri teman-teman yang hadir, memberikan seberkas inspirasi dan motivasi untuk mulai melakukan sesuatu – melalui pendidikan, forum ini sudah memberikan hasilnya. Sebesar apa hal yang dilakukan saya kira hal itu tidak penting. Kalaupun ada seorang yang terinspirasi untuk mendampingi satu orang di luar dirinya (misalnya seorang anak di lingkungan sekitar rumah tinggal kita) saya kira hal itu sudah luar biasa. Kita bisa menjadi cahaya cahaya buat lingkungan sekitar kita. Memang di akhir pertemuan saya dan beberapa teman sempat berbincang dan beberapa teman bercerita tentang apa yang sudah dan ingin mereka lakukan. Senang sekali saya mendengarnya.

Suatu kehormatan bisa berbagi di Bincang Edukasi. Sebuah forum terbuka untuk pendidikan Indonesia yang diinisiasi Kreshna Aditya dan teman-teman. Sungguh menyenangkan melihat bahwa semua yang hadir membawa sesuatu ke pertemuan tadi. Ada satu energi yang mengikat semua yang hadir tadi. Saya yakin apa yang mendorong semua yang hadir di forum tadi, mulai dari para pengunjung, kurator, presentan, adalah semangat untuk pendidikan Indonesia. Bagaimanapun caranya, sebesar apapun skalanya. Terima kasih buat semuanya.



Thursday, March 8, 2012

menuju Earth Hour 2012 : sebuah refleksi

Hari Minggu yang lalu, tanggal 4 Maret 2012, sekelompok manusia berkaos hitam bergambar huruf besar 60+ berkumpul di area Car Free Day - Dago. Tulisan ini bukan melambangkan usia 60 tahun ke atas, tapi kelompok ini berada di sana untuk mengampanyekan gerakan global Earth Hour... 60 menit dari waktu kita untuk sebuah langkah bersama membangun kesadaran tentang planet kita, planet bumi : Earth Hour.

Sederetan teks pendek di layar hape-ku yang aku terima dari seorang teman mendorong aku untuk menuju ke tempat yang sama. Pagi-pagi sepeda kesayangan aku siapkan dan menggoweslah aku ke Dago untuk bergabung dengan teman-teman di sana.

Sudah sejak tiga tahun ini aku bersama keluargaku di rumah ikut mematikan lampu - satu jam dari jam 20.30 sampai jam 21.30, seperti jutaan manusia penghuni bumi di banyak tempat di seluruh dunia... Sepertinya bukan hal sulit, tapi dilihat-lihat tidak banyak juga yang melakukannya. Banyak wajah-wajah penuh tanda tanya (dan curiga) yang muncul pada saat mereka bertemu dengan para volunteer Earth Hour ini. Tentunya ini menjadi alasan utama kenapa rekan-rekan dari berbagai komunitas - maupun individu berkeliaran di Dago membawa papan2 informasi dan mengajak pengunjung Car Free Day untuk paling tidak mulai mengenal apa yang disebut Earth Hour... 

teman-teman volunteer Earth Hour 2012

komitmen-komitmen yang diberikan untuk Earth Hour dan gerakan hemat energi...

Pak Sariban, tokoh lingkungan hidup kota Bandung yang membawa semangat luar biasa...
Buat aku pribadi, Earth Hour akhirnya bukan sekedar mematikan lampu. Waktu 60 menit ini setiap tahun ibarat menjadi momen perenungan, kontemplasi, tentang relasi aku sebagai manusia-satu individu penghuni planet bumi dengan planet bumi yang menjadi tempat berpijakku sepanjang hidup. Memang menjadi pas, saat kita mematikan lampu dan segala peralatan elektronik. Suasana menjadi hening, gelap... beralih dari suasana yang biasanya didominasi benderang cahaya lampu, kilau layar bergambar dan segenap suara yang muncul dari kotak kaca di ruang keluarga...

Saat kita mematikan lampu dan segala peralatan elektronik, seakan kita kembali ke situasi primitif saat  setiap malam setelah beraktifitas manusia berada dalam situasi hening, kontemplatif, di mana dengan segera manusia merasa kecil berada di tengah kebesaran alam semesta dan Sang segala Pencipta. Teknologi memang mudah membuat manusia menjadi pongah dan arogan, karena manusia menjadi mampu memotong jarak, menghilangkan waktu, membongkar keheningan, merasa kuat dan perkasa. Akibatnya, manusia jadi kehilangan kebijaksanaannya, lupa diri, lupa pada kedebuannya. Lupa bahwa manusia adalah hanya sebagian kecil dari kebesaran alam semesta dan penciptanya... 

Konon planet bumi-pun punya jiwa, punya spirit, apa yang dikenal sebagai Gaia. Bumi adalah sesuatu yang 'hidup'. Aku percaya itu. Karenanya apabila kita tidak cukup memberi perhatian untuk planet kita ini, relasi kita akan terputus, dan siklus kehidupan (circle of life) pada akhirnya akan terganggu juga. Global Warming adalah salah satu gejalanya. Aku sering mengistilahkannya sebagai bumi yang sedang sakit (meriang) - sedang demam. Karena kita semua, umat manusia melalui segala bentuk aktifitasnya terus memborbardir planet bumi sendiri dengan racun dalam berbagai bentuk limbah. Sementara organ-organ tubuh yang penting buat planet bumi terus kita hilangkan keberadaannya (fungsinya) - seperti gambar di samping ini. Hutan (paru-paru dunia) terus rusak, sampai suatu waktu bumi termasuk segala mahluk hidup di atasnya tidak bisa bernafas lagi... Melelehnya tumpukan es di kawasan Kutub Utara yang berfungsi sebagai regulator suhu bumi sekaligus meregulasi iklim bumi melalui pergerakan air laut di samudera-samudera di berbagai bagian bumi menjadi penyebab krisis iklim. Bencana alam yang semakin hari semakin kerap dan tidak terprediksi. Bumi kita sedang sakit.

Manusia perlu kembali ke kesadaran mendasar bahwa ia adalah bagian dari jejaring kehidupan di bumi dan alam semesta ini. Manusia bukan penguasa planet bumi, bukan pemiliknya, ia tidak berdiri di puncak piramida kehidupan di planet bumi, tapi bagian dari lingkaran / jejaring mahluk hidup di dalamnya. Manusia dengan anugerah kecerdasannya, semestinya mampu menjaga dan memelihara bahwa lingkaran kehidupan semua mahluk di planet bumi ini tetap lestari, alih-alih menguasai dan mengekploitasi planet bumi dan segala isinya. Kalau direnungkan, manusia-lah satu-satunya spesies mahluk hidup yang meracuni dan merusak tempat hidupnya sendiri. Betapa arogannya kita umat manusia...
manusia adalah bagian dari lingkaran kehidupan di muka bumi ini...
Entah seberapa jauh Earth Hour ini bisa membangun kembali kesadaran kolektif kita mengenai keberadaan manusia di planet bumi ini. Kalau kita di seluruh muka bumi berhasil bersepakat, bergerak bersama untuk mematikan lampu dan peralatan listrik walaupun hanya satu jam, ini menjadi sebuah penanda yang menggembirakan. Bisa jadi ini juga mencerminkan kesadaran kita bersama tentang ketidak-bijakan kita mengenai pemakaian energi - yang melukai dan merusak tempat hidup kita sendiri. Kalau memang itu perkaranya, tampaknya kita masih punya harapan, planet bumi ini masih punya harapan. Mudah-mudahan.