Thursday, December 8, 2011

Guru, Prajurit dan Ulama


Tulisan ini terinspirasi dari obrolan beberapa minggu lalu di kediaman Abah Iwan bersama Abah, kang Erik, kang Aat, mas Ipong, dan mas Imam Suryantoko. Saya kebetulan mampir ke tempat Abah dalam rangka minta kesediaan beliau sharing di Semi Palar kepada orang tua – sebagai para pendidik.

Abah berkisah bahwa masyarakat Baduy Dalam, misi hidupnya adalah "tapa saendeng-endeng kanggo bangsa jeung nagara"; (mudah-mudahan saya tidak salah tulis). Terjemahan bebasnya kira-kira, bertapa seumur hidup bagi bangsa dan negara. Buat saya ini sesuatu yang luar biasa mengetahui ada sekelompok kecil masyarakat tradisi yang secara sadar menentukan – secara kolektif – pilihan hidupnya adalah untuk keberlangsungan suatu bangsa. Dalam pola pikir masyarakat modern, sekilas hal ini akan tampak konyol, bahkan bodoh, tidak masuk akal.

Obrolan kamipun berlanjut, sampai akhirnya muncul semacam kesimpulan, bahwa semestinya ada tiga komponen bangsa yang seharusnya berperan seperti masyarakat Baduy Dalam itu : Guru, Prajurit (militer) dan Ulama. Kalau ketiga komponen bangsa ini bisa kuat, kokoh, mereka inilah yang akan menjadi pilar utama konstruksi sebuah bangsa agar bisa menjadi bangsa yang kuat dan besar. Tapi kemudian tantangannya menjadi luar biasa, ibarat apa yang diungkapkan masyarakat Baduy Dalam sebagai "tapa saendeng-endeng kanggo bangsa jeung nagara". Perlu ada kesadaran diri luar biasa bahwa apa yang dilakukan sebagai pilihan hidup adalah bukan untuk kepentingan diri sendiri, bukan untuk kepentingan individu, tapi untuk orang lain untuk lingkaran di luar diri mereka… Seperti mas Anies Baswedan (pendiri gerakan Indonesia Mengajar) mengistilahkan para guru sebagai orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

bersambung...

Saturday, November 26, 2011

surat wasiat Baden Powell

Pramuka-Pramuka yang kucinta :
Jika kamu pernah melihat sandiwara "Peter Pan", maka kamu akan ingat, mengapa pemimpin bajak laut selalu membuat pesan-pesannya sebelum ia meninggal, karena ia takut, kalau-kalau ia tak akan sempat lagi mengeluarkan isi hatinya, jika saat ia menutup matanya telah tiba.
Demikianlah halnya dengan diriku. Meskipun waktu ini aku belum akan meninggal, namun saat itu akan tiba bagiku juga. Oleh karena itu aku ingin menyampaikan kepadamu sekedar kata perpisahan untuk minta diri …………..
Ingatlah, bahwa ini adalah pesanku yang terakhir bagimu. Oleh karena itu renungkanlah !

Hidupku adalah sangat bahagia dan harapanku mudah-mudahan kamu sekalian masing-masing juga mengenyam kebahagiaan dalam hidupmu seperti aku.
Saya yakin, bahwa Tuhan menciptakan kita dalam dunia yang bahagia ini untuk hidup berbahagia dan bergembira. Kebahagiaan tidak timbul dari kekayaan, juga tidak dari jabatan yang menguntungkan, ataupun dari kesenangan bagi diri sendiri. Jalan menuju kebahagiaan ialah membuat dirimu lahir dan batin sehat dan kuat pada waktu kamu masih anak-anak, sehingga kamu dapat berguna bagi sesamamu dan dapat menikmati hidup, jika kamu kelak telah dewasa. Usaha menyelidiki alam akan menimbulkan kesadaran dalam hatimu, betapa banyaknya keindahan dan keajaiban yang diciptakan oleh Tuhan di dunia ini supaya kamu dapat menikmatinya !

Lebih baik melihat kebagusan-kebagusan pada suatu hal daripada mencari kejelekan-kejelekannya. Jalan nyata yang menuju kebahagiaan ialah membahagiakan orang lain. Berusahalah agar supaya kamu dapat meninggalkan dunia ini dalam keadaan yang lebih baik daripada tatkala kamu tiba di dalamnya. Dan bila giliranmu tiba untuk meninggal, maka kamu akan meninggal dengan puas, karena kamu tak menyia-nyiakan waktumu, akan tetapi kamu telah mempergunakannya dengan sebaik-baiknya. Sedialah untuk hidup dan meninggal dengan bahagia. Masukkanlah paham itu senantiasa dalam janji Pramukamu meskipun kamu sudah bukan kanak-kanak lagi - dan Tuhan akan berkenan mengaruniai pertolongan padamu dalam usahamu.

Temanmu, Baden Powell

Tuesday, November 15, 2011

foto :: merentang di atas air




merentang di atas air

di mataku, suasana ini memunculkan komposisi yang keren. entah apanya... 
apakah kontrak bayang-bayang pepohonan terhadap arus sungai di bawahnya, 
pantulan sinar matahari di atas batang-batang bambu.  
atau memang momen yang ada saat aku di sana yang mendorongku untuk merekam gambar ini...
ciwangun, 29 Maret 2011

Wednesday, November 9, 2011

ibarat membangun Tembok Besar Cina

"Siapa yang tahu, berapa waktu yang dibutuhkan untuk membangun - menyelesaikan Tembok Besar Cina?", pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Anies Baswedan, dalam sebuah forum di bulan Juli lalu di Gedung Indonesia Menggugat. Hadirin mulai melontarkan jawaban "30 tahun!", "100 tahun!"... Jawaban yang betul, ternyata adalah 300 tahun. Luar biasa! Kalau kita perhitungkan satu generasi adalah 30 tahun, berarti pembangunan Tembok Besar Cina perlu waktu 10 generasi. Perlu beberapa dinasti kerajaan untuk menuntaskan satu bangunan luar biasa ini, satu-satunya objek di bumi yang konon bisa terlihat dari luar angkasa.

Apa yang ingin disampaikan mas Anies? Ilustrasi Tembok Besar Cina, ternyata mengandung banyak poin penting di dalamnya. Pertama, adalah keyakinan besar pada bangsa Cina pada waktu itu bahwa bangsanya akan tetap ada, tetap eksis di generasi demi generasi setelah mereka perintisnya sudah tiada. Ada perspektif ke masa depan yang sangat panjang, ada keyakinan tentang kejayaan bangsa mereka yang dihayati oleh semua yang ikut terlibat dalam proyek besar tersebut saat itu. Mas Anies mengajak kita yang hadir untuk membayangkan apa yang dipikirkan oleh mereka yang bertugas memasang batu pondasi bangunan tembok tersebut. Kita bisa bayangkan bahwa mereka mestinya paham bahwa mereka tidak akan menyaksikan bagaimana tembok tersebut akan selesai nantinya. Walaupun demikian, batu demi batu tetap dipasangkan, generasi demi generasi tetap menjalankan tugas berat ini untuk kejayaan bangsanya... Mungkin cukup banyak dari mereka yang melakukannya di bawah paksaan, tapi membayangkan prosesnya tetap ini adalah karya luar biasa. Mestinya kita juga bisa menyimpulkan bahwa ini juga menggambarkan kesetiaan dan keyakinan teguh terhadap apa yang disebut proses. Proses yang berjalan selama 300 tahun.

Pendidikan saya kira sangat sejalan dengan ilustrasi ini. Apa yang dilakukan para pendidik (guru, orang tua) terhadap anak-anak kita adalah proses yang luar biasa panjang. Apa yang kita lakukan adalah membantu anak menemukan dan meletakkan keping demi keping bagian kecil dari bangunan individu yang wujudnya baru nampak di sekian tahun mendatang. Seperti apa kita hari ini adalah hasil dari apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh para pendidik kita dulu.

Saya teringat dialog dengan kak Marisa Moeliono - teman diskusi kami di Semi Palar khususnya mengenai bidang psikologi. Beliau merespon pertanyaan kami kurang lebih begini :"kak Marisa, kita di kelas sudah melakukan ini, itu, memberi tahu, mengajak diskusi, mengingatkan, tapi kok di anak-anak sepertinya tidak ada perubahan?". Respon kak Marisa saat itu sederhana, "kakak-kakak, kita itu harus sabar... apa yang kita lakukan hari ini, hasilnya mungkin baru muncul setelah anak-anak SMP atau SMA, bahkan setelah mereka dewasa nanti. Kita hanya harus yakin bahwa setiap hal positif apapun yang kita lakukan akan melengkapi mereka. Dan apa yang kita berikan sebagai pendidik, akan muncul kelak pada waktunya". Intinya, saya kira adalah bahwa kita harus terus memanfaatkan setiap kesempatan untuk melakukan tugas pendidikan kita bagi anak-anak... Kita lakukan, tanpa harus banyak berharap atau menuntut bahwa kita ingin bisa melihat hasilnya saat ini juga. Karena pendidikan ini adalah sebuah proses, karena apa yang kita lakukan bagi anak-anak adalah membantu mereka membangun diri mereka sendiri...

Dalam kesempatan lain, sebuah obrolan di dalam sebuah forum yang berbeda menyinggung persoalan, ini di mana saya dan teman-teman membahas bagaimana pemerintah mengelola kebijakan2 pendidikan yang memayungi segala upaya penyelenggaraan pendidikan di negeri ini... Ganti menteri ganti kebijakan. Sebuah pola yang sudah kita kenali sejak dulu. Hal ini menggambarkan bahwa memang para pemimpin bangsa ini tidak punya visi. Pemimpin kita tidak tahu, mau membangun apa di negeri ini. Atau, kalaupun punya visi, tidak mampu memimpin segenap lapisan bangsa yang dipimpinnya untuk bergerak menuju ke visi tersebut. Mau dibawa ke mana bangsa ini. Apa yang selalu dilakukan adalah membongkar kembali apa yang sudah dibangun sebelumnya. Belum ada hasilnya, begitu ganti pengelola, kebijakan juga otomatis diganti. Akibatnya, bangsa ini tidak pernah jadi apa-apa karena tidak pernah membangun apa-apa.

Mas Anies bilang, bangsa kita ini  adalah orang-orang yang senangnya gunting pita. Senang upacara dan peresmian doang. Kerjanya nol besar... Mengutip kata-kata Dahlan Iskan, pada hari pengangkatannya menjadi Meneg BUMN, dia bilang begini, "Saya sudah titip kepada para Direktur BUMN, dalam 3 bulan ke depan, harus mengurangi jumlah rapat-rapat, membuat laporan dan lain sebagainya sampai 50%. Jangan sampai kita berpikir kalau sudah rapat dan membuat laporan, kita itu sudah bekerja. Lebih baik waktu yang digunakan untuk rapat-rapat dan membuat laporan itu kita manfaatkan untuk bekerja." Keren! Uraian itu datang dari seorang Dahlan Iskan yang dalam jangka waktu 3 tahun mampu memutar-balikkan performansi PLN dari situasi semrawut dan perlu disubsidi kiri kanan, menjadi badan usaha yang profesional dan profitabel. Luar biasa. Ini sebetulnya menandakan kita bisa, kalau kita mau...

Siang tadi, di sebuah forum tentang Pendidikan Nilai yang diselenggarakan oleh romo Ferry Sutrisna, saya berkenalan dan berbincang dengan Bpk. Teguh Purwanto. Beliau sekarang bekerja di Departeman Kehutanan, sebagai kepala biro Ekowisata dan Jasa Lingkungan. Seorang yang saya lihat punya visi luar biasa. Beliau memandang bahwa bangsa Indonesia punya potensi luar biasa. Beliau bercerita bagaimana setelah Bom Bali I dan II, sektor pariwisata nyaris ambruk karena hampir 70% wisatawan asing berhenti masuk Indonesia. Tapi beliau dan timnya yakin penuh bahwa Indonesia bisa bangkit dengan mengandalkan diri kita sendiri. Dan dalam prosesnya ini memang terbukti. Saat ini beliau sedang bekerja membangun pariwisata di banyak tempat di Indonesia, salah satunya di Jawa Barat adalah Kawah Putih, yang dalam waktu singkat menjadi sangat populer bahkan ke manca negara. "Potensinya besar, tapi harus dibangun dengan kerja sama banyak pihak." katanya. Saya tanya, "minat asing bagaimana pak?" Beliau bilang, "Kita sedang fokus untuk membangun kerja sama dengan swasta nasional. Minat asing memang banyak, tapi kita tidak ingin seperti Bali yang sekarang 70% sudah dikuasai asing". Acung jempol buat Pak Teguh. Saya sepakat. Kita harus yakin dengan diri kita sendiri...

Menyambung tulisan di atas, bangsa yang besar dibangun dari individu yang berkualitas. Bukan dari sistem ekonomi atau banyaknya industri yang dimiliki, bukan juga dari angka2 penghasilan perkapita, atau angka-angka statistik yang bisa dimainkan dan dimanipulasi. Individu yang berkualitas dan berkarakter dan cinta bangsanya hanya bisa dibangun lewat pendidikan, di sekolah dan di keluarga. Sekali lagi, kalau kita mau, kita bisa membangun sesuatu yang luar biasa seperti dulu kita punya kerajaan Majapahit, seperti candi Borobudur... sesuatu yang seperti Tembok Besar Cina... Karena sebetulnya, kita mampu.


Saturday, November 5, 2011

Memandang Situasi (Permasalahan) Pendidikan di Indonesia


Pendidikan: satu kata ini punya bobot dan kompleksitas luar biasa tertanam di dalamnya. Sangat sulit apabila kita mencoba menguraikan atau mendefinisikan apa yang direpresentasikan oleh satu kata ini. Sama halnya seperti saat kita bicara tentang manusia. Kompleks, luar biasa kompleks. Kata ‘pendidikan’ di dalam benak saya mencakup di dalamnya kata-kata besar lainnya seperti : masa depan, manusia, proses, holistik, budaya dan masih banyak lainnya. Pendidikan sama sekali bukan satu hal yang sederhana, mudah diolah dan bisa dengan sekejap dipahami. Dengan demikian, apabila pengelolaan pendidikan tidak dilakukan dengan pendekatan yang hati-hati secara tepat dan sesuai dengan kompleksitasnya, semestinya pendidikan juga berpotensi memunculkan banyak masalah. Walaupun dari sisi sebaliknya, pendidikan berpotensi menyelesaikan berbagai masalah kalau pertama-tama ia bisa dipandang secara tepat dan menyeluruh (holistik). Cara pandang, paradigma atau mind-set menjadi pijakan yang menentukan bagaimana kemudian kita bisa mengambil sikap dan tindakan (action) dalam konteks mengelola pendidikan.

Sejauh pengamatan selama ini, di republik ini tampaknya hampir segala permasalahan didekati dan dipandang dengan sudut pandang yang simplistik dan parsial. Hal ini sepertinya terjadi di semua level, dari pembuat keputusan dan penentu kebijakan (level birokrasi), lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan, masyarakat, guru, orangtua murid. Masing-masing tampaknya punya kesulitan untuk memandang persoalan pendidikan secara tepat.  

Contoh sederhana – situasi yang sejak dulu kita alami – adalah bagaimana pemerintah memberlakukan Kurikulum Nasional, di mana segala sesuatunya distandarisasikan. Mulai dari materi – kurikulum, buku pegangan, tema, panduan pembelajaran, segala sesuatu ditentukan pemerintah – dengan sudut pandang meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini dilakukan tanpa meninjau lebih dalam substansi dan implikasi dari apa yang ditetapkan. Secara sepintas standarisasi merupakan solusi yang tepat untuk membangun pendidikan yang berkualitas. Tapi implikasinya luar biasa besar, karena di dalam pendidikan, banyak permasalahan yang perlu ditelaah sesuai konteksnya, banyak hal yang sifatnya kualitatif, dan tidak bisa dengan mudah distandarisasi. Contohnya, saat keberhasilan pendidikan hanya dipahami sebagai jumlah peserta didik yang lulus sekolah formal, memegang ijazah atau melek huruf - sesederhana itu - maka akan banyak hal penting bahkan esensial yang kemudian hilang dan terabaikan. Bahayanya, kita semua merasa proses pendidikan sudah berhasil dijalankan dan hasilnya seakan berkualitas, tapi karena substansi pendidikan yang sesungguhnya tidak tersentuh tentunya dengan segera bisa disimpulkan bahwa upaya pendidikan yang dijalankan adalah gagal.

Seragam nasional - salah satu contoh favorit saya - adalah salah satu contoh pendekatan simplistik. Kebijakan ini diterapkan pemerintah untuk ‘menghilangkan persepsi perbedaan’ di kalangan siswa. Tujuannya adalah supaya semua pelajar – di manapun juga – tampil serba sama. Walaupun kita tahu bahwa hakekatnya, perbedaan itu tetap ada dan sangat perlu dipertanyakan apakah perbedaan itu perlu dihilangkan? Apakah kecerdasan para siswa bisa dikelabui dengan cara ini, tentunya tidak. Secara substansial, kalau bicara pendidikan, semestinya yang dilakukan para pendidik adalah mengajak peserta didiknya untuk menerima dan menghargai perbedaan. Bagi mereka yang lebih mampu, kepekaan sosial dan empati adalah hal yang perlu ditumbuhkan. Sebaliknya bagi para murid yang secara ekonomi memang terbatas atau tinggal di pelosok, tantangan pendidikan bagi para guru adalah bagaimana membangun percaya diri dan keyakinan bahwa dengan belajar dan berusaha mereka bisa maju dan menjadi cerdas dalam konteks kehidupannya di desa.

Bagai satu kepingan dari satu gambar besar kehidupan bangsa dan bernegara, masyarakat pedesaan juga punya posisi dan kepentingan eksistensinya tersendiri – seperti halnya masyarakat yang hidup di perkotaan. Anak-anak yang tinggal di tepi rimba harus belajar dan menyadari adalah menjadi tugasnya untuk menjaga kelestarian rimbanya. Apakah setiap anak Indonesia harus paham bagaimana mengerjakan soal2 kalkulus, tentunya tidak. Sebaliknya kita butuh anak-anak Indonesia yang betul-betul memahami bagaimana seluk beluk rimba di tempatnya tinggal, bagaimana keragaman hayatinya, dan bagaimana menjaga kelestariannya agar membawa manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan banyak orang. Bahwa anak-anak tersebut tidak bisa berbahasa Inggris atau mengoperasikan komputer, tentunya itu tidak membuat mereka menjadi lebih bodoh dan tidak bernilai.

Masalah dan kebutuhan pendidikan bagi anak jalanan, bagi anak di kota besar, bagi anak2 rimba ataupun yang hidup di gunung – dan sebaliknya di pesisir, tentu berbeda. Berbeda karena kebutuhan dan situasi kehidupan mereka berbeda. Kita tentu sepakat bahwa pendidikan adalah hak untuk semua, tapi apakah sasaran dan tujuan pendidikan harus disamakan untuk semua? Tentunya tidak. Tujuan pendidikan, kalau bisa didefinisikan sederhana sebagai upaya meningkatkan kemampuan individu mengolah kehidupannya menjadi lebih baik, tentunya hal ini tidak bisa dilepaskan dari konteks kehidupan para peserta didiknya. Bisa dibilang, upaya pendidikan dimanapun harus dimulai dari sudut pandang dan pijakan yang sangat lokal. Bagi anak jalanan, kehidupan jalanan tentu adalah pijakan dasarnya – konteksnya. Bagi anak di desa, kehidupan di desa adalah situasi kehidupan nyatanya dan ini mutlak menjadi konteks pembelajarannya agar proses belajar anak2 berakar dan punya makna. (Dalam prosesnya, di satu titik tertentu bagi peserta didik tertentu, konteks pembelajaran bisa dan perlu berkembang menjadi lebih luas, bisa menjadi nasional, bahkan global.)

Sejauh apa yang saya pahami lewat diskusi dengan teman2, berkunjung ke beberapa sekolah maupun komunitas / kelompok non formal, dari mengalami, mengamati dan berusaha memahami seujung kecil dari samudera pendidikan, saya yakin persoalan pendidikan tidak mungkin diatasi dengan pendekatan atau cara pikir simplistik. Tidak ada cara mudah atau sederhana di dalam pendidikan. Kenapa demikian, jawabannya mudah. Karena manusia secara individual adalah entitas ciptaan Tuhan yang maha kompleks. Tempatkan manusia di dalam konteks sosial dan ekologinya, di dalam masyarakat dan lingkungan tempat tinggalnya, kompleksitasnya dengan sendirinya menjadi berlipat-lipat. Sistem pendidikan yang dibangun – dalam skala nasional, tentunya menjadi sangat kompleks.
Dalam skala lokal, sebetulnya bisa sangat sederhana. Saya kira penyelenggaraan pendidikan justru akan lebih berhasil apabila pemerintah berperan mengelola segala kerenikan lokalitas masyarakat kita dalam satu sistem pendidikan yang sifatnya memberdayakan lokalitas setiap daerah. Belum lama ini, Departemen Pendidikan Nasional kembali berubah nama menjadi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kebudayaan daerah yang begitu kaya dan beragam adalah sumber luar biasa bagi proses pendidikan masyarakatnya. Konsep-konsep otonomi pendidikan bisa sangat nyata diwujudkan di sini.

Buat kita, penting untuk kita sadari bahwa kita semua adalah output / keluaran dari proses pendidikan simplistik yang selama ini kita terima. Masyarakat kita adalah masyarakat yang pola berpikirnya simplistik, dan oleh karenanya tidak pernah pikir panjang – dan sulit berpikir komprehensif – sebagai hasil pola pendidikan yang dulu kita terima. Ke-instan-an sebagai salah satu dampaknya adalah suatu pola yang jadi biasa. Ingin serba cepat dan tidak sabar berproses. Kemudian soal dampaknya, bagaimana nanti… Hal itu yang terus terjadi. Dikombinasikan dengan budaya yang serba mementingkan kemasan dan penampilan, lengkaplah sudah kelemahan mendasar masyarakat kita. Saat pola pikir ini juga dibawa dalam pola-pola membangun sistem pendidikan bagi bangsa ini, kita akan terus terperangkap dalam situasi yang serba sama, terjebak dalam pusaran permasalahan bangsa yang itu-itu juga. Saya kira kesadaran ini penting dibawa oleh siapapun yang mengelola pendidikan dalam berbagai skala dan tingkatan, dari mulai pemerintah sampai keluarga. Dari kesadaran itulah kita punya harapan untuk bisa keluar dari pola pikir simplistik yang terus menjebak bangsa kita dan menghambat kita semua untuk maju.

Saturday, October 15, 2011

signifikansi proses berkarya di dalam pendidikan

Posting ini saya adaptasi dari sebuah posting di blognya semipalar, bagian dari rangkaian [serial kenapa] - tulisan-tulisan pendek untuk mencoba menjelaskan hal-hal yang kami munculkan sebagai program pembelajaran di Rumah Belajar Semi Palar.

Mungkin salah satu yang membedakan RBSP dengan sekolah-sekolah lain adalah upaya kami untuk memunculkan kegiatan berkarya secara intensif di kelas. Dan ini kami coba terus dorong pemunculannya sejak anak masuk di jenjang PG hingga sekarang di kelas 6. Bukan hal yang mudah, karena ada tarik-menarik kepentingan dan bagaimana mengalokasikan waktu untuk berkarya - dengan tingkat pengolahan yang lebih tinggi - dengan materi pembelajaran (kurikulum akademis) yang juga semakin kompleks memasuki jenjang SD Besar.

Berkarya, akan terus menjadi bagian penting dari konsep pembelajaran di Semi Palar. Untuk menemukan dirinya, anak-anak harus punya peluang untuk terus memunculkan diri dan kemudian merefleksikan dirinya. Memunculkan diri bukan sekedar untuk menjawab pertanyaan orang lain (guru) tapi mengungkapkan diri setelah mengalami proses pembelajaran yang dilaluinya.

Gedung Indonesia Menggugat | 8 Juli 2011
Berkarya, berkreasi, mencipta adalah salah satu sifat dasar manusia (selain bahwa manusia adalah mahluk sosial, mahluk bermain - Homo Ludens, dll.) Kalau ingat ungkapan 'there's nothing new under the sun', segala sesuatu di muka bumi ini tidak ada hal baru, yang ada adalah benda-benda lama yang diolah dan dimunculkan dalam bentuk-bentuk baru. Singkat kata, segala hal yang sekarang ada di sekitar kita adalah olahan kreativitas semata. Melalui salah satu paparannya, mas Wendo (Arswendo Atmowiloto) dalam sebuah forum di bulan Juli yang lalu, beliau menggaris-bawahi pentingnya hal ini. Beliau juga bilang :"Dunia itu isinya hanya Kreativitas semata". Juga bahwa untuk menghadapi masa depan, anak-anak perlu mampu membaca perubahan, mengantisipasi perubahan dan meresponnya melalui ekspresi individu yang genuine.

Sangat menggembirakan untuk menyaksikan teman-teman Semi Palar di kelompok Bima (SD-5) berhasil meluncurkan buku novel karya mereka : 'Hari yang Aneh'. Mudah-mudahan ini membuktikan bahwa berkarya bukan sesuatu yang sulit buat mereka. Harapannya mereka terus menelorkan karya-karya baru di dalam proses belajar mereka selanjutnya.

Sistem Pendidikan di Indonesia, hampir-hampir tidak memperhatikan hal ini. Anak-anak dibombardir dengan materi2 yang sudah jadi, sudah final, sudah terdefinisi, terangkum dalam buku2 paket pelajaran. Dunia dan alam semesta yang begitu luas dan penuh keajaiban dimampatkan ke dalam teks-teks buku pelajaran dan di dalam ruang kelas, anak-anak diharuskan menelannya, dan mengeluarkannya kembali melalui berbagai bentuk ulangan dan test-test tertulis.

Lalu bagaimana hubungannya dengan berkarya? Berkarya adalah persoalan ekspresi diri, memunculkan apa yang kita ketahui, kita pikirkan, kita rasakan, kita imajinasikan. Proses berkarya hanya bisa berjalan optimal saat berkarya menjadi bagian dari pengalaman. Sebaliknya test dan ulangan adalah bentuk ujian; menguji apakah anak tahu ini atau tahu itu, melalui bentuk-bentuk pertanyaan dan soal. Berlawanan dari berkarya, ulangan dan test arahnya dari luar, dari para guru kepada para murid. Menguji sejauh mana anak-anak ingat pengetahuan yang sudah ditanamkan. Pengalaman tentunya merupakan hal yang sangat berbeda dari pengetahuan.

Berkarya adalah juga karakter dasar untuk membangun jiwa wiraswasta. Para entrepreneur mutlak memiliki kemampuan berimajinasi, berinovasi dan berkreasi. Menciptakan pekerjaan daripada mencari pekerjaan. Menciptakan produk daripada sekedar memproduksinya... Contoh paling dekat mengenai hal ini adalah tokoh luar biasa yang baru saja meninggalkan kita, Steve Jobs.

Sistem Pendidikan kita tidak menuju ke sana. Perhatikan spanduk-spanduk institusi pendidikan kita yang sangat gandrung berslogan 'Lulus Kuliah Siap Kerja'. Bagaimana kita memunculkan SJ-SJ lain, satu-satunya cara adalah dengan membiasakan anak-anak berkarya dan berkreasi... berkarya dan berkreasi... sampai berkarya menjadi bagian dari diri mereka...

Monday, October 10, 2011

remembering Steve Jobs

There are few people whose lives are really inspiring. Steve Jobs is one of them. He is one man who really make a difference to how we really live in todays world. There are few whose lives are not touched by what he has done in his short life. He is truly remarkable. A man of vision, creativity and action. A man who have faith in his very own life and his action. A man who has really made a difference. Below is my favority quote from SJ...
Your time is limited, don’t waste it living someone else’s life. Don’t be trapped by dogma, which is living the result of other people’s thinking. Don’t let the noise of other’s opinion drown your own inner voice. And most important, have the courage to follow your heart and intuition, they somehow already know what you truly want to become.
Everything else is secondary.
~ Steve Jobs ~

Saturday, October 8, 2011

farewell my cousin

He's on another path now, on a different journey. It's sad that we will not see each other again, physically...

The news came in just this morning. It was very shocking, and it just touched you really deep inside. As cousins, we are quite close. We spent a lot of our childhood holidays together. We are at the same age group - more or less. And it is quite hard to understand how he passes away already while we seem to be at the best days of our lives... looking ahead to the future.

I tried to imagine his last moments. And then a sudden realization came to me, that death is not an end, it is also a beginning. I am sure that it was a beautiful moment for him, when he stepped up and move away from this worldly realms...

I have no doubt that we all are going to miss him. Especially his parents, his wife and his two daughters. Life is not ours. It is God's, and He will take it back anytime He see fits. It is a precious and wonderful gift, still... As life is a gift like no others. Our lives is not our own, as our lives affect others around us. So if we managed to live a good life then we honor God our Creator. As it is not ours, then we must be prepared to give it back, and be thankful.

He will live forever in our memories, as I am sure people who know him throughout all his life will fondly remember him by. Farewell Ky... Do keep us safe from up there. 

in loving memory of Hengky Wibowo, our beloved cousin.

Wednesday, October 5, 2011

Teacher's Prayer

I want to teach my students 
how to live this life on earth.
To face its struggles and its strife
and to improve their worth

Not just the lesson in a book
or how the river flow.
But to choose the proper path
wherever they may go.

To understand eternal truth 
and know the right from wrong
and gather all the beauty
of a flower and a song.

For if I help the world to grow
In wisdom and in grace
Then I shall feel that I have won 
and I have filled my place.

And so I ask your guidance, God.
That I may do my part for character and confidence
and happiness of heart.

author unknown, found this on a bookmark

Friday, September 23, 2011

4 tahun komunitas Bike2Work Bandung


Hari ini ulang tahun ke empat Bike2Work Bandung. Sudah cukup lama saya berkenalan dan menyatakan diri bergabung dan mendukung gerakan ini. Gerakan yang buat saya pribadi sangat keren dan sangat visioner. Situasi iklim bumi kita yang sekarang ini tidak keruan - dengan apa yang didefinisikan sebagai Global Warming dan lain sebagainya, memang menuntut tindakan nyata dari kita semua - setiap individu manusia untuk melakukan sesuatu - merubah gaya hidup dan perilaku sehari-hari untuk bisa menghentikan krisis yang sekarang ini terjadi.

Manusia, kalau kita pikirkan, memang spesies yang paling cerdas di muka bumi ini. Ciptaan Tuhan yang paling luar biasa. Tapi juga paling (maaf kalau kasar) : BRE***EK!  ditulis dengan huruf kapital, tanda seru dan cetak tebal. Di seluruh muka bumi ini tidak ada lagi makhluk selain manusia yang menghasilkan limbah dan merusak lingkungan hidupnya sendiri. Makhluk hidup lain hidup berdampingan (coexist) di muka bumi ini dalam kesetimbangan. Manusia-lah yang karena keserakahan, kemalasan, dan segala ketidak-peduliannya akhirnya merusak lingkungan hidupnya dan kita sampai di titik di mana manusia membahayakan kelangsungan hidupnya sendiri. 

Kembali bersepeda (dan berjalan kaki) adalah gerakan paling masuk akal dan sangat bisa dilakukan oleh kita semua, saat ini juga. Komunitas, gerakan dan kampanye Bike2Work menjadi salah satu hal yang perlu kita dukung dan kita dorong bersama agar semakin masuk menjadi bagian dari pola hidup kita semua khususnya masyarakat kota Bandung.

Jum'at sore itu saya mampir di Cikapayang dan bertegur sapa dengan rekan-rekan yang bersepeda sepulang kerja dan mengenakan atribut khas Bike2Work. Sudah cukup lama saya tidak mampir ke sana, dan menyenangkan sekali bertemu dan berkenalan dengan wajah-wajah baru mulai dari para profesional, mahasiswa dan pelajar yang berkumpul untuk satu gerakan dan kesadaran yang sama.

Dari Taman Cikapayang, kita bergerak ke Plaza Dago untuk seremoni kecil di sana dan melanjutkannya dengan konvoi keliling kota Bandung. Empat tahun saya yakin bukan waktu yang pendek, bukan proses yang mudah bagi sebuah komunitas. Apalagi untuk sebuah komunitas yang seakan bergerak melawan arus. Melawan arus karena selagi dinamika peradaban sedang bergerak meningkatkan industri, teknologi dan segala hal yang mendampinginya, kelompok kecil ini ingin mengajak kita semua melangkah mundur. Daripada berkendaraan, ayo bersepeda. We have to go backward, to move forward!

Buat saya pribadi, saya juga masih harus terus memperkuat komitmen diri untuk lebih konsisten lagi bersepeda, berjalan kaki atau berkendaraan umum. Banyak hal menyangkut pola hidup kita yang perlu dirubah. Dari mana kita mulai, tentunya dari kesadaran. Kesadaran bahwa hal tersebut adalah hal penting yang perlu dilakukan.

Terima kasih untuk teman2 di komunitas Bike2Work yang terus konsisten dengan gerakannya dan menjadi inspirasi besar buat saya untuk melakukan hal-hal yang seharusnya kita lakukan.

Saturday, July 2, 2011

Catatan Apresiasi untuk Komunitas Sahabat Kota | program Legenda Hutan Kareumbi

Menjemput Rico di stasiun saya merasa gembira sekaligus haru. Buat saya sebagai orangtua Rico, keikut-sertaan Rico di program ini adalah langkah besar buat Rico, karena ini pertama kali dia berkegiatan di alam, bersama teman-temannya (yang bukan semata teman sekolah), berkemah di luar kota Bandung tanpa didampingi orangtuanya, bersama pendamping yang relatif baru dikenalnya juga. 
Di tempat parkir, seperti biasa pertanyaan klise muncul? Gimana Co? Seru? Seru banget katanya, lalu dia melanjutkan ‘Hiks…’, saya spontan tanya “lho kenapa;  katanya seru?”. “Abis, sudah berakhir, besok ga ada lagi!”, ujarnya. Di perjalanan saya tanya lagi, “Co, dari skala 1 – 10 kegiatan ini kamu beri nilai berapa?” Berpikir sebentar lalu dia menjawab : “9,5!” Wah hebat! Hampir nilai sempurna. Dia melanjutkan: “tau ga yang 0,5 kemana?... soalnya waktu aku tidur dua temen yang tidur di sebelah aku heboh banget. Aku ditendang-tendang, dan mereka sampai menjajah tempat aku tidur… Aku sampe ga bisa tidur semaleman”. Saya hanya tersenyum dalam hati, karena banyak pengalaman yang didapatnya, bahkan sampai sewaktu dia tidur-pun…
Sambil makan malam, Rico-pun banyak berceloteh bercerita tentang pengalamannya yang saya yakin sangat istimewa buat dia.

Saya jadi ingat saat dulu pertama kali saya ikut kemah ke daerah Pangalengan sewaktu pramuka dulu (Siaga) – kurang lebih seusia Rico. Saya membayangkan ia membawa perasaan campur aduk sebelum berangkat (ragu, takut, khawatir, excited juga) dan bagaimana perasaan bangga, senang dan percaya diri sesudah menjalani semua petualangan itu. Hal-hal itu masih membekas sampai hari ini, dan jadi salah satu kepingan penting yang membentuk diri saya sekarang ini.  Dari sudut pandang ini, saya merasa yakin seyakin-yakinnya, petualangan Rico dan teman-teman yang dibawakan oleh teman-teman KSK akan menjadi kisah tak terlupakan dan akan menjadi kepingan penting dalam prosesnya menjadi individu yang utuh.
Saya mau mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang sebesar-besarnya buat teman-teman KSK dan rekan penyelenggara (NTOTC Wanadri dan pengelola Kareumbi) secara khusus kepada kakak-kakak fasilitator yang mencurahkan waktu, perhatian, energi dan banyak hal lainnya untuk mewujudkan petualangan yang keren dan pastinya sangat berkesan buat Rico dan teman-temannya. Walaupun saya mengikuti dari luar saya punya kesan dan apresiasi mendalam buat teman-teman secara pribadi sebagai orangtua, sebagai sesama pendidik dan sebagai pengelola Semi Palar (kebetulan beberapa teman2 kecil Smipa ikut dalam program ini).
Lembar penutup yang teman-teman sampaikan kepada orangtua mungkin saya baca secara berbeda, karena apa yang teman-teman tuliskan betul-betul sejalan dengan apa yang sedang saya bangun bersama kakak-kakak di Semi Palar, dengan Apa yang kami istilahkan sebagai pendidikan holistik.  Tentang ekspresi diri, kepekaan sosial, relasi alam lingkungan, kreatifitas, mengolah rasa dan refleksi diri, dan bagaimana memahami eksistensi diri di tengah semesta yang diciptakan Tuhan untuk kita semua. Dari sisi ini saya merasa bingah pisan (bahasa Sunda-nya sangat senang) karena merasa punya teman seperjalanan.
Baru saja Jum’at kemarin (1 Juli 2011) saya berkesempatan bertemu dengan mas Anies Baswedan dan mendengarkan beliau menggariskan hal-hal penting tentang pendidikan – tentang bagaimana kita semua memegang JANJI (bukan cita-cita kemerdekaan) untuk mencerdaskan bangsa kita. Memenuhi janji bisa kita mulai dari hal-hal kecil yang baik – seperti yang sudah dilakukan teman-teman KSK di Legenda Hutan Kareumbi juga lewat program-program lainnya selama ini. Saya merasa terharu juga bahwa saya punya teman2 muda yang di tengah pragmatisme hidup yang melanda masyarakat kita, masih ada teman-teman semua yang mau berlelah ria berbagi kebaikan dan kebahagiaan untuk adik-adiknya – dalam masa liburan pula.

Kamis pagi setelah anak-anak berangkat, saya juga berkesempatan untuk berbincang bebas dengan Saska – sambil sarapan bubur ayam J. Ini perbincangan yang menarik buat saya juga sehubungan dengan bagaimana apa yang dilakukan teman-teman semua. Seperti yang diungkap mas Anies pula : “kita harus berhenti meratap, dan melakukan hal-hal nyata dengan berpijak pada harapan”. Indonesia adalah negara hebat, bangsa yang besar! (Yang bobrok adalah para politisi dan birokrasinya… dan memang itu-lah yang tampil di layar kaca). Teman-teman semua adalah salah satu buktinya. Saya betul-betul berharap bahwa idealisme dan semangat berkarya yang membawa teman-teman mampu menciptakan program pembelajaran yang bermutu seperti kegiatan kemarin tidak pernah luntur. Semoga teman-teman semua tidak berhenti berkarya dan terus memperoleh energi baru untuk menjaga idealisme teman-teman terus menyala… bangsa kita sangat butuh itu. 

Thursday, May 5, 2011

Puisi Paskah | Ulil Ashar Abdalla

                                                 
                                                                                               Ulil Absar Abdala

Ia yg rebah, di pangkuan perawan suci, bangkit setelah tiga hari, melawan mati.
Ia yg lemah, menghidupkan harapan yg nyaris punah.
Ia yang maha lemah, jasadnya menanggungkan derita kita.
Ia yang maha lemah, deritanya menaklukkan raja-raja dunia.
Ia yang jatuh cinta pada pagi, setelah dirajam nyeri.
Ia yang tengadah ke langit suci, terbalut kain merah kirmizi: Cintailah aku!

Mereka bertengkar tentang siapa yang mati di palang kayu.
Aku tak tertarik pada debat ahli teologi.
Darah yang mengucur itu lebih menyentuhku.
Saat aku jumawa dengan imanku, tubuh nyeri yang tergeletak di kayu itu, terus mengingatkanku:
Bahkan Ia pun menderita, bersama yang nista.

Muhammadku, Yesusmu, Krisnamu, Buddhamu, Konfuciusmu –
mereka semua guru-guruku, yang mengajarku tentang keluasan dunia, dan cinta.
Penyakitmu, wahai kaum beriman:
Kalian mudah puas diri, pongah, jumawa, bagai burung merak.
Kalian gemar menghakimi!

Tubuh yang mengucur darah di kayu itu, bukan burung merak.
Ia mengajar kita, tentang cinta, untuk mereka yang disesatkan dan dinista.
Penderitaan kadang mengajarmu tentang iman yang rendah hati.
Huruf-huruf dalam kitab suci, kerap membuatmu merasa paling suci.

Ya, Jesusmu adalah juga Jesusku.
Ia telah menebusku dari iman yang jumawa dan tinggi hati.
Ia membuatku cinta pada yang dinista!
Semoga Semua Hidup Berbahagia dalam kasih Tuhan.
                                                                                                

Thursday, March 24, 2011

dari de Mello : rendah hati



...kepada seorang pengunjung yang mengaku pencari kebenaran, 
Sang Guru berkata,
"Apabila Kebenaran yang Engkau Cari,
maka ada satu hal yang harus kau miliki lebih dari segala hal"

"Ya, itu aku tahu.
Semangat tak kunjung padam mau mencarinya"

"Bukan!, ketersediaan tak habis-habisnya mau mengakui
mungkin ada kesalahan!"

~ dari sejenak bijak, anthony de mello, sj ~

Wednesday, March 16, 2011

support Earth Hour 2011 : Go Beyond The Hour



Don't forget to switch off the lights : March 26th 2011, 20.30-21.30 and more.
[Don't forget to register your participation : CLICK HERE]

This Earth Hour : Go Beyond The Hour!

Tuesday, March 1, 2011

Jump, Stripe dan Croc… kisah binatang2 di Savanah

Suatu sore, sepulang sekolah Rico (waktu itu dia kelas 4) menyodorkan selembar kertas kepada kami… "Pah, Mah ini aku bikin cerita… Bagus ga?"
Apa komentar kami tidak ingat, tapi ada hal yang menarik dalam ceritanya, terutama di baris-baris terakhir… Buat kami ini luar biasa, bagaimana dia menggambarkan pemikirannya tentang perbedaan dan ke-aku-annya di dalam kisah ini… Aku upload cerita ini jadi satu catatan yang berharga dalam prosesnya menemukan diri.

------

Suatu hari, seekor kangguru bernama Jump melompat tinggi di Savanah mencari teman-teman baru yang bakal diajaknya main lompat-lompat bersama.

 
Setelah melompat cukup jauh, dia bertemu Stripe, si anak Zebra, Jump menanyakan kalau Stripe bisa melompat. "Wah, sayang sekali aku tak bisa melompat, Jump, tetapi aku bisa berkamuflase dengan belangku ini." "Oh, bagus sekali!, sebaiknya kau membantuku mencari teman, Stripe." Stripe setuju, lalu mereka bersama-sama pergi mencari teman. Setelah itu mereka bertemu Croc, si buaya yang sedang berjemur, wah ternyata Croc juga tak bisa melompat, tetapi bisa menyelam dalam sekali. Jump kelelahan mencari teman sepanjang hari, ia juga tak sabar ingin segera main. Akhirnya Stripe mengusulkan bahwa "kita mengadakan lomba talent saja, mau tidak?", katanya, semua setuju.

 
Langsung mereka bermain, terus Stripe berkamuflase di padang rumput, Croc menyelam ke dalam air dan Jump melompat tinggi ke udara. Dari peristiwa itu, Jump sadar bahwa dia itu istimewa, banyak hal yang dia dapat lakukan tetapi tidak bisa dilakukan yang lain. Maka sayangilah dirimu, teruslah berusaha dan semangat!


 

Tuesday, February 22, 2011

Yang Tampak dan Yang Tak Kasat Mata

Kelihatannya kita manusia sangat berpegang pada segala sesuatu yang tampak, yang terlihat, yang kasat mata. Kita hanya terbiasa melihat apa yang yang terlihat. Sepertinya kalau tidak terlihat maka sesuatu itu tak menjadi penting. Sudut pandang yang sepertinya wajar di kehidupan manusia modern yang memang semakin materialistis (bendawi).

Sejauh ikhtiar membangun segala sesuatu di Semi Palar, banyak hal yang kita bangun memang bukan sesuatu yang sifatnya kasat mata. Apa yang kami coba bangun bersama oleh para fasilitator (kakak guru) adalah bukan sesuatu yang kasat mata. Pendidikan, kami yakin adalah sesuatu yang terdapat di dalam (inside) diri anak-anak kita.

Dibandingkan banyak sekolah-sekolah lainnya, sepertinya sekolah Semi Palar tidak menawarkan apa-apa. Apa hasilnya tidak tampak jelas secara gamblang. Anak-anak di Semi Palar tidak punya angka-angka yang dibawanya pulang sebagai simbol sukses (atau gagal) dalam proses belajarnya. Catatan perkembangan yang disampaikan kepada orangtua, tampaknya juga tidak mudah dipahami dan dihayati. Rumit, kata beberapa orangtua. Tidak seperti angka-angka yang jelas, dengan gamblang mengukur tingkat keberhasilan dan prestasi anak. Tidak seperti piagam penghargaan atau piala juara kelas. Bukan juga melalui piala lomba dan kejuaraan-kejuaraan yang dilakukan. Kalaupun ada karya-karya atau rekaman kegiatan yang ditampilkan, hal-hal tersebut tetap bukan sesuatu yang jelas dan terukur. Mungkin karena kita sendiri tidak pernah belajar untuk mampu mengapresiasi sesuatu, menghayati proses yang terkandung di dalam sebuah karya.

Pembelajaran sejati, semakin lama semakin kami hayati, berpusat di hati nurani. Di lubuk sanubari… mungkin di situ letaknya. Dan justru karena itulah dia tidak kasat mata. Tidak muncul secara fisik. Karakter yang kami coba bangun dari hari ke hari, yang kami istilahkan sebagai cerdas hati dan cerdas pikiran, fungsinya memang sebagai pondasi. Lagi-lagi, pondasi adalah bukan sesuatu yang terekspos. Pondasi seperti kita ketahui adalah bagian dari sebuah bangunan yang terletak di dalam tanah. Seberapa tinggi bangunan bisa berdiri dan kokoh menjulang tergantung dari seberapa kuat pondasinya tertanam dan mencengkram tanah. Ibarat juga akar tanamanlah yang menentukan seberapa kokoh pokok tanaman tumbuh tinggi menjulang atau membuat bunga mekar berwarna atau buah-buahan subur bergantungan di ranting-rantingnya.

Dalam situasi ini, saat masyarakat Indonesia modern (justru) sedang serba berlomba dari sudut penampilan dan pencitraan, sekolah Semi Palar sepertinya tidak menawarkan apa-apa. Sekolah ini (dibandingkan sekolah lain) ibarat sekolah yang minim fasilitas, segala sesuatu serba seadanya. Tidak banyak mainan, tidak ada lab komputer, tidak ada lab fisika, tidak ada lab bahasa dll. Sekolah Semi Palar tidak memajang piala-piala dan piagam bukti prestasi sekolahnya. Lalu apa yang sebetulnya 'ditawarkan'? Saat dijelaskan bahwa sekolah Semi Palar berfokus pada program dan konsepnya yang holistik: apakah itu? tidak jelas juga, karena program dan konsep juga abstrak, tidak kasat mata. Apalagi kalau dijelaskan lanjut bahwa Konsep Pembelajaran Holistik bisa diterapkan di manapun juga di tempat-tempat yang fasilitasnya serba terbatas seperti di desa, di gunung, di dalam rimba… penjelasan ini (tampaknya) justru semakin membingungkan.

Lalu bagaimana mengapresiasi apa yang tumbuh di anak-anak kita di Semi Palar… sepertinya kita butuh mata hati. Sesuatu yang jangan-jangan sudah banyak kita tinggalkan. Mengamati, melihat anak-anak di Semi Palar berproses aku pribadi yakin butuh mata hati. Perasaan-perasaan kita yang akan berbicara, bukan logika dan penalaran kita semata. Di Semi Palar kita memang tidak banyak mengukur anak-anak kita tapi menghayati kedirian mereka; bagaimana mereka menampilkan / memunculkan diri mereka dengan aneka dimensi kediriannya. Secara kasat mata, mereka anak-anak biasa yang tidak ada istimewanya, apalagi tanpa nilai, ranking atau piala-piala. Tapi kalau mata batin kita terbuka, dalam diri mereka, kita bisa merasakan kehadiran individu-individu yang berkembang utuh dengan segala keunikannya.

Suasana dan kegembiraan belajar yang dialami anak sehari-hari di Semi Palar tidak bisa diukur, dan kita hanya bisa ikut merasakannya. Di dalam antusiasme mereka itulah proses belajar yang sesungguhnya berjalan. Mereka sedang mengumpulkan kepingan-kepingan pembelajaran dan kesadaran untuk belajar untuk kehidupan mereka nanti.

Sulit dipahami memang, tapi harus dirasakan dan dihayati… Semoga dengan melakukan hal ini, mata hati kitapun bisa semakin terbuka…


 


 


 

Wednesday, January 19, 2011

sekilas tentang pendidikan karakter

Posting ini aku kopi dari email aku merespon pertanyaan seorang teman (Elly) mahasiswa UPI. Kebetulan sudah lama ingin menulis pendidikan karakter. Kebetulan ada pemicunya. Pertanyaan dan jawabannya ada di bawah ini.

Hallo, ka Andi punten mengganggu dan mau bertanya.
sekarangkan sedang booming pendidikan berkarakter. menurut ka Andi seperti apa pendidikan karakter itu dan bagaimana realisasi dilapangannya?
Nuhun pisan atas jawabannya
____________________

Ely, ini pertanyaan bagus yang kalo dijawab tertulis bisa berlembar-lembar.
Beberapa poin penting ya.
Buat kami di Semi Palar, pendidikan karakter adalah sasaran utama dari proses pendidikan seseorang. Kenapa begitu, karakter positif adalah segala sesuatu yang penting untuk menjadi manusia. Kalau kita ditanya dan diberi pilihan sederhana, kalau anak anda besar nanti, anda ingin anak anda seperti apa? Jadi orang baik atau jadi orang pintar? Saya pribadi, dan saya kira buat kita semua ini bukan pertanyaan yang sulit untuk dijawab : kita ingin anak2 kita jadi baik. Manusia yang sekedar pintar, kalau tidak baik sifatnya, akan memanfaatkan kepintarannya untuk keuntungannya sendiri. Manusia yang baik, walaupun tidak pintar, paling tidak ia tidak akan merugikan lingkungannya, dan sebaliknya sangat mungkin ia akan membawa kebaikan bagi lingkungan sekitarnya.

Yang pasti pendidikan karakter tidak bisa disampaikan dalam satu bidang studi seperti halnya matematika.
Pembentukan karakter itu prosesnya panjang. Karakter diasah lewat pengalaman nyata sedikit demi sedikit hari demi hari.  Karakter itu terbentuk (tidak bisa diajarkan) melalui setting2 sederhana, suasana dan pengondisian dan beragam bentuk interaksi yang sangat sehari-hari. Karakter yang baik ini juga perlu banyak dilihat anak secara langsung lewat contoh; anak-anak kita sangat perlu mendapatkan banyak inspirasi. Masalahnya buat kita, jaman sekarang inspirasi adalah sesuatu yang sangat sulit ditemukan. Apa yang ada di layar kaca dan media adalah hal2 yang justru sebaliknya : perebutan kekuasaan para politisi, korupsi para birokrat, kerakusan pengusaha, dan selingkuhan atau kawin cerainya para selebritis...

Apa dampaknya situasi di sekolah bagi perkembangan karakter masyarakat, saya coba beri contoh sederhana:
  •       penggunaan penghapus dan Tipp-Ex di sekolah: karena guru ingin hasil anak rapi dan tidak ada kesalahan. Tanpa disadari anak akhirnya didorong menghapus atau menutupi kesalahannya dan memberikan jawaban atau perbaikan di atasnya. Karakter apa yang dihasilkan dari setting ini? Kita lihat orang2 Indonesia punya karakter-karakter jelek : tidak pernah belajar dari kesalahannya, tidak terbuka atas kesalahan2nya dan sebaliknya sangat pandai menutup-nutupi kesalahannya. Bisa kelihatan kan hubungannya? 
  •       Mewajibkan anak-anak memakai seragam nasional, yang membuat semua anak tampil serba sama di desa dan di kota, anak yang punya dan tidak punya. Mungkin maksudnya supaya tidak menonjolkan perbedaan, tapi akhirnya masyarakat kita justru sangat alergi terhadap perbedaan. Seharusnya anak desa harus dididik tetap bangga sebagai anak desa, karena Tuhan-lah yang menentukan seorang anak lahir di desa, di tengah keluarga dan masyarakatnya. Anak kota harus dididik tetap rendah hati. Dia tidak menjadi lebih baik karena lahir dan tinggal di kota dan sebaliknya harus mampu menghargai saudaranya yang tinggal di desa. Kalau dari tinjauan pendidikan holistik, hal ini berkaitan dengan kesadaran diri, bahwa kalau seseorang menyadari dirinya lebih mampu, tentunya ia punya ‘tugas’ lebih daripada mereka yang kehidupannya serba pas-pasan. Kemudian dari aspek spiritualitas, tentunya Sang Pencipta punya maksud menciptakan setiap individu dengan situasinya masing-masing. Jadi orang desa atau lahir di pedalaman adalah sama-sama anugerah luar biasa dari Sang Pencipta. Saya kira ini bagian erat dari pendidikan karakter.
Pola-pola pendidikan kita selama ini sangat membentuk karakter masyarakat kita. Masyarakat di desa sangat minder dan rendah diri… Saya pernah lihat sekolah di desa tapi anak-anaknya bersekolah pakai kemeja putih, dasi kupu-kupu, pakai rompi. Seperti anak2 di kota. Berapa biaya yang harus dikeluarkan orangtuanya untuk membeli seragam tersebut padahal apa yang mereka kenakan (pakaian) sangat tidak mencerminkan proses pembelajaran yang mereka jalani. Semua serba penampilan. Yang penting tampil dengan kemasan yang hebat, padahal belum tentu ada isinya… Ini juga pendidikan karakter. Kalau guru2 di desa mendidik mereka apa adanya, mensyukuri situasi dan kondisi mereka, belajar dari lingkungan kehidupan nyatanya, menelaah mana yang masih kurang dan belajar untuk berproses membuatnya lebih baik, saya kira di situlah letak pendidikan yang sejati

Kalau dibahas soal ini tidak habis-habisnya… Nasionalisme adalah juga bagian, bahkan merupakan bagian penting dari karakter. Cinta budaya sendiri adalah karakter. Tapi dengan metoda pengajaran yang diterapkan semua jadi melenceng. Kalau Muatan Lokal Kebudayaan diterjemahkan menjadi pelajaran bahasa Sunda yang akhirnya membuat (hampir semua) murid benci pelajaran bahasa Sunda, tentunya pendidikan kita sudah salah arah. Sama halnya dengan upacara bendera… Kalau disurvey, berapa banyak anak sekolah yang bangga dan antusias dengan upacara bendera, mungkin hanya hitungan jari, dan kita bisa paham kenapa  masyarakat kita sangat tipis nasionalismenya .

Begitu Ely, pendapat saya. Ini hasil olahan dan observasi saya pribadi. Tapi rasanya kita bisa mengambil korelasinya, bahwa situasi masyarakat kita, secara ekonomi, sosial, budaya, agama, politik, lingkungan hidup yang saat ini semuanya serba sangat mengkhawatirkan, berakar pada pola pendidikan yang selama ini diterima masyarakat (anak-anak) kita di dalam proses pendidikan mereka…Bicara tentang pendidikan karakter, pijakannya adalah memang murni pendidikan. Kalau pola-pola persekolahan kita masih beranjak dari pola-pola pengajaran, kita akan bisa tebak bagaimana ujungnya.