Pendidikan: satu kata ini punya bobot dan kompleksitas luar biasa tertanam di dalamnya. Sangat sulit apabila kita mencoba menguraikan atau mendefinisikan apa yang direpresentasikan oleh satu kata ini. Sama halnya seperti saat kita bicara tentang manusia. Kompleks, luar biasa kompleks. Kata ‘pendidikan’ di dalam benak saya mencakup di dalamnya kata-kata besar lainnya seperti : masa depan, manusia, proses, holistik, budaya dan masih banyak lainnya. Pendidikan sama sekali bukan satu hal yang sederhana, mudah diolah dan bisa dengan sekejap dipahami. Dengan demikian, apabila pengelolaan pendidikan tidak dilakukan dengan pendekatan yang hati-hati secara tepat dan sesuai dengan kompleksitasnya, semestinya pendidikan juga berpotensi memunculkan banyak masalah. Walaupun dari sisi sebaliknya, pendidikan berpotensi menyelesaikan berbagai masalah kalau pertama-tama ia bisa dipandang secara tepat dan menyeluruh (holistik). Cara pandang, paradigma atau mind-set menjadi pijakan yang menentukan bagaimana kemudian kita bisa mengambil sikap dan tindakan (action) dalam konteks mengelola pendidikan.
Sejauh pengamatan selama ini, di republik ini tampaknya hampir segala permasalahan
didekati dan dipandang dengan sudut pandang yang simplistik dan
parsial. Hal ini sepertinya terjadi di semua level, dari pembuat keputusan dan
penentu kebijakan (level birokrasi), lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan,
masyarakat, guru, orangtua murid. Masing-masing tampaknya punya kesulitan untuk
memandang persoalan pendidikan secara tepat.
Contoh sederhana – situasi yang sejak dulu kita alami –
adalah bagaimana pemerintah memberlakukan Kurikulum Nasional, di mana segala
sesuatunya distandarisasikan. Mulai dari materi – kurikulum, buku pegangan,
tema, panduan pembelajaran, segala sesuatu ditentukan pemerintah – dengan sudut
pandang meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini dilakukan tanpa meninjau
lebih dalam substansi dan implikasi dari apa yang ditetapkan. Secara sepintas
standarisasi merupakan solusi yang tepat untuk membangun pendidikan yang
berkualitas. Tapi implikasinya luar biasa besar, karena di dalam pendidikan, banyak
permasalahan yang perlu ditelaah sesuai konteksnya, banyak hal yang sifatnya
kualitatif, dan tidak bisa dengan mudah distandarisasi. Contohnya, saat
keberhasilan pendidikan hanya dipahami sebagai jumlah peserta didik yang lulus
sekolah formal, memegang ijazah atau melek huruf - sesederhana itu - maka akan
banyak hal penting bahkan esensial yang kemudian hilang dan terabaikan.
Bahayanya, kita semua merasa proses pendidikan sudah berhasil dijalankan dan
hasilnya seakan berkualitas, tapi karena substansi pendidikan yang sesungguhnya
tidak tersentuh tentunya dengan segera bisa disimpulkan bahwa upaya pendidikan
yang dijalankan adalah gagal.
Seragam nasional - salah satu contoh favorit saya - adalah salah
satu contoh pendekatan simplistik. Kebijakan ini diterapkan pemerintah untuk
‘menghilangkan persepsi perbedaan’ di kalangan siswa. Tujuannya adalah supaya
semua pelajar – di manapun juga – tampil serba sama. Walaupun kita tahu bahwa
hakekatnya, perbedaan itu tetap ada dan sangat perlu dipertanyakan apakah
perbedaan itu perlu dihilangkan? Apakah kecerdasan para siswa bisa dikelabui
dengan cara ini, tentunya tidak. Secara substansial, kalau bicara pendidikan,
semestinya yang dilakukan para pendidik adalah mengajak peserta didiknya untuk
menerima dan menghargai perbedaan. Bagi mereka yang lebih mampu, kepekaan
sosial dan empati adalah hal yang perlu ditumbuhkan. Sebaliknya bagi para murid
yang secara ekonomi memang terbatas atau tinggal di pelosok, tantangan
pendidikan bagi para guru adalah bagaimana membangun percaya diri dan keyakinan
bahwa dengan belajar dan berusaha mereka bisa maju dan menjadi cerdas dalam
konteks kehidupannya di desa.
Bagai satu kepingan dari satu gambar besar kehidupan bangsa
dan bernegara, masyarakat pedesaan juga punya posisi dan kepentingan
eksistensinya tersendiri – seperti halnya masyarakat yang hidup di perkotaan. Anak-anak
yang tinggal di tepi rimba harus belajar dan menyadari adalah menjadi tugasnya
untuk menjaga kelestarian rimbanya. Apakah setiap anak Indonesia harus paham
bagaimana mengerjakan soal2 kalkulus, tentunya tidak. Sebaliknya kita butuh
anak-anak Indonesia yang betul-betul memahami bagaimana seluk beluk rimba di
tempatnya tinggal, bagaimana keragaman hayatinya, dan bagaimana menjaga
kelestariannya agar membawa manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan banyak
orang. Bahwa anak-anak tersebut tidak bisa berbahasa Inggris atau
mengoperasikan komputer, tentunya itu tidak membuat mereka menjadi lebih bodoh
dan tidak bernilai.
Masalah dan kebutuhan pendidikan bagi anak jalanan, bagi
anak di kota besar, bagi anak2 rimba ataupun yang hidup di gunung – dan
sebaliknya di pesisir, tentu berbeda. Berbeda karena kebutuhan dan situasi
kehidupan mereka berbeda. Kita tentu sepakat bahwa pendidikan adalah hak untuk
semua, tapi apakah sasaran dan tujuan pendidikan harus disamakan untuk semua?
Tentunya tidak. Tujuan pendidikan, kalau bisa didefinisikan sederhana sebagai
upaya meningkatkan kemampuan individu mengolah kehidupannya menjadi lebih baik,
tentunya hal ini tidak bisa dilepaskan dari konteks kehidupan para peserta
didiknya. Bisa dibilang, upaya pendidikan dimanapun harus dimulai dari sudut pandang
dan pijakan yang sangat lokal. Bagi anak jalanan, kehidupan jalanan tentu
adalah pijakan dasarnya – konteksnya. Bagi anak di desa, kehidupan di desa adalah
situasi kehidupan nyatanya dan ini mutlak menjadi konteks pembelajarannya agar
proses belajar anak2 berakar dan punya makna. (Dalam prosesnya, di satu titik
tertentu bagi peserta didik tertentu, konteks pembelajaran bisa dan perlu berkembang
menjadi lebih luas, bisa menjadi nasional, bahkan global.)
Sejauh apa yang saya pahami lewat diskusi dengan teman2,
berkunjung ke beberapa sekolah maupun komunitas / kelompok non formal, dari
mengalami, mengamati dan berusaha memahami seujung kecil dari samudera
pendidikan, saya yakin persoalan pendidikan tidak mungkin diatasi dengan
pendekatan atau cara pikir simplistik. Tidak ada cara mudah atau sederhana di
dalam pendidikan. Kenapa demikian, jawabannya mudah. Karena manusia secara
individual adalah entitas ciptaan Tuhan yang maha kompleks. Tempatkan manusia
di dalam konteks sosial dan ekologinya, di dalam masyarakat dan lingkungan
tempat tinggalnya, kompleksitasnya dengan sendirinya menjadi berlipat-lipat. Sistem
pendidikan yang dibangun – dalam skala nasional, tentunya menjadi sangat
kompleks.
Dalam skala lokal, sebetulnya bisa sangat sederhana. Saya kira penyelenggaraan
pendidikan justru akan lebih berhasil apabila pemerintah berperan mengelola
segala kerenikan lokalitas masyarakat kita dalam satu sistem pendidikan yang
sifatnya memberdayakan lokalitas setiap daerah. Belum lama ini, Departemen
Pendidikan Nasional kembali berubah nama menjadi Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Kebudayaan daerah yang begitu kaya dan beragam adalah sumber luar
biasa bagi proses pendidikan masyarakatnya. Konsep-konsep otonomi pendidikan
bisa sangat nyata diwujudkan di sini.
Buat kita, penting untuk kita sadari bahwa kita semua adalah
output / keluaran dari proses pendidikan simplistik yang selama ini kita
terima. Masyarakat kita adalah masyarakat yang pola berpikirnya simplistik, dan
oleh karenanya tidak pernah pikir panjang – dan sulit berpikir komprehensif –
sebagai hasil pola pendidikan yang dulu kita terima. Ke-instan-an sebagai salah
satu dampaknya adalah suatu pola yang jadi biasa. Ingin serba cepat dan tidak
sabar berproses. Kemudian soal dampaknya, bagaimana nanti… Hal itu yang terus terjadi.
Dikombinasikan dengan budaya yang serba mementingkan kemasan dan penampilan,
lengkaplah sudah kelemahan mendasar masyarakat kita. Saat pola pikir ini juga
dibawa dalam pola-pola membangun sistem pendidikan bagi bangsa ini, kita akan terus
terperangkap dalam situasi yang serba sama, terjebak dalam pusaran permasalahan
bangsa yang itu-itu juga. Saya kira kesadaran ini penting dibawa oleh siapapun
yang mengelola pendidikan dalam berbagai skala dan tingkatan, dari mulai
pemerintah sampai keluarga. Dari kesadaran itulah kita punya harapan untuk bisa
keluar dari pola pikir simplistik yang terus menjebak bangsa kita dan menghambat kita semua untuk maju.
No comments:
Post a Comment