Tuesday, September 28, 2010

merubah sikap (bahasa) terhadap sampah

Kebetulan sebelum lebaran saya sempat ngobrol dengan Kang Aat Soeratin, salah satu budayawan senior Bandung. Kami sempat berbincang banyak tentang lingkungan hidup. Dan beliau menyampaikan kurang lebih begini. Soal sampah ini kan soal budaya, soal perilaku. Dan kita perlu merubah cara kita berpikir dan memandang sampah. Ayo kita coba dengan cara sederhana : merubah kata-kata Buang Sampah Pada Tempatnya, menjadi Simpan Sampah pada Tempatnya.

Kata ‘buang’ itu memang biasanya kita gunakan untuk benda2 yang sudah tidak ada nilainya. Sebaliknya kata ‘simpan’ mengkonotasikan bahwa benda2 ini masih ada nilainya, dan kita perlu sedikit berpikir bagaimana memperlakukannya, saat nilai gunanya sudah tidak ada buat kita. Tapi toh masih ada nilainya saat diolah dengan cara tertentu oleh orang2 lain. (Kita tahu ya ada orang2 yang jadi kaya gara2 sampah)…

Dari sudut pandang lain, baru saja kami di Semi Palar ngobrol juga dengan pakar / pemerhati masalah bahasa dan budaya: Bapak Acep Iwan Saidi  dan katanya, bahasa itu kan sangat mencerminkan diri kita, seperti ungkapan Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jadi kalau kita cara kita membahasakan sampah dengan sikapnya tidak menghargai ya akhirnya perilaku kita juga demikian. Jadilah kita bangsa yang sangat bermasalah dengan sampah…



Sunday, September 5, 2010

foto :: dimakan usia



dimakan usia
gambar ini aku rekam di Keraton Jogja. satu bagian dari kereta tua yang disimpan di sana.
entah kenapa menarik pandanganku. entah kenapa sesuatu yang sudah lama ada seakan menyimpan cerita
dan seperti ada yang ingin dikisahkannya... entah sudah berapa lama benda-benda itu merekam peristiwa dan getaran-getaran kejadian pasti ikut menggores, membentuk, dan mewarnainya hingga benda itu tampil seperti ini. andaikan benda-benda itu bisa bercerita.



Menargetkan lulusan 5000 Doktor?

Beberapa waktu lalu, running text di sebuah TV Swasta menampilkan tulisan pendek kurang lebih bunyinya seperti ini : "Mendiknas menargetkan lulusnya 5000 orang Doktor di tahun ini." Hmmm, apa bisa begitu ya? Kalau kita sepakat bahwa pendidikan adalah sebuah proses (yang kompleks pula), bagaimana kita bisa menargetkan sesuatu? Kalau proses pembelajaran yang sejati mensyaratkan seseorang untuk bukan sekedar tahu, tapi lebih dari itu paham dan menghayati pengetahuannya lalu apakah bisa kita membuat target-target waktu dan pencapaian seseorang dalam proses pendidikan. Apalagi seorang doktor yang dalam proses studinya ia belajar memperdalam pemahamannya sampai level yang filosofis, apakah bisa hal ini kita targetkan. Lalu kalau atas target tersebut yang kemudian dihasilkan adalah individu doktoral yang justru tidak paham lalu bagaimana? Kalau jumlah tersebut tercapai (secara kuantitas) tapi tidak secara kualitas, apakah program Depdiknas bisa dikatakan sukses atau berhasil? Lalu apa dampaknya buat dunia pendidikan kita di Indonesia ke depan? Kalau tolok ukur keberhasilan sistem pendidikan kita secara kuantitatif, saya kira kita tidak akan pernah berhasil . Sebaliknya kenapa harus kualitatif? Saya kira sederhana jawabannya, karena kita mendidik manusia, bukan robot. Dan kita tidak akan bisa memperlakukan manusia sebagai robot atau mesin. Manusia adalah ciptaan Tuhan dengan segala keajaibannya.

Baru saja saya menamatkan buku Negeri Lima Menara karya A. Fuadi. Buku yang luar biasa inspiratif buat saya. Di bagian awal dikisahkan saat murid2 baru menapakkan kakinya di Pondok Madani, Kiai Rais, pimpinan PM memberi sambutan pendek: "Menuntut ilmu di PM bukan buat gagah-gagahan dan bukan biar bisa bahasa asing. Tapi menuntut ilmu karena Tuhan semata. Karena itulah kalian tidak akan kami beri ijazah, tidak akan kami beri ikan, tapi akan kami beri ilmu dan kail. Kami, para ustad ikhlas mendidik kalian dan kalian ikhlaskan pula niat untuk mau dididik."

Lalu Raja (salah satu murid baru) menjelaskan kepada temannya Said : "Maksudnya, PM tidak mengeluarkan ijazah seperti sekolah lain. Yang ada adalah bekal ilmunya. Ijazah PM adalah ilmunya sendiri."

Saya kira ini luar biasa dan secara spirit bertentangan dengan apa yang dimunculkan bapak Mendiknas kita. Apa sebabnya saya tidak tahu. Apakah karena perbedaan pemahaman filosofis tentang pendidikan? Karena kalau secara filosofis pemahaman pendidikan tidak tepat, tentunya apapun yang dibangun di atasnya akan tidak tepat sasaran...

Apa yang saya kutip dari running text di layar televisi seperti di atas ini buat saya adalah gambaran kebingungan pengambil kebijakan tentang bagaimana membangun pendidikan di negeri ini. Walaupun sebetulnya para pendahulu kita seperti ki Hadjar Dewantara sudah meletakkan landasan filosofis pendidikan yang luar biasa. Kenapa kita meninggalkannya, saya tidak tahu...