Tuesday, April 29, 2008

tentang kesadaran spiritual

Pertama-tama aku bersentuhan dengan apa yang disebut-sebut dengan spiritualitas adalah kurang lebih sepuluh tahun tahun yang lalu, sekitar tahun 1998. Tahun ini agak keramat buat aku karena di tahun ini aku memulai petualanganku menjelajah ke luar teritori yang aku kenali dengan teramat dekat. Sebelum tahun itu aku hanya mengeksplorasi segala sesuatu tentang arsitektur dan desain. Hanya itu. Saat itu duniaku ‘sempit sekali’ walaupun aku sudah sempat studi lanjut di negeri orang.

Waktu itu temanku menunjukkan kepadaku buku karangan James Redfield, yang judulnya : The Celestine Prophecy. Buku ini salah satu buku best seller dunia. Terjemahannya sudah ada di Gramedia dengan judul Manuskrip Celestine. Waktu itu entah kenapa aku tidak tertarik. Hanya aku buka-buka halaman depannya, lalu aku kembalikan kepada temanku. Nanti aja deh, nih gua balikin dulu…

Di sekitar tahun 2000-an, saat beberapa hal yang aku coba rintis ‘seakan gagal’, aku jumpa kembali dengan buku itu. Dalam kondisi yang serba membingungkan dan aku menyimpan sangat banyak pertanyaan, aku membaca buku itu. Dan saat itu aku dipertemukan dengan banyak jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku. Konon, ada waktunya tersendiri kapan buku-buku itu berperan mengisi diri kita. Momen yang luar biasa buat aku.

Celestine Prophecy dikemas sebagai sebuah novel. Dikisahkan melalui petualangan seorang yang melacak jejak manuskrip kuno yang menjelaskan tentang rahasia besar peradaban umat manusia. Menjelang pertengahan buku tersebut aku disadarkan bahwa buku ini bukan sekedar novel. Buku ini menyimpan pesan luar biasa. Dan buku itu telah mengantar perjalanan aku dari kebingungan-kebingungan aku sampai aku mampu membangun keyakinan diri bahwa apa yang aku jalani sekarang ini adalah sesuatu yang memang harus aku jalani. Bahwa aku memang harus keluar teritori (di tahun 98 itu tanpa disadari aku mulai beralih ke pendidikan, dan di titik itu lah aku betul-betul belajar. Aku mengalami begitu banyak peristiwa dan berjumpa dengan banyak sekali orang). Saat aku berani menerobos batas itulah aku membangun wawasan dan kesadaran-ku tentang banyak hal dan memperoleh perspektif yang betul-betul berbeda dari pemahaman-pemahaman aku sebelumnya.

Salah satu yang ditekankan oleh James Redfield, dalam bukunya adalah bahwa :”tidak ada suatu peristiwapun di dunia ini yang terjadi secara kebetulan”. Jadi semua peristiwa, apapun bentuknya membawa makna. Seperti ungkapan yang pernah aku dengar juga “Everything happens for a reason”. Tentunya ini pada akhirnya akan mengkristal pada bagaimana kita memaknai hidup kita masing-masing. Hidup kita sebagai sesuatu yang sakral, sesuatu yang luar biasa yang dianugerahkan Tuhan kepada kita. Memaknai hidup kita adalah tugas utama kita, sesuatu yang harus kita pertanggung jawabkan kepada Tuhan atas karuniaNya yang maha besar tersebut. Kesadaran spiritual dalam pemahaman aku, dimulai pada saat kita, dalam kesadaran kita mulai memunculkan pertanyaan tersebut.

Sejak saat itu, aku berusaha memahami lebih jauh, belajar lebih banyak tentang spiritualitas. Akhirnya di titik ini aku bisa memahami, bisa memetakan, menarik garis dari titik-titik peristiwa dalam hidupku, paling tidak sejak 10 tahun terakhir sampai akhirnya aku meyakini bahwa aku memang ‘ditugaskan’ oleh Penciptaku untuk mengawal sesuatu yang kita kenal sebagai Semi Palar. Sampai detik ini, aku terus berusaha memaknai segala sesuatu yang terjadi dan aku alami dalam kerangka spiritualitas ini.

Dari beberapa buku lain yang aku baca, periode yang sekarang disebut-sebut sebagai periode pergeseran atau yang disebut dengan Evolusi Spiritual (Spiritual Evolution). Beberapa ahli menyebutkan banyaknya anak-anak yang dikenal memiliki kepekaan-kepekaan tertentu (Indigo Children) sebagai bagian dari proses berlangsungnya evolusi ini.

Apa yang aku amati dan alami sendiri, kelihatannya mengkonfirmasi hal ini. Bahwa kesadaran spiritual muncul semakin lama semakin dini (secara usia). Ayahku, belum lama ini kelihatannya baru mencapai tahap ini, saat pembicaraan dan obrolan kami menyinggung hal-hal ini. Bacaan beliau juga mencerminkan hal ini. Salah satu favorit beliau adalah Paulo Coelho. Penulis favorit aku juga yang memang karya-karyanya sangat spiritual : salah satunya yang paling beken : The Alchemist.

Buat aku sendiri, minatku dan pertanyaan-pertanyaan yang ‘spiritual’ muncul lebih awal, ya sekitar tahun 2000-an tadi. Belum lama ini, keponakan Lyn yang rencananya hendak menikah, tampak memunculkan gejala-gejala kesadaran spiritual tadi. Banyak pertanyaan ‘aneh-aneh’ yang muncul. Dan memang ini cukup membingungkan orang tuanya. Sepintas kayak orang yang lagi bingung. Tapi dari pengalamanku bingung seperti itu, ya dia memang sedang mencari jawaban. Masalahnya hal-hal seperti ini tidak mudah ditemukan jawabannya. Aku sempat sedikit berbincang dengan dia, dan yang aku lakukan hanya merekomendasikan beberapa buku yang bisa membantu kita menemukan jawaban / keyakinan.

Yang agak mengejutkan adalah saat anakku sendiri di usianya yang masih sangat muda memunculkan pertanyaan-pertanyaan serupa. Tahun 2005, berusia 5 tahun, Rico sempat bertanya :”Pa, kenapa sih kita dikasih hidup?” Wuaduh! Apa ga bingung? Agak beruntung aku sedang dalam proses banyak baca buku-buku yang membahas tentang ini. Tapi respon aku secara garis besar adalah bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan luar biasa yang banyak orang dewasa pun belum tau jawabannya. Aku hanya menambahkan bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan yang hebat dan jadi tugas kita masing-masing untuk menemukan jawabannya.

Lalu tidak berapa lama kemudian muncul kembali pertanyaan yang tidak kalah berat : “Kalau Tuhan yang menciptakan dunia ini, terus yang menciptakan Tuhan siapa dong?” Nah lho…

Dari beberapa obrolan dengan teman-teman lain, sempat terdengar juga cerita serupa, bahwa anak-anak yang masih kecil sudah memunculkan pertanyaan-pertanyaan sejenis – yang ‘jero’ istilah sundanya mah, pertanyaan yang sulit sekali menjawabnya bahkan untuk kita orang dewasa.

Kenapa ya ? Tapi aku pikir tidak terlalu penting kenapanya? Lalu apakah betul Evolusi Spiritual itu sedang berlangsung, walahualam, siapa yang tahu. Yang lebih penting adalah bagaimana kita merespon dan menjaga agar kesadaran spiritual itu tetap hidup di anak-anak kita dengan memberikan respon yang tidak mematikan (menghancurkan proses belajar mereka).

Satu hal lagi yang aku pelajari adalah bahwa proses pembelajaran adalah proses membangun kesadaran. Kesadaran atau awareness, secara garis besar ada 3 tahap (kalau tidak salah di Hindu ada 7 tingkatan kesadaran). Tiga tahap ini adalah

  1. Physical Awareness
  2. Emotional Awareness
  3. Spiritual Awareness

Penjelasan sederhananya gini. Ini berhubungan dengan 3 unsur utama dari keutuhan manusia yaitu :

Body – Mind – Spirit atau : Badan - Pikiran (termasuk emosi) dan Jiwa.

Di tahap awal, manusia (bayi) belajar untuk menyadari segala sesuatu tentang tubuhnya, dan ini berlangsung sejak bayi, lewat pubertas sampai menginjak dewasa saat pertumbuhan secara fisik bisa dikatakan berhenti. Lalu manusia dewasa berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiknya, salah satunya lewat mencari nafkah untuk kehidupannya. Setelah ini terpenuhi, apa yang dicari adalah Emotional Awareness, termasuk di dalamnya aktualisasi diri dan mencari kebahagiaan. Singkatnya, akan menjadi penting bagi dirinya untuk juga merasa bahagia (happy), selain memenuhi kebutuhan jasmaninya. Setelah melampaui tahapan ini, yang kemudian muncul adalah Spiritual Awareness. Spiritualitas ini memang lebih berorientasi mencari makna. Setelah badan dan emosi tercukupi kebutuhan kesadarannya, yang dicari kemudian oleh manusia adalah makna. Pada akhirnya manusia perlu mencari makna. Saat menemukan makna, yang akan dirasakan manusia adalah antusiasme. Dan ini sejalan dengan asal kata antusias yang berasal dari bahasa Yunani : An – Theos yang artinya Tuhan ada di dalam.

Mungkinkah pergeseran kesadaran spiritual ini disebabkan perbedaan generasi? Orang tua kita di sebagian besar kehidupannya kebanyakan bergulat untuk memenuhi kebutuhan pokok, mencari nafkah, mencukupi secara fisik. Saat ini situasi keluarga generasi kita sudah jauh lebih baik. Apa yang kita cari bukan sekedar nafkah juga kenyamanan dan kebahagiaan dalam hidup. Anak-anak kita? Dengan situasi yang pada umumnya sudah sangat nyaman mungkinkah mereka lebih cepat bersentuhan dengan dimensi spiritual mereka? Bisa jadi. Apalagi kita tahu anak-anak kita punya kecerdasan yang jauh lebih tinggi dari kita. Yang penting konsekuensinya, apakah kita guru dan orang tua mereka siap membantu dan memfasilitasi mereka dengan segala proses pencarian, rasa ingin tahu dan kekritisan mereka? Pastinya kitapun harus belajar seperti mereka…

© Nday | 29042008

Saturday, April 26, 2008

diskusi budaya : Menguak Tabir Multikulturalisme

sub title kegiatan diskusi ini : 'Alun Lampah Penelusuran Anak Bangsa'
Satu lagi diskusi asik yang sempat aku hadiri. Asik karena bicara budaya dan multikulturalisme. Diselenggarakan oleh Semadi (Sekretariat Kemanusiaan dan Keadilan Keuskupan Bandung), menghadirkan pembicara yang asik-asik juga, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Garin Nugroho, KH Asep Muhtadi dan Prof. Jacob Sumardjo. Buat aku sih sangat-sangat mencerahkan. Apa isinya, mudah-mudahan bisa sempat saya segera susulkan di sini.


riding into the light

riding into the light
Ini di jalur tahura lagi, minggu lalu saat ada event SimpatiZone Biking Adventure. Kita sih ga ikutan, tapi ambil jalur biasa ke arah Maribaya, berenti di tengah pas nyampe di warung sambil makan nasi timbel merah.Wah, mak nyuss, pokoknya... Sebetulnya kita agak banyakan ngebosehnya, ada mas Yuliardi, Rudyanto, Hanin, aku, ditambah Yanto dan Steve yang sudah mendahului ke arah Maribaya.

Jalur tahura memang enak banget buat dijadiin jalur ngeboseh karena hijaunya pepohonan yang otomatis menyediakan oksigen segar buat kita. Teduh sekali dimana-mana kita berhenti untuk mencari nafas. Catatannya kita berangkat jangan terlalu siang, karena jalur ke arah Tahura semakin siang semakin padat kendaraan.
Tanjakannya masih bisa dikuasai, variasi naik turun, walaupun permukaan paving memang agak licin kalau habis hujan. Jalurnya relatif gampang, walaupun begitu, suasana bahwa kita bersepeda di alam masih sangat kental terasa.

Senang melihat semakin banyak pesepeda yang terlihat. Semoga Bandung bisa jadi kota pesepeda suatu waktu nanti. Sebetulnya sudah semakin banyak teman-teman gabung jadi pesepeda, yang bike to work atau juga untuk rekreasi olahraga yang bisa dilakukan di akhir minggu. Asik pisan lah pokoknya...

Hayu atuh urang ngaboseh...

Saturday, April 19, 2008

filsafat ???

Filsafat ??? Hah, barang apa itu? Itu pandanganku dulu tentang sesuatu yang namanya filsafat. Anehnya, sekarang aku bisa duduk kembali di bangku kuliah (setelah bertahun-tahun lamanya aku tidak masuk kampus), aku bersama beberapa kakak Smipa ikutan Extension Course Filsafat dengan tajuk Philosophy of Religion.

Di sini bukan course ini yang penting, tapi pengalamanku di Semi Palar, mengamati anak-anak dalam proses belajarnya yang luar biasa, akhirnya merefleksikan sesuatu yang lain. Jangan-jangan memang aku (kita) dididik dengan cara yang salah. Aku tidak pernah belajar untuk bertanya dan bertanya.

Salah satu forum diskusi yang pernah aku hadiri sepertinya menegaskan hal
ini saat seorang pembicara bilang bahwa manusia Indonesia itu manusia
How-To... Hanya tahu gimana melakukan sesuatu. Hanya ngerti teknis,
prosedural, hanya paham masalah cara. Pragmatis banget. HIDUP-pun jadi
sesuatu yang sangat teknis. Pokoknya jalanin aja seperti orang-orang lain.
Dari bayi, sekolah, sekolah lalu kuliah (pilih jurusan yang rame / laku),
lulus lalu kerja, kerja lalu cari jodo, lalu kawin, lalu punya anak, lalu
pensiun, lalu???

Kita tidak pernah lagi bertanya sesuatu yang lebih dalam dari pertanyaan
bagaimana? Kita tidak pernah bertanya apa dan kenapa? Apa itu hidup? Kenapa
kita dianugerahi hidup? Apa itu pernikahan? Apa itu bekerja? Apa itu
pekerjaan? Hal-hal semacam itu...

Filsafat seakan-akan jadi sesuatu yang jauh dari kita. Padahal seharusnya
tidak begitu (paling tidak menurut saya). Karena untuk punya hidup yang
bermakna, makna hidup akhirnya toh harus dicari. Kita harus bisa memaknai
hidup kita, kalau tidak ya hidup kita akan kosong, hampa, tanpa makna. Kalau
hidup adalah sebuah perjalanan, seharusnya hidup punya tujuan. Sepertinya
orang harus studi S3 untuk bisa memahami filsafat (yang ditandai dengan
gelar PhD: Doctor of Philosophy).

Kalo belum S3, jangan sok tau deh, kamu kan masih pada belon ngarti...
Padahal filsafat (menurut aku) adalah sekedar bertanya dan mencari jawaban.
Berusaha kritis, gitu lho.

Di Smipa, sehari-hari kita banyak sekali berjumpa dengan filsuf-filsuf
hebat. Anak-anak. Mereka yang selalu bertanya dan bertanya dan
mempertanyakan lagi jawaban-jawaban kita, atau fakta-fakta yang sudah kita
ketahui. Seperti sebuah pencarian terhadap kebenaran. Kami, kakak-kakak
fasilitator mereka sering kali tertegun mendengarnya. Persis seperti apa
yang dibilang John Holt, pakar pendidikan : "Children are like philosophers.
They ask big questions!"

Kalau memang bertanya adalah suatu kemampuan yang
dimiliki anak-anak? Tapi kenapa kita jadi (tidak suka, tidak berani, atau
tidak biasa) bertanya? Saat kita memandang hidup kita dan segala sesuatu di sekelilingnya adalah sesuatu yang luar biasa, sakral dan mengagumkan, bagaimana mungkin kita tidak bertanya dan mencoba memahaminya, mencari maknanya?

Filsafat ternyata bisa jadi sangat sederhana. Seperti di filem Horton Hears
the Who... "Bagaimana mungkin ada manusia tinggal di dalam sebutir debu?
Debu kan kecil sekali?" protes si Kangguru, lalu balas Horton, "Belum tentu
mereka yang kecil... Mungkin saja kita ini yang sangat besar"... Nah lho?

Akhirnya filsafat hanyalah seperti tagline iklan sebuah produk rokok : TANYA
KENAPA! (hehe... rokoknya sih aku ga suka, tapi tagline-nya... top banget!)

Saturday, April 12, 2008

sepeda dari bahan daur ulang??

Beberapa hari lalu aku dapet hadiah sepeda dari salah seorang kakak guru Smipa (ka Eet) yang sekarang doyan mboseh. Sepeda ini dari bahan daur ulang... Lucu, dari bungkus kopi kapal api... Keren banget. Kreatif abis. Proporsinya bagus. Udah menghayati banget ya soal sepeda. Ka Eet sekarang sering Bike To School (maksudnya kan sehari-harinya kerja di sekolah). Nuhun ka Eet. Mudah-mudahan ide kreatifnya makin sering muncul gara-gara bersepeda...

Sunday, April 6, 2008

verticality

verticality

gambar ini sudah lama sekali aku ambil, kebetulan filenya ketemu dan aku upload di sini.
komposisinya menarik, kebetulan bawa kamera dan aku ambil gambarnya.
objeknya pasti dikenal, akrab dengan kita, tapi garis-garis dan orientasi vertikal yang muncul sebetulnya bisa lebih mengingatkan kita akan sesuatu yang di atas sana...
eit, tapi sebentar... di atas? rasanya tidak ya, Dia ada di mana-mana...

what's happening lately?

Wah, lama aku ga ngeblog... Bukannya 'nothing's going on', sebaliknya banyak banget yang terjadi sampe sulit buat aku menuliskannya... Jadi aku tulis pendek-pendek di sini supaya ga kelewat...
Mudah-mudahan aku segera punya waktu untuk mencatatkannya di sini.
  • Mulai dari hari ini, aku ngumpul-ngumpul di Jakarta sama teman seangkatan (ars86) yang sedang sibuk dengan yayasan kami yang baru dan segala proyek dan gagasannya. Senang sekali merasa bisa ngumpul bareng dengan teman-teman jaman kuliah dulu. Dan setelah sekian lama, kegilaan yang sama masih muncul, bahkan lebih parah! haha... Tapi sekarang ini energinya sudah lebih positif munculnya, dan sangat menyenangkan untuk bisa melakukan sesuatu untuk lingkaran di luar diri kita. Apa yang sedang kita garap, details ada di www.ars86care.org
  • Kuliah filsafat. Ini juga menyenangkan karena aku duduk lagi di bangku kuliah setelah sekian lama. Filsafat? Hmmm, yang ini agak panjang ceritanya, nanti aku tulis terpisah.
  • What did I miss? Karena bentrok dengan jadwal kuliah, aku ga sempat hadir ke acara perbincangan budaya di Grand Hotel Preanger. Pembicaranya Sri Sultan Hamengkubuwono dan Kang Ajip Rosidi, tentang rekonsiliasi sejarah Jawa dan Sunda... Tapi teman-teman ku sempat datang dan mudah-mudahan aku dapat cerita tentang ini.
  • Awal bulan aku datang ke peringatan ulang tahun ke 3 Yayasan Harry Roesli. Menarik, menginspirasi sekali, minimal buat aku. Membuat aku yakin bahwa siapapun kita, bagaimanapun situasi kita, perhatian dan cinta kasih akan membuat kita hidup. Merefleksi apa yang terjadi belakangan ini di sekolah dengan anak-anak Semi Palar, gimana ya? Rasanya begitu mudah buat kita untuk mengabaikan sesuatu - taking things for granted...
  • Di rumah ada peristiwa lucu-lucu tentang anak-anak. Bagaimana atas inisiatif sendiri anak-anak bisa membuat tantangan untuk mereka sendiri untuk mendapatkan sesuatu, dan menawarkannya kepadaku... Lucu, sekaligus bikin aku juga senang sekaligus bangga akan mereka.
  • Lalu aku pergi nonton sama mereka Horton Hears the Who! Filem luar biasa. Very smart movie. Filem selucu itu bawa pesan filosofis yang mendalam buat aku? Hebat! Sambil perut sakit karena terlalu banyak tertawa, filem itu bawa perenungan banyak buat aku.
  • Minggu kemarin aku ajak anak-anak untuk nonton Downhill Race di Cikole. Sekedar untuk mengenalkan mereka ke hal-hal yang bisa jadi opsi buat mereka. Kebetulan kak Kiki, salah satu calon guru di Semi Palar ikut balapan. Buat aku, senang sekali berada di salah satu event persepedahan yang cukup besar...
  • Jum'at kemarin kita evaluasi mid semester di Semi Palar. Satu lagi juga yang jadi bagian dari refleksi aku sekarang-sekarang ini. Termasuk juga salah satu teman yang membuat satu dari dua pilihan sulit, dan memutuskan pilihan yang termasuk 'beyond logic'...
    Quoting Robert Frost :
    Two roads diverged in a wood, and I-
    I took the one less traveled by,
    And that has made all the difference.
  • Besok masuk minggu ke dua seorang temanku yang lain berpetualang ke Jepang. Postur tubuhnya kecil, tapi jiwa, keberanian dan keyakinan dirinya besar. Semoga dia menemukan apa yang dicarinya di sana dan pengalaman-pengalamannya memperkaya dia.
  • Apa lagi ya? Udah dulu ah...
Yang aku yakini bahwa setiap peristiwa membawa makna. Mudah-mudahan aku mampu memaknai dan menghayatinya...