Saturday, November 26, 2011

surat wasiat Baden Powell

Pramuka-Pramuka yang kucinta :
Jika kamu pernah melihat sandiwara "Peter Pan", maka kamu akan ingat, mengapa pemimpin bajak laut selalu membuat pesan-pesannya sebelum ia meninggal, karena ia takut, kalau-kalau ia tak akan sempat lagi mengeluarkan isi hatinya, jika saat ia menutup matanya telah tiba.
Demikianlah halnya dengan diriku. Meskipun waktu ini aku belum akan meninggal, namun saat itu akan tiba bagiku juga. Oleh karena itu aku ingin menyampaikan kepadamu sekedar kata perpisahan untuk minta diri …………..
Ingatlah, bahwa ini adalah pesanku yang terakhir bagimu. Oleh karena itu renungkanlah !

Hidupku adalah sangat bahagia dan harapanku mudah-mudahan kamu sekalian masing-masing juga mengenyam kebahagiaan dalam hidupmu seperti aku.
Saya yakin, bahwa Tuhan menciptakan kita dalam dunia yang bahagia ini untuk hidup berbahagia dan bergembira. Kebahagiaan tidak timbul dari kekayaan, juga tidak dari jabatan yang menguntungkan, ataupun dari kesenangan bagi diri sendiri. Jalan menuju kebahagiaan ialah membuat dirimu lahir dan batin sehat dan kuat pada waktu kamu masih anak-anak, sehingga kamu dapat berguna bagi sesamamu dan dapat menikmati hidup, jika kamu kelak telah dewasa. Usaha menyelidiki alam akan menimbulkan kesadaran dalam hatimu, betapa banyaknya keindahan dan keajaiban yang diciptakan oleh Tuhan di dunia ini supaya kamu dapat menikmatinya !

Lebih baik melihat kebagusan-kebagusan pada suatu hal daripada mencari kejelekan-kejelekannya. Jalan nyata yang menuju kebahagiaan ialah membahagiakan orang lain. Berusahalah agar supaya kamu dapat meninggalkan dunia ini dalam keadaan yang lebih baik daripada tatkala kamu tiba di dalamnya. Dan bila giliranmu tiba untuk meninggal, maka kamu akan meninggal dengan puas, karena kamu tak menyia-nyiakan waktumu, akan tetapi kamu telah mempergunakannya dengan sebaik-baiknya. Sedialah untuk hidup dan meninggal dengan bahagia. Masukkanlah paham itu senantiasa dalam janji Pramukamu meskipun kamu sudah bukan kanak-kanak lagi - dan Tuhan akan berkenan mengaruniai pertolongan padamu dalam usahamu.

Temanmu, Baden Powell

Tuesday, November 15, 2011

foto :: merentang di atas air




merentang di atas air

di mataku, suasana ini memunculkan komposisi yang keren. entah apanya... 
apakah kontrak bayang-bayang pepohonan terhadap arus sungai di bawahnya, 
pantulan sinar matahari di atas batang-batang bambu.  
atau memang momen yang ada saat aku di sana yang mendorongku untuk merekam gambar ini...
ciwangun, 29 Maret 2011

Wednesday, November 9, 2011

ibarat membangun Tembok Besar Cina

"Siapa yang tahu, berapa waktu yang dibutuhkan untuk membangun - menyelesaikan Tembok Besar Cina?", pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Anies Baswedan, dalam sebuah forum di bulan Juli lalu di Gedung Indonesia Menggugat. Hadirin mulai melontarkan jawaban "30 tahun!", "100 tahun!"... Jawaban yang betul, ternyata adalah 300 tahun. Luar biasa! Kalau kita perhitungkan satu generasi adalah 30 tahun, berarti pembangunan Tembok Besar Cina perlu waktu 10 generasi. Perlu beberapa dinasti kerajaan untuk menuntaskan satu bangunan luar biasa ini, satu-satunya objek di bumi yang konon bisa terlihat dari luar angkasa.

Apa yang ingin disampaikan mas Anies? Ilustrasi Tembok Besar Cina, ternyata mengandung banyak poin penting di dalamnya. Pertama, adalah keyakinan besar pada bangsa Cina pada waktu itu bahwa bangsanya akan tetap ada, tetap eksis di generasi demi generasi setelah mereka perintisnya sudah tiada. Ada perspektif ke masa depan yang sangat panjang, ada keyakinan tentang kejayaan bangsa mereka yang dihayati oleh semua yang ikut terlibat dalam proyek besar tersebut saat itu. Mas Anies mengajak kita yang hadir untuk membayangkan apa yang dipikirkan oleh mereka yang bertugas memasang batu pondasi bangunan tembok tersebut. Kita bisa bayangkan bahwa mereka mestinya paham bahwa mereka tidak akan menyaksikan bagaimana tembok tersebut akan selesai nantinya. Walaupun demikian, batu demi batu tetap dipasangkan, generasi demi generasi tetap menjalankan tugas berat ini untuk kejayaan bangsanya... Mungkin cukup banyak dari mereka yang melakukannya di bawah paksaan, tapi membayangkan prosesnya tetap ini adalah karya luar biasa. Mestinya kita juga bisa menyimpulkan bahwa ini juga menggambarkan kesetiaan dan keyakinan teguh terhadap apa yang disebut proses. Proses yang berjalan selama 300 tahun.

Pendidikan saya kira sangat sejalan dengan ilustrasi ini. Apa yang dilakukan para pendidik (guru, orang tua) terhadap anak-anak kita adalah proses yang luar biasa panjang. Apa yang kita lakukan adalah membantu anak menemukan dan meletakkan keping demi keping bagian kecil dari bangunan individu yang wujudnya baru nampak di sekian tahun mendatang. Seperti apa kita hari ini adalah hasil dari apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh para pendidik kita dulu.

Saya teringat dialog dengan kak Marisa Moeliono - teman diskusi kami di Semi Palar khususnya mengenai bidang psikologi. Beliau merespon pertanyaan kami kurang lebih begini :"kak Marisa, kita di kelas sudah melakukan ini, itu, memberi tahu, mengajak diskusi, mengingatkan, tapi kok di anak-anak sepertinya tidak ada perubahan?". Respon kak Marisa saat itu sederhana, "kakak-kakak, kita itu harus sabar... apa yang kita lakukan hari ini, hasilnya mungkin baru muncul setelah anak-anak SMP atau SMA, bahkan setelah mereka dewasa nanti. Kita hanya harus yakin bahwa setiap hal positif apapun yang kita lakukan akan melengkapi mereka. Dan apa yang kita berikan sebagai pendidik, akan muncul kelak pada waktunya". Intinya, saya kira adalah bahwa kita harus terus memanfaatkan setiap kesempatan untuk melakukan tugas pendidikan kita bagi anak-anak... Kita lakukan, tanpa harus banyak berharap atau menuntut bahwa kita ingin bisa melihat hasilnya saat ini juga. Karena pendidikan ini adalah sebuah proses, karena apa yang kita lakukan bagi anak-anak adalah membantu mereka membangun diri mereka sendiri...

Dalam kesempatan lain, sebuah obrolan di dalam sebuah forum yang berbeda menyinggung persoalan, ini di mana saya dan teman-teman membahas bagaimana pemerintah mengelola kebijakan2 pendidikan yang memayungi segala upaya penyelenggaraan pendidikan di negeri ini... Ganti menteri ganti kebijakan. Sebuah pola yang sudah kita kenali sejak dulu. Hal ini menggambarkan bahwa memang para pemimpin bangsa ini tidak punya visi. Pemimpin kita tidak tahu, mau membangun apa di negeri ini. Atau, kalaupun punya visi, tidak mampu memimpin segenap lapisan bangsa yang dipimpinnya untuk bergerak menuju ke visi tersebut. Mau dibawa ke mana bangsa ini. Apa yang selalu dilakukan adalah membongkar kembali apa yang sudah dibangun sebelumnya. Belum ada hasilnya, begitu ganti pengelola, kebijakan juga otomatis diganti. Akibatnya, bangsa ini tidak pernah jadi apa-apa karena tidak pernah membangun apa-apa.

Mas Anies bilang, bangsa kita ini  adalah orang-orang yang senangnya gunting pita. Senang upacara dan peresmian doang. Kerjanya nol besar... Mengutip kata-kata Dahlan Iskan, pada hari pengangkatannya menjadi Meneg BUMN, dia bilang begini, "Saya sudah titip kepada para Direktur BUMN, dalam 3 bulan ke depan, harus mengurangi jumlah rapat-rapat, membuat laporan dan lain sebagainya sampai 50%. Jangan sampai kita berpikir kalau sudah rapat dan membuat laporan, kita itu sudah bekerja. Lebih baik waktu yang digunakan untuk rapat-rapat dan membuat laporan itu kita manfaatkan untuk bekerja." Keren! Uraian itu datang dari seorang Dahlan Iskan yang dalam jangka waktu 3 tahun mampu memutar-balikkan performansi PLN dari situasi semrawut dan perlu disubsidi kiri kanan, menjadi badan usaha yang profesional dan profitabel. Luar biasa. Ini sebetulnya menandakan kita bisa, kalau kita mau...

Siang tadi, di sebuah forum tentang Pendidikan Nilai yang diselenggarakan oleh romo Ferry Sutrisna, saya berkenalan dan berbincang dengan Bpk. Teguh Purwanto. Beliau sekarang bekerja di Departeman Kehutanan, sebagai kepala biro Ekowisata dan Jasa Lingkungan. Seorang yang saya lihat punya visi luar biasa. Beliau memandang bahwa bangsa Indonesia punya potensi luar biasa. Beliau bercerita bagaimana setelah Bom Bali I dan II, sektor pariwisata nyaris ambruk karena hampir 70% wisatawan asing berhenti masuk Indonesia. Tapi beliau dan timnya yakin penuh bahwa Indonesia bisa bangkit dengan mengandalkan diri kita sendiri. Dan dalam prosesnya ini memang terbukti. Saat ini beliau sedang bekerja membangun pariwisata di banyak tempat di Indonesia, salah satunya di Jawa Barat adalah Kawah Putih, yang dalam waktu singkat menjadi sangat populer bahkan ke manca negara. "Potensinya besar, tapi harus dibangun dengan kerja sama banyak pihak." katanya. Saya tanya, "minat asing bagaimana pak?" Beliau bilang, "Kita sedang fokus untuk membangun kerja sama dengan swasta nasional. Minat asing memang banyak, tapi kita tidak ingin seperti Bali yang sekarang 70% sudah dikuasai asing". Acung jempol buat Pak Teguh. Saya sepakat. Kita harus yakin dengan diri kita sendiri...

Menyambung tulisan di atas, bangsa yang besar dibangun dari individu yang berkualitas. Bukan dari sistem ekonomi atau banyaknya industri yang dimiliki, bukan juga dari angka2 penghasilan perkapita, atau angka-angka statistik yang bisa dimainkan dan dimanipulasi. Individu yang berkualitas dan berkarakter dan cinta bangsanya hanya bisa dibangun lewat pendidikan, di sekolah dan di keluarga. Sekali lagi, kalau kita mau, kita bisa membangun sesuatu yang luar biasa seperti dulu kita punya kerajaan Majapahit, seperti candi Borobudur... sesuatu yang seperti Tembok Besar Cina... Karena sebetulnya, kita mampu.


Saturday, November 5, 2011

Memandang Situasi (Permasalahan) Pendidikan di Indonesia


Pendidikan: satu kata ini punya bobot dan kompleksitas luar biasa tertanam di dalamnya. Sangat sulit apabila kita mencoba menguraikan atau mendefinisikan apa yang direpresentasikan oleh satu kata ini. Sama halnya seperti saat kita bicara tentang manusia. Kompleks, luar biasa kompleks. Kata ‘pendidikan’ di dalam benak saya mencakup di dalamnya kata-kata besar lainnya seperti : masa depan, manusia, proses, holistik, budaya dan masih banyak lainnya. Pendidikan sama sekali bukan satu hal yang sederhana, mudah diolah dan bisa dengan sekejap dipahami. Dengan demikian, apabila pengelolaan pendidikan tidak dilakukan dengan pendekatan yang hati-hati secara tepat dan sesuai dengan kompleksitasnya, semestinya pendidikan juga berpotensi memunculkan banyak masalah. Walaupun dari sisi sebaliknya, pendidikan berpotensi menyelesaikan berbagai masalah kalau pertama-tama ia bisa dipandang secara tepat dan menyeluruh (holistik). Cara pandang, paradigma atau mind-set menjadi pijakan yang menentukan bagaimana kemudian kita bisa mengambil sikap dan tindakan (action) dalam konteks mengelola pendidikan.

Sejauh pengamatan selama ini, di republik ini tampaknya hampir segala permasalahan didekati dan dipandang dengan sudut pandang yang simplistik dan parsial. Hal ini sepertinya terjadi di semua level, dari pembuat keputusan dan penentu kebijakan (level birokrasi), lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan, masyarakat, guru, orangtua murid. Masing-masing tampaknya punya kesulitan untuk memandang persoalan pendidikan secara tepat.  

Contoh sederhana – situasi yang sejak dulu kita alami – adalah bagaimana pemerintah memberlakukan Kurikulum Nasional, di mana segala sesuatunya distandarisasikan. Mulai dari materi – kurikulum, buku pegangan, tema, panduan pembelajaran, segala sesuatu ditentukan pemerintah – dengan sudut pandang meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini dilakukan tanpa meninjau lebih dalam substansi dan implikasi dari apa yang ditetapkan. Secara sepintas standarisasi merupakan solusi yang tepat untuk membangun pendidikan yang berkualitas. Tapi implikasinya luar biasa besar, karena di dalam pendidikan, banyak permasalahan yang perlu ditelaah sesuai konteksnya, banyak hal yang sifatnya kualitatif, dan tidak bisa dengan mudah distandarisasi. Contohnya, saat keberhasilan pendidikan hanya dipahami sebagai jumlah peserta didik yang lulus sekolah formal, memegang ijazah atau melek huruf - sesederhana itu - maka akan banyak hal penting bahkan esensial yang kemudian hilang dan terabaikan. Bahayanya, kita semua merasa proses pendidikan sudah berhasil dijalankan dan hasilnya seakan berkualitas, tapi karena substansi pendidikan yang sesungguhnya tidak tersentuh tentunya dengan segera bisa disimpulkan bahwa upaya pendidikan yang dijalankan adalah gagal.

Seragam nasional - salah satu contoh favorit saya - adalah salah satu contoh pendekatan simplistik. Kebijakan ini diterapkan pemerintah untuk ‘menghilangkan persepsi perbedaan’ di kalangan siswa. Tujuannya adalah supaya semua pelajar – di manapun juga – tampil serba sama. Walaupun kita tahu bahwa hakekatnya, perbedaan itu tetap ada dan sangat perlu dipertanyakan apakah perbedaan itu perlu dihilangkan? Apakah kecerdasan para siswa bisa dikelabui dengan cara ini, tentunya tidak. Secara substansial, kalau bicara pendidikan, semestinya yang dilakukan para pendidik adalah mengajak peserta didiknya untuk menerima dan menghargai perbedaan. Bagi mereka yang lebih mampu, kepekaan sosial dan empati adalah hal yang perlu ditumbuhkan. Sebaliknya bagi para murid yang secara ekonomi memang terbatas atau tinggal di pelosok, tantangan pendidikan bagi para guru adalah bagaimana membangun percaya diri dan keyakinan bahwa dengan belajar dan berusaha mereka bisa maju dan menjadi cerdas dalam konteks kehidupannya di desa.

Bagai satu kepingan dari satu gambar besar kehidupan bangsa dan bernegara, masyarakat pedesaan juga punya posisi dan kepentingan eksistensinya tersendiri – seperti halnya masyarakat yang hidup di perkotaan. Anak-anak yang tinggal di tepi rimba harus belajar dan menyadari adalah menjadi tugasnya untuk menjaga kelestarian rimbanya. Apakah setiap anak Indonesia harus paham bagaimana mengerjakan soal2 kalkulus, tentunya tidak. Sebaliknya kita butuh anak-anak Indonesia yang betul-betul memahami bagaimana seluk beluk rimba di tempatnya tinggal, bagaimana keragaman hayatinya, dan bagaimana menjaga kelestariannya agar membawa manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan banyak orang. Bahwa anak-anak tersebut tidak bisa berbahasa Inggris atau mengoperasikan komputer, tentunya itu tidak membuat mereka menjadi lebih bodoh dan tidak bernilai.

Masalah dan kebutuhan pendidikan bagi anak jalanan, bagi anak di kota besar, bagi anak2 rimba ataupun yang hidup di gunung – dan sebaliknya di pesisir, tentu berbeda. Berbeda karena kebutuhan dan situasi kehidupan mereka berbeda. Kita tentu sepakat bahwa pendidikan adalah hak untuk semua, tapi apakah sasaran dan tujuan pendidikan harus disamakan untuk semua? Tentunya tidak. Tujuan pendidikan, kalau bisa didefinisikan sederhana sebagai upaya meningkatkan kemampuan individu mengolah kehidupannya menjadi lebih baik, tentunya hal ini tidak bisa dilepaskan dari konteks kehidupan para peserta didiknya. Bisa dibilang, upaya pendidikan dimanapun harus dimulai dari sudut pandang dan pijakan yang sangat lokal. Bagi anak jalanan, kehidupan jalanan tentu adalah pijakan dasarnya – konteksnya. Bagi anak di desa, kehidupan di desa adalah situasi kehidupan nyatanya dan ini mutlak menjadi konteks pembelajarannya agar proses belajar anak2 berakar dan punya makna. (Dalam prosesnya, di satu titik tertentu bagi peserta didik tertentu, konteks pembelajaran bisa dan perlu berkembang menjadi lebih luas, bisa menjadi nasional, bahkan global.)

Sejauh apa yang saya pahami lewat diskusi dengan teman2, berkunjung ke beberapa sekolah maupun komunitas / kelompok non formal, dari mengalami, mengamati dan berusaha memahami seujung kecil dari samudera pendidikan, saya yakin persoalan pendidikan tidak mungkin diatasi dengan pendekatan atau cara pikir simplistik. Tidak ada cara mudah atau sederhana di dalam pendidikan. Kenapa demikian, jawabannya mudah. Karena manusia secara individual adalah entitas ciptaan Tuhan yang maha kompleks. Tempatkan manusia di dalam konteks sosial dan ekologinya, di dalam masyarakat dan lingkungan tempat tinggalnya, kompleksitasnya dengan sendirinya menjadi berlipat-lipat. Sistem pendidikan yang dibangun – dalam skala nasional, tentunya menjadi sangat kompleks.
Dalam skala lokal, sebetulnya bisa sangat sederhana. Saya kira penyelenggaraan pendidikan justru akan lebih berhasil apabila pemerintah berperan mengelola segala kerenikan lokalitas masyarakat kita dalam satu sistem pendidikan yang sifatnya memberdayakan lokalitas setiap daerah. Belum lama ini, Departemen Pendidikan Nasional kembali berubah nama menjadi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kebudayaan daerah yang begitu kaya dan beragam adalah sumber luar biasa bagi proses pendidikan masyarakatnya. Konsep-konsep otonomi pendidikan bisa sangat nyata diwujudkan di sini.

Buat kita, penting untuk kita sadari bahwa kita semua adalah output / keluaran dari proses pendidikan simplistik yang selama ini kita terima. Masyarakat kita adalah masyarakat yang pola berpikirnya simplistik, dan oleh karenanya tidak pernah pikir panjang – dan sulit berpikir komprehensif – sebagai hasil pola pendidikan yang dulu kita terima. Ke-instan-an sebagai salah satu dampaknya adalah suatu pola yang jadi biasa. Ingin serba cepat dan tidak sabar berproses. Kemudian soal dampaknya, bagaimana nanti… Hal itu yang terus terjadi. Dikombinasikan dengan budaya yang serba mementingkan kemasan dan penampilan, lengkaplah sudah kelemahan mendasar masyarakat kita. Saat pola pikir ini juga dibawa dalam pola-pola membangun sistem pendidikan bagi bangsa ini, kita akan terus terperangkap dalam situasi yang serba sama, terjebak dalam pusaran permasalahan bangsa yang itu-itu juga. Saya kira kesadaran ini penting dibawa oleh siapapun yang mengelola pendidikan dalam berbagai skala dan tingkatan, dari mulai pemerintah sampai keluarga. Dari kesadaran itulah kita punya harapan untuk bisa keluar dari pola pikir simplistik yang terus menjebak bangsa kita dan menghambat kita semua untuk maju.