Wednesday, January 19, 2011

sekilas tentang pendidikan karakter

Posting ini aku kopi dari email aku merespon pertanyaan seorang teman (Elly) mahasiswa UPI. Kebetulan sudah lama ingin menulis pendidikan karakter. Kebetulan ada pemicunya. Pertanyaan dan jawabannya ada di bawah ini.

Hallo, ka Andi punten mengganggu dan mau bertanya.
sekarangkan sedang booming pendidikan berkarakter. menurut ka Andi seperti apa pendidikan karakter itu dan bagaimana realisasi dilapangannya?
Nuhun pisan atas jawabannya
____________________

Ely, ini pertanyaan bagus yang kalo dijawab tertulis bisa berlembar-lembar.
Beberapa poin penting ya.
Buat kami di Semi Palar, pendidikan karakter adalah sasaran utama dari proses pendidikan seseorang. Kenapa begitu, karakter positif adalah segala sesuatu yang penting untuk menjadi manusia. Kalau kita ditanya dan diberi pilihan sederhana, kalau anak anda besar nanti, anda ingin anak anda seperti apa? Jadi orang baik atau jadi orang pintar? Saya pribadi, dan saya kira buat kita semua ini bukan pertanyaan yang sulit untuk dijawab : kita ingin anak2 kita jadi baik. Manusia yang sekedar pintar, kalau tidak baik sifatnya, akan memanfaatkan kepintarannya untuk keuntungannya sendiri. Manusia yang baik, walaupun tidak pintar, paling tidak ia tidak akan merugikan lingkungannya, dan sebaliknya sangat mungkin ia akan membawa kebaikan bagi lingkungan sekitarnya.

Yang pasti pendidikan karakter tidak bisa disampaikan dalam satu bidang studi seperti halnya matematika.
Pembentukan karakter itu prosesnya panjang. Karakter diasah lewat pengalaman nyata sedikit demi sedikit hari demi hari.  Karakter itu terbentuk (tidak bisa diajarkan) melalui setting2 sederhana, suasana dan pengondisian dan beragam bentuk interaksi yang sangat sehari-hari. Karakter yang baik ini juga perlu banyak dilihat anak secara langsung lewat contoh; anak-anak kita sangat perlu mendapatkan banyak inspirasi. Masalahnya buat kita, jaman sekarang inspirasi adalah sesuatu yang sangat sulit ditemukan. Apa yang ada di layar kaca dan media adalah hal2 yang justru sebaliknya : perebutan kekuasaan para politisi, korupsi para birokrat, kerakusan pengusaha, dan selingkuhan atau kawin cerainya para selebritis...

Apa dampaknya situasi di sekolah bagi perkembangan karakter masyarakat, saya coba beri contoh sederhana:
  •       penggunaan penghapus dan Tipp-Ex di sekolah: karena guru ingin hasil anak rapi dan tidak ada kesalahan. Tanpa disadari anak akhirnya didorong menghapus atau menutupi kesalahannya dan memberikan jawaban atau perbaikan di atasnya. Karakter apa yang dihasilkan dari setting ini? Kita lihat orang2 Indonesia punya karakter-karakter jelek : tidak pernah belajar dari kesalahannya, tidak terbuka atas kesalahan2nya dan sebaliknya sangat pandai menutup-nutupi kesalahannya. Bisa kelihatan kan hubungannya? 
  •       Mewajibkan anak-anak memakai seragam nasional, yang membuat semua anak tampil serba sama di desa dan di kota, anak yang punya dan tidak punya. Mungkin maksudnya supaya tidak menonjolkan perbedaan, tapi akhirnya masyarakat kita justru sangat alergi terhadap perbedaan. Seharusnya anak desa harus dididik tetap bangga sebagai anak desa, karena Tuhan-lah yang menentukan seorang anak lahir di desa, di tengah keluarga dan masyarakatnya. Anak kota harus dididik tetap rendah hati. Dia tidak menjadi lebih baik karena lahir dan tinggal di kota dan sebaliknya harus mampu menghargai saudaranya yang tinggal di desa. Kalau dari tinjauan pendidikan holistik, hal ini berkaitan dengan kesadaran diri, bahwa kalau seseorang menyadari dirinya lebih mampu, tentunya ia punya ‘tugas’ lebih daripada mereka yang kehidupannya serba pas-pasan. Kemudian dari aspek spiritualitas, tentunya Sang Pencipta punya maksud menciptakan setiap individu dengan situasinya masing-masing. Jadi orang desa atau lahir di pedalaman adalah sama-sama anugerah luar biasa dari Sang Pencipta. Saya kira ini bagian erat dari pendidikan karakter.
Pola-pola pendidikan kita selama ini sangat membentuk karakter masyarakat kita. Masyarakat di desa sangat minder dan rendah diri… Saya pernah lihat sekolah di desa tapi anak-anaknya bersekolah pakai kemeja putih, dasi kupu-kupu, pakai rompi. Seperti anak2 di kota. Berapa biaya yang harus dikeluarkan orangtuanya untuk membeli seragam tersebut padahal apa yang mereka kenakan (pakaian) sangat tidak mencerminkan proses pembelajaran yang mereka jalani. Semua serba penampilan. Yang penting tampil dengan kemasan yang hebat, padahal belum tentu ada isinya… Ini juga pendidikan karakter. Kalau guru2 di desa mendidik mereka apa adanya, mensyukuri situasi dan kondisi mereka, belajar dari lingkungan kehidupan nyatanya, menelaah mana yang masih kurang dan belajar untuk berproses membuatnya lebih baik, saya kira di situlah letak pendidikan yang sejati

Kalau dibahas soal ini tidak habis-habisnya… Nasionalisme adalah juga bagian, bahkan merupakan bagian penting dari karakter. Cinta budaya sendiri adalah karakter. Tapi dengan metoda pengajaran yang diterapkan semua jadi melenceng. Kalau Muatan Lokal Kebudayaan diterjemahkan menjadi pelajaran bahasa Sunda yang akhirnya membuat (hampir semua) murid benci pelajaran bahasa Sunda, tentunya pendidikan kita sudah salah arah. Sama halnya dengan upacara bendera… Kalau disurvey, berapa banyak anak sekolah yang bangga dan antusias dengan upacara bendera, mungkin hanya hitungan jari, dan kita bisa paham kenapa  masyarakat kita sangat tipis nasionalismenya .

Begitu Ely, pendapat saya. Ini hasil olahan dan observasi saya pribadi. Tapi rasanya kita bisa mengambil korelasinya, bahwa situasi masyarakat kita, secara ekonomi, sosial, budaya, agama, politik, lingkungan hidup yang saat ini semuanya serba sangat mengkhawatirkan, berakar pada pola pendidikan yang selama ini diterima masyarakat (anak-anak) kita di dalam proses pendidikan mereka…Bicara tentang pendidikan karakter, pijakannya adalah memang murni pendidikan. Kalau pola-pola persekolahan kita masih beranjak dari pola-pola pengajaran, kita akan bisa tebak bagaimana ujungnya.

No comments: