sekedar meninggalkan jejak... refleksi atau pemikiran atas pengalaman dan pembelajaran saya senang berbagi mengenai pembelajaran dan pendidikan, budaya, lingkungan hidup atau spiritualitas... di antara hal-hal lain. saya tuliskan saat saya punya waktu di antara berbagai kegiatan saya di Rumah Belajar Semi Palar (www.semipalar.sch.id). Semoga bermanfaat.
Sunday, February 28, 2010
Bapak Tua Penjual Lahang
Hari ini aku jumpa dengan seorang bapak tua penjual lahang. Di bawah bayangan pepohonan, saat matahari pagi menerobos sela2 dedaunan di salah satu tempat di Taman Hutan Raya Juanda. Hari masih pagi, masih sepi. Begitu melihatnya aku segera menghampirinya dan meminta Bapak itu untuk menuangkan segelas Lahang untuk dinikmati. Manisnya, segarnya, dinginnya, Lahang terasa begitu nikmat, apalagi aku dan teman bersepedaku Murfy baru saja selesai mengatasi tanjakan dari awal Jalan Dago sampai ke Tahura.
Tidak ada tujuan khusus hari ini aku mengunjungi Tahura, selain sebuah tujuan bersepeda yang lumayan menantang kemampuan fisik, lokasi ini aku sangat aku sukai karena suasananya yang menyenangkan. Hutan, pohon-pohon besar, suara burung, udara segar, kabut, sinar matahari di antara pepohonan sekarang jadi barang mewah saat tinggal di kota sangat menjauhkan kita dari hal-hal tadi... Tujuan kedua adalah menemani kakak2 Smipa survey lokasi untuk tujuan outing anak2 Semi Palar beberapa waktu ke depan.
Hari ini, karena tanpa tujuan spesifik, akhirnya kitapun ngobrol sama bapak tua tadi... (konyolnya, aku kok ga sempat menanyakan namanya). Bapak penjual lahang, yang memang dilahirkan di daerah sekitar pakar, sudah cukup lama berjualan lahang. Minuman dari tumbuhan aren tadi diambilnya dari lokasi yang cukup jauh dari tempatnya berjualan. Beliau hanya membawa satu wadah, satu tabung panjang yang dibuat dari awi gombong, diberi pegangan dan di bagian mulutnya ditutup segumpal ijuk yang juga berfungsi jadi filter. Satu tabung bambu itu hanya memuat lahang untuk sekitar 20 gelas. Segelas lahang, dijualnya dengan harga Rp. 1.500,- saja.
Kalau kita asumsikan dagangan beliau laris setiap hari, beliau mendapatkan 30.000 rupiah. Karena bapak ini hanya berdagang hari Sabtu dan Minggu saat banyak pengunjung, beliau hanya berjualan delapan kali setiap bulan. Maksimalnya, beliau hanya mendapatkan 240.000 rupiah perbulannya. Tidak banyak, sungguh tidak banyak.
Beliau tampak senang diajak mengobrol, dan agak malu-malu saat aku mengambil beberapa gambarnya. Di tengah-tengah obrolan dan pertanyaan-pertanyaan kami, beliaupun 'curhat', katanya (dalam bahwa Sunda) "yah Neng, dagangan ini mah kadang abis, sering juga ngga... udah ga banyak yang tau minuman seperti ini mah, karena ga tau, ya ngga beli". Aku beruntung waktu kecil orangtuaku pernah beberapa kali mengajak aku minum minuman ini saat bepergian ke luar kota. Kalau aku ga pernah tau, mungkin aku juga ga akan pernah ingin mencoba, atau malah mencari minuman lain saat di warung-warung dijual berbagai minuman bermerek yang dikemas lebih menarik dan dipromosikan terus di mana-mana .
Lalu bagaimana dengan bapak ini sebenarnya. Seorang yang memanfaatkan kekayaan alam hanya seperlunya, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sekedarnya. Satu wadah lahang itu diperolehnya dari 2 pohon saja. Tidak ada keserakahan atau hasrat berlebihan yang akhirnya eksploitatif... Sementara kita lihat begitu banyak orang2 yang berupaya menguasai alam, mengambil kekayaan alam untuk keuntungan pribadi semata. Hutan-hutan industri, pencurian kayu, pertambangan... Industri2-industri besar yang 'sepertinya' tumbuh untuk 'menjawab' kebutuhan konsumsi manusia yang sekarang ini menggila. Hal ini juga yang akhirnya menjadi penyebab kerusakan alam lingkungan dan berefek lanjut kepada krisis iklim global sekarang ini.
Dari sisi lain, Bapak tua ini seperti juga bagian dari sejarah... sisa-sisa masa lalu, seperti gua Jepang dan gua Belanda yang menjadi jejak sejarah perjuangan masa lalu di tempat ini. Minuman sederhana dan bapak tua pedagangnya ini seperti bagian dari museum hidup yang membuat kita bisa merefleksikan masa lalu kita saat belum ada Buavita dan Fanta, Teh Botol ataupun minuman2 instan lainnya... Apakah hal langka ini akan segera punah dan hilang dari ingatan kolektif kita aku tidak tahu. Semoga obrolan kecil ini jadi motivasi juga buat beliau untuk terus melakukan apa yang sekarang dilakukannya.
Saat kamipun beranjak pergi, aku hanya bisa berharap, Bapak ini masih ada di sana menjual lahang saat aku kembali. Aku pasti akan kembali untuk menyapa dan menikmati segelas kecil Lahang. Dan pertama-tama aku akan menanyakan namanya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment