Monday, August 6, 2012

Belajar Mengenal, Mengalami dan Menghayati Kebudayaan, Tinjauan Kritis terhadap Pelajaran Bahasa Sunda

Belajar mengenal, mengalami dan menghayati kebudayaan... Sudah lama wacana seputar ini berputar-putar di benak saya. Di berbagai kesempatan yang hadir, di dalam forum-forum dan bincang-bincang dengan berbagai kenalan, saya selalu mencoba menemukan sebetulnya apa dan bagaimana ihwal kebudayaan ini semestinya dihantarkan ke anak-anak kita di sekolah. Di kalangan birokrasi pendidikan, ini dikenal sebagai Mu-Lok (Muatan Lokal) Budaya. Di Jawa Barat khususnya, di sekolah, muatan kurikulum ini diterjemahkan sebagai Pelajaran Bahasa Sunda.

Dalam prakteknya sejak hal ini diterapkan, saya banyak melihat begitu mubazirnya upaya pendidikan ini. Kenapa mubazir, sederhana saja, karena banyak sekali siswa yang pada akhirnya benci Bahasa Sunda. Saya kira bukan Bahasa Sunda-nya yang salah, tapi pendekatan yang digunakan untuk menghantarkan salah satu aspek kebudayaan ini ke dalam alam belajar anak-anak kita.

Lalu suatu sore di wall facebook saya, seorang teman Sinta Ridwan memampang posting yang berbunyi begini:
Mengundang Bapak/Ibu/Saudara untuk menghadiri Talkshow Budaya, sebagai putaran ke-2 di Bandung dari 5 Kota di tanah air, dengan TEMA  : 
‘Nilai Warisan Budaya dalam Kajian Pengembangan berwawasan Pelestarian di Jawa Barat’

Penyelenggara : Komunitas Gambara  bekerja sama dengan majalah Warisan Indonesia.


Sore itu akhirnya sayapun menyempatkan hadir di pertemuan itu. Forum ini sebetulnya adalah forum sosialisasi kompetisi fotografi yang bertemakan kebudayaan - yang diinisiasi oleh majalah Warisan Indonesia. Pembicara di forum sore itu adalah tokoh-tokoh yang belum saya kenal sebelumnya, kecuali Prof. Bambang Sugiharto. Seperti biasa saya menyempatkan hadir untuk menemukan jawaban. Siapa tahu ada jawaban-jawaban yang mampir atas berbagai pertanyaan yang selama ini mondar-mandir di benak saya.

Kebudayaan adalah hal maha penting dalam kehidupan manusia di dalam masyarakat. Selain penting, keduanya juga semestinya tidak terpisahkan. Dalam perjalanannya, masyarakat tanpa disadari mengambil jarak terhadap apa yang disebut kebudayaan. Bukan lagi masyarakat yang salah, karena masyarakat sekedar ikut arus perkembangan peradaban yang ada. Tapi kita perlu bertanya, kenapa di banyak negara di dunia, kebudayaan asli yang tumbuh di dalam dan bersama masyarakat masih tetap tumbuh subur dan terpelihara, tapi tidak di Indonesia. Saya melihat bahwa ini adalah bagian dari keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah dalam memahami, memandang dan kemudian menempatkan kebudayaan dalam proses berkehidupan bangsa Indonesia. Kalau kita masih ingat, belum lama berselang, hal ihwal kebudayaan di Indonesia dikelola oleh Departeman Kebudayaan dan Pariwisata. Tentunya tidak salah kalau masyarakat akhirnya memandang kebudayaan hanya sebagai hal-hal yang bisa dijual sebagai komoditas pariwisata.Entah apa juga yang pada tahun 2012 mendorong berubahnya nama Kementrian Pendidikan Nasional kembali menjadi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada prakteknya, di bawah pak Menteri, kedua bidang ini dikelola terpisah oleh dua orang wakil menteri...

Kembali ke masalah MuLok Budaya, di Bandung, implementasi Mulok di sekolah-sekolah pada umumnya berangkat dari instruksi kepala daerah, dalam hal ini SK Gubernur. Walaupun kita sepaham bahwa pengenalan budaya itu penting, saya kira solusinya tidak sesederhana itu. Kalau para penyelenggara pendidikan paham arti pentingnya memahami kebudayaan lokal, tanpa instruksi gubernur-pun, sekolah-sekolah akan menghantarkannya kepada para muridnya. Sebaliknya, kalau tidak paham esensi apa sebetulnya yang menjadi landasan berpikir di belakangnya, sekolah-sekolah sekedar menjalankan SK gubernur, mengajarkan pelajaran Bahasa Sunda kepada murid-muridnya. Dengan segala hormat, Bapak Gubernur, segala sesuatu di dalam ranah pendidikan tidaklah sesederhana menuliskan selembar Surat Keputusan. Keberhasilan pendidikan sangat bergantung pada pemahaman mendasar para pelaksananya.  Lebih penting lagi bagaimana cara yang akan digunakan untuk menghantarkannya. Saat berbeda frekuensi antara pemancar dan penerima, pesan yang ditransmisikan tidak akan tersampaikan / diterima dengan baik. Kalau hal-hal semacam ini lewat dari perhatian kita, hampir bisa dipastikan, upaya-upaya yang dilakukan menjadi mubazir.

Salah satu kunci keberhasilan kita untuk menghantarkan anak-anak kita mengenal budaya / tradisi lokal adalah dengan memahami konteks kehidupan anak-anak kita sehari-hari. Kebetulan jawaban atas pertanyaan saya ini saya temukan di forum ini - lewat pernyataan mas Bambang yang kira-kira bunyinya begini, bahwa, "Anak-anak kita dewasa ini, tidak lagi hidup dalam tradisi ke-Sunda-an." Saya kira mas Bambang bicara dalam konteks anak-anak kita yang hidup di kota Bandung - kota yang nyaris metropolitan di jaman sekarang ini. Memang demikianlah adanya. Saya sering mengungkapkan bahwa bagi anak-anak kita ini, Bahasa Sunda adalah sesuatu yang lebih asing dari Bahasa Inggris. Sederhananya, persentuhan mereka dengan Bahasa Inggris - lewat media apapun - jauh lebih intens daripada persentuhan mereka dengan kebudayaan asli yang dilahirkan oleh tempat di mana mereka tinggal - di Tatar Sunda, misalnya. Bagi mereka, belajar Bahasa Sunda seakan justru membawa mereka menjauh mereka dari pola kehidupan yang mereka jalani sehari-hari.

Umtuk mencapai sasaran pendidikan bagi anak-anak kita memahami dan menghayati kebudayaannya, saya kira kita perlu mengembangkan cara-cara yang lebih canggih (sophisticated) daripada sekedar mengaturkan jam pelajaran di sekolah - sebagai contoh - Bahasa Sunda. Kemudian guru mengajari mereka apa dan bagaimana Bahasa Sunda dari satu buku paket ke buku paket lainnya. Pertama-tama secara sederhana tentunya kita ingin menghindari bahwa apa yang kita kerjakan menjadi mubazir karena metode yang tidak tepat.

Kedua, justu karena kita meyakini bahwa kesadaran budaya adalah sesuatu sesuatu yang penting sebagai bagian dari kesadaran diri mereka secara utuh. Dari sudut pandang spiritualitas, kita mestinya meyakini bahwa kelahiran manusia di suatu tempat di muka bumi ini, memiliki suatu makna. Kita perlu memfasilitasi anak-anak kita untuk bisa memaknai kenapa mereka dianugerahi kehidupan di tanah di mana ia dilahirkan. Hal esensial berikutnya adalah membantu anak mengenal identitasnya, mengenal 'akar' kehidupan mereka. Kalau kita memahami betul lokalitas kita sebagai bagian dari identitas diri kita, barulah kemudian eksistensi kita menjadi berarti, karena kita menjadi bukan sembarang orang yang tidak jelas asal-usul dan akarnya - kita menjadi serupa seperti sekian miliar orang lainnya di muka bumi ini...

Lalu bagaimana cara mencapainya? Pengembangan metode adalah kata kunci yang pertama. Saya berpendapat bahwa bagi kita yang tinggal di dunia yang semakin modern dan serba terkoneksi secara global, tradisi dan kekayaan lokal adalah warisan kekayaan yang luar biasa - dan karenanya perlu kita jaga. Caranya bagaimana adalah dengan merayakan kebudayaan kita tersebut (celebrating our culture). Karena kebudayaan itulah yang menjadi bagian terpenting dari ciri dan acuan eksistensi diri kita di dalam pergaulan yang sangat global saat ini. Hal inilah yang dilakukan oleh negara-negara maju yang sangat memegang teguh kebudayaannya. Mereka tidak henti-hentinya merayakan kebudayan mereka. Disadari atau tidak negara-negara yang melakukan inilah yang berhasil terus menjaga eksistensi mereka di kancah global. Saya yakin, di level individual berlaku hal yang sama. Kalau sekolah-sekolah kita bergerak dari paradigma merayakan kebudayaan, alih-alih mengajarkan bahasa daerah, saya yakin kebudayaan kita akan sangat terjaga eksistensinya. Anak-anak kita akan memandang kebudayaan lokal mereka sebagai sesuatu yang berharga dan bernilai tinggi, bukan sebagai sebuah beban.

Kata kunci yang kedua adalah membangun kesadaran. Awareness. Membangun kesadaran bahwa dalam dunia yang semakin global, lokalitas menjadi semakin tinggi nilainya. Dalam penjelasan yang sederhana, semua orang akan bisa bicara bahasa Inggris, tapi suatu waktu, orang-orang yang menguasai Bahasa Sunda (atau aspek kebudayaan lainnya) akan menjadi langka dan semakin dicari dan dibutuhkan. Dalam lansekap global, hanya ada dua hal yang tidak bisa diduplikasi dan direproduksi yaitu keunikan ekologis atau kerenikan sebuah kebudayaan. Dua hal ini akan memang sangat lokal sifatnya. Untuk melihat / menikmatinya, kita harus datang ke lokasi tertentu di manapun di dunia untuk dapat menikmati secara orisinal hal-hal tersebut. Fenomena ini diulas secara khusus oleh John Naisbitt dalam bukunya Global Paradox.

Sebagai penutup, tulisan ini adalah kesimpulan sementara dari proses pencarian saya yang sudah cukup panjang. Bagi saya pribadi, yang berketurunan Cina, lahir di Bandung dari orang tua (bahkan Kakek Nenek) yang lebih fasih berbahasa Belanda daripada Tionghoa dan menganut agama Katolik, persoalan akar, kebudayaan dan identitas sempat menjadi pertanyaan besar buat saya. Saya kira, pendidikan punya peran besar dalam hal ini. Apalagi kita hidup di Indonesia yang berBhinneka Tunggal Ika. Semoga bagi anak-anak kita, keberagaman yang begitu luar biasa di negeri Indonesia ini betul-betul bisa menjadi kekayaan yang tak ternilai bagi kehidupan mereka di era global ini...



2 comments:

al_irwan@yahoo.com said...

andi, ijin urun pendapat:

1)
"budaya" lebih sederhana manakala ia diperlakukan sebagai kata kerja, bukan kata benda...
buat dikerjakan, bukan buat dibicarakan...

2)
"budaya" mengandung substansi yang universal, muncul dalam beragam bentuk menurut tanah dimana ia tumbuh.
"mu-lok" jadi salah kaprah karena dia hadir sebagai kembang plastik yang tak pernah ditumbuhkan di tanahnya dan tak disemai dari bibit substansi yang universal tadi.

*) pendapat ini sebetulnya cuma penyederhanaan dari bahan semasa kuliah, dari asas-asas perancangan dan apres-bud (terutama buku van peursen)

obat jelly gamat said...

info yang sangat bermanfaat sekali buat di simak