Monday, June 18, 2007

Dialog Publik 'Reinterpretasi Pancasila'

18 Juni 2007 - Gedung Indonesia Menggugat
Memperingati hari lahirnya Pancasila 18 Juni 1945













Hari gini? Siapa yang masih bicara Pancasila?
Tapi undangan ini saya tidak ingin lewatkan. Pertemuan Senin ini 18 Juni 2007 diselenggarakan di gedung Landraad, yang sekarang diberi nama Gedung Indonesia Menggugat. Saya termasuk orang yang beruntung berkesempatan beberapa kali diundang dan saya memang menyempatkan hadir di bangunan bersejarah ini untuk beberapa acara.

Dalam dialog kali ini hadir dua pembicara: Bpk Hidayat Nur Wahid, ketua MPR RI, dan Taufik Rahzen, seorang budayawan. Pembicara kedua, kang Taufik sudah sempat saya kenal dan sempat ikuti lewat beberapa forum sebelumnya. Seseorang yang luar biasa cerdas, analisis-analisisnya banyak muncul melalui sudut-sudut pandang yang tidak terduga. Lalu bapak ketua MPR ini : seseorang yang ingin saya kenal lebih jauh, secara langsung di dalam forum ini. Seperti apa beliau sebenarnya. Dialog ini dimoderatori oleh kang Aat Soeratin.

Lalu apa sih dan bagaimana sebetulnya dialog ini? Kenapa kita bicara Pancasila? Sesuatu yang jangan-jangan sudah lepas dari genggaman memori kolektif bangsa kita? Jangankan anak-anak ABG kita. Seperti yang diungkapkan Ipong Witono, saat pembukaan dialog : jendral-jendral kita pun sekarang ini sudah enggan bicara Pancasila. Mungkin justru itu alasannya bahwa kita memang harus lagi mulai berani dan menggali di mana kita meletakkan Pancasila dalam kerangka hidup kita. Karena bagaimanapun kita adalah bangsa Indonesia yang hidup di tanah air - negara Indonesia. Sebagai sebuah landasan filosofis, Pancasila seharusnya kita betul-betul pahami hayati dan jadi pedoman kehidupan berbangsa bernegara Indonesia.

Saya pribadi? Buat saya nasionalisme adalah sesuatu yang sangat penting. Saya kira rasa bangga saat bendera Indonesia dikibarkan, namanya diucapkan dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan adalah bagian penting dari kesadaran diri kita. Saya harap juga anak-anak saya menjadi besar dengan nasionalisme yang juga mantap di tengah apa yang disebut-sebut dengan globalisasi sekarang ini. Sebagai bagian dari upaya memahami kenapa kita dilahirkan di tengah bangsa dan di dalam negara Indonesia, tentunya.

Acara dibuka seperti biasa dengan lagu Indonesia Raya. Tapi seperti yang selalu saya alami di dalam komunitas ini, lagu Indonesia Raya tidak pernah mewujud biasa. Selalu punya makna. Ada rasa bangga, rasa haru luar biasa yang terasa. Entah berapa ratus kali saya mengikuti upacara bendera, tapi di komunitas ini, di ruangan ini, diiringi kibaran bendera merah putih oleh Imam Suryantoko, lagu Indonesia jadi punya makna yang mendalam. Entah mungkin ura ruangan dan bangunan ini bicara juga.

Dari apa yang sempat saya rekam intisarinya,
Memang sangat relevan kalau kita bicara lagi soal Pancasila justru hari ini. Dasar-dasar, prinsip dasar berbangsa dan bernegara yang diuraikan melalui lima sila Pancasila menjadi acuan refleksi luar biasa buat kita semua. Seperti kata Hidayat Nur Wahid, sudah bukan waktunya lagi kita mempertanyakan Pancasila, tapi waktunya kita mempraktekkan Pancasila. Selama ini Pancasila hanya jadi lambang, jadi jargon, dan sila-silanya tidak pernah kita hayati betul, kita maknai dan kita laksanakan. Dasar dasar berbangsa dan bernegara yang diletakkan oleh para founding fathers (dan mothers) dulu kalau kita hayati luar biasa bijaksana. Dan segala permasalahan bangsa yang sekarang muncul seharusnya tidak perlu ada saat setiap individu menghayati dan mengamalkan Pancasila (nah ini klise kan?) tapi kenyataannya memang tidak pernah demikian.

Dari kang Taufik, beliau menganalisis siklus perjalanan sebuah bangsa yang berjalan dalam siklus 30 tahunan. Mulai dari tahun 1908, 1938 (puncaknya kemerdekaan Indonesia tahun 1945), 1968 (era orde baru), 1998 (saat reformasi bergulir) dan siklus yang berjalan sekarang hingga tahun 2028 (100 tahun Sumpah Pemuda). Belajar dari sejarah peradaban lain, Indonesia juga sedang memasuki periode krisis. Dimana segala sesuatu yang dilakukan secara kolektif akan menentukan kelanjutan keberadaan bangsa ini. Ini membutuhkan kesadaran masyarakat yang semakin lama semakin kuat bahwa cara berpikir, bersikap dan bertindak secara individu akan menentukan juga kelangsungan bangsa dan negara, di mana kita hidup dari hari ke hari.

Seperti biasa, even-even semacam ini adalah kesempatan refleksi buat saya. Sekaligus juga berpikir tentang apa yang seharusnya bisa kita lakukan untuk hal-hal di luar diri kita. Ini baru berpikir, buat bertindak? Mudah-mudahan kita bisa...

No comments: