Monday, June 25, 2007

Pendidikan yang Punya Misi, Pembelajaran yang Punya Tujuan

Baru saja kita mengajak anak-anak masuk ke sebuah tema baru, setelah di semester ini anak-anak berkenalan dengan suasana desa melalui Desa Cilukba. Sebetulnya apa tujuan kita mengajak anak belajar dalam sebuah tema. Sebelum pertanyaan ini dijawab, kita coba tinjau dulu tentang bagaimana sistem pendidikan di Indonesia selama ini.

Visi dan Misi yang punya makna… inilah yang rasanya tidak pernah kita punya selama ini. Soal sekedar pernyataan visi dan misi kalaupun kita tanya ke Diknas, pasti akan bilang ada, kalau kita tanya ke sebuah lembaga pendidikan, saya yakin akan bilang punya. Tapi yang pasti tidak ada adalah bagaimana visi dan misi tersebut, orientasi dan tujuan diterjemahkan dan dihayati di setiap level, ke setiap unit sampai ke unit terkecilnya, pendidik, lebih jauh ke peserta didik dan lebih penting lagi punya makna dan bisa mereka hayati dalam proses pembelajarannya.

Kalau kita bicara tentang negara kita, dan sekian banyak permasalahan yang ada, logika kita yang sederhana seharusnya bicara bahwa visi dan misi pendidikan harus segera dirubah. Situasi krisis moneter, era reformasi membawa perubahan luar biasa dalam struktur dan dinamika masyarakat kita. Tapi kita lihat sekolah-sekolah kita, universitas kita adem ayem tenang-tenang saja menghadapinya, seolah ini bukan masalah mereka. Sebelum reformasipun, saya amati, lembaga pendidikan kita tidak pernah meletakkan situasi masyarakat yang nyata dalam perspektif pembelajaran mereka.

Coba kita tanya rektor, coba kita tanya dosen, coba kita tanya mahasiswa kita… apa visi misi lembaga pendidikannya? Lalu apa sebetulnya tujuan mahasiswa pergi ke kampus untuk belajar? Saya ragu mereka punya jawabannya. Kalaupun ada jawabannya, apa relevansi visi dan misi yang mereka punya terhadap situasi dan dinamika masyarakat yang ada. Kontribusi apa yang akan mereka bawa untuk membantu memecahkan masalah atau membantu membangun bangsa dan masyarakatnya.

Contohnya, Di bidang ekonomi? Kemampuan seperti apa yang diharapkan akan dimiliki para sarjananya… Bukan hanya sekedar meluluskan mahasiswa jadi sarjana ekonomi. Sejauh ini yang diajarkan adalah hanya efisiensi produksi dan penghematan biaya. Itu saja. Sementara akibatnya buruh dan pekerja ditekan, sumber daya alam dieksploitasi habis-habisan. Lalu apa inovasi kita di bidang ekonomi? Dari sekian banyak lulusan ekonomi yang dihasilkan, apa ada yang hasil studinya membuahkan pembaharuan di bidang ekonomi untuk rakyat. Di bidang pertanian? Kenapa semua buah-buahan kita impor? Kenapa buah-buahan yang dijual di swalayan berembel-embel ‘Bangkok’: Jambu Bangkok, Duren Bangkok. Kenapa kita sampai perlu mengimpor beras, kenapa sampai kita perlu mengimpor gula. Kabarnya bahkan kitapun harus mengimpor garam… Menyedihkan sekali…Di bidang lingkungan? Di bidang perhutanan?

Coba kita tanya jurusan arsitektur dan para pengajarnya (termasuk juga saya dulu), apa problematika bidang arsitektur yang ada di Indonesia lalu apa tujuan pendidikan arsitektur untuk situasional problematika kearsitekturan di Indonesia. Sejauh ini, kita hanya mampu meluluskan arsitek-arsitek yang mampu merancang bangunan (dan sekedar menuruti keinginan klien). Hanya itu… Apa kontribusinya ke permasalahan yang ada di masyarakat? Ini tanda tanya besar.

Akhirnya kita harus berani bicara pendidikan kita selama ini memang tidak menghasilkan apa-apa…

Yang dihasilkan selama ini adalah manusia-manusia yang menggenggam gulungan ijasah ditangannya tanpa tahu sedikitpun apa yang bisa mereka lakukan untuk masyarakat sekeluarnya mereka dari sebuah lembaga pendidikan. Bahkan yang kita lihat sekarang adalah pengangguran luar biasa dari jebolan-jebolan universitas kita, setelah masyarakat kita menghabiskan sekian banyak waktu, tenaga dan biaya mengirim anak-anaknya ke bangku sekolah dan ke kampus-kampus. Yang kita lakukan hanyalah sekedar membeli rasa aman saat menggenggam selembar ijazah yang ternyata juga semu.

Ternyata ini dibarengi tidak dimilikinya kemampuan untuk berkontribusi nyata untuk masyarakat, bahkan dalam banyak kasus juga tidak mampu untuk menolong dirinya sendiri.

Di akhir perang dunia ke II, setelah Jepang menyerah kalah dengan meledaknya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, kaisar Jepang mengumpulkan pejabat-pejabat pemerintahannya, dan pertanyaan pertama yang beliau kemukakan adalah “Berapa guru yang masih hidup? Berapa sekolah yang masih berdiri?”

Bercermin terhadap situasi kita sendiri, mengatasi permasalahan bangsa atau membangun cita-cita sebuah bangsa hanya mungkin dilakukan melalui pendidikan. Sedemikian pentingnyalah peranan pendidikan. Karena disitulah kita membangun kesadaran dan kemampuan kolektif generasi demi generasi untuk kemudian bangsa tersebut mencapai sesuatu tujuan. Kalau tidak demikian, lalu apa sebetulnya tujuan pendidikan?

Dengan 20% anggaran yang akan disisihkan pemerintah untuk pendidikan, apa yang hendak kita capai, apa yang akan kita lakukan? Misi, tujuan, dengan demikian adalah sesuatu yang luar biasa penting dalam penyelenggaraan kegiatan pendidikan. Lalu kalau kita ingin punya tujuan, dengan sendirinya kita juga perlu mendefinisikan visi, pandangan, orientasi. Orientasi yang jelas akan mengarahkan kita melangkah menuju ke tujuan tersebut. Dan kemudian baru kita harus menentukan bagaimana kita melangkah. Agar suatu saat bisa sampai ke tujuan tersebut.

Tujuan inilah yang perlu jadi konsensus bersama di segala level dan dijaga agar terus berorientasi mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi walaupun pemerintahan dijabat bergantian oleh individu yang berbeda. Kemudian, visi dan misi pendidikan harus juga bisa diterjemahkan ke setiap level penyelenggaraan pendidikan, di lembaga pemerintahan yang memfasilitasi masyarakat (Diknas) dari level pusat ke daerah dan kemudian juga di setiap lembaga pendidikan mulai dari pendidikan dasar ke pendidikan tinggi, swasta maupun negeri, formal maupun non-formal.


Kembali ke soal tema di anak-anak kita di Semi Palar. Kembali ke pertanyaan di awal, apa sebetulnya tujuan anak-anak Smipa belajar dalam sebuah tema. Jawabannya sederhana, anak-anak Smipa belajar dalam sebuah tema supaya punya tujuan. Ada sesuatu yang harus dicapai. Tujuan dan pencapaiannya akan memberikan makna kepada proses belajar anak-anak. Kalau proses pembelajaran punya makna, maka proses ini akan menginternalisasi dan menjadi bagian dari dirinya. Sehingga anak-anak mampu menghayati bahwa semua yang dialaminya hari demi hari memang berharga dan menjadi kepingan-kepingan dimana dia semakin membangun kemampuannya, membangun dirinya.


Apa yang kita alami dulu, kita belajar tahun demi tahun, sekian lama tanpa sedikitpun tahu atau menyadari betul apa tujuan kita belajar. Untuk apa kita menghafal nama-nama sungai? Untuk bisa menjawab pertanyaan ulangan. Untuk apa kita mengetahui bagian tubuh, supaya naik kelas. Untuk apa kita naik kelas dan nilainya baik, supaya kita bisa memperoleh ijazah dengan nilai yang baik… Hampir semua tujuan kita belajar didefinisikan oleh orang lain untuk alasan-alasan di luar diri kita.

Waktu kita kecil, orang-orang bilang kita harus sekolah supaya kita pinter. Dan kemudian setelah kita lebih dewasa, orang-orang bilang kita harus kuliah supaya bisa cari uang. Dan memang itulah yang terjadi, masyarakat kita tumbuh sekedar supaya bisa menghidupi dirinya sendiri. Jarang sekali kita mengalami orang-orang bilang kita harus belajar untuk bisa berguna untuk lingkungan di sekitar kita. Dan kalau kita lihat, itulah yang terjadi sekarang: masyarakat yang sibuk dan asyik dengan dirinya sendiri. Dan akhirnya tidak ada yang sadar, peduli dan mampu mengatasi permasalahan yang berkembang di masyarakat justru karena ketidak-pedulian individu terhadap segala sesuatu di luar dirinya.

Manusia adalah mahluk sosial, sehingga tidak bisa dilepaskan dari masyarakat lingkungannya. Kemudian manusia juga adalah bagian dari alam semesta, sehingga tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab terhadap alam lingkungannya. Manusia adalah mahluk ciptaanNya, sehingga tidak bisa dilepaskan dari alasan mendasar eksistensi manusia, kenapa kita diberi hidup olehNya… Akhirnya, manusia yang sadar akan (menemukan) tujuan hidupnya, dan kemudian menjalani tujuan hidupnya tersebut itulah manusia yang hidupnya akan punya makna.

Karena hidup harus punya makna, dengan sendirinya belajarpun harus punya makna, karena kita belajar untuk kehidupan, bukan untuk selembar ijazah. We learn to make a life, not just to make a living (kita belajar untuk hidup, bukan sekedar untuk mencari penghidupan).

Sekolah, pendidikan adalah bagian integral yang paling penting dari perkembangan sebuah bangsa. Bagaimana pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan didefinisikan oleh negara, akan sangat menentukan bagaimana masyarakatnya tumbuh dan berkembang. Kegagalan memahami tujuan pendidikan secara filosofis akan menghasilkan generasi-generasi yang invalid, dan tidak mampu mendukung bangsa dan negaranya untuk berkembang. Bangsa dan Negara yang mampu menghayati hakekat kehidupan dan membawanya dalam proses pembelajaran setiap individu didalamnya, dengan sendirinya akan mampu membangun bangsa yang hidup, negara yang hidup.


_____________________________________________

Sekedar sebuah pemikiran | Andy Sutioso, 9 Maret 2007, 00.14

No comments: