Jiwaku telah siap menerima segala bentuk:
Jiwaku adalah rumput hijau bagi kawanan rusa
dan menjadi sebuah biara bagi rahib-rahib kristen
dan sebuah kuil pemujaan
dan para penjiarah Ka'bah
dan meja untuk Taurat
dan kitab Kur'an
aku mengikuti agama cinta
Apapun dan kemanapun unta-unta berjalan,
Itulah agamaku dan imanku
dari Puisi Ibnu Al'Arabi, The Tarjuman Al-Ashwaq, buku xi, dikutip oleh Danah Zohar, hal. 293
disampaikan di kuliah Extension Course Filsafat 2009, oleh Romo Fabie
... seandainya jiwa kita manusia bisa seterbuka ini ...
sekedar meninggalkan jejak... refleksi atau pemikiran atas pengalaman dan pembelajaran saya senang berbagi mengenai pembelajaran dan pendidikan, budaya, lingkungan hidup atau spiritualitas... di antara hal-hal lain. saya tuliskan saat saya punya waktu di antara berbagai kegiatan saya di Rumah Belajar Semi Palar (www.semipalar.sch.id). Semoga bermanfaat.
Sunday, April 29, 2012
Saturday, April 21, 2012
Menjadi Terang di dalam Kegelapan...
Kadang saya berpikir bahwa anak-anak Indonesia yang tidak bisa bersekolah formal 'lebih beruntung' dari pada mereka yang berada di dalam sistem pendidikan - dengan catatan mereka punya pendamping-pendamping yang memang punya hati (cinta tak bersyarat - seperti diungkapkan di Tayangan Kick Andy). Posting ini saya tuliskan seusai menonton tayangan liputan kawan-kawan dari Rumah Belajar SAHAJA (Sahabat Anak Jalanan).
Kenapa beruntung, karena pertama-tama mereka masih punya kemerdekaan. Kemerdekaan sebagai anak-anak dan individu yang merupakan bingkai kemanusiaan yang terutama. Komponen penentu selanjutnya adalah bahwa mereka punya pendamping-pendamping - para pendidik yang memberi mereka cinta melalui perhatian dan apresiasi. Mungkin begini, kemerdekaan berpikir itu ibarat bahan dasarnya. Saat anak-anak tersebut mendapatkan perhatian dan apresiasi, bahan dasar itu seperti berjumpa bahan bakarnya. Apa itu bahan bakarnya? HARAPAN. Sampai suatu saat anak-anak dapat menemukan bahwa semangat hidupnya bisa berkobar dan menyala besar saat menyadari dirinya berharga sebagai seorang manusia. Bahwa ia PERLU dan BISA ADA (eksis) di tengah sesamanya. Sangat mengharukan saat adik-adik Sahaja dengan tegas berani berucap, aku ingin jadi presiden, yang satunya ingin jadi pedagang kaya yang bisa bantu anak-anak jalanan. Yang lain lagi ingin jadi Da'i, ada pula yang ingin jadi masinis, menggantikan ayahnya yang cacat karena kecelakaan kereta api. Saya hanya bisa tertegun mendengarnya. Di tengah segala kesulitan hidup yang menghimpit mereka, mereka justru punya visi hidup yang luar biasa.
Dari beberapa perjumpaan sebelumnya, saya mengalami beberapa hal yang serupa, kenapa akhirnya kesimpulan di atas ini muncul. Saya sempat berjumpa dengan Butet Manurung dan mendengar paparannya tentang Sokola Rimba. Sekolah yang diritisnya di kawasan Rimba Bukit Dua Belas di pedalaman Riau. Butet bercerita bahwa ia harus tinggal 8 bulan di dalam rimba sebelum ia diterima oleh masyarakat pedalaman untuk hidup bersama mereka dan mendidik anak-anak mereka. Contoh lagi, pendidikan yang berpijak atas cinta tak bersyarat.
Sekitar tahun 2005, saya pernah duduk dalam sebuah diskusi di Taman Budaya bersama anak-anak asuhan Sanggar Anak Akar - yang dirintis Romo Sandyawan di Jakarta. Merekapun anak jalanan. Duduk bersama saya seorang anak remaja berpenampilan 'punk' dengan pakaian serba hitam, asesoris tindik di mana-mana dan tato di lengannya. Sangat mengejutkan buat saya saat ia berbicara dengan begitu kritis dan cerdasnya. Bahkan melampaui rekan-rekan mahasiswa yang pernah saya fasilitasi di sebuah Lembaga Pendidikan Tinggi Swasta di Bandung. Sangat percaya diri, sangat menguasai apa yang dibicarakannya - padahal anak muda ini tidak pernah 'makan sekolahan'. Cerita punya cerita, Sanggar Anak Akar ternyata punya program-program pendidikan luar biasa, ada diskusi filsafat, kelas Bahasa Inggris dan lain sebagainya. Mereka hadir saat mereka merasa berminat dan memang ingin membangun dirinya. Mereka hadir di sana berpijak atas kemerdekaannya, atas keinginan dirinya lepas dari kungkungan situasi yang mereka rasakan sehari-hari. Mereka hadir bukan karena target nilai atau ranking, bukan karena kewajiban absensi dan kehadiran, mereka hadir karena mereka ingin belajar dan membangun diri mereka. Perjumpaan ini sangat berkesan, sehingga masih terbayang jelas suasana pertemuan hari itu.
Satu lembaga lain yang saya cukup kenal di Bandung adalah teman-teman di Rumah Musik Harry Roesli. Putra almarhum (Yala Roesli) dan teman-temannya meneruskan apa yang dibangun oleh ayahnya almarhum Harry Roesli. Almarhum - panggilan teman-teman di RMHR dengan tangan terbuka mengajak anak-anak jalanan dari beberapa tempat di kota Bandung untuk bermusik dan berkreasi. Sambil waktu berjalan, merekapun mendapat kesempatan untuk melihat dan mengalami banyak hal di luar realita keseharian mereka. Mereka berjumpa dengan para pendamping dan relawan yang mengenalkan mereka dengan potensi mereka yang sesungguhnya - menyirami mereka dengan harapan. Pada satu kesempatan, RMHR menggelar rangkaian pameran dan pagelaran yang menunjukkan potensi mereka yang luar biasa.
Lalu bagaimana dengan anak-anak yang berada di dalam sistem pendidikan formal? Mereka seakan beruntung setiap pagi berangkat ke sekolah dengan berseragam, bertahun-tahun menerima pendidikan alih-alih berkeliaran di jalananan. Yang perlu kita sadari, pendidikan formal justru mengungkung dan menekan kemerdekaan anak-anak kita. Kebanyakan anak-anak kita yang bisa duduk di bangku sekolah seakan digiring ke dalam satu lorong sempit yang menyamakan mereka ke dalam pola pikir dan sistem nilai yang serba seragam. Mulai dari seragam sekolah, berbaris masuk kelas, duduk di susunan bangku yang tidak pernah berubah dari tahun ke tahun. Rutinitas harian yang sama dari hari ke hari. Anak-anak digiring berpikir dalam kungkungan buku paket - dan menjawab pertanyaan pilihan berganda - dengan hanya ada satu jawaban yang benar. Mereka dinilai, dievaluasi, dirunutkan dalam satu sistem rangking yang melarutkan hakikat mendasar mereka sebagai manusia. Hal ini berjalan dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, selama anak duduk di bangku sekolah. Pendidikan (formal) justru mencerabut mereka dari kemanusiaan mereka. Coba saja tanya cita-cita anak-anak yang duduk di sekolah formal. Mereka akan menjawab "tidak tahu" atau menjawab normatif tanpa tahu betul apa makna jawaban mereka.
Keberlimpahan dan (seakan) banyaknya pilihan justru menjadikan mereka tidak sensitif terhadap kehidupan dan kemerdekaan mereka sebagai manusia.. Anak-anak muda kita yang berkecukupan dan berkesempatan sekolah justru menjadi pragmatis... sekolah, kuliah, kerja, nikah, punya anak, menafkahi keluarga... that's it! Lalu apa sumbangsih mereka bagi kehidupan kalau pola pendidikan kita menghantar anak-anak kita dalam satu pola pikir yang sangat egosentris.
Ada sesuatu pada akhirnya yang sangat bertentangan dengan hakikat KEHIDUPAN - anugerah dan karunia Tuhan yang begitu kaya dengan dinamika yang tak terhingga. Ada pola pikir yang salah besar dalam sistem pendidikan kita. John Dewey menggaris-bawahi hal ini dengan bernasnya :
Tulisan ini saya dedikasikan untuk rekan Inun dan Fajar, dua rekan relawan Rumah Belajar SAHAJA yang pernah saya jumpai langsung dan berbincang dengan saya. Suatu kehormatan bagi saya berjumpa dengan kalian mewakili teman-teman SAHAJA yang belum pernah saya jumpai secara langsung. Indonesia beruntung bahwa masih banyak anak-anak muda yang membawa bersamanya Cinta Tak Bersyarat buat bangsanya. Untuk anak-anak Sahaja, kalian menjadi terang dalam kegelapan, yakinlah bahwa merekapun - suatu saat nanti - akan menjadi terang dalam kegelapan. Terima kasih atas segala inspirasinya.
Kenapa beruntung, karena pertama-tama mereka masih punya kemerdekaan. Kemerdekaan sebagai anak-anak dan individu yang merupakan bingkai kemanusiaan yang terutama. Komponen penentu selanjutnya adalah bahwa mereka punya pendamping-pendamping - para pendidik yang memberi mereka cinta melalui perhatian dan apresiasi. Mungkin begini, kemerdekaan berpikir itu ibarat bahan dasarnya. Saat anak-anak tersebut mendapatkan perhatian dan apresiasi, bahan dasar itu seperti berjumpa bahan bakarnya. Apa itu bahan bakarnya? HARAPAN. Sampai suatu saat anak-anak dapat menemukan bahwa semangat hidupnya bisa berkobar dan menyala besar saat menyadari dirinya berharga sebagai seorang manusia. Bahwa ia PERLU dan BISA ADA (eksis) di tengah sesamanya. Sangat mengharukan saat adik-adik Sahaja dengan tegas berani berucap, aku ingin jadi presiden, yang satunya ingin jadi pedagang kaya yang bisa bantu anak-anak jalanan. Yang lain lagi ingin jadi Da'i, ada pula yang ingin jadi masinis, menggantikan ayahnya yang cacat karena kecelakaan kereta api. Saya hanya bisa tertegun mendengarnya. Di tengah segala kesulitan hidup yang menghimpit mereka, mereka justru punya visi hidup yang luar biasa.
Dari beberapa perjumpaan sebelumnya, saya mengalami beberapa hal yang serupa, kenapa akhirnya kesimpulan di atas ini muncul. Saya sempat berjumpa dengan Butet Manurung dan mendengar paparannya tentang Sokola Rimba. Sekolah yang diritisnya di kawasan Rimba Bukit Dua Belas di pedalaman Riau. Butet bercerita bahwa ia harus tinggal 8 bulan di dalam rimba sebelum ia diterima oleh masyarakat pedalaman untuk hidup bersama mereka dan mendidik anak-anak mereka. Contoh lagi, pendidikan yang berpijak atas cinta tak bersyarat.
Sekitar tahun 2005, saya pernah duduk dalam sebuah diskusi di Taman Budaya bersama anak-anak asuhan Sanggar Anak Akar - yang dirintis Romo Sandyawan di Jakarta. Merekapun anak jalanan. Duduk bersama saya seorang anak remaja berpenampilan 'punk' dengan pakaian serba hitam, asesoris tindik di mana-mana dan tato di lengannya. Sangat mengejutkan buat saya saat ia berbicara dengan begitu kritis dan cerdasnya. Bahkan melampaui rekan-rekan mahasiswa yang pernah saya fasilitasi di sebuah Lembaga Pendidikan Tinggi Swasta di Bandung. Sangat percaya diri, sangat menguasai apa yang dibicarakannya - padahal anak muda ini tidak pernah 'makan sekolahan'. Cerita punya cerita, Sanggar Anak Akar ternyata punya program-program pendidikan luar biasa, ada diskusi filsafat, kelas Bahasa Inggris dan lain sebagainya. Mereka hadir saat mereka merasa berminat dan memang ingin membangun dirinya. Mereka hadir di sana berpijak atas kemerdekaannya, atas keinginan dirinya lepas dari kungkungan situasi yang mereka rasakan sehari-hari. Mereka hadir bukan karena target nilai atau ranking, bukan karena kewajiban absensi dan kehadiran, mereka hadir karena mereka ingin belajar dan membangun diri mereka. Perjumpaan ini sangat berkesan, sehingga masih terbayang jelas suasana pertemuan hari itu.
Satu lembaga lain yang saya cukup kenal di Bandung adalah teman-teman di Rumah Musik Harry Roesli. Putra almarhum (Yala Roesli) dan teman-temannya meneruskan apa yang dibangun oleh ayahnya almarhum Harry Roesli. Almarhum - panggilan teman-teman di RMHR dengan tangan terbuka mengajak anak-anak jalanan dari beberapa tempat di kota Bandung untuk bermusik dan berkreasi. Sambil waktu berjalan, merekapun mendapat kesempatan untuk melihat dan mengalami banyak hal di luar realita keseharian mereka. Mereka berjumpa dengan para pendamping dan relawan yang mengenalkan mereka dengan potensi mereka yang sesungguhnya - menyirami mereka dengan harapan. Pada satu kesempatan, RMHR menggelar rangkaian pameran dan pagelaran yang menunjukkan potensi mereka yang luar biasa.
Lalu bagaimana dengan anak-anak yang berada di dalam sistem pendidikan formal? Mereka seakan beruntung setiap pagi berangkat ke sekolah dengan berseragam, bertahun-tahun menerima pendidikan alih-alih berkeliaran di jalananan. Yang perlu kita sadari, pendidikan formal justru mengungkung dan menekan kemerdekaan anak-anak kita. Kebanyakan anak-anak kita yang bisa duduk di bangku sekolah seakan digiring ke dalam satu lorong sempit yang menyamakan mereka ke dalam pola pikir dan sistem nilai yang serba seragam. Mulai dari seragam sekolah, berbaris masuk kelas, duduk di susunan bangku yang tidak pernah berubah dari tahun ke tahun. Rutinitas harian yang sama dari hari ke hari. Anak-anak digiring berpikir dalam kungkungan buku paket - dan menjawab pertanyaan pilihan berganda - dengan hanya ada satu jawaban yang benar. Mereka dinilai, dievaluasi, dirunutkan dalam satu sistem rangking yang melarutkan hakikat mendasar mereka sebagai manusia. Hal ini berjalan dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, selama anak duduk di bangku sekolah. Pendidikan (formal) justru mencerabut mereka dari kemanusiaan mereka. Coba saja tanya cita-cita anak-anak yang duduk di sekolah formal. Mereka akan menjawab "tidak tahu" atau menjawab normatif tanpa tahu betul apa makna jawaban mereka.
Keberlimpahan dan (seakan) banyaknya pilihan justru menjadikan mereka tidak sensitif terhadap kehidupan dan kemerdekaan mereka sebagai manusia.. Anak-anak muda kita yang berkecukupan dan berkesempatan sekolah justru menjadi pragmatis... sekolah, kuliah, kerja, nikah, punya anak, menafkahi keluarga... that's it! Lalu apa sumbangsih mereka bagi kehidupan kalau pola pendidikan kita menghantar anak-anak kita dalam satu pola pikir yang sangat egosentris.
Ada sesuatu pada akhirnya yang sangat bertentangan dengan hakikat KEHIDUPAN - anugerah dan karunia Tuhan yang begitu kaya dengan dinamika yang tak terhingga. Ada pola pikir yang salah besar dalam sistem pendidikan kita. John Dewey menggaris-bawahi hal ini dengan bernasnya :
"Education is not preparation for life. Education is life itself"
Tulisan ini saya dedikasikan untuk rekan Inun dan Fajar, dua rekan relawan Rumah Belajar SAHAJA yang pernah saya jumpai langsung dan berbincang dengan saya. Suatu kehormatan bagi saya berjumpa dengan kalian mewakili teman-teman SAHAJA yang belum pernah saya jumpai secara langsung. Indonesia beruntung bahwa masih banyak anak-anak muda yang membawa bersamanya Cinta Tak Bersyarat buat bangsanya. Untuk anak-anak Sahaja, kalian menjadi terang dalam kegelapan, yakinlah bahwa merekapun - suatu saat nanti - akan menjadi terang dalam kegelapan. Terima kasih atas segala inspirasinya.
Subscribe to:
Posts (Atom)