Sebagai warga Bandung yang cukup punya keprihatinan sekaligus kepedulian untuk pendidikan, saya akan lebih peduli dan bangga kalau Bandung bukan sekedar punya banyak sekolah dan kampus, tapi Bandung jadi kota di mana ditelorkan banyak gagasan dan inovasi pendidikan. Lama sudah lewat waktunya saya mendapat kesempatan dengan salah seorang dosen jurusan Seni Rupa di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) di dalam sebuah forum tentang pendidikan. Beliau (Bapak Bambang Sapto) berkomentar begini, "Aneh ya, inovasi pendidikan kok selalu muncul dari luar UPI". Nah lho. Bagaimana ini? Sejak diskusi itu berlangsung sampai hari inipun, dari bincang-bincang saya dari teman-teman mahasiswa dan lulusan UPI, kesan itu masih kental terasa. Tapi entah, karena saya tidak tahu persis seperti apa suasana dan situasi UPI sesungguhnya. Yang terlihat secara kasat mata, UPI semakin mentereng dan megah, terus membangun gedung-gedung baru. Pertanyaannya, di tengah segala bentuk 'kemajuan' ini apakah UPI juga menyumbangkan gagasan, terobosan dan inovasi tentang konsep-konsep baru pendidikan? Saya hanya berharap semoga nasib UPI di Kota Pendidikan Bandung ini tidak menjadi seperti TPI, Televisi Pendidikan Indonesia yang akhirnya bermutasi jadi stasiun siaran TV yang saat ini penuh dengan tayangan sinetron dan musik dangdut. Bagaimana dengan institusi pendidikan lainnya, saya juga tidak tahu karena tampaknya mereka hanya sibuk dengan menghasilkan ribuan wisudawan setiap tahun, ibarat pabrik-pabrik yang terus berlomba mengeluarkan produk-produknya.
Sabtu lalu, tanggal 7 Juli 2012, di sebuah ruang kecil yang nyaman, berkumpul sekitar 80-an warga Bandung (dan luar Bandung) untuk berbincang tentang pendidikan. Bincang Edukasi namanya. Nah, ini yang justru bikin saya bangga. Karena sekumpulan kecil individu ini berkumpul untuk saling berbagi dan menginspirasi dalam visi bersama memperbaiki dunia pendidikan kita. Dalam waktu singkat, sejak bulan Maret, forum ini adalah BinEd ke tiga di Bandung dan ke 8 di Indonesia. Pertama kali Bined diinisiasi di Surabaya oleh Kresha Aditya, dan teman-teman, lalu kemudian beralih ke Jakarta. Apresiasi yang besar atas inisiatif kurator BinEd Ardandi Andiarti dan Deta Kristanti yang berhasil memboyong dan merealisasi BinEd di Bandung.
rekan Danti, Deta kurator BinEd Bandung dan Kreshna salah satu inisiator BinEd
BinEd #8 ini diisi 5 presentan. Tiga di antaranya kebetulan sudah saya kenal, lebih lanjut saya beruntung bisa berjumpa dengan dua lagi pegiat pendidikan yang berkegiatan di dua segmen pendidikan yang berbeda. Yang pertama Maya Hirai yang mengelola Rumah Origami, kemudian Fitri yang mengelola Yayasan Cakrawala Baca. Listia Rahmandaru berbagi tentang Bandung Berkebun, kemudian ada dua rekan pendidik yang lebih senior, Bpk Iwan Pranoto dan Kang Wawan Husein. Kang Wawan membawakan kisah Marlin Kundang (yang jemprol) yang sekolah dan menjadi chef di Inggris sana, sebuah versi alternatif dari kisah yang selama ini kita terima, dibawakan secara teatrikal oleh kang Wawan.
Pak Iwan tidak membahas banyak, sebetulnya. Walaupun apa yang disampaikan adalah sesuatu yang sangat fundamental sifatnya. Kami yang datang diajak untuk mendengarkan sebuah lagu dari Genesis "Silver Rainbow", bagaimana pendidikan adalah perjalanan membawa anak-anak didik berjalan sampai beyond the silver rainbow, lupa diri, lupa segala sesuatu pada saat guru berhasil membangkitkan antusiasme mereka belajar. Kata kuncinya adalah hasrat, passion.
Sementara tiga rekan presentan pertama menghantarkan pesan bagi kita bagaimana edukasi adalah sesuatu yang sangat luas, pendidikan bisa sangat dicapai melalui berbagai cara dan media. Saya kira pesannya secara umum adalah kita perlu sangat berpikir ulang mengenai pola-pola pendidikan yang membatasi dan mengkotak-kotakkan (apakah itu kurikulum yang kaku, tes-tes standar, batasan ruang kelas, buku-buku paket dan lain sebagainya) dan merancang ulang pendidikan yang bisa memberdayakan anak-anak kita yang dilahirkan ke dunia dengan potensi yang begitu luar biasa oleh Sang Penciptanya. Kang Wawan merefleksikan hal ini dengan cerdas dengan mengingatkan bagaimana kita selama ini terpaku atas hanya satu versi cerita Malin Kundang. Apakah tidak boleh kita mengimajinasikan perjalanan hidup Maling Kundang secara berbeda? Bukankan berpikir lateral - berpikir alternatif adalah juga bagian penting dari sebuah keterampilan hidup.
Kenapa rekan-rekan presentan memilih dan mendalami bidang yang disukainya, yang dicontohkan melalui berkebun, origami atau dunia kepustakaan - misalnya, adalah contoh sederhana bagaimana seseorang bisa berbuat banyak saat bersentuhan dalam aliran energi kehidupannya, hidup dalam hasratnya. Pak Iwan yang menurut pengakuannya adalah seorang yang malas menghafal, menemukan matematika sebagai hasrat kehidupannya. Kang Wawan lewat kejeprutannya dalam kesenian, menemukan berbagi - mendidik lewat mendongeng / story telling sebagai jalan hidupnya yang bertahun-tahun dijalaninya dengan penuh cinta.
Kesimpulannya buat saya pribadi, Bined 8 kali ini mengingatkan kita semua bahwa salah satu tugas utama pendidikan adalah bagaimana kita bisa membantu anak-anak yang kita dampingi menemukan diri dan hasrat kehidupannya - apapun itu bentuknya. Hakikat pendidikan adalah bukan soal kurikulum atau dana BOS; adalah bukan juga soal UN atau akreditasi. Kalau kita para pendidik: guru, orang tua - seperti diingatkan mas Soelis dan tidak ketinggalan masyarakat, memahami dan menghayati betul soal ini, anak-anak kita akan tumbuh dewasa dengan harapan besar. Lebih jauh lagi, bangsa Indonesia akan juga punya harapan - mengingat kita setelah sekian lama merdeka masih hidup di dalam segala bentuk kemiskinan...
Akhirnya, terima kasih banyak kepada rekan-rekan presentan atas segala inspirasinya. Salam Pendidikan!