Coba amati rangkaian gambar di bawah ini, bingkai gambar demi bingkai gambar. Amati, bukan sekedar melihat sekilas.
klik untuk gambar lebih besar |
Lalu bagaimanakah kita mendefinisikan perubahan di dalam rangkaian gambar yang ada di atas tadi. Inikah kemajuan? Is it progress? Kemajuan bagi siapa? Apakah yang kita sebut sebagai kemajuan senantiasa membawa kebaikan? Apa yang paling mudah menjadi korban? Dari gambar di atas, alam-lah yang selalu jadi korban. Dari gambar pertama di mana segala sesuatu masih serba hijau, pepohonan, rerumputan, burung berterbangan. Di gambar terakhir, semua hilang - tergantikan dengan segala sesuatu yang serba sintetis - serba buatan. Segala yang serba hidup - ciptaan Tuhan, kita gantikan dengan benda-benda tak bernyawa ciptaan manusia.
Pertanyaannya, bagaimana manusia bisa merasa berhak menghilangkan semua itu? Siapakah yang memberi ijin? Belum lama ini, saya menjumpai sebuah teks pendek yang berbunyi...
~ remember, nature never give ownership to humans ~
Jadi siapa yang memberi ijin? Segala sesuatu yang selama ini manusia lakukan dan tidak hentinya kita lakukan ternyata sangat justru bertentangan dengan teks di atas tadi. Manusia seakan merasa memiliki alam, memiliki hak untuk tidak henti-hentinya mengeksploitasi alam. Manusia mengolahnya menjadi barang-barang konsumtif dan mengkonversinya jadi uang. Tanpa henti. Masalah timbul karena manusia sepertinya tidak pernah puas dan tidak tahu batas. Inilah sebabnya planet bumi ini mulai rusak, menjadi sakit. Dulu kalau kita ingat, masyarakat tradisi (yang kita sebut belum maju) selalu minta ijin kepada Sang Kuasa, saat akan melakukan sesuatu di dalam setiap kehidupannya. Mau menebang pohon, mereka berdoa dulu; mau gali sumur, mereka upacara dulu; mau bertanam, mereka minta ijin dulu; setelah panen, mereka sukuran dulu... Masyarakat tradisional sadar betul tempat dan posisi mereka di tengah alam semesta...
Mungkin semua tahu, kata-kata luar biasa dari Gandhi :
~ The Earth provides enough to satisfy every man's need,
but not every man's greed ~
Di sinilah letak masalahnya. Manusia modern (yang katanya sudah maju ini) tampaknya tidak tahu kapan harus berhenti. Semakin canggih teknologi dan maju kehidupannya, semakin manusia tidak pernah berpikir dan merenung. Alam yang dititipkan Tuhan kepada kita dianggap sebagai pemberian. Demikian besar ego manusia, ia merasa ada di puncak segalanya. Manusia lupa bahwa ia adalah bagian, adalah komponen yang sama dari dunia yang ditinggalinya. Bahwa saat seorang manusia merusak sebagian kecil dari alam, ia juga merusak bagian kecil kehidupannya sendiri.
but not every man's greed ~
Di sinilah letak masalahnya. Manusia modern (yang katanya sudah maju ini) tampaknya tidak tahu kapan harus berhenti. Semakin canggih teknologi dan maju kehidupannya, semakin manusia tidak pernah berpikir dan merenung. Alam yang dititipkan Tuhan kepada kita dianggap sebagai pemberian. Demikian besar ego manusia, ia merasa ada di puncak segalanya. Manusia lupa bahwa ia adalah bagian, adalah komponen yang sama dari dunia yang ditinggalinya. Bahwa saat seorang manusia merusak sebagian kecil dari alam, ia juga merusak bagian kecil kehidupannya sendiri.
Saya jadi ingat sewaktu berjumpa dengan Butet Manurung yang mendirikan Sokola Rimba bagi anak-anak di pedalaman berbagai daerah di Indonesia. Butet bercerita bagaimana anak-anak Rimba itu bingung karena melihat Butet memiliki begitu banyak pakaian. Mereka bertanya "Ibu, kenapa ibu punya baju banyak sekali? Kita kan hanya perlu dua. Satu kita pakai, satu lagi kita cuci..."
Beberapa hari yang lalu, saya berdiskusi dengan teman-teman dari kelompok Ulin - kelas 7 Semi Palar. Diskusi tentang sampah akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa manusia jaman dulu (yang disebut primitif) jauh lebih canggih dari kita karena tidak pernah membuang sampah. Berbeda dengan kita sekarang ini di mana hampir setiap tindakan kita (yang katanya modern) ini selalu menghasilkan sampah.
Sekarang manusia seakan tidak lagi berpikir. Perubahan peradaban manusia menggiring manusia ke titik di mana selama ada uang, walaupun kita tidak perlu kita akan beli. Setiap bulan beli baju... HP tidak cukup satu, kita beli dua, bahkan tiga. Mobil tidak cukup satu, kita beli lagi. Rumah tidak cukup satu, kalau perlu kita beli dua atau tiga... Untuk apa, mungkin untuk cari uang, untuk investasi katanya, untuk kemajuan kehidupan kita. Kita kerja semakin keras untuk kemajuan ekonomi - supaya punya uang. Buat apa uang, supaya kita bisa beli lagi dan beli lagi dan beli lagi... Berbeda ya dengan anak-anak Rimba Bukit Dua Belas tadi, mereka berpikir... buat apa ya punya banyak-banyak baju...
Kita lupa, semakin kita beli, beli dan beli, semakin hancurlah alam kita, karena segala sesuatu kita pasti ambil dari alam, dan segala sesuatu yang sudah tidak kita pakai kita buang lagi ke alam, menjadi sampah. Semua ini kita bungkus dengan satu kata : kemajuan. Progress.
Lalu kembali ke pertanyaan di atas tadi? Apakah itu kemajuan? What is progress? Tidakkah manusia lupa belajar satu hal penting: kapankah kita perlu berhenti. Kapan kita bisa mengatakan ini sudah cukup untuk kita. Supaya setiap manusia hidup dalam porsi yang secukupnya untuk kehidupannya. Tidak berlebihan. Rasanya dengan demikian apa yang diungkapkan Gandhi bisa menjadi masuk akal karena planet ini tidak akan bisa mencukupi kerakusan kita...
:: gambar diambil dari grup facebook : GASAN (Give a Shit about Nature) dan Earth We Are One