Friday, August 24, 2007

teater multimedia 'Tangled Garden'

Sabtu 4 Agustus yang lalu, kami sekeluarga pergi lagi ke CCL untuk menyaksikan teater multimedia Tangled Garden, kolaborasi komunitas CCL - Iman Soleh dengan Side Track Australia. Sutradaranya, Carlos Gomez datang dr Brazil. Dalam kata pembukanya, dia bercerita bahwa dia sempat bingung ada apa sebetulnya dengan sebuah terminal yang penuh dengan angkutan (ungkapnya dlm bahasa indonesia). Tidak lama kemudian, Carlos bercerita bahwa dia segera menangkap spirit teater yg sesungguhnya lewat interaksinya dgn warga sekitar Ledeng. Dia bilang bahwa sebuah teater sesungguhnya hanya bisa eksist melalui penontonnya, lewat interaksinya yang dekat dengan masyarakatnya (society). Di banyak negara seperti Inggris, Australia, dan negara-negara lain orang bisa nonton teater hanya setelah bayar jutaan rupiah.

Sebagai sebuah suguhan teater, Tangled Garden sungguh menarik. Dimainkan oleh aktor Australia dan Indonesia, dibawakan dalam dua bahasa, bahasa lokal (Sunda - Indonesia) dan Inggris, dan menggambarkan sikap hidup, pandangan dan situasi budaya yg berbeda. Lakon ini berkisah tentang dua sahabat Ariel dan Ujang yang kembali bertemu setelah mereka dewasa dan perjalanan mereka di tatar Sunda. Dialog dibawakan bersautan dalam dua bahasa oleh Alex Blias dan Dedi Warsana. Sedangkan Maryam Supraba (memerankan Dewi) mengungkap lontaran-lontaran dialognya dalam dua bahasa sekaligus. Di sampingnya, Gusjur Mahesa dan ceu Momon (Monica Wulff) silih berganti memerankan tokoh2 pendukung cerita - salah satunya Dewi Sri Pohaci dan memperkuat alur cerita yang dibawakan.




Adegan-adegan yg ditampilkan, secara keseluruhan tampil sangat menarik. Tata panggung, pencahayaan dan musik, juga kostum walaupun sederhana diolah optimal. Komposisi panggung, olah visual yg didukung sorotan proyektor sebagai background tampil saling melengkapi, dan secara cerdas dimanfaatkan sebagai media narasi dan translasi. Cerita ini juga menyisipkan pesan-pesan filosofis tentang hidup, berkisah tentang hidup, cinta, kelemahan manusia terhadap godaan nafsu dan sebagainya. Singkatnya, Tangled Garden tampil sarat pesan.

Satu hal yang saya pribadi sayangkan, ada diselipkan adegan dan kata-kata yang yang maaf 'jorang', dalam artian hanya pantas dikonsumsi orang dewasa. Gerak-gerik yang dibawakan oleh penggalan peran si dukun, saya lihat menghapus alur cerita yang diramu berdasarkan mitologi Sunda dan Hindu.
Mungkin dimaksudkan sebagai bumbu komedi, tapi penterjemahannya saya nilai kelewat vulgar - murahan, walaupun memerankannya saya yakin tidak mudah. Beberapa kali juga tampil adegan pertarungan dan bunuh diri Walaupun digarap secara teatrikal, cerita ini memang akhirnya bukan untuk konsumsi anak-anak. Saat itu kebetulan banyak anak-anak kecil, termasuk kedua anak saya usia 7 dan 10 tahun, hadir juga teman saya dengan 2 anaknya yg jg msh kecil yg hadir karena sharing sy tentang komunitas CCL ini. Belum lagi anak-anak lingkungan Ledeng yang duduk di 'front row' dan melihat dengan jelas apa yg ada di panggung (termasuk adegan-adegan yg bukan untuk anak-anak tadi). Biasanya kami banyak mengajak anak-anak berdialog tentang apa yg kita saksikan, menggali nilai-nilai yg ada, kali ini saya dan istri memilih tidak melakukannya.

Tapi kembali lagi, sebagai sebuah pementasan teater, luar biasa. Salut!
Saya pribadi cukup penasaran untuk mengetahui bagaimana pentas ini diapresiasi oleh penonton di Darwin dan Sydney. Semoga CCL terus maju dalam eksplorasinya terhadap seni dan budaya, karena bagaimanapun ini adalah sesuatu yang makin langka di masyarakat kita. Sementara masyarakat global semakin tinggi apresiasinya terhadap apa yang kita miliki, sayang sekali kalau kita sendiri tidak punya kesadaran untuk membangun dan melestarikannya.

Cerita digarap oleh Don Mamouney, dan tata gerak oleh Iman Soleh.

No comments: