Thursday, May 8, 2008

'in search of eden'

Di kuliah ke 5 ECF, Bpk. Bambang Sugiharto mengajak kita nonton filem, sebuah wawancara terhadap fisikawan kondang Paul Davies, judulnya In Search of Eden

Yang dimunculkan adalah pandangan beliau tentang asal mula kehidupan.
Menarik. Provokatif. Dan diskusi menjadi menarik saat Pak Bambang Sugiharto membagi whiteboard menjadi dua bagian, di sebelah kiri headingnya agama, di sebelah kanan Sains. Dan dari apa yang diungkap Paul Davies, mau tidak mau aku menangkapnya ada semacam arogansi yang cukup besar, yang mungkin bisa dipahami karena Paul adalah seorang saintis. Dan arogansi ini adalah bentuk kesetiaan dia terhadap bidang yang dia perdalam.

Biasanya, di kuliah-kuliah yang lalu, aku lebih banyak diam. Memang agak sulit berkomentar. Nah ini nih. Kebiasaan ga bisa spontan. 'Tel-Mi' mungkin. Tapi kebetulan topik yang ini aku agak tau-tau sedikit (atau sok tau). Jadi aku mencoba sharing.

Dalam pemahaman aku, pemisahan tegas antara agama dan sains ini muncul karena 'ego' dari masing-masing bidang (yang ditulis di sebelah kiri dan kanan). Mereka yang bergulat dengan aspek religius dan yang lainnya berkutat di sisi ilmiah. Ego ini yang rasanya mencegah mereka untuk saling memahami, karena pola pikir bahwa upaya memahami melalui cara mereka-lah yang paling betul. Buat aku rasanya ini sempit sekali ya. Apalagi saat kita mencoba bicara soal hidup dan kehidupan. Sesuatu yang luar biasa besar... dan kita perlu segala macam cara yang kita punya untuk memahami dan menghayatinya.

Kemarin aku komentar begini, aku mengutip apa yang aku baca dari DH Lawrence : kurang lebih begini : 'kita tahu bahwa air (yang notabene sangat vital untuk kehidupan) terdiri dari 2 molekul hidrogen dan 1 molekul oksigen. Tapi ada satu elemen ke tiga yang kita tidak pernah tahu apa, kenapa dan bagaimana molekul itu bergabung untuk menjadi air. Jadi selalu ada sesuatu yang tidak terjelaskan, sesuatu yang lebih merupakan keajaiban. Selalu ada suatu kekuatan tak terlihat yang ikut serta dan terlibat.'

Dan ini adalah jadi satu-satunya fokus dari (katakanlah) agama. Diumpamakan oleh Pak Bambang, Sains itu mulai dari hilir, menuju ke hulu, mencari sumbernya, menjelaskan dari kepingan-kepingan fakta yang ada. Sedangkan agama mulai dari hulu; mengandaikan sudah tahu segalanya.

Sebetulnya diskusi kemarin sudah mulai nyerempet sesuatu yang aku fahami sebagai upaya mencari titik temu antara agama (aku lebih suka membacanya sebagai spiritualitas) dan sains, sesuatu yang sekarang dikenal sebagai quantum physics. Saat para saintis sudah mulai mampu menelaah dan membedah sampai level sub-atomik, ternyata di dalam atom itu hampa. Jadi benda padat itu apa betul padat? Lalu yang dipersepsikan sebagai benda padat itu apa? Toh atomnya terdiri dari ruang kosong.

Tapi pertanyaan dari aku adalah apakah harus Sains dan Spiritualitas dipisahkan? Tidak dapatkah keduanya diletakkan berdampingan untuk memahami segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Termasuk agama yang rasanya sulit beranjak dari kekakuan dogmatisnya yang sudah berabad-abad bertahan, sementara segala aspek kehidupan manusia berubah dengan cepatnya. Pola pikir manusia modern yang sudah luar biasa berubah, karena kita semakin kenal (atau justru semakin tidak kenal) alam semesta kita...

Rasanya kita memang harus mulai menghilangkan ego dan arogansi kita (yang banyak muncul melalui bidang-bidang/ilmu yang kita pelajari). Hidup dan kehidupan bukan sebagai sesuatu yang harus sekedar dipahami, tapi mungkin lebih mungkin apabila kita hayati... Lagipula, bagaimana mungkin kita menalar dan menjelaskan kebesaran Sang Pencipta...

1 comment:

Anonymous said...

Pembahasan tentang keberadaan Tuhan dari dulu, kini, hingga kapanpun akan selalu menjadi topik yg menarik. Tapi dari hal ini, ada pelajaran yg bisa kita petik; bahwa dengan klasifikasi, dunia akan semakin berseri. Entah harus dipisahkan ataupun dikombinasikan, perbedaan2 dalam sains dan spriritualitas memang sudah diciptakan sedemikian rupa. Kenapa? Agar keseimbangan macro & micro cosmos tetap terjaga.