Sebetulnya hal ini sudah jadi pemikiran yang cukup panjang. Semakin jauh berbagai hal semakin terlihat saling terkait, sehingga untuk mengatasi persoalan ini perlu juga solusi yang komprehensif dan saling mendukung. Berikut ini mind-map yang saya coba buat untuk memetakan situasi yang sekarang ini ada dan dihadapi anak-anak kita.
sekedar meninggalkan jejak... refleksi atau pemikiran atas pengalaman dan pembelajaran saya senang berbagi mengenai pembelajaran dan pendidikan, budaya, lingkungan hidup atau spiritualitas... di antara hal-hal lain. saya tuliskan saat saya punya waktu di antara berbagai kegiatan saya di Rumah Belajar Semi Palar (www.semipalar.sch.id). Semoga bermanfaat.
Sunday, September 22, 2013
memetakan situasi anak-anak kita hari Ini.
Belum lama ini saya diminta oleh rekan-rekan KAIL (Kuncup Padang Ilalang - sebuah kelompok pemberdaya komunitas di Bandung) untuk menyusun sebuah tulisan dengan judul Menilik Realitas Anak Jaman Sekarang. Tulisan tadi sangat berhubungan dengan apa yang saya ulas lebih jauh di sini.
Sebetulnya hal ini sudah jadi pemikiran yang cukup panjang. Semakin jauh berbagai hal semakin terlihat saling terkait, sehingga untuk mengatasi persoalan ini perlu juga solusi yang komprehensif dan saling mendukung. Berikut ini mind-map yang saya coba buat untuk memetakan situasi yang sekarang ini ada dan dihadapi anak-anak kita.
Create your own mind maps at MindMeister
Sebetulnya hal ini sudah jadi pemikiran yang cukup panjang. Semakin jauh berbagai hal semakin terlihat saling terkait, sehingga untuk mengatasi persoalan ini perlu juga solusi yang komprehensif dan saling mendukung. Berikut ini mind-map yang saya coba buat untuk memetakan situasi yang sekarang ini ada dan dihadapi anak-anak kita.
Friday, September 13, 2013
promosi gratis (bagi) produk2 ramah lingkungan
Masyarakat modern sekarang ini sudah sangat beralih dari pola hidup memproduksi ke pola mengkonsumsi. Sekarang hampir semua kebutuhan hidup kita beli, nyaris tidak ada lagi yang kita buat / hasilkan sendiri. Hal-hal yang hand-made atau homemade jadi hal-hal yang langka. Sesuatu yang tidak banyak lagi kita lihat. Kalau kita ingat, nenek, atau mungkin ibu kita dulu memasak sendiri makanan kita sehari-hari. Saat ini, bahkan 'masakan rumah'- pun dijadikan jargon untuk berjualan.
Dulu ibu kita menjahitkan baju-baju kita sehari-hari. Beliau menjahit kemeja dan baju sekolah bagi kita anak-anaknya. Waktu kemudian beranjak di mana ibu kita punya langganan tukang jahit yang bisa dipanggil ke rumah atau kepada siapa beliau menitipkan baju jahitan kita. Sekarang lemari baju kita dipenuhi baju-baju yang kita beli di toko, di department store FO ataupun kalaupun lebih keren lagi di Distro dan di butik-butik. Sudah tidak ada lagi baju kita yang tanpa label merek. (Hampir) semua kita dapatkan dengan membeli.
Lalu apa maksud tulisan ini? Tulisan ini bukan bertujuan romantisme, tapi lebih jauh mengajak kita sadar bagaimana pola konsumerisme ini berdampak ke alam lingkungan kita. Segala sesuatu yang kita beli pasti membawa bersamanya sampah. Membeli tahu isi dan cireng-pun pasti menggunakan kemasan. Pedagang pasti menyiapkan kantong kertas dan setidaknya kresek kecil untuk para pembeli. Sementara bendanya kita manfaatkan, kemasan / atau bungkus hampir tidak kita gunakan dan akhirnya kita buang ke tempat sampah dan akhirnya ke timbunan sampah raksasa di suatu tempat di atas muka bumi ini... tempat tinggal kita dan lain2 penghuninya. Tidak ada sebetulnya yang namanya membuang sampah (getting rid of), karena kita hanya memindahkan sampah, mengalihkannya dari dekat tempat tinggal kita, ke suatu tempat.
Beberapa waktu lalu di Jakarta, di sebuah acara kumpul keluarga, tersaji hidangan Nasi Begana dan Nasi Langgi yang dibungkus daun pisang. Lama sekali saya sudah tidak menjumpainya. Senang sekali saat melihat bahwa tidak ada kemasan styrofoam atau kardus sekalipun yang digunakan. Artinya, setelah makan, kita tidak lagi membebani lingkungan kita dengan bahan-bahan yang tidak terurai seperti plastik atau styrofoam.
Apa yang dari alam (organik) akan betul-betul kembali ke alam - akan terurai dan kembali menjadi bagian dari siklus alamiah kehidupan di muka bumi ini.
Dulu ibu kita menjahitkan baju-baju kita sehari-hari. Beliau menjahit kemeja dan baju sekolah bagi kita anak-anaknya. Waktu kemudian beranjak di mana ibu kita punya langganan tukang jahit yang bisa dipanggil ke rumah atau kepada siapa beliau menitipkan baju jahitan kita. Sekarang lemari baju kita dipenuhi baju-baju yang kita beli di toko, di department store FO ataupun kalaupun lebih keren lagi di Distro dan di butik-butik. Sudah tidak ada lagi baju kita yang tanpa label merek. (Hampir) semua kita dapatkan dengan membeli.
Lalu apa maksud tulisan ini? Tulisan ini bukan bertujuan romantisme, tapi lebih jauh mengajak kita sadar bagaimana pola konsumerisme ini berdampak ke alam lingkungan kita. Segala sesuatu yang kita beli pasti membawa bersamanya sampah. Membeli tahu isi dan cireng-pun pasti menggunakan kemasan. Pedagang pasti menyiapkan kantong kertas dan setidaknya kresek kecil untuk para pembeli. Sementara bendanya kita manfaatkan, kemasan / atau bungkus hampir tidak kita gunakan dan akhirnya kita buang ke tempat sampah dan akhirnya ke timbunan sampah raksasa di suatu tempat di atas muka bumi ini... tempat tinggal kita dan lain2 penghuninya. Tidak ada sebetulnya yang namanya membuang sampah (getting rid of), karena kita hanya memindahkan sampah, mengalihkannya dari dekat tempat tinggal kita, ke suatu tempat.
Beberapa waktu lalu di Jakarta, di sebuah acara kumpul keluarga, tersaji hidangan Nasi Begana dan Nasi Langgi yang dibungkus daun pisang. Lama sekali saya sudah tidak menjumpainya. Senang sekali saat melihat bahwa tidak ada kemasan styrofoam atau kardus sekalipun yang digunakan. Artinya, setelah makan, kita tidak lagi membebani lingkungan kita dengan bahan-bahan yang tidak terurai seperti plastik atau styrofoam.
Apa yang dari alam (organik) akan betul-betul kembali ke alam - akan terurai dan kembali menjadi bagian dari siklus alamiah kehidupan di muka bumi ini.
Kemudian sebuah gagasan muncul, bagaimana jika kita para konsumen membantu mempromosikan bentuk-bentuk usaha yang seperti ini. Mereka yang tidak sekedar mencari kepraktisan / kemudahan tetapi juga memikirkan dampaknya bagi lingkungan hidup.
Ayo kita promosikan - lewat jejaring sosial - agar perusahaan-perusahaan ini juga melihat bahwa hal-hal seperti ini kita apresiasi. Dan upaya - kerepotan mereka terbayarkan dengan kita para konsumen yang ikut mempromosikan produk mereka secara gratis. Di sisi lain, kita bisa berharap bahwa produk-produk lain yang belum melakukannya termotivasi untuk beralih ke kemasan-kemasan yang semakin ramah lingkungan.
Kita bisa foto produknya, dan sebutkan bagaimana produk tertentu ini ramah lingkungan - lalu postingkan di jejaring sosial ,facebook misalnya. Untuk produk elektronik sebagai contoh, sudah cukup banyak produk-produk yang sudah tidak menggunakan styrofoam untuk pengaman produknya, tapi menggunakan limbah kertas yang dicetak. Tentunya ini sangat lebih baik dibandingkan styrofoam.
Lalu manfaatnya? Tentunya manfaatnya untuk kita semua, untuk planet kita ini, tempat tinggal kita satu-satunya, tempat tinggal anak cucu kita... Kenapa kita perlu melakukannya? karena ...
ini bukan masalah orang lain...
Sunday, September 1, 2013
ngabandungan tema Pendidikan bersama kang Emil
Hari Minggu tanggal 1 September di Gedung Indonesia Menggugat, kang Emil (Ridwan Kamil - walikota terpilih kota Bandung) kembali menggelar even ngabandungan kali ini dengan tema Pendidikan - menyusul tema-tema lain yang mendahuluinya. Saya menyempatkan hadir - karena tidak seperti calon-calon walikota lainnya kang Emil setidaknya bagi saya pribadi membawa harapan besar bagi perubahan di kota Bandung, tentunya besar juga harapan bahwa reformasi akan terwujud di bidang Pendidikan. Dalam pembukaannya Kang Emil berkisah bahwa ia datang dari keluarga pendidikan. Pendidikan jugalah yang menjadikannya seperti manusia dan pemimpin di hari ini. Sayapun meyakini kang Emil memahami dan menghayati betul pentingnya mendapatkan pendidikan yang baik.
Menjelang pukul 9 pagi, ruang utama sudah dipenuhi pengunjung. Guru, orangtua, dosen, praktisi pendidikan, aktifis komunitas, pemerhati juga anak-anak hadir di sana. Saya kira semua yang hadir membawa antusiasme yang sama bagi kang Emil dan tentunya berharap menyampaikan aspirasi mereka kepada kang Emil.
Terlalu panjang menguraikan apa saja yang disampaikan oleh rekan-rekan yang hadir. Sayapun menduga forum akan menjadi luapan aspirasi masyarakat pendidikan Bandung karena selama ini, pimpinan kota hampir tidak menaruh peduli pada dinamika yang terjadi di dunia pendidikan di Bandung. Memang situasinya seperti balon udara yang terus menerus dipompa dan mendadak dilepaskan sumbatannya. Jenuh, dan kemudian membeludak. Sayapun memutuskan untuk juga ikut ngabandungan (mendengar dengan segenap hati) dan berharap bisa membaca situasi dari apa yang muncul di forum ini. Hasilnya saya tuangkan dalam mind-map di bawah ini. (Mind-map ini mudah-mudahan bisa saya update dari waktu ke waktu)
Secara umum, memang di tataran birokrasi pendidikan sendiri pengelolaan pendidikan Bandung memendam banyak masalah. Birokrasi sebagai struktur / tiang-tiang pendukung penyelenggaraan pendidikan, bahkan pondasinya pun tidak dibangun dengan kokoh. Tidak punya kekuatan, hampa, keropos, miskin integritas, akibatnya memang struktur ini tidak mampu mendukung penyelenggaraan pendidikan yang bermutu di kota Bandung.
Memang tidak terlalu mudah dibaca dari mind-map di atas, tapi saya memperkirakan bahwa apa yang diungkapkan para hadirin 90-95% adalah masalah masalah yang berkaitan dengan manajemen pendidikan di Bandung. Baru sekitar 5-10% konten bicara substansi pendidikan - seperti mengenai UN misalnya. Inilah realita pengelolaan pendidikan di kota Bandung. Seperti kang Emil sampaikan, ini harus dibangun ulang mulai dari pondasinya dan tentunya perlu waktu sebelum menampakkan hasilnya. Pondasi, kita semua tahu, tertanam di dalam tanah dan tidak terlihat, tapi merupakan bagian bangunan yang paling penting karena menentukan bangunan seperti apa yang bisa kita bangun di atasnya kelak.
Dari forum hari ini, kita (kang Emil) mencatat ada tambahan sekitar 120 poin masukan dari pertemuan singkat yang hanya 2 jam. Pekerjaan memang banyak - dan saya sependapat, ini bukan pekerjaan kang Emil seorang. Ini adalah persoalan warga kota sekaligus pekerjaan warga kota juga, apalagi kita bicara pendidikan. Saya bersepakat untuk satu frasa, apabila kita bukan bagian dari solusi, maka kita adalah bagian dari permasalahan (if you are not part of the solution, then you are part of the problem).
Apabila kita bisa membantu kang Emil memetakan permasalahan pendidikan di Bandung sekaligus juga memetakan potensi warga - di mana kita, individu maupun kelompok sudah melakukan inisiatif-inisiatifnya secara mandiri maka kita akan punya peluang besar mengatasi masalah ini. Pemetaan masalah dan potensi seperti yang dilakukan kang Emil - salah satunya melalui forum-forum seperti ini adalah pijakan awal untuk kolaborasi dan sinergi antara seluruh komponen warga kota. Semoga kita bisa.
Subscribe to:
Posts (Atom)