ini kali ke dua kami mengikut-sertakan diri jadi satu keluarga yang ikut mematikan lampu selama satu jam selama earth hour. anak2 setelah makan malam mulai sibuk mencari senter, menyiapkan lilin dan korek api. tanpa terasa waktu berjalan dan menginjak jam 20.30. lilin pun dinyalakan, dan supaya praktis kami ke luar rumah untuk mematikan saklar utama. seperti tahun kemarin, kami juga mengamati rumah2 tetangga, yang ternyata, seperti tahun lalu, sama cueknya, apakah karena tidak tahu atau tahu dan tidak peduli... akhirnya kali ini juga hanya rumah kami yang berpartisipasi, padahal publikasi di televisi diputar beberapa waktu sebelum event ini...
anak2 memang tidak bertanya seperti tahun lalu... walaupun mungkin banyak pertanyaan di benak mereka. mereka tahu betul masalah lingkungan adalah masalah serius, mungkin mereka bertanya kenapa tidak ada yang peduli... persis seperti saat kami pergi ke hutan kota lembah siliwangi sewaktu ada rencana akan dibangun proyek komersial di sana. waktu itu ada sekelompok kecil orang yang berkumpul karena kepedulian, dan waktu itu anakku bertanya: "kok yang datang hanya segini?".
akupun sedikit kecewa dan berpikir hal yang sama, bedanya ada ide baru yang muncul di benakku, di tahun depan aku akan mencoba membuat dan membagikan leaflet sederhana ke para tetangga rumahku, untuk meyakinkan bahwa mereka tahu tentang hari ini, dan dari sana mungkin aku bisa melihat sejauh mana mereka peduli... karena hal kecil ini yang sebetulnya tidak terlalu berarti buat planet bumi mencirikan soal kesadaran, bahwa dengan mematikan lampu, kita 'vote earth'. Kita memilih bumi kita, memilih untuk peduli, memilih untuk menjadi sadar bahwa apapun yang kita lakukan sehari-hari tanpa kita pikirkan (dan membebani alam lingkungan) bisa kita rubah... memilih untuk memilih cara-cara lain yang lebih ramah lingkungan supaya bumi kita kembali sembuh dan tetap menjadi tempat tinggal yang nyaman dan manusiawi untuk generasi dan generasi mendatang...
sekedar meninggalkan jejak... refleksi atau pemikiran atas pengalaman dan pembelajaran saya senang berbagi mengenai pembelajaran dan pendidikan, budaya, lingkungan hidup atau spiritualitas... di antara hal-hal lain. saya tuliskan saat saya punya waktu di antara berbagai kegiatan saya di Rumah Belajar Semi Palar (www.semipalar.sch.id). Semoga bermanfaat.
Saturday, March 27, 2010
Sunday, March 21, 2010
3 tahun aku bersepeda
Kurang lebih 3 tahun sudah lewat sejak aku tergoda untuk memiliki sepeda, gara2 temanku yang membantu konstruksi bangunan sekolah Semi Palar sering datang ke proyek di atas sepeda dengan tag kuning Bike2Work tergantung dibelakangnya sadelnya. Keren banget. Lalu mulailah oom Bud ini 'menebarkan racunnya'. Tidak lama dia meminjamkan salah satu sepeda miliknya, dan sayapun mulai menggowes. Dari situpun tidak lama saya tergoda untuk mulai merakit sepeda (kebetulan pada saat itu sedang punya tabungan). Motivasi awalnya adalah sekedar mencari kegiatan olahraga. Tidak berapa lama bersama teman2 kuliah yang juga sedang senang bersepeda kita mulai mencoba2 gowes ke Utara Bandung. Sejak itu aku mulai jatuh cinta sama dunia bersepeda... setelah mengingat bahwa masa kecil dulu aku juga sangat senang main sepeda.
Awalnya sebetulnya aku pikir agak tidak masuk akal ada orang-orang yang bersepeda dari Bandung menuju Lembang. Dengan berkendaraanpun, perjalanan ke Lembang makan waktu panjang dan jarak tempuhnya memang bukan jarak yang dekat, belum soal tanjakannya...
Memang di awal2 bersepeda staminaku sangat payah, ternyata setelah dirutinkan, rasanya terkaget-kaget sendiri saat suatu saat aku dan teman2 tiba2 sudah keluar di satu titik di daerah Lembang, 'kok bisa juga!'. Makan waktu kurang dari 3 bulan sejak aku mulai bersepeda aku sampai di titik cukup pede saat diajak bersepeda dengan jarak cukup jauh. Sekarang ini, aku sudah terbiasa untuk bepergian dengan bersepeda sejauh memungkinkan. Dan saat berada di atas sepeda, senang rasanya membayangkan bahwa aku tidak menyumbangkan emisi karbon pun tidak mengonsumsi BBM...
Dengan sendirinya, sejalan dengan itu aku juga semakin concern sama isu2 lingkungan, dan sampai pada titik keyakinan bahwa bersepeda itu harus jadi alternatif moda transportasi yang ada di setiap rumah, kalau kita ingin kota kita manusiawi. Aku yakin kita semua pasti ingin merasakan kondisi alam kembali ramah dan nyaman seperti dulu. Untuk sampai ke sana, kita harus memulai. Kita harus memutus lingkaran setan yang sekarang ini terjadi. Karena jalan2 tidak oke buat jalan kaki dan bersepeda, kita semua memakai kendaraan pribadi. Lalu apa yang akan terjadi kalau pola ini kita jalankan terus? Sementara kita tahu persis kita harus melawan kecenderungan kita untuk hanya mengutamakan kenyamanan kita tanpa peduli dampak segala pola hidup kita terhadap lingkungan hidup. Kalau kita lihat di dunia, kota2 yang maju dan nyaman buat warganya adalah kota2 yang memiliki budaya bersepeda (biking culture) di masyarakatnya.
Dari situ aku-pun semakin semangat 'meracuni' beberapa teman (siapapun) untuk juga mulai bersepeda. Beberapa berhasil dan masih konsisten bersepeda sampai sekarang. Dalam prosesnya aku juga berkenalan sama teman2 komunitas Bike2Work dan mendapatkan teman2 baru. Komunitas Bike2Work ini rutin berkumpul setiap hari Jum'at sore di Taman Cikapayang - Dago. Sejauh aku amati, anggota2 komunitas ini terus bertambah... sesuatu yang sangat menggembirakan.
Sempat juga beberapa kali dengan beberapa teman ikutan funbike seperti Gowes Anti Panas dan terakhir Green Fun Bike bareng dengan ribuan pesepeda kota Bandung. Berada di tengah2 lautan pesepeda dengan warga kota dari segala lapisan buatku membawa perasaan yang luar biasa. Walaupun kita tidak saling kenal, ada sesuatu yang nyata yang mengikat kita bersama. Ada kepuasaan tersendiri saat kita berpartisipasi dalam gerakan membangun kesadaran untuk sesuatu yang memang baik dan harus kita perjuangkan bersama.
Di rumah, anak2 juga sekarang ini tampaknya sangat menyenangi kegiatan ini. Sejalan dengan itu di Rumah Belajar Semi Palar, gerakan hari bebas kendaraan yang mulai digaungkan saat Hari Bumi 2008, ternyata selain memunculkan gerakan jalan kaki juga memunculkan antusiasme bersepeda dari anak2 di sekolah. Beberapa keluarga yang jarak tempat tinggalnya cukup dekat bahkan beberapa kali tampak mengantar anak2nya bersepeda ke sekolah, walaupun belum menjadi sebuah kerutinan.
Minggu lalu, saat liburan hari raya Nyepi, sebuah ide dadakan muncul mengajak anak2 Semi Palar (dan orangtuanya) bersepeda di Kota Baru Parahyangan, mencicipi bagaimana rasanya kita (dan anak2) bersepeda di atas bikelane (jalur khusus sepeda). Tujuannya hanya having fun, seperti yang memang dirasakan kita semua yang ikut serta, tapi yang lebih penting, mudah2an ini jadi awal buat kita semua, khususnya anak2 mencintai sepeda dan bersepeda. Karena bagaimanapun kita harus beralih ke moda transportasi yang bersih dan ramah lingkungan. Kebetulan sekali momen ini bertepatan dengan rencana pemkot Bandung untuk membangun bikelane di beberapa ruas jalan di kota Bandung. Mudah-mudahan semua ini mendorong perubahan menuju apa yang kita harapkan bersama, kualitas hidup yang lebih baik, alam yang lebih lestari, kota yang manusiawi... Dan aku merasa senang bisa menjadi bagian dari prosesnya...
Awalnya sebetulnya aku pikir agak tidak masuk akal ada orang-orang yang bersepeda dari Bandung menuju Lembang. Dengan berkendaraanpun, perjalanan ke Lembang makan waktu panjang dan jarak tempuhnya memang bukan jarak yang dekat, belum soal tanjakannya...
Memang di awal2 bersepeda staminaku sangat payah, ternyata setelah dirutinkan, rasanya terkaget-kaget sendiri saat suatu saat aku dan teman2 tiba2 sudah keluar di satu titik di daerah Lembang, 'kok bisa juga!'. Makan waktu kurang dari 3 bulan sejak aku mulai bersepeda aku sampai di titik cukup pede saat diajak bersepeda dengan jarak cukup jauh. Sekarang ini, aku sudah terbiasa untuk bepergian dengan bersepeda sejauh memungkinkan. Dan saat berada di atas sepeda, senang rasanya membayangkan bahwa aku tidak menyumbangkan emisi karbon pun tidak mengonsumsi BBM...
Dengan sendirinya, sejalan dengan itu aku juga semakin concern sama isu2 lingkungan, dan sampai pada titik keyakinan bahwa bersepeda itu harus jadi alternatif moda transportasi yang ada di setiap rumah, kalau kita ingin kota kita manusiawi. Aku yakin kita semua pasti ingin merasakan kondisi alam kembali ramah dan nyaman seperti dulu. Untuk sampai ke sana, kita harus memulai. Kita harus memutus lingkaran setan yang sekarang ini terjadi. Karena jalan2 tidak oke buat jalan kaki dan bersepeda, kita semua memakai kendaraan pribadi. Lalu apa yang akan terjadi kalau pola ini kita jalankan terus? Sementara kita tahu persis kita harus melawan kecenderungan kita untuk hanya mengutamakan kenyamanan kita tanpa peduli dampak segala pola hidup kita terhadap lingkungan hidup. Kalau kita lihat di dunia, kota2 yang maju dan nyaman buat warganya adalah kota2 yang memiliki budaya bersepeda (biking culture) di masyarakatnya.
Dari situ aku-pun semakin semangat 'meracuni' beberapa teman (siapapun) untuk juga mulai bersepeda. Beberapa berhasil dan masih konsisten bersepeda sampai sekarang. Dalam prosesnya aku juga berkenalan sama teman2 komunitas Bike2Work dan mendapatkan teman2 baru. Komunitas Bike2Work ini rutin berkumpul setiap hari Jum'at sore di Taman Cikapayang - Dago. Sejauh aku amati, anggota2 komunitas ini terus bertambah... sesuatu yang sangat menggembirakan.
Sempat juga beberapa kali dengan beberapa teman ikutan funbike seperti Gowes Anti Panas dan terakhir Green Fun Bike bareng dengan ribuan pesepeda kota Bandung. Berada di tengah2 lautan pesepeda dengan warga kota dari segala lapisan buatku membawa perasaan yang luar biasa. Walaupun kita tidak saling kenal, ada sesuatu yang nyata yang mengikat kita bersama. Ada kepuasaan tersendiri saat kita berpartisipasi dalam gerakan membangun kesadaran untuk sesuatu yang memang baik dan harus kita perjuangkan bersama.
Di rumah, anak2 juga sekarang ini tampaknya sangat menyenangi kegiatan ini. Sejalan dengan itu di Rumah Belajar Semi Palar, gerakan hari bebas kendaraan yang mulai digaungkan saat Hari Bumi 2008, ternyata selain memunculkan gerakan jalan kaki juga memunculkan antusiasme bersepeda dari anak2 di sekolah. Beberapa keluarga yang jarak tempat tinggalnya cukup dekat bahkan beberapa kali tampak mengantar anak2nya bersepeda ke sekolah, walaupun belum menjadi sebuah kerutinan.
Minggu lalu, saat liburan hari raya Nyepi, sebuah ide dadakan muncul mengajak anak2 Semi Palar (dan orangtuanya) bersepeda di Kota Baru Parahyangan, mencicipi bagaimana rasanya kita (dan anak2) bersepeda di atas bikelane (jalur khusus sepeda). Tujuannya hanya having fun, seperti yang memang dirasakan kita semua yang ikut serta, tapi yang lebih penting, mudah2an ini jadi awal buat kita semua, khususnya anak2 mencintai sepeda dan bersepeda. Karena bagaimanapun kita harus beralih ke moda transportasi yang bersih dan ramah lingkungan. Kebetulan sekali momen ini bertepatan dengan rencana pemkot Bandung untuk membangun bikelane di beberapa ruas jalan di kota Bandung. Mudah-mudahan semua ini mendorong perubahan menuju apa yang kita harapkan bersama, kualitas hidup yang lebih baik, alam yang lebih lestari, kota yang manusiawi... Dan aku merasa senang bisa menjadi bagian dari prosesnya...
Saturday, March 20, 2010
How Does It Feel To Be In Flow?
taken from Mihaly Csikszentmihaly's lecture on TED, entitled Creativity, Fullfilment and Flow
- Completely involved in what we are doing - focused, concentrated.
- A sense of ecstasy - of being outside everyday reality.
- Great inner clarity - knowing what needs to be done, and how well we are doing
- Knowing that the activity is doable - that our skills are adequate to the tasks
- A sense of serenity - no worries of oneself, and a feeling of growing beyond the boundaries of the ego.
- Timelessness - thoroughly focused on the present, hours seem to pass by in minutes.
- Intrinsic motivation - whatever produces flow becomes its own reward.
Monday, March 15, 2010
FHB : TPA Leuwi Gajah dan Masyarakat Adat Ciomas
Ini kali ke dua aku hadir di Pertemuan Forum Hijau Bandung. Satu 'paguyuban' tempat kumpulnya komunitas, aktivis dan mereka2 yang peduli tentang masalah lingkungan hidup di Kota Bandung. Kali ini pertemuan diadakan di sekretariat Pangasuh Bumi, Jl. Dipati Ukur 91, satu komunitas yang baru kali ini aku kenal secara langsung.
Secara umum kegiatannya asik banget. Teman2 yang hadir cukup dari beberapa komunitas / kelompok seperti Bandung Green and Clean, U Green, Ganesha Hijau, Sembilan Matahari, HTML ITB, Climate Change Center, Pangasuh Bumi, Greeneration Indonesia, Komunitas Sahabat Kota dll. Serba hijau, dan yang aku suka adalah spirit dari semua yang hadir. Yang aku kurang suka adalah ngaretnya, karena startnya ngaret banget sementara aku hadir seperti dijadwalkan pukul 18.30 (eh, telat juga sih 5 menit karena macet). Wah mulainya baru hampir jam 8-an, hehe...
Hari ini aku juga kebagian mempresentasikan sedikit tentang program
distribusi buku yang diterbitkan yayasan ars86 peduli; cerita sedikit tentang
yayasannya sekaligus menjelaskan program buku gratis dan apa yang kita
harapkan dari format kerja sama ini. Karena beberapa teman tahu aku juga dari Semi Palar, aku juga diminta sedikit mensharingkan tentang Rumah Belajar Semi Palar.
Tapi aku mau cerita tentang apa yang diceritakan teman-teman Pangasuh Bumi. Ceu Yuni dan Erwin mengisahkan pengalamannya berkunjung ke Leuwi Gajah, bekas TPA yang ditinggalkan karena bencana longsor yang membawa korban jiwa beberapa tahun yang lalu, kemudian bagaimana mereka menyaksikan upacara adat masyarakat Ciomas yang luar biasa kaya dari berbagai aspeknya : ritualnya, keterlibatan masyarakatnya, ekspresi spiritualitasnya, aspek sejarahnya, aspek lingkungan hidupnya, yang dibungkus oleh tradisi / kebudayaan yang masih dijaga sampai sekarang.
Beberapa fakta yang baru kita ketahui, berdasarkan cerita tokoh masyarakat adat di daerah sana cukup mengagetkan. Salah satunya bahwa TPA Leuwi Gajah berada di atas 3 buah mata air yang sampai sekarang masih mengalir terus. Longsor, berarti bukan sesuatu yang mengejutkan karena air terus membasahi tumpukan2 sampah di atasnya yang jadi potensial mengakibatkan longsor. Ironisnya (kalau terlalu kasar untuk bilang bodoh), mata air adalah sumber penghidupan, apalagi bagi masyarakat Sunda. Dan pemerintah dengan tanpa banyak peduli menjadikan daerah ini tempat pembuangan sampah.
Setelahnya ceu Yuni mengajak kita melihat dokumentasi prosesi upacara adat Nyangku, di Kota Panjalu - daerah Ciamis, diselenggarakan setiap tahun yang merupakan ritual memandikan pusaka. Salah satu pusaka ini berupa pedang yang konon merupakan peninggalan Syaidina Ali, salah satu tokoh agama Islam yang sangat berpengaruh pada jamannya (sekitar tahun 700an). Pusaka ini yang menjadi milik Raja BorosNgora dimandikan menggunakan air yang diambil dari sembilan mata air di daerah tersebut. Mata air yang sampai hari ini masih dijaga dengan baik oleh masyarakat adat di daerah sana.
Dari rangkaian ritual yang digelar seharusnya upacara ini punya makna luar biasa. Pedang ini Kalau ini benar seperti yang diyakini masyarakat Ciomas, berarti sejarah masuknya agama Islam seperti yang kita kenal selama ini perlu kita periksa kembali.
Berikut ini laporan perjalanannya ceu Yuni (Pangasuh Bumi) yang saya kutip dari milis Forum Hijau Bandung
Assalamu'alaikum wr.wb
Salam sejahtera, Sampurasun
Sahabat2 forum hijau..
Berikut laporan perjalanan kami ke kampung adat cireundeu..
Jam 12 an kumpul di dipatiukur.. Yang hadir kang erwin, Fariz, Ahmad dan Vanny (TL ITB). Berangkat ke lokasi jam 1. Sesampainya di kampung adat cirendeu, bergabung kang rahmat, anggi (belantara)..
Kami bersilaturahmi dgn masyarakat adatnya, sayang sesepuh adat abah asep setelah naik ke gunung salam beliau kurang enak badan.. Sempat bertemu, tp alhamdulillah masyarakat adat masih bisa bersilaturahmi...
Diputuskan, kami meninjau tpa leuwigajah dari puncak gunung kunci, yang konon dulu merupakan pusat atau kunci dari cekungan bandung.. Juga tempat orang bermeditasi.. (Walaupun dinamakan gunung sebenernya bukit...) Satu lagi, kami berjalan tanpa alas kaki... Dari tempat kmpg adat menuju TPA..
Dari sejauh mata memandang, banyak tanaman2 yang semak dan perdu.. Mudah2an ini awal yang baik bagi perkembangan secara ekologis didaerah tersebut.. Karena didaerah Leuwigajah terdapat 2 mata air utama yang menjadi supporting ketersediaan air di daerah tersebut..
Selanjutnya kami menuju Gunung Gajahlangu... Perjalanan yang cukup menyenangkan, mendebarkan serta mengharukan..Menyenangkan karena kami bersama dengan masy adat kang Yana yang memimpin kami semua untuk naik ke leuweung larangan - Syanghang Sirah yang berada di puncak gunung.. Juga ada yang jatuh2 krn licin jalurnya.. Mendebarkan karena ketika memasuki kawasan leuweung larangan, kami harus menetapkan hati, tidak boleh sembarangan bicara, dan takut jg kalau ketemu dgn ular, atau hujan...disini kami tidak boleh makan dan minum lagi..
Mengharukan ketika kami sdh sampai di puncak gunung.. kami disambut oleh suara binatang tongeret.. Kenceng banget.. Angin yang menerpa jg luar biasa.. Seperti mensupport kedatangan kami..
Kami berusaha mensinkronkan diri dgn alam dgn cara merenung (bukan melamun...)...
Alangkah indahnya bila puncak gunung ini sudah dipenuhi oleh pohon2 besar... (Karena selama dalam perjalanan... Banyak sekali lahan kritisnya..) Pada saat ini komunitas adat Cirendeu sedang dalam proses pemulihan lingkungan berbasis kearifan lokal..
Waktunya kembali ke kampung setelah dari puncak gunung.. Ketika hendak sampai, mulailah hujan dan petir. Subhannallah...
Sesampainya di rumah abah Asep, kami berdiskusi tg TPA dan perjalanan kami.. Ternyata bahwa di gunung Gajahlangu banyak banget ularnya dan galak2.. Tetapi mungkin karena kami semua tidak memakai alas kaki, aura dan tekad hati kami yg tidak ingin merusak alam membuat kami sama sekali tidak bertemu dgn binatang2.., Alhamdulillah lagi, kami disuguhi nasi singkong... Makin terharu, karena artinya bila kita sudah disuguhi oleh makanan asli, kami sdh dianggap keluarga oleh masyarakat adat...
Alhamdulillah...
Jam 9 malam kami pamit dan kembali ke bandung...
Insya Allah, bahwa pada hari ini kami sdh melewati tahap silaturahmi dan peninjauan lokasi. selanjutnya bahwa tugas berikutnya masih banyak yang harus dikerjakan... (Memang tugas yang tidak pernah berhenti..)
Makasih semuanya..
Salam hijau...!
Ceu Yuni..
Mendengar kisah dari ceu Yuni dan Erwin, saya sampe lupa mengambil gambar... Betul yang dikatakan ceu Yuni alam punya kekuatan luar biasa, dan kalau manusia terus menjalin hubungan yang harmoni dan sikap penuh respek (bahkan sakral) terhadap alam, manusia akan tetap punya kekuatan luar biasa. Justru ini bisa diperoleh saat manusia bersikap sangat rendah hati terhadap alam lingkungannya. Seperti tulisan pendek yang menjadi filosofi masyarakat adat di daerah Ciomas, tertulis di sebuah bangunan di lokasi upacara seperti di bawah ini...
Apakah kita, yang mengaku manusia modern masih sebijak mereka...
Secara umum kegiatannya asik banget. Teman2 yang hadir cukup dari beberapa komunitas / kelompok seperti Bandung Green and Clean, U Green, Ganesha Hijau, Sembilan Matahari, HTML ITB, Climate Change Center, Pangasuh Bumi, Greeneration Indonesia, Komunitas Sahabat Kota dll. Serba hijau, dan yang aku suka adalah spirit dari semua yang hadir. Yang aku kurang suka adalah ngaretnya, karena startnya ngaret banget sementara aku hadir seperti dijadwalkan pukul 18.30 (eh, telat juga sih 5 menit karena macet). Wah mulainya baru hampir jam 8-an, hehe...
Hari ini aku juga kebagian mempresentasikan sedikit tentang program
distribusi buku yang diterbitkan yayasan ars86 peduli; cerita sedikit tentang
yayasannya sekaligus menjelaskan program buku gratis dan apa yang kita
harapkan dari format kerja sama ini. Karena beberapa teman tahu aku juga dari Semi Palar, aku juga diminta sedikit mensharingkan tentang Rumah Belajar Semi Palar.
Tapi aku mau cerita tentang apa yang diceritakan teman-teman Pangasuh Bumi. Ceu Yuni dan Erwin mengisahkan pengalamannya berkunjung ke Leuwi Gajah, bekas TPA yang ditinggalkan karena bencana longsor yang membawa korban jiwa beberapa tahun yang lalu, kemudian bagaimana mereka menyaksikan upacara adat masyarakat Ciomas yang luar biasa kaya dari berbagai aspeknya : ritualnya, keterlibatan masyarakatnya, ekspresi spiritualitasnya, aspek sejarahnya, aspek lingkungan hidupnya, yang dibungkus oleh tradisi / kebudayaan yang masih dijaga sampai sekarang.
foto kawasan TPA Leuwi Gajah yang permukaannya sudah ditumbuhi rumput (ki)
ceu Yuni menunjuk bagian TPA yang longsor (ka)
Lokasi eks TPA Leuwi Gajah, ternyata kondisinya sudah berubah luar biasa. Timbunan (gunungan) sampah yangi di titik-titik tertentu mencapai ketinggian 15 meter (setinggi bangunan 4 lantai) sekarang sudah ditutupi tetumbuhan. Hamparan alam entah seluas berapa hektar yang kita timbuni sampah yang dihasilkan masyarakat kota Bandung, (sampah kita), ternyata sudah mulai memulihkan dirinya sendiri secara alami. Dan saat teman2 berkunjung ke sana, bau sampah sudah sama sekali hilang, tergantikan olah aroma rumput yang membentang menutupi timbunan sampah masyarakat Bandung.ceu Yuni menunjuk bagian TPA yang longsor (ka)
Beberapa fakta yang baru kita ketahui, berdasarkan cerita tokoh masyarakat adat di daerah sana cukup mengagetkan. Salah satunya bahwa TPA Leuwi Gajah berada di atas 3 buah mata air yang sampai sekarang masih mengalir terus. Longsor, berarti bukan sesuatu yang mengejutkan karena air terus membasahi tumpukan2 sampah di atasnya yang jadi potensial mengakibatkan longsor. Ironisnya (kalau terlalu kasar untuk bilang bodoh), mata air adalah sumber penghidupan, apalagi bagi masyarakat Sunda. Dan pemerintah dengan tanpa banyak peduli menjadikan daerah ini tempat pembuangan sampah.
Setelahnya ceu Yuni mengajak kita melihat dokumentasi prosesi upacara adat Nyangku, di Kota Panjalu - daerah Ciamis, diselenggarakan setiap tahun yang merupakan ritual memandikan pusaka. Salah satu pusaka ini berupa pedang yang konon merupakan peninggalan Syaidina Ali, salah satu tokoh agama Islam yang sangat berpengaruh pada jamannya (sekitar tahun 700an). Pusaka ini yang menjadi milik Raja BorosNgora dimandikan menggunakan air yang diambil dari sembilan mata air di daerah tersebut. Mata air yang sampai hari ini masih dijaga dengan baik oleh masyarakat adat di daerah sana.
Dari rangkaian ritual yang digelar seharusnya upacara ini punya makna luar biasa. Pedang ini Kalau ini benar seperti yang diyakini masyarakat Ciomas, berarti sejarah masuknya agama Islam seperti yang kita kenal selama ini perlu kita periksa kembali.
Berikut ini laporan perjalanannya ceu Yuni (Pangasuh Bumi) yang saya kutip dari milis Forum Hijau Bandung
Assalamu'alaikum wr.wb
Salam sejahtera, Sampurasun
Sahabat2 forum hijau..
Berikut laporan perjalanan kami ke kampung adat cireundeu..
Jam 12 an kumpul di dipatiukur.. Yang hadir kang erwin, Fariz, Ahmad dan Vanny (TL ITB). Berangkat ke lokasi jam 1. Sesampainya di kampung adat cirendeu, bergabung kang rahmat, anggi (belantara)..
Kami bersilaturahmi dgn masyarakat adatnya, sayang sesepuh adat abah asep setelah naik ke gunung salam beliau kurang enak badan.. Sempat bertemu, tp alhamdulillah masyarakat adat masih bisa bersilaturahmi...
Diputuskan, kami meninjau tpa leuwigajah dari puncak gunung kunci, yang konon dulu merupakan pusat atau kunci dari cekungan bandung.. Juga tempat orang bermeditasi.. (Walaupun dinamakan gunung sebenernya bukit...) Satu lagi, kami berjalan tanpa alas kaki... Dari tempat kmpg adat menuju TPA..
Dari sejauh mata memandang, banyak tanaman2 yang semak dan perdu.. Mudah2an ini awal yang baik bagi perkembangan secara ekologis didaerah tersebut.. Karena didaerah Leuwigajah terdapat 2 mata air utama yang menjadi supporting ketersediaan air di daerah tersebut..
Selanjutnya kami menuju Gunung Gajahlangu... Perjalanan yang cukup menyenangkan, mendebarkan serta mengharukan..Menyenangkan karena kami bersama dengan masy adat kang Yana yang memimpin kami semua untuk naik ke leuweung larangan - Syanghang Sirah yang berada di puncak gunung.. Juga ada yang jatuh2 krn licin jalurnya.. Mendebarkan karena ketika memasuki kawasan leuweung larangan, kami harus menetapkan hati, tidak boleh sembarangan bicara, dan takut jg kalau ketemu dgn ular, atau hujan...disini kami tidak boleh makan dan minum lagi..
Mengharukan ketika kami sdh sampai di puncak gunung.. kami disambut oleh suara binatang tongeret.. Kenceng banget.. Angin yang menerpa jg luar biasa.. Seperti mensupport kedatangan kami..
Kami berusaha mensinkronkan diri dgn alam dgn cara merenung (bukan melamun...)...
Alangkah indahnya bila puncak gunung ini sudah dipenuhi oleh pohon2 besar... (Karena selama dalam perjalanan... Banyak sekali lahan kritisnya..) Pada saat ini komunitas adat Cirendeu sedang dalam proses pemulihan lingkungan berbasis kearifan lokal..
Waktunya kembali ke kampung setelah dari puncak gunung.. Ketika hendak sampai, mulailah hujan dan petir. Subhannallah...
Sesampainya di rumah abah Asep, kami berdiskusi tg TPA dan perjalanan kami.. Ternyata bahwa di gunung Gajahlangu banyak banget ularnya dan galak2.. Tetapi mungkin karena kami semua tidak memakai alas kaki, aura dan tekad hati kami yg tidak ingin merusak alam membuat kami sama sekali tidak bertemu dgn binatang2.., Alhamdulillah lagi, kami disuguhi nasi singkong... Makin terharu, karena artinya bila kita sudah disuguhi oleh makanan asli, kami sdh dianggap keluarga oleh masyarakat adat...
Alhamdulillah...
Jam 9 malam kami pamit dan kembali ke bandung...
Insya Allah, bahwa pada hari ini kami sdh melewati tahap silaturahmi dan peninjauan lokasi. selanjutnya bahwa tugas berikutnya masih banyak yang harus dikerjakan... (Memang tugas yang tidak pernah berhenti..)
Makasih semuanya..
Salam hijau...!
Ceu Yuni..
Mendengar kisah dari ceu Yuni dan Erwin, saya sampe lupa mengambil gambar... Betul yang dikatakan ceu Yuni alam punya kekuatan luar biasa, dan kalau manusia terus menjalin hubungan yang harmoni dan sikap penuh respek (bahkan sakral) terhadap alam, manusia akan tetap punya kekuatan luar biasa. Justru ini bisa diperoleh saat manusia bersikap sangat rendah hati terhadap alam lingkungannya. Seperti tulisan pendek yang menjadi filosofi masyarakat adat di daerah Ciomas, tertulis di sebuah bangunan di lokasi upacara seperti di bawah ini...
Apakah kita, yang mengaku manusia modern masih sebijak mereka...
Thursday, March 11, 2010
HIDUP : hadiah puisi dari seorang sahabat
|
|
Pagi itu seperti cermin.
Memantulkan sisi hidup.
Sisi masa lalu dan misteri masa depan...
Pagi itu seperti bayangan tubuh.
Mengejar gerak tubuh. Menanti harapan.
Siang itu seperti energi.
Ketika keringat dan otak bersatu.
Siang itu seperti bayu. Mengantar asa dalam sang waktu.
Letih akan harapan.
Malam itu pengantin rembulan...
Gelap mendekap, ...memeluk mimpi harapan...
Mengalir cinta tak berujung...
|
|
dari kakak dan sahabatku Ipong Witono, di pagi hari 12 Maret 2010
di tanggal ini 42 tahun yang lalu Sang Pencipta menentukan aku lahir di muka bumi ini.
semoga hari ini aku sedang berada di dalam jalan dan harapanNya,
melaksanakan amanat-amanatNya... agar kelahiranku, keberadaanku bukan sesuatu yang sia-sia...
sementara aku sedang belajar dan masih terus belajar untuk mengalirkan cinta yang tak berujung...
semoga suatu saat aku bisa...
Sunday, March 7, 2010
foto :: taking a break 3
gambar ini aku ambil di rumah ortu-ku. kontras warnanya yang menarik
capung merah ini seperti dengan sengaja nampang di dekatku.
capung merah ini seperti dengan sengaja nampang di dekatku.
Friday, March 5, 2010
Launching SOS (Sehati Oentoek Sesama) di GIM
Gerakan SOS yang diprakarsai oleh teh Rieke Diah Pitaloka ini baru saja diwacanakan seminggu yang lalu di tempat ini juga, di Gedung Indonesia Menggugat. Salah satu tempat yang belakangan sering bawa cerita dan pengalaman istimewa buat aku.
Sore ini aku mampir lagi di GIM setelah Kang Aat mengajak aku ketemuan di sana. Event ini sebetulnya aku sudah tau lewat undangan temanku Tompel lewat FB, tapi karena judulnya lelang lukisan, awalnya aku agak kurang berminat datang (da teu bogaeun duit keur meser lukisan)...
Setelah dengar ada Abah Iwan, Mukti2, Doel Sumbang dkk, akupun memutuskan hadir. Sebetulnya kondisi badan masih ga fit karena sepanjang minggu lalu kena batuk dan pilek... tapi kalo ada denger Abah Iwan mau nyanyi, bawaannya selalu aja pengen dateng entah kenapa. Kebetulan aku juga ingin cari info tentang Posko pengumpulan bantuan untuk bencana alam jawa barat yang akan mereka kelola.
Setelah acara mulai, rangkaian acara demi acara mulai digelar. Dibuka oleh Kang Aat dan diawali dengan ritual yang tak pernah lepas dari komunitas ini, pengibaran Merah Putih dan lagu Indonesia Raya oleh mas Imam. Ini juga salah satu hal yang jadi kerinduan aku belakangan ini. Entah aku jadi sentimentil atau gimana, menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam komunitas dan suasana ini selalu istimewa. Ada rasa bergetar, ada rasa haru, ada rasa bangga... Hal ini juga yang bikin aku kangen untuk hadir dan hadir lagi dalam kegiatan2 seperti ini.
Kemudian diputar cuplikan rekaman situasi longsor di Ciwidey, yang mengantar kita pada penghayatan kenapa kita semua berkumpul di sana. Selanjutnya hari ini aku punya kesempatan mendengarkan Boni Avibus, anak perempuan berusia 7 tahun, yang menyumbangkan puisi yang dibawakannya dengan luar biasa. Entah apa yang membuatnya bisa begitu... Ekspresi, penghayatannya, intonasi! Singkatnya keren banget!
Sore ini aku mampir lagi di GIM setelah Kang Aat mengajak aku ketemuan di sana. Event ini sebetulnya aku sudah tau lewat undangan temanku Tompel lewat FB, tapi karena judulnya lelang lukisan, awalnya aku agak kurang berminat datang (da teu bogaeun duit keur meser lukisan)...
Setelah dengar ada Abah Iwan, Mukti2, Doel Sumbang dkk, akupun memutuskan hadir. Sebetulnya kondisi badan masih ga fit karena sepanjang minggu lalu kena batuk dan pilek... tapi kalo ada denger Abah Iwan mau nyanyi, bawaannya selalu aja pengen dateng entah kenapa. Kebetulan aku juga ingin cari info tentang Posko pengumpulan bantuan untuk bencana alam jawa barat yang akan mereka kelola.
Setelah acara mulai, rangkaian acara demi acara mulai digelar. Dibuka oleh Kang Aat dan diawali dengan ritual yang tak pernah lepas dari komunitas ini, pengibaran Merah Putih dan lagu Indonesia Raya oleh mas Imam. Ini juga salah satu hal yang jadi kerinduan aku belakangan ini. Entah aku jadi sentimentil atau gimana, menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam komunitas dan suasana ini selalu istimewa. Ada rasa bergetar, ada rasa haru, ada rasa bangga... Hal ini juga yang bikin aku kangen untuk hadir dan hadir lagi dalam kegiatan2 seperti ini.
Kemudian diputar cuplikan rekaman situasi longsor di Ciwidey, yang mengantar kita pada penghayatan kenapa kita semua berkumpul di sana. Selanjutnya hari ini aku punya kesempatan mendengarkan Boni Avibus, anak perempuan berusia 7 tahun, yang menyumbangkan puisi yang dibawakannya dengan luar biasa. Entah apa yang membuatnya bisa begitu... Ekspresi, penghayatannya, intonasi! Singkatnya keren banget!
Lalu Rieke bercerita memberikan pengantar tentang kegiatan ini, satu kalimatnya yang aku catat : "bencana alam akan berubah jadi bencana kemanusiaan, saat kita sudah tidak peduli, saat kita membiarkan para korban kesepian"... Setelahnya Abah Iwan membawakan 5 buah lagunya yang membawa kita kepada perenungan2 mendalam tentang banyak hal, termasuk mengingatkan kita bahwa bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini adalah cerminan kalutnya alam batin masyarakat Indonesia. Selain bencana-bencana alam yang terjadi di sekitar kita, tragedi yang sama terjadi di tengah pemimpin dan wakil-wakil rakyat kita seperti yang sehari-hari kita saksikan di media dan layar kaca...
Akhirnya, kang Herry Antha dan teh Rieke-pun mulai seru memimpin lelang lukisan . Ada 9 lukisan yang disumbangkan para seniman Jawa Barat seperti Acep Zamzam Noor, Herry Dim, Diyanto, Jeihan, Diyanto, Hanafi, Edos, Rosid dan Isa Perkasa. Ini jadi gelaran pertama dari event serupa yang akan digelar di kota-kota di Jawa Barat.
Sebagai catatan penutup, hari ini hadir juga Bpk Gubernur kita bpk. Ahmad Heryawan dan Ibu Netty, di antara kita. Beliau hadir atas undangan per telepon (bukan undangan formal) yang dilakukan teh Rieke Melihat bapak cukup menghangatkan perasaan bahwa pimpinan kita cukup peduli terhadap apa yang juga jadi perhatian kita bersama...
Informasi tambahan : Posko SOS (Sehati Oentoek Sesama) di Gedung Indonesia Menggugat buka setiap hari untuk menerima bantuan berupa barang (pakaian bekas layak pakai, makanan instan, selimut) dan uang.
Semoga kita semua, di tengah segala kenyamanan dan kecukupan kita, terketuk hatinya untuk membantu.
Akhirnya, kang Herry Antha dan teh Rieke-pun mulai seru memimpin lelang lukisan . Ada 9 lukisan yang disumbangkan para seniman Jawa Barat seperti Acep Zamzam Noor, Herry Dim, Diyanto, Jeihan, Diyanto, Hanafi, Edos, Rosid dan Isa Perkasa. Ini jadi gelaran pertama dari event serupa yang akan digelar di kota-kota di Jawa Barat.
Sebagai catatan penutup, hari ini hadir juga Bpk Gubernur kita bpk. Ahmad Heryawan dan Ibu Netty, di antara kita. Beliau hadir atas undangan per telepon (bukan undangan formal) yang dilakukan teh Rieke Melihat bapak cukup menghangatkan perasaan bahwa pimpinan kita cukup peduli terhadap apa yang juga jadi perhatian kita bersama...
Informasi tambahan : Posko SOS (Sehati Oentoek Sesama) di Gedung Indonesia Menggugat buka setiap hari untuk menerima bantuan berupa barang (pakaian bekas layak pakai, makanan instan, selimut) dan uang.
Semoga kita semua, di tengah segala kenyamanan dan kecukupan kita, terketuk hatinya untuk membantu.
Thursday, March 4, 2010
foto :: garis-garis bayangan
Tuesday, March 2, 2010
... akar Masyarakat Indonesia adalah Kenusantaraannya!
EPILOG buku acara pentas teater Perjuangan Suku Naga
oleh Aat Soeratin
Tak dapat dipungkiri, kini telah semakin tumbuh kesadaran pada masyarakat Indonesia bahwa kebesaran Nusantara adalah karena kebhinekaan suku bangsa yang dimilikinya. Maka secara substansial: menjaga, memelihara dan mengembangkan eksistensi etnisitas adalah tugas mulia dan kewajiban utama setiap warga negara demi berkembangnya kultur bangsa Indonesia agar dapat menyumbangkan berbagai-bagai manfaat dan kebajikan kepada peradaban dunia sehingga kita bisa "duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi" dengan kebudayaan bangsa mana pun di dunia.
Telah tiba saatnya masyarakat Indonesia untuk bergerak sigap menjajari percepatan masa depan dengan semangat "keindonesiaan" - yang digali dari kedalaman lokalitas Nusantara - jika tak ingin tertinggal jauh oleh saudara kita dari bangsa lain yang telah lebih dulu memupuk semangat dan melompat menyambut masa depan kebudayaan dunia. Pergerakan ini tak mungkin dilaksanakan tanpa dilambari rasa 'persatuan dan kesatuan' di kalangan masyarakat Nusantara. Ibarat mendorong sebongkah batu gunung yang menghalangi jalanan umum, maka seribu tangan akan lebih berdaya guna ketimbang satu-dua tangan saja meski sekuat apa pun tenaga satu-dua tangan itu.
Maka kini, upaya ngarumat, ngamumule, memelihara, memuliakan Kebudayaan Nusantara, sepenuhnya bergantung hasrat dan kepedulian kita bersama. Hasrat untuk memuliakan etnisitas timbul dari kesadaran bahwa kejayaan Indonesia terbentuk karena kebhinekaan wilayah budaya yang menyimpan beratus etnik dengan kearifan tradisinya masing-masing. Dan mengasah kekayaan etnik memaknakan secara lebih hakiki pengertian Bhinekka Tunggal Ika, semboyan kolektif yang selama ini kita usung bersama. Kepedulian untuk menjaga nilai-nilai kearifan tradisi, menerbitkan keinginan saling memberi dalam rasa tulus dan nawaitu beribadah. Hasrat dan kepedulian semacam itu melatari laku budaya yang hanya akan muncul karena rasa cinta.
Bagaimanapun, senantiasa harus diyakini bahwa kemana pun jauhnya kita melangkah, di level mana pun kita kini berada, "akar" masyarakat Indonesia adalah "kenusantaraan"nya. Dan betapa malangnya manusia yang hidup dalam zaman globalisasi seperti sekarang ini tanpa mempunyai akar yang menancap ke banjar karang pamidangan, nagara ancik-ancikannya. Seolah kembara yang tak punya Tanah Air untuk pulang.
Kiranya, hanya dengan itu kita dapat menyongsong masa depan dengan penuh harga diri.
Hanya dengan itu.
Kutipan ini saya angkat dari booklet acara pentas teater "Kisah Perjuangan Suku Naga" yang dipentaskan tanggal 11 s/d 15 November 2009 sebagai bagian rangkaian kegiatan Bandung Mengenang Rendra.
Kutipan ini bagi saya sangat menginspirasi... Tulisan pendek yang penuh dengan kata kunci tentang kita semua, tentang jati diri kita dan bagian dari sebuah bangsa... Sebuah bangsa yang semakin terombang-ambing seperti tanpa tujuan, tanpa pegangan dan tanpa paham kemana harus kembali, karena kita semua tidak, atau belum betul-betul paham dan peduli tentang akar kita sendiri... Akar yang memang tidak pernah tampak di permukaan, tidak tampak dalam pandangan, terpendam bahkan mungkin diinjak-injak, justru sesuatu yang penting, karena akar-lah kita yang bisa membuat kita tahu siapa diri kita, bagaimana kita berdiri dan berpegang saat angin kuat menerpa kita. Saat segala sesuatu yang bertajuk globalisasi menerpa, saat segala sesuatu yang asing bertebaran di sekitar kita, akar justru jadi luar biasa penting, karena akar adalah tempat kita berpijak, mengingatkan kemana kita harus kembali sejauh apapun kita pergi dan memahami siapa diri kita sedalam-dalamnya.
Hatur nuhun Kang Aat, hatur nuhun buat semua yang masih memperjuangkan budaya kita, akar kita...
oleh Aat Soeratin
Tak dapat dipungkiri, kini telah semakin tumbuh kesadaran pada masyarakat Indonesia bahwa kebesaran Nusantara adalah karena kebhinekaan suku bangsa yang dimilikinya. Maka secara substansial: menjaga, memelihara dan mengembangkan eksistensi etnisitas adalah tugas mulia dan kewajiban utama setiap warga negara demi berkembangnya kultur bangsa Indonesia agar dapat menyumbangkan berbagai-bagai manfaat dan kebajikan kepada peradaban dunia sehingga kita bisa "duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi" dengan kebudayaan bangsa mana pun di dunia.
Telah tiba saatnya masyarakat Indonesia untuk bergerak sigap menjajari percepatan masa depan dengan semangat "keindonesiaan" - yang digali dari kedalaman lokalitas Nusantara - jika tak ingin tertinggal jauh oleh saudara kita dari bangsa lain yang telah lebih dulu memupuk semangat dan melompat menyambut masa depan kebudayaan dunia. Pergerakan ini tak mungkin dilaksanakan tanpa dilambari rasa 'persatuan dan kesatuan' di kalangan masyarakat Nusantara. Ibarat mendorong sebongkah batu gunung yang menghalangi jalanan umum, maka seribu tangan akan lebih berdaya guna ketimbang satu-dua tangan saja meski sekuat apa pun tenaga satu-dua tangan itu.
Maka kini, upaya ngarumat, ngamumule, memelihara, memuliakan Kebudayaan Nusantara, sepenuhnya bergantung hasrat dan kepedulian kita bersama. Hasrat untuk memuliakan etnisitas timbul dari kesadaran bahwa kejayaan Indonesia terbentuk karena kebhinekaan wilayah budaya yang menyimpan beratus etnik dengan kearifan tradisinya masing-masing. Dan mengasah kekayaan etnik memaknakan secara lebih hakiki pengertian Bhinekka Tunggal Ika, semboyan kolektif yang selama ini kita usung bersama. Kepedulian untuk menjaga nilai-nilai kearifan tradisi, menerbitkan keinginan saling memberi dalam rasa tulus dan nawaitu beribadah. Hasrat dan kepedulian semacam itu melatari laku budaya yang hanya akan muncul karena rasa cinta.
Bagaimanapun, senantiasa harus diyakini bahwa kemana pun jauhnya kita melangkah, di level mana pun kita kini berada, "akar" masyarakat Indonesia adalah "kenusantaraan"nya. Dan betapa malangnya manusia yang hidup dalam zaman globalisasi seperti sekarang ini tanpa mempunyai akar yang menancap ke banjar karang pamidangan, nagara ancik-ancikannya. Seolah kembara yang tak punya Tanah Air untuk pulang.
Kiranya, hanya dengan itu kita dapat menyongsong masa depan dengan penuh harga diri.
Hanya dengan itu.
Kutipan ini saya angkat dari booklet acara pentas teater "Kisah Perjuangan Suku Naga" yang dipentaskan tanggal 11 s/d 15 November 2009 sebagai bagian rangkaian kegiatan Bandung Mengenang Rendra.
Kutipan ini bagi saya sangat menginspirasi... Tulisan pendek yang penuh dengan kata kunci tentang kita semua, tentang jati diri kita dan bagian dari sebuah bangsa... Sebuah bangsa yang semakin terombang-ambing seperti tanpa tujuan, tanpa pegangan dan tanpa paham kemana harus kembali, karena kita semua tidak, atau belum betul-betul paham dan peduli tentang akar kita sendiri... Akar yang memang tidak pernah tampak di permukaan, tidak tampak dalam pandangan, terpendam bahkan mungkin diinjak-injak, justru sesuatu yang penting, karena akar-lah kita yang bisa membuat kita tahu siapa diri kita, bagaimana kita berdiri dan berpegang saat angin kuat menerpa kita. Saat segala sesuatu yang bertajuk globalisasi menerpa, saat segala sesuatu yang asing bertebaran di sekitar kita, akar justru jadi luar biasa penting, karena akar adalah tempat kita berpijak, mengingatkan kemana kita harus kembali sejauh apapun kita pergi dan memahami siapa diri kita sedalam-dalamnya.
Hatur nuhun Kang Aat, hatur nuhun buat semua yang masih memperjuangkan budaya kita, akar kita...
Monday, March 1, 2010
foto :: taking a break 2
taking a break 2
kupu2 kecil ini hinggap di handel sepedaku sesaat sebelum aku melanjutkan perjalanan,
sesaat setelah aku menikmati segelas lahang yang menyegarkan.
perjumpaan2 kecil seperti ini, entah kenapa membuat aku senang.
sebentuk interaksi yang mungkin tidak sengaja, tapi punya makna tertentu buatku.
mungkin karena hal2 seperti ini tidak bisa kita jumpai sehari-hari.
sesuatu yang langka, tentunya jadi istimewa.
Taman Hutan Raya Juanda, Februari 2010
kupu2 kecil ini hinggap di handel sepedaku sesaat sebelum aku melanjutkan perjalanan,
sesaat setelah aku menikmati segelas lahang yang menyegarkan.
perjumpaan2 kecil seperti ini, entah kenapa membuat aku senang.
sebentuk interaksi yang mungkin tidak sengaja, tapi punya makna tertentu buatku.
mungkin karena hal2 seperti ini tidak bisa kita jumpai sehari-hari.
sesuatu yang langka, tentunya jadi istimewa.
Taman Hutan Raya Juanda, Februari 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)