Sunday, September 28, 2008

hutan

... Mungkin sebab itu, ketika hutan ditebang, waktupun berubah.
Bagaikan sepetak tanah yang gundul, di mana jalan akan direntang dan pasar akan dibangun, waktu pun terhantar, datar, siap diukur.
Tamasya itu - hutan yang hilang, waktu yang dirampat - tak lagi punya tuah.
Ia hanya punya harga. Ia hanya punya guna. Tiap jengkal telah tercampak, menyerah ke dalam rengkuhan kalkulasi manusia. Waktu yang menakjubkan, juga "puak yang perkasa dan damai" itu. - ungkapan Marcel Proust tentang pohon-pohon - pun tak dilahirkan kembali.

Hutan, saya kira, adalah wilayah penghabisan di mana Kegaiban masih belum hilang, di mana Misteri belum dipetakan. Itu sebabnya, dulu, raja-raja yang uzur menyingkir ke dalamnya sebagai pertapa, untuk - seperti Destrasastra, disertai Gandari dan Kunthi dalam bagian terakhir Mahabharata - menantikan mati. Para penguasa yang mengubah diri jadi resi itu tak lagi berniat menaklukkan dunia. Mereka datang ke rimba menemui kembali pohon-pohon.

dari Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai, Goenawan Mohamad : hal. 103

Friday, September 26, 2008

Bike 2 Workers ngumpul di Cikapayang


Kumpul-kumpul Jum'at Sore Komunitas B2W.
Jum'at sore hari ini dari Semi Palar saya mampir sebentar ke kediaman kang Aat. Kami ngobrol-ngobrol sebentar tentang Babakan Siliwangi dan lain sebagainya, lalu meluncurlah saya melintasi Pasupati dan turun di Taman Sari. Di depan saya ada seorang mbak memboseh sepeda lipat dengan tag Bike2Work di bawah sadelnya. Ternyata tujuan kami sama. Ke Taman Cikapayang, bekas SPBU Dago.

Di sana sudah ada beberapa teman yang sudah saya kenal, kang Tiyo, gegedugnya B2W, lalu Rizki (Greeners) dan beberapa lainnya. Ada mungkin sekitar 6-7 sepeda dan beberapa skate-boarders dan pesepeda free-style yang hebat-hebat atraksinya. Ga lama teman-teman pesepeda bermunculan. Wah menyenangkan sekali.
Kamipun berkenalan dan ngobrol seputar pengalaman kita dalam perbosehan. Sore kemarin saya berkenalan dengan 4 orang pendatang baru, teman-teman yang sama-sama baru pertama kali dateng dan kumpul di Cikapayang, hanya karena satu kesamaan, kita sama-sama menunggang sepeda.

Buat saya teman-teman ini adalah pejuang lingkungan hidup. Mereka-mereka yang tidak berkontribusi membuang karbon ke atmosfir planet ini. Ada yang bahkan bersepeda setiap hari ke tempat kerja. Salah satunya Stefan teman baru yang masih duduk di bangku SMP. Dia bersepeda setiap hari ke sekolah. Luar biasa.

Mengingat apa yang pernah saya baca / lihat di kota-kota besar di dunia. Amsterdam, Melbourne, Copenhagen, dan banyak lagi. Kota-kota ini sangat ramah pesepeda. Tentunya kualitas hidupnya luar biasa karena kepadatan kendaraan bermotor tentunya sangat dibatasi.

Ini jadi mimpi saya, suatu hari Bandung jadi kota nyaman buat bersepeda dan pejalan kaki. Apa bisa?
Kenapa tidak?

Sunday, September 14, 2008

How to Save the Climate by Biking Culture


Salah satu jawaban dari Krisis Iklim Global (Global Climate Crisis) adalah bersepeda!
Itu kata abah Iwan. Wah kenapa saya ngefans berat sama abah salah satunya adalah karena beliau adalah salah satu pesepedah yang paling konsisten yang saya tau. Dan dia bukan bersepeda karena pengen gaya atau pengen beken, karena beliau cinta alam lingkungan, sadar betul dan berusaha berbuat sesuatu untuk lingkungan hidup.

Lagu-lagu gubahan beliau-pun bicara betul soal itu, dan yang hebat abah bukan hanya ngomong, beliau juga mempraktekkan apa yang diungkapkannya.

Saya hadir hari itu karena ingin ketemu sama komunitas Bike To Work. Dan jadi lebih spesial karena hari itu ada pemutaran filem Greenpeace. Komplit lah. Hasilnya saya, Lyn dan anak-anak berangkat ke BEC untuk mengikuti kampanye ini.

Hari ini cukup spesial buat saya. karena akhirnya saya bisa berkenalan sama teman-teman dari Greenpeace, komunitas Bike To Work dan majalah Greeners, selain juga ada Abah Iwan dan sidekicknya Abah: kang Erick. Saya punya secuplik gagasan dan impian untuk mengkampanyekan penggunaan sepeda di kota Bandung yang harapannya memang menarik lebih banyak pesepeda ke jalan2 di Bandung - dengan demikian mengurangi pengguna kendaraan bermotor lalu mengurangi konsumsi BBM dan emisi CO2 dan selanjutnya dan selanjutnya...

Untuk apa? untuk masa depan anak cucu kita yang lebih baik. Bandung di tahun kemarau tahun 2007 mengalami suhu tertinggi sepanjang sejarah : 34 derajat celcius. Luar biasa! Ini sih suhu kota Jakarta. Saya sering bercerita kepada anak-anak bahwa dulu waktu kecil tidak mungkin kita keluar rumah tanpa jacket dan celana panjang. Tidur tidak bisa tidak harus pakai selimut. Sore hari, kabut pasti menutup kota Bandung. Sekarang?

Saya spontan bingung saat ada orang yang bilang bahwa tidak ada itu yang namanya Pemanasan Global? HAH??? Bagaimana bisa?

Saat saya bisa keluar rumah dengan berjalan kaki atau bersepeda, saya merasa senang bahwa paling tidak saya memilih untuk tidak menyumbangkan emisi karbon untuk aktifitas saya hari itu. Soal kenyamanan? Itu jadi nomor dua. Buat saya masa depan anak-anak tentunya harus jadi nomor satu.

Matematikanya sederhana, kalau setiap orang di Bandung bisa memilih untuk tidak bekendaraan sekali saja dari 5 hari aktifitasnya, tingkat polusi / emisi karbon dari kendaraan bermotor bisa berkurang hingga 20%. Dampaknya pasti terasa. Untuk Bandung yang lebih sehat, manusiawi dan masa depan yang lebih cerah, kenapa tidak? Atau apakah kita sudah sedemikian egoistik dan tidak peduli?

Saturday, September 13, 2008

Save Babakan Siliwangi

Beberapa hari lalu aku terima email tentang isu BakSil ini di mailbox-ku.
Spontan terpikir : "Buset!, kemaren kan udah, ga bosen-bosen ya yang coba-coba menduduki Babakan Siliwangi". Sepintas aku cerita sama anak-anakku. Yang kecil pengen tau lebih jauh, katanya : "kenapa sih pah?" "Ini... ada hutan kota mau dijadiin mall, pohon-pohonnya mau ditebangin."

Ga lama aku dapet telepon dari temanku Rizki, redaksinya Greeners. Katanya ada kumpul-kumpul
teman-teman yang peduli sama Babakan Siliwangi, kegiatannya mau bersih-bersih dan mau ngobrol-ngobrol soal itu. Sebentar kemudian saya online untuk ikutan ngisi 'online-petition : save Babakan Siliwangi'. Anak-anak ikut ngumpul di depan komputer. Sabtu, 13 September sekitar jam 2 an, yang ikutan ngisi petisi sudah ada 1446. Komentar-komentarnya mereka ikut baca. Lalu kita masuk ke blognya untuk liat-liat. Di halaman depannya ada foto udara kawasan itu, Sabuga dan sekitarnya. Terlihat jelas sabuk pepohonan di area Babakan Siliwangi itu.

Lalu aku bilang sama anak-anak, sore nanti aku mau ke sana. Mau apa? tanya mereka. Mau liat2 dan kumpul-kumpul sama temen-temen yang mau mencegah hutan itu di rubah jadi mall. Spontan mereka bilang "Aku mau ikut!'. Sore harinya jam 4 akhirnya kitapun menuju ke sana. Sesampainya mereka-pun
mulai mengamati pepohonan yang ada di sana, lengkap dengan apresiasi mereka yang khas anak : "wah yang itu tuh pohonnya bagus!" "waah pohonnya gede-gede ya!" "mana sih yang mau dijadiin mall?" Baru hari itu juga akupun ikut mengamati betul situasi yang ada di sana. Aku hanya bisa tarik nafas mengimajinasikan pepohonan yang sekarang asri ada di sana digantikan oleh dinding-dinding beton tak bernyawa.

Setelah parkir yang terlihat hanya sekelompok teman-teman pesepeda dari komunitas Bike to Work. Setelah keliling sebentar akhirnya kami mencari-cari tempat kumpul dan ketemu di salah satu saung restoran lama yang masih berdiri. Ada kelompok teman-teman di sana. Seorang teman seniman, Gustaff, ada juga uwa Endang (kalau tidak salah pemangku adat di beberapa daerah di Jawa Barat.

Gustaff bicara tentang 'bunuh diri ekologi', setelah bercerita sedikit tentang sejarah kota Bandung. Kota yang sedianya hanya dirancang untuk 400.000 penduduk. Yang menarik, uwa Endang bercerita bahwa dulu, di Jawa Barat, masyarakat Sunda punya kebiasaan ritual tahunan yang tidak pernah terlewatkan : yaitu meruwat (selametan) sumber air, mata air, sumur, sungai dan lain sebagainya.
Air yang memang sumber kehidupan memang ditempatkan jadi sesuatu yang dimuliakan. Itulah sebabnya banyak sekali nama daerah di Jawa Barat dimulai dengan awalah 'Ci'. (Cibadak, Cipaganti, Cihampelas, Ciamis, Cilaki, Cibarengkok dan lain sebagainya)

Sebuah penghormatan, di mana air memang sumber segala kehidupan di suatu daerah . Uwa Endang menambahkan. Kita hidup itu dari alam. Daging, darah, tulang dan kulit kita adalah berasal dari makanan dan minuman yang semuanya berasal dari alam. Kalau alam kita rusak, bagaimana bisa menyehatkan diri kita?

Catatan terakhir yang saya ingat, uwa Endang bilang, para pengambil keputusan, para birokrat dan business man, tidak akan merasakan dampak dari segala keputusannya. Saat alam kita nanti rusak, anak cucu kita-lah yang akan mengalaminya. Betapa betul kata-katanya...

Akhirnya kitapun beranjak pulang. Si kecil tanya : "Udah pah? Udah selesai? Katanya mau ngumpul?" Ya ini ngumpulnya, udah selesai, nanti temen-temen ini pengen ngomong ke pa Walikota supaya hutan ini tidak jadi diganti bangunan. "Temen-temen yang ngumpul ini, menurut kamu mereka gimana? Mereka yang peduli atau gimana?". "Ya yang peduli", sebentar kemudian dia menambahkan...
"Kok cuman segini yang peduli?". Akupun terkejut mendengarnya, dan tidak bisamenjawab... Pertanyaan yang luar biasa dari seorang anak berusia 8 tahun...

Dalam perjalanan pulang, aku hanya bisa berpikir, apa yang bisa aku lakukan? Karena paling tidak aku berhutang untuk anak-anak saya. Dan seharusnya ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuk mereka...

Sunday, September 7, 2008

Makam Junghuhn, satu sudut yang terlupakan



Gambar ini aku ambil waktu sesepedahan ke Lembang hari Minggu 7 September
Hari itu aku pilih lewat jalan raya biar ga terlalu cape :-). Aku mboseh sama Hanin.

Sesampainya di Lembang entah kenapa iseng mengambil jalan ke arah Jayagiri.
Di suatu pertigaan aku lihat ada tanda bertuliskan Makam Junghuhn. Berbelok-lah kami ke sana.
Masuk jalan itu sekitar 500 meter, di hadapan kami ada sepetak hutan pinus di belakang pintu pagar terkunci. Kami liat-liat sekeliling, sebentar kemudian ada seorang Bapak yang menegur dan mengajak kami masuk lewat jalan berputar di belakang rumah-rumah di sana. Dan akhirnya kami bisa masuk ke dalamnya.

Suasananya enak banget. Asri. Udaranya segar. Dan di tengah-tengah tempat itu berdiri sebuah monumen yang menandai tempat Wilhelm Junghuhn dimakamkan. Sekeping sejarah Jawa Barat ada di sana.

Sayangnya tempat itu kurang terawat dan pastinya kurang diapresiasi. Minimal sebagai tempat kita memutar balik pikiran kita saat orang-orang seperti Junghuhn ikut membangun peristiwa2 di tempat tinggal kita dalam putaran waktu masa lalu kita.

Pabrik kina yang ada di jalan Cicendo - Pajajaran, jangan-jangan tidak akan berdiri kalau Junghuhn tidak mulai membudidayakan tanaman kina. Dan kata seorang ibu yang tinggal di sana kulit kina juga dipakai sebagai salah satu bahan untuk membuat minuman Cola... Well what do you know?